Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004: “BULAN TERBINGKAI JENDELA” KARYA INDRA TRANGGONO

Foto SIHALOHOLISTICK

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya.

Bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit. Ia diam tak bergerak, seperti terjebak dalam bingkai jendela kamar perempuan itu. Dari dalam kamarnya, perempuan itu menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Suatu kebiasaan yang membuat hatinya tergetar. Kini, bulan itu menari-nari di manik matanya. Menjelma wajah seorang lelaki yang sangat dirindukannya: suaminya, yang jantungnya meledak oleh timah panas pada sebuah zaman yang begitu gelap, begitu kalap, di mana setiap kekuatan dan semangat menjelma menjadi api yang membakar ratusan ribu jiwa hingga tinggal rangka. Memandang bulan itu, ia merasakan ada getaran kerinduan yang mengaliri rongga jiwanya. Kerinduan yang terasa pahit, tapi tetap saja diharapkan hadir memeluknya.

Tapi getaran itu terasa aneh malam itu, tak seperti hari-hari sebelumnya. Perempuan itu menunduk, menimbang-nimang perasaan dengan bimbang. Ia baru saja ditelpon tetangganya yang mengabarkan, Bu Sum meninggal malam ini. Jenazah akan dimakamkan besok jam 14. Berita itu sontak menghidupkan mimpi buruk dalam lipatan-lipatan ingatannya.

Nama Sum begitu melekat di hatinya. Bahkan lebih dari sekadar sahabat. Sahabat? Mendadak ia mempertimbangkan sebutan itu. Sum, yang ia kenal sejak remaja, semula memang teman karibnya. Di balik bintik-bintik jerawat puber pertama dan rambut ekor kuda, ia dan Sum mereguk keceriaan. Mereka menjadi pujaan para jejaka yang masih memelihara jambul pada potongan rambutnya yang lengket dengan minyak rambut dengan aroma menyengat serta dengan celana komprang dari dril.

Salah satu perjaka yang menarik hati mereka adalah Gangsar. Ia datang dari keluarga terpandang: ayahnya priayi dan orang pergerakan. Wajahnya ganteng, tatapan matanya tajam menghunjam, senyumnya indah mengembang, tubuhnya tinggi besar dengan dada bidang. Gangsar juga dikenal pemuda yang penuh semangat. Matanya bersinar ketika ia berdebat bersama kawan-kawannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Didih persaingan politik antarparpol waktu itu membuat orang begitu suka dengan mulut berbusa. Kalimat-kalimat gagah disertai tatapan mata yang berkilat-kilat hampir dimiliki setiap anak muda dari berbagai organisasi yang menjadi underbouw parpol. Mereka bersaing untuk menjadi yang utama buat menentukan “hari depan bangsa”.

Gangsar percaya bahwa lewat kesenian ia mampu ikut mengangkat orang-orang kalah yang tenggelam di lautan lumpur. Setidaknya mampu mengubah tatapan mata mereka yang redup menjadi tatapan mata yang bersinar. Drama-drama yang dipentaskan adalah drama-drama yang penuh kepalan tinju, penuh tanda seru dan sarat teriakan seperti dalam pamflet atau spanduk. Ia menolak sandiwara yang mendayu-dayu, yang baginya tak lebih dari candu yang hanya membikin mental jadi lembek dan layu. Begitulah kelompok sandiwara Gangsar berdetak-berderap seiring dengan kelebat bendera merah darah dengan lambang alat produksi kaum tani dan buruh.

“Asih, kamu mesti tahu, Pembayun itu anak Panembahan Senopati yang dijadikan rantai emas untuk menundukkan Ki Ageng Mangir. Tapi, caramu ngomong mirip orang penyakitan. Tidak ada tenaga. Tidak ada gereget. Ia harus hadir sebagai perempuan yang cerdas, memikat…. Paham?” Gangsar meradang pada latihan sandiwara yang lakonnya diadaptasi dari cerita ketoprak Ki Ageng Mangir.

“Begitu juga kamu, Hardo. Kamu harus tahu. Yang kamu perankan itu Mangir Wanabaya, tokoh besar, pahlawan wong cilik. Dia itu gagah dan sangat berani melawan Senopati yang digdaya, adidaya tapi sewenang-wenang. Kenapa caramu memerankan tak lebih dari orang berdarah tikus!” sergah Gangsar.

Hardo dan Asih terpukul. Dada mereka sesak.

“Maaf kawan Gangsar. Saya ini bukan pemain ketoprak, tapi pemain sandiwara…. Saya kira lakon ini kurang tepat. Bagaimana kalau lakonnya kita ganti saja…,” Hardo memompa nyalinya.

“Diganti? Diganti dengan lakon-lakon borjuis itu? Kita ini pejuang, kawan. Bukan hanya seniman. Apa kata kawan-kawan partai nanti kalau drama kita lembek? Karena itu aku angkat Mangir. Dia itu simbol perlawanan…! Baik, sekarang diulang sekali lagi…. Eh Asih, kalau kamu masih main seperti orang loyo, aku ganti! Paham?”

Perempuan itu tersenyum, mengenang peristiwa lapuk yang mengendap di benak lebih dari 30 tahun lalu. Asih, yang waktu itu masih remaja, hanya bisa menangis. Kata-kata Gangsar lebih dari sekadar kasar. Tapi, kini, ia merasa geli ditikam kenangan yang begitu mengesankan. Ia pun tak menyangka, Gangsar yang sangat garang itu ternyata begitu lembut. Juga ketika ia mengungkapkan cintanya kepada Asih yang tidak menolaknya, karena memang suka. Bahkan ketika Gangsar melamarnya.

Asih tidak tahu, Sum mendadak menghilang dari desa sejak ia menikah dengan Gangsar. Ada yang bilang Sum patah hati karena diam-diam ia juga mencintai Gangsar. Ia tak menduga pernikahan itu menjelma sembilu yang memutuskan tali persahabatan dengan Sum. Asih mengenang semua itu dengan dada sesak. Anak pertama lahir, anak kedua lahir, namun kenangan pahit itu tetap saja menggores.

Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hari itu Gangsar memutuskan menghentikan kegiatan kelompok sandiwaranya untuk sementara. Gangsar lebih banyak rapat dengan orang-orang Lekra, seperti juga malam itu. Rapat itu berlangsung sangat tegang. Kepala-kepala mereka seperti mengepulkan asap kecemasan. Sambil menyeduh kopi di dapur, Asih lamat-lamat mendengar ucapan galau suaminya.

“Gawat. Tentara dan kapitalis-kapitalis birokrat itu sudah menguasai Jakarta! Lambat atau cepat, mereka pasti merangsek kemari. Untuk sementara, kita bekukan kegiatan kita, sampai keadaan normal kembali!” ujar Gangsar gusar.

Empat atau lima orang saling memandang. Tak putus-putusnya mereka menghisap rokok. Ruangan seperti diselimuti kabut. Puntung-putung rokok menggunung di asbak.

“Terus apa yang bisa kita lakukan, kawan Gangsar. Bagaimana kalau kita lari atau…?” ujar seseorang sambil menyulut rokoknya. Menghisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap kuat-kuat.

“Lari? Sejak kapan partai mendidik kita jadi pengecut?” sergah Gangsar dengan mata yang berkilat-kilat.

“Bukan itu maksud saya, kawan. Itu hanya taktik saja. Kita toh tak ingin mati konyol….”

“Mati konyol? Kamu pikir kita ini tidak memperjuangkan apa-apa?! Tiap detik kita hanya memikirkan rakyat. Jiwa kita, rakyat. Darah kita, rakyat. Nafas kita, rakyat! Waktu 24 jam bagi kita tidak cukup untuk memikirkan rakyat, kawan….” Gangsar kembali meradang, dengan tekanan suara yang berat dan pelan.

Ruangan senyap. Detak jam dinding terdengar sangat keras, seiring dengan detak cepat jantung mereka. Gangsar mencoba memompa keberanian kawan-kawannya.

“Usaha kita makin menunjukkan hasilnya, kawan. Lewat seni, partai kita berhasil bikin kawan-kawan tani dan buruh di desa ini punya tatapan mata bertenaga dan punya sinar. Luar biasa, mata mereka tidak lagi loyo, kosong, tapi bersinar. Mereka makin berani dan gagah menatap mata para tuan tanah yang hendak merampas tanahnya. Begitu juga kawan-kawan kita kaum buruh. Mereka makin punya nyali menghadapi para juragan yang memeras tenaganya.”

“Tapi apa benar mereka berpihak pada jalan revolusioner kita, kawan?” seseorang bertopi hitam mencoba menyela.

“Jelas! Kita dan mereka sudah satu nafas!” ujar Gangsar.

“Aku sendiri diam-diam tak begitu yakin. Eee… maksud saya, mungkin selama ini hanya kita saja yang menganggap perjuangan kita ini penting….”

“Kamu telah dirasuki setan-setan borjuis, kawan. Cabut omonganmu!”

Asih berdiri mematung di kamar. Ia menangkap getar kecemasan suaminya di balik gelora semangatnya. Tanpa sadar, jantungnya pun berdetak cepat. Kamarnya yang cukup besar mendadak menyempit. Malam yang dingin, terasa sangat panas. Asih membuka jendela, pelan-pelan. Ketika gorden disibak, ia menatap bulan perak sebesar semangka diam tak bergerak, seolah terjebak dalam bingkai jendela.

Sejak peristiwa malam itu, keadaan makin tak menentu. Malam-yang bisanya bergairah karena suara gamelan dan gelegak anak-anak muda yang sarat kalimat mengkilat-sekadar menjelma kegelapan. Serangga malam berpesta pora suara. Waktu terasa membeku. Angin mati. Ke mana para pemuda itu? Ke mana Gangsar?

Lamunan Asih pecah berkeping ketika pintu rumahnya diketuk orang. Dengan perasaan galau, ia membuka daun pintu. Dalam tempias cahaya lampu, ia melihat wajah seorang laki-laki.

“Mbakyu, tentara-tentara telah memasuki desa kita. Apa pun caranya, Mbakyu harus lari…,” ujar laki-laki itu.

“Di mana Mas Gangsar?”

Laki-laki itu tertunduk.

“Di mana suamiku?”

Laki-laki itu membisu.

“Kamu tahu di mana dia?!”

Angin mati. Waktu membeku.

“Kawan Gangsar tertembak malam tadi. Bersama kawan-kawan partai ia mencoba menghadang pasukan dari kota….” ujar laki-laki itu lirih. Hampir tak terdengar.

Asih terpaku kaku. Ia seperti ada di alam yang aneh, asing. Semua gelap. Sangat gelap. Tubuhnya seperti melayang dalam gelap.

Dengan sisa-sisa kekuatan, ia mencoba beranjak ke kamar. Mencoba membangunkan dua anaknya yang masih tertidur. Namun mendadak pintu rumahnya didobrak. Orang-orang yang tidak dia kenal masuk dan merangsek ke kamarnya. Asih digelandang, diiringi pekik tangis dua anaknya. Dengan mata terbebat kain, ia didorong masuk jeep. Dalam kegelapan mata, ia tak tahu mobil itu bergerak ke mana. Ia hanya merasakan mobil itu melaju begitu cepat.

“Turun!” suara orang mendorong Asih dari jok jeep. Ia berjalan. Kakinya dirasakan menjamah lantai yang dingin. Dengan kasar, seseorang membuka kain yang membebat matanya. Ia digelandang masuk ke dalam. Di koridor bangunan kuno itu, ia berpapasan dengan seorang perempuan. Ia minta berhenti, Otaknya bekerja keras mengingat.

“Sum? Kamu di sini?” ujar Asih pelan.

Perempuan yang dipanggil Sum itu tak menanggapi. Ia cepat berlalu dengan senyum yang dirasakan mengejek. Dua orang laki-laki kembali menggelandang Asih menuju ke suatu ruangan.

“Kamu Lekra kan!!! Ngaku saja!!!” bentak salah seorang dari mereka.

“Saya pemain sandiwara!” jawab Asih.

Benturan pintu besi terdengar sangat keras. Jantung Asih berdetak cepat. Ia masih tertegun, tidak menduga akan bertemu dengan Sum di rumah tahanan itu. Kenapa dia ada di sini? Siapa Sum? Ia mulai menebak-nebak. Tapi rasa penasaran itu tak jadi mekar ketika ia ingat dua anaknya. Gema tangis mereka memenuhi rongga dadanya. Dadanya pun makin terasa sesak, jantungnya terasa diremas ketika ia ingat suaminya.

Pintu sel dibuka. Seorang wanita didorong masuk. Asih kaget, perempuan itu ternyata Wikan, kawannya saat main sandiwara. Mereka berpelukan. Mata mereka basah. Namun, tak ada kata yang terucap. Yang terdengar hanya tarikan nafas mereka. Ketika Asih mampu menguasai perasaan, ia pun berucap pelan, “Kamu tadi melihat Sum di sini?”

Mata Wikan terbelalak, “Dia ada di sini?”

Asih mengangguk.

“Jadi benar kabar itu. Sum telah lama bekerja sama dengan mereka yang menangkap kita…,” ujar Wikan pelan.

Asih terdiam. Ditatapnya dinding sel. Dingin, beku dan angkuh. Ia terpaku di jeruji besi, dibekap perasaan yang campur aduk. Tangannya masih gemetar memegang kisi-kisi sel.

Bulan perak sebesar semangka masih terjebak di bingkai jendela kamar Asih, perempuan paruh baya itu. Tangan Asih masih memegang kisi-kisi jendela. Ditatapnya bulan itu lekat-lekat. Ia seperti menjumpai suaminya yang terbang di antara gumpalan awan.

Ia kembali teringat kabar yang baru saja diterimanya bahwa “Bu Sum telah meninggal dunia”. Wajah Sum hadir kembali. Juga saat ia berpapasan dengan Asih di ruang menuju kamar tahanan lebih dari 30 tahun lalu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam beberapa saat, ia berbenah. Ia raih baju hangat, kemudian keluar kamar. Ia bergegas menuju rumah Bu Sum, yang terletak di ujung jalan desa. Kedatangan Asih membuat tercengang para pelayat. Asih menyalami mereka, menyalami suami, anak-anak Bu Sum. Menyalami handai tolan Bu Sum.

Di depan peti jenazah yang terbuka, ia menatap lekat-lekat wajah Sum yang bulat, seperti bulan sebesar semangka yang terjebak di bingkai jendela kamarnya. Wajah itu terasa damai. Seperti tersenyum kepada Asih. Asih pun membalas senyuman itu. Tangan Bu Sum terasa diulurkan kepadanya. Asih menggenggamnya erat-erat. Seusai berdoa, ia merasakan kehangatan mengalir di rongga dada. Ia merasakan matanya basah.

 

Bantul, Yogya awal Juni 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler