Skip to Content

DKB: MENYOROT SASTRA DI BANTEN DARI KACAMATA PRIBADI*

Foto encep abdullah

Dimuat di (Tangsel Pos, Senin, 2 November 2015)


Oleh Encep Abdullah 

 

Bila Anda bertanya kepada saya tentang Dewan Kesenian Banten (DKB), saya tak akan paham betul apa itu DKB. Saya hanya anak kemarin sore yang nekad ingin masuk ke ranah ini. Tetapi, sebodoh-bodohnya saya tentang itu—tentang kesenian (secara umum)—, saya masih memiliki empati atas segala duka yang terjadi di Banten akhir-akhir ini, terutama sekait menyoal sastra—bidang yang saya geluti. Tentu saja saya prihatin atas segala duka itu, dan saya akan memandangnya dari perspektif saya pribadi.

Geliat sastra di Banten sebenarnya cukup hidup dan signifikan. Salah satunya menjamurnya komunitas-komunitas sastra, misalnya Rumah Dunia dan Kubah Budaya (menyebut beberapa nama). Keberadaan komunitas sastra ini sangat membantu para seniman muda—juga yang tua— untuk bereksistensi dan menggali diri dalam kekaryaan. Akan tetapi, setiap komunitas tentu saja punya ideologi dan visi misi masing-masing. Nah, visi misi ini yang kadang tak sejalur, bahkan berbenturan satu sama lain. Terkadang  (atau bahkan sering) terjadi polemik antarkomunitas per individu dari komunitas tersebut. Dan pada akhirnya, terjadi keributan yang tak berujung pangkal sehingga persoalan hanya berkutat pada wilayah itu-itu saja. Misalnya, polemik golongan seniman tua dan muda. Tua dan muda bagi saya sama saja. Hanya saja ada etika pada wilayahnya, yang muda seharusnya menghormati yang tua, dan yang tua harus mengayomi yang muda sehingga terjadi suatu keharmonisan. Dalam hal ini, ukuran kekaryaan jauh lebih penting ketimbang menyoal usia yang tak menjadi tolok ukur itu.  Ah, harus saya katakan, saya anggap polemik-polemik itu suatu hal yang wajar dalam dunia sastra :beda kepala, ya, beda isi. Tetapi kita juga harus ingat, masih banyak hal yang sebenarnya perlu kita pikirkan masak-masak untuk memajukan sastra di Banten ini secara bersama-sama. Mangkanya, terbentuknya DKB—yang dulu sempat mati suri ini— menjadi salah satu jembatan penghubung untuk menyatukan visi dan misi dalam geliat sastra di Banten itu sendiri agar terciptanya kesenian sastra yang berorientasi pada wilayah sosial secara umum dan bukan lagi pada wilayah politik atau emosional (pribadi).  Lantas, bagaimana orientasi yang ideal itu?

Baik, saya akan soroti dari segi kualitas SDM terlebih dahulu, terutama berkaitan dengan dunia pendidikan. Sebagai guru, saya merasa prihatin atas apa yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini—atau sejak dulu?— yakni guru sekolah atau saya sebut saja guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang masih jauh dari harapan kita semua. Saya pernah menulis di Radar Banten pada 24 Maret 2015 yang lalu berjudul “Pelajaran Mengarang yang Dilematik”. Dalam tulisan itu saya menyoroti guru Bahasa Indonesia yang kurang mengerti sastra. Dan, itu terjadi pada beberapa rekan saya ketika pelatihan kurikulum 2013 kemarin. Sebuah pertanyaan terlontar, “Pak, menilai cerpen itu bagaimana ya? Saya bingung,” ujarnya.

Di sini, saya bukan berlagak sombong. Begini, saya melihat rekan saya itu sepertinya sudah berkepala empat, tetapi ia baru bertanya perihal itu. Bukankah sudah bertahun-tahun ia mengajar, sedangkan saya, masih anak kemarin sore. Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dalam kepala saya terbesit banyak pertanyaan. Loh, kok bisa ya, guru Bahasa Indonesia, apalagi senior yang sudah beruban, bertanya seperti itu. Terus selama ini, pembelajaran di kelas seperti apa? Begitu pun dengan kawan saya yang lain yang selalu menghindar ketika materi sastra, terutama mengarang. Saya hanya bisa mengucap: astagfirullah!

Nah, dalam hal ini, saya sempat kepikiran sesuatu. Bagaimana kalau di Banten ada semacam program khusus “Sekolah Sastra” bagi para guru Bahasa Indonesia. Dan, itu diadakan secara berkala. Kalau bisa peserta dibayar per pertemuan oleh penyelenggara, tetapi tentu saja kepada yang sungguh-sungguh ingin belajar sastra. Hal ini sebenarnya pernah dilakukan oleh sekelompok sastrawan dari Horizon, seperti Taufiq Ismail, Wan Anwar, dan yang lainnya pada tahun 2000—2004 lalu dengan program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Kalau sasaran mereka lebih kepada siswa, dalam hal ini saya menawarkan sasarannya adalah guru. Karena pada dasarnya, siswa yang punya semangat bersastra akan semakin mengeliat lagi bila gurunya pun punya semangat sastra yang tinggi pula.

Saya mengajar di salah satu pesantren. Dan saya bertemu dengan beberapa siswa yang ternyata punya potensi menulis sastra. Bahkan, sebelum saya datang, mereka pernah menjuarai ajang lomba di bidang sastra. Saya merasa sangat bahagia bertemu dengan beberapa siswa tersebut. Pertama, siswa yang memiliki bakat menulis secara otodidak sangat langka. Nah, apalah jadinya mereka bila saya sebagai guru tidak mengerti kala mereka berkonsultasi tentang sastra. Saya yang masih ingusan ini, akhirnya belajar kembali ihwal sastra yang pernah saya dapatkan dibangku kuliah. Saya semakin semangat, siswa pun semakin semangat pula. Ah, bagaimana kalau setiap guru di sekolah merasakan apa yang saya rasakan. Bagaimana kalau siswa-siswa yang berbakat itu tak dibimbing, alangkah ruginya regenerasi yang punya potensi itu didiamkan begitu saja. Saya semakin bersemangat, dan siswa yang lain pun yang tak paham sastra ikut bersemangat sampai kepala sekolah pun ikut semangat pula.

Apa yang bisa disimpulkan dari pengalaman saya itu? Pertama, siswa yang harus dilatih atau kedua, guru yang harus dilatih?

Hemat saya, bila dilakukan seperti SBSB yang sasarannya siswa dalam waktu yang singkat, saya rasa hasilnya tak begitu signifikan. Saya lebih menekankan kepada guru yang diberikan pelatihan dalam program “Sekolah Sastra” tersebut, tentu saja ada hasil akhir: antologi buku atau jurnal. Kegiatan ini akan menghasilkan: Guru Menulis! Kalau sudah begitu, rasanya saya teramat gembira. Artinya, guru mendapat bekal dan hasil yang puas, siswa di sekolah pun bisa mendapatkan ilmu tersebut dari gurunya. Ah, bahagianya bersastra dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, DKB bisa bekerja sama dengan sekolah-sekolah, komunitas sastra, dan instansi semisal Pusat Bahasa (Provinsi Banten) yang menurut saya keberadaannya kurang greget dewasa ini. Semoga itu tak sekadar mimpi!

Hal selanjutnya yang saya soroti adalah peran media massa. Sewaktu saya pertama masuk kuliah sampai lulus, saya begitu bahagia karena di beberapa media Banten (koran) masih terdapat rubrik sastra. Ada peluang bagi generasi muda untuk bereksistensi di media. Sayangnya, itu dulu. Kini, awal tahun 2015, geliat sastra di media massa Banten, redup, bahkan mati. Semisal, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Muda!, Ruang Rekonstruksi, rumahdunia.com dan majalah Surosoan. Dulu, sewaktu media-media itu masih eksis, saya sangat bahagia, terutama siswa saya yang juga bisa eksis di media tersebut. Ya, meski itu bukan tolok ukur kualitas karya, tetapi ada semacam spirit lain: bangga karyanya dibaca orang lain, sehingga terpacu untuk berkarya dan berkarya lagi. Di sisi lain, sebenarnya ketiadaan kolom sastra di media tersebut, memberikan peluang kepada kaum muda (juga tua) untuk lebih bereksistensi lagi di ruang media nasional. Akan tetapi, apakah beberapa penulis berpikiran demikian, saya rasa tidak!  Nah, saya piker ruang-ruang itu harus dibuka kembali sebagai salah satu bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap sastra. DKB punya peluang itu. DKB bisa mengambil alih ruang itu. Semisal, membuat majalah sastra khusus, tetapi berkesinambungan. Jangan sampai berjaya di awal saja. Semangat di awal saja. Atau kalau memiliki finansial yang banyak, DKB bisa membeli kolom dalam media massa di Banten tersebut. Minimal seminggu sekali atau kalau bisa setiap hari. Masak iya, kalah dengan koran Lampu Hijau yang setiap hari memuat puisi cinta (ya, meski kacangan!) Atau kalah dengan semangat Kang Irvan Hq atau Kang Indra Kusumah, yang pada akhirnya menghidpkan kembali ruang sastra di media online: ruangrekonstruksi.co dan biem.co. Barangkali DKB bisa mengambil semangat itu, apalagi ada Kang Indra Kusumah yang ikut serta menjadi timsel DKB.

Hal terakhir yang saya soroti adalah kekaryaan daerah. Saya pribadi sempat berdiskusi dengan salah satu rekan saya, Muhammad Rois Rinaldi, untuk membuat proyek buku puisi Jawa Banten. Ajakan Rois begitu segar. Saya menyanggupi, tetapi dari tahun kemarin, saya belum bisa menyelesaikan sehimpun puisi Jawa Banten saya itu. Nah, saya sempat terpikir, bagaimana kalau DKB melakukan kegiatan itu. Baik dari even lomba ataupun menunjuk beberapa orang untuk melakukan proyek ini. Rasanya,—menurut saya pribadi yang awan ini— saya belum pernah membaca buku puisi khusus berbahasa Jawa Banten atau Sunda Banten. Kalau memang ada, boleh kah saya pinjam? Kalau tidak ada, setidaknya karya yang kelak di antologikan itu bisa menambah khazanah kesusatraan daerah di Banten ini. Ya, meskipun, sudah banyak karya sastra semisal sastra lisan yang ditulisakan seperti yang dilakukan oleh Bapak Firman Venayaksa dengan menugasi mahasiswa dalam mata kuliahnya.

Selanjutnya, bagian terakhir yang soroti adalah diskusi karya. Akan tetapi, rasanya kegiatan seperti ini bisa dilakukan tentatif, kapan pun, di mana pun. Toh, sekarang sudah banyak tempat diskusi yang bisa kita pinjam, nyaman dan aman, semisal di Perpustakaan Daerah Provinsi Banten atau di Rumah Dunia. Hal kecil seperti ini, kadang jangan disepelekan. Karena dari hal kecil, lambta laun bisa menjadi besar. Bukankah DKB kita bagun dari hal-hal kecil terlebih dahulu?

Sebagai simpulan, apa yang saya sampaikan di atas saya rincikan sebagai berikut: (1) relasi komunitas sastra di Banten; (2) SDM Guru Bahasa dan Sastra Indonesia; (3) program “sekolah sastra” bagi pendidik; (4) membuka kembali ruang sastra di media massa (Banten); (5) penyusunan buku sastra berbahasa Jawa dan Sunda Banten; (6) diskusi karya rutin.

Akhir kata, mengapa pada awal tulisan saya katakan sastra di Banten berduka, ya, Anda sebagai pembaca barangkali sudah bisa menangkap sendiri apa yang sudah saya sampaikan di atas. Semoga keenam hal tersebut dapat terealisasikan, kepada siapa pun kepemimpinannya di DKB. Tabik!

 

 

BIODATA PENULIS

Encep Abdullah, penyuka sastra. Tinggal di Pontang.

 

*Tulisan ini dipresentasikan pada 1 Oktober 2015 di Disbudpar Provinsi Banten dalam rangka menjadi calon pengurus Dewan Kesenian Banten (DKB).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler