Skip to Content

NGANU

Foto Anna Windri

Nganu

(Sebuah Surat bukan Curhat)

November 2013

Dimana kini pelukanmu tidak lagi berarti. Aku masih mengingat betul bagaimana kita memulai hubungan. Bagaimana penghianatan yang pertama kali kita lakukan. Kita yang kini tidak lagi menjadi kita yang dulu. Bagaimana kita berhasil melalui semua pertentangan dari berbagai serangan sudut pandang. Bagaimana ciuman pertama kita. Bagaimana caramu mencintaiku. Dimana aku lebih suka memanggilmu Abi daripada Habib. Dan bagaimana cara kita mengakhiri hubungan.

Mengakhiri hubungan ? cara mengakhiri yang terlalu menyakitkan. Mantan kekasih ? bahkan aku ragu apakah kamu pantas disebut mantan kekasih. Hubungan yang terlalu rumit. Butuh waktu cukup lama untuk mengumpulkan keberanian mengatakan hal yang sebenarnya terjadi padamu, Bi. Apakah kamu pernah merasakan bagaimana perasaan itu terbagi, Bi ? Disaat kamu menyadari bahwa yang kamu cintai tidak lagi seperti dulu. Dimana jarak dan pekerjaan memberikan kesempatan kesepian merenggut segalanya. Dimana kesepian menjadi hal yang mendominansi. Aku masih mengingat betul bagaimana caramu mempertahankan hubungan yang bisa dikatakan tidak lagi bisa dipertahankan kata orang. Bukankah cinta itu tidak membebani, Bi ? bukankah cinta itu menerima ? bukankah cinta itu bahagia ? bukankah cinta itu terbuka ?

Pernahkah kamu mencoba menghitung berapa banyak jumlah bintang di langit ? Mustahil bukan kamu akan menemukan berapa jumlahnya ? Seperti itulah hubungan kita yang tak kunjung mendapat restu. Kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku ? diantara kamu dan orang tuaku. Jika aku melangkah maju, aku akan meninggalkanmu tepat dimana kini kamu berdiri. jika aku berbelok arah saat itulah aku menjadi seseorang yang durhaka dimana sabda orang tua yang aku langkahi. Aku adalah seonggok benda kerdil yang pada dasarnya memulai hidupku dari selangkangan ibu. Aku tidak akan menghianati perjuangan malaikat tanpa sayapku, Bi. Sempat aku berfikir kenapa kita bisa saling mencintai bila pada akhirnya kita tidak di takdirkan bersama. Pantaskah kita menyalahkan takdir ? takdir bagian apa yang salah ? seperti cerita tiada akhir.

Kamu tahu setelah apa yang kita lewati selama ini, Bi ? Aku mulai mencoba membuka hatiku selain padamu. Aku berhasil. Suka pada pandangan pertama, tentu. Gairah pada pandangan pertama, Pasti. Jatuh cinta ? aku tidak bisa memastikan apakah aku jatuh cinta lagi kepada seseorang selain dirimu, Bi. Kamu tahu siapa yang berhasil mencuri perhatianku ? Dia seorang berandalan. Kita bertemu di suatu acara tanpa sengaja. Aku adalah teman dari temannya. Kira-kira seperti itulah. Singkatnya pertemuan pertama selalu meninggalkan kesan manis seperti vanili dan gulali. Manis. Ketagihan. Bosan.. mudah sekali ditebak akhirnya akan seperti apa. Ya aku menyukai seorang lelaki berandalan. Berbanding terbalik denganmu. Kita masih sering mencuri pandang seperti mengintip seseorang dari balik dinding bambu rapat tapi bercelah. Satu hal lagi yang harus kamu tahu. Aku mencium aroma tubuh yang berbeda kini. Benar-benar berbeda dengan aroma tubuh yang aku sering kucium dulu. Ini kali pertama aku resmi menjadi pacar seorang  berandal dimana hubungan kita sudah tak berkelanjutan cerita. Seperti hukum Newton 1 dimana dikatakan benda tidak akan pernah berubah jika tidak ada dorongan dari benda lain. Aku berkeinginan merubahnya menjadi lebih baik, Bi. Tapi bukankah itu akan menjadikannya buruk menurutmu ? Dimana kita seharusnya menerima sukarela seperti apa pasangan kita, Bi ? sama seperti aku dan kamu dulu. Kamu tahu aku masih suka membandingkan dia denganmu. Keparat bukan ?

Dimana dulu aku yang sering mengatakan cinta itu menerima. Tapi kini aku sedikit terpaksa menerima. Tapi bukannya dari keterpaksaan itu aku akan menjadi terbiasa, Bi ? Minggu pertama aku dan dia menjadi pacar hubungan kita merjalan manis semanis dan membahagiakan. Dia selalu mencariku jika aku tak segera membalas pesan singkatnya. Minggu kedua mulai aku rasakan dia berbeda. Seperti rasa kopi yang sudah dingin. Pahit. Tanpa kehangatan yang menagihkan. Beberapa pesan singkatku dibiarkan begitu saja. Didiemin, dianggurin, bisa jadi dilalerin. Berbeda sekali denganmu, Bi. Berat sekali kamu tau itu menjalani suatu hubungan dengan baying-bayang mantan. Hubungan ini berjalan dengan kaki menginjak duri. Pincang ! kalau kamu bertanya bagaimana hubunganku saat ini aku akan berkata dusta. Bahagia ? aku akan menjawab pasti ! Dengan memasang ekspresi wajah imut anak anjing. Hubunganku dengannya berakhir. Bagaimana denganmu ?

Selepas berakhirnya hubungan kita, aku membuat sebuah tulisan tentang penghianatan selama kita menjadi sepasang kekasih. Semacam surat. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menulis surat kepada orang yang telah pergi jauh meninggalkanku. Terlebih kini kudengar kamu menerima perjodohan dengan seorang wanita Bali. Aku mendengarkannya dari temanmu. Dan aku juga mendengar kalian akan segera melangsungkan pernikahan, di Bali. Aku berharap kamu memang benar bahagia dengan pernikahan tersebut.

Habibi, saat pernikahanmu berlangsung aku melakukan sebuah perjalanan menuju Pulau seberang, Bukan Bali. Aku hanya ingin lupa bahwa hari itu adalah hari pernikahanmu. Tas ransel, jeans, sepatu kets, kaos oblong dan hati yang tidak karuan yang aku bawa saat itu. Pada tas ranselku aku menaruh undangan pernikahanmu dan selembar tulisan ini. Pertama aku meminta maaf karena aku mencintaimu hingga saat ini. Kedua aku meminta maaf aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu. Ketiga aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Keempat aku ingin sekali memeluk istrimu. Kelima aku ingin melihat anak-anakmu lahir kelak apakah mirip kamu atau istrimu. Keenam maaf aku memiliki banyak keinginan padamu.

Kita berbanding terbalik pada satu garis lurus pada sudut 90 derajat. Aku dan kamu, Habibi Surya Wiradmaja. Berbahagialah atas pernikahanmu. Aku sedang melakukan perjalanan panjang yang bahkan aku sendiri takut menerka akan seperti apa akhirnya. Kini aku bukan lagi sebuah rumah tempatmu pulang.

Aku mencintaimu

Ketapang

***

Surat ini telah berada di tanganku Nesya Alzahra. Tim SAR memberikan surat ini saat mengevakuasi bangkai kapal yang kau tumpangi. Kau kini diam tak bergerak terbujur kaku dihadapanku. Aku dan istriku datang ke pemakamanmu. Kapal yang kau tumpangi tenggelam saat melintasi Selat Sunda karena hujan badai ketika dalam perjalanan menuju Pulau Sumatra. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya sedang alasanmu pergi ke Pulau Sumatra ketika bertepatan dengan pernikahanku saat itu. Tetapi istriku tidak tahu tentang surat ini. Aku merasakan sangat kehilanganmu, Nes. Kamu menulis tulisan-tulisan itu setiap senja ketika kamu menunggu kepulanganku di Ketapang. Aku paham betul kebiasaanmu hingga saat itu hingga kini. Di jembatan yang bersebelahan dengan pelabuhan. Nes, aku merindukanmu. Fotomu aku lipat kecil terselip rapi di kantong rahasia dompet pemberianmu dulu. Ingin sekali aku berkunjung kerumah orang tuamu hanya untuk sekedar berbela sungkawa secara resmi dan ingin mengenal orang tuamu walaupun kamu sudah di alam yang berbeda denganku kini. Aku memaksa mencintai istriku, Nes. Beberapa tahun rumah tangga kami berjalan masih kami lalui dengan bahagia meskipun tidak sebahagia ketika aku bersamamu dulu. Semakin hari semakin kesini rumah tanggaku banyak mengalami percekcokan. Entah itu untuk urusan kecil, bahkan untuk urusan sepele bisa menjadi besar dan mengganggu pikiranku. Cinta bukan lagi surga dunia. Cinta justru musuh dunia. Kurasa nyaman bersamamu dulu. Hingga saat kujumpai senja yang merah darah barulah aku sadar mencintai yang masih dihantui masa lalu itu percuma.

 


Cerita Nyata

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler