KARTU POS SEBUAH KOTA
bagi: Jean Moulin
Sebuah kota, bayangkan, penuh payung hitam
Murung dan muram
Setiap nama jalan kuhapal, tapi selalu sepatuku
sesat di situ; selalu kapel tua di tikungan
bangku kayu bisu, juga apel membusuk perlahan
di rumputan di tepi taman
Seolah dinujum mimpi, terjadi berulangkali di sini
Beribu mil gigil di belahan bumi yang lain
Cuaca dingin yang sungguh lain
Berulangkali, seorang ibu bersyal biru
dengan anjing kelabu, bertanya padaku
Seperti pengungsi diinterogasi, tak boleh pergi;
Siapa namamu, dari negeri mana asalmu?
Seketika ingin kuputar undur jarum jam
Meninggalkan arang, puing malam,
kemah pesta kaum hitam di pinggir hutan.
Juga raung seram serigala yang geram
Menemukan bayang bulan separuh lebam
berdarah, tenggelam di lubuk yang dalam
Atau ingkar janji; menari liar hingga dini
bersama seorang gadis gipsi
Di ruang bawah tanah, disaksikan sepasang
malaikat bisu, yang hangus tertembus peluru
Terpahat lumut, lekat sepanjang dinding
Kekal jadi tawanan ingatan, jadi teka teki waktu
Tapi kota, bukankah mirip perangai cuaca, tak mau tahu
Siapa yang sungguh bahagia, siapa yang nyata sengsara?
Tak mau peduli; beribu mil aku gigil, tersekap di sini
Bertahan melawan amuk topan, melawan ketakutan
jadi pengungsi tak bisa pergi, tak punya jalan kembali
bahkan hasrat untuk menyelamatkan diri.
Lalu di stasiun, salju bergegas menghapus jejakku
menghapus sebagian ingatanku
Tak ada tiket di loket
hanya jerit peluit
hanya rasa sakit
Sisa bayang kenangan; sisa derit seperangkat alat
pencabut kuku, penyayat kulit, hingga rusuk remuk
serupa serbuk
Di sebuah barak yang sesak, yang tak berjarak
dari setumpuk boneka kikuk, mainan riang kanak-kanak
Dari tungku siksa masa lalu, saksi segala yang dulu jadi abu
Bahkan saat itu kata kata hangus, terhapus panas napas
Juga firman, asma tuhan, doa rahasia
yang disamarkan luka di telapak tangan
musnah kini tinggal rangka, tinggal sayup gema
Kerling bening yang jenaka, bocah nakal yang jenaka
Cuma tersisa di akhir cerita pelipur lara; di mana
tiga penyihir terusir, tiga burung gagak terkutuk sirna
Tiga peri kecil berambut ikal, bersayap terang bintang
terbang riang mengelilingi mahkota nasib kita.
Nyanyi mereka seolah titah tak terbantah; sekali sentuh
jadilah:
Sunyi pun sekejap menjelma roti, getir di bibir jadi anggur
wangi
Tapi di luar dongeng, di kamp yang mencekam
mata bapak terbelalak mata ibu pilu, dihitung dan digiring
Meniru langkah lelah prajurit yang kalah, pesakit yang pasrah
ke sebuah subuh yang ingin teduh
Ke suatu tempat, di mana kini aku sesat, tak tercatat
Tak beralamat, percuma menunggu isyarat selamat
Sia-sia pasrah tengadah ke langit
Bintang kudus hanya milik orang majusi
Bintang naasku sesaat lewat
terisak di ufuk, ingin sekali beralih bentuk
Kekal jadi tawanan ingatan, selalu jadi teka teki waktu.
1998 - 1999
DALAM SIUL ANAK-ANAK
Kelak bila akhir kalimatku
membentuk sungai
Napas angin tercekik
bunga terisak
Seekor kupu menggelepar liar!
Yang manakah gerimis
yang manakah tangis?
Seekor kupu menggelepar liar
di taman nasib masa kanakku
Menyerap mimpi buruk
tak percaya langit terbuka.
Dan seseorang menari dalam lamunan
Memanggil nama kecilku
di taman
Tempat di mana dulu
Tangga sorga sesaat kubayangkan
berayun di awan,
Dan sebuah gubuk mungil
perlahan menjelma di langit
Dalam siul anak-anak
Kelak bila nasib baik menjengukku
Datang menyamar serupa mawar
membisikkan jalan pulang
dan alamat ibuku
Maka maut bersiul dalam gelap
dalam siul anak-anakku
1987
SEMENIT LALU APEL LEPAS PERLAHAN DARI TANGAN
kepada: Arcana
Gampang terkelupas oleh sengat panas
kulit tubuh ini tipis
mestinya bukan batas selapis napas
Semenit lalu, ya semenit lalu, seperti biasa
segelas bir tumpah tak sengaja di atas meja
Setengah mabuk seolah tengah khusuk berdoa
sepasang kekasih saling berbagi bisik
Di dinding remang menulis pesan kenangan
seperti grafiti penuh arti
seakan ingin menjadi kaligrafi penuh janji
bukan tubuh, melainkan ruh yang ingin kusentuh
Ya, semenit lalu, semua bahagia bertegur sapa
bertukar nama dan alamat
Dengan mata uang dilontarkan bergiliran ke udara
sebagian tertawa menghitung peruntungan
Yang lain pura-pura percaya nujuman masa depan.
Di lorong lengang seorang perempuan sawo matang
mencuri ciuman di detik indah yang tak terbayang
Di pantai ikan-ikan riang mencuri cahaya
dari kerlip bintang-bintang
Dua lelaki tua dari dua benua tak henti bercerita
mengenang nasib baik mereka di perang dunia kedua.
Di tengah musik yang gaduh, menahan keluh
semut-semut beriringan mencari jalan pulang
di sela dupa yang letih menyala.
Seperti biasa, ya seperti biasa, sopir taksi tidur
anjing pun lelap tidur, berbagi dengkur
Televisi tak mati mati menayangkan gambar kabur
anak-anak yang mengerang, yang kepalanya remuk
di jalan setapak sebelum yerusalem sebelum bait suci.
Di sini di detik yang sama, ibu muda jelita
pitanya warna warni mimpinya warna warni
bergegas menyeberangi malam
Apel sepotong lepas perlahan dari tangan
lepas bergulingan disentuh embun jalanan
mengering seketika jadi arang di seberang.
Semenit lalu, ya semenit lalu, tak ada
yang ingin lenyap menjadi asap
tak ada yang ingin hilang jadi puing bayang.
Lalu Tuhan; seperti biasa, ya seperti biasa.
2002 - 2003
NOTRE DAME
Kepada : Ali Sugihardjanto
..Kata siapa daging harus
menggenggam duri di bumi
agar paham lagu sorgawi..
Seperti sejengkal sesal dari ajal
gerbang lengang Notre Dame
kubuka perlahan dengan hening doa
Cuma debu, bisikku
Yaa, melulu debu
Tapi itu bukan daging waktu
bukan daging dan darah waktu
Seperti orang-orang
seperti harapan si miskin
dalam remang kuulurkan
dengan bimbang lilin redup10 francs
Aku raba segala yang dulu
ingin kuraba. Aku sentuh
semua yang dulu tak bisa kusentuh:
Oh, gigilnya bulu-bulu salju bulan Januari
Sia-sianya mantel kumal sepanjang musim!
Sepanjang musim tersalib aku di bangku kayu
jadi si tua rabun, senasib malaikat ingkar
yang terusir. Mengharap secercah
cahaya keramat memulihkan penglihatannya.
Cahaya langit menyilaukan yang terpantul
dari kubah kaca aneka warna
biru, hijau, bahkan mungkin tak berwarna
lurus menembus membasuh keruh mata
Menembus samar ingatan suatu senja — saat aku
merasa menyaksikan anak tuhan terpilih
tengadah pasrah; remang jadi bayang
jadi pahatan bisu dinding.
Ah, ngilunya, luka berkarat di lambung
di telapak kaki, di kedua belah tangan!
Pilunya aku, pilunya, semua kini melulu debu
Segalanya melaju cuma jadi remah waktu!
Tapi di katedral ini, raja-raja agung diurapi
orang-orang besar diberkati. Kusentuh kucium
harum wangi jubah mereka
Ujung lidahku terasa pecah, terasa getir
tercecap pahitnya takdir
tercecap amis asin tetes liur si miskin!
Oh, perjamuan terakhir–ratapan
yang dikekalkan sesal di tembok berlumut
Yang dikekalkan di langit
cucuran darah di kening yang berduri
mahkota sunyi sorgamu
Darah yang deras mengalir
menggenangi roti suci tak beragi
remahan nyeri
Bercampur baur di anggur
tetesan pilu tangisku
Suara parau lonceng tua sebelum ajal
memanggil kembali keluh sesal si penyangkal
Berdentang, berdentang lagi tiga kali
menggenapi amar ampunan sepagi ini;
Sakitnya lembut daging menggenggam duri
Nyerinya kini sayat hari digarami asin mimpi!
Maka di kamar kaca pengakuan dosa
Ingin kulunasi hutang piutang kehidupan
Bersamamu mati berkali-kali
bangkit berkali-kali.
Rue Normandie Niemen, Orly. 1998-1999
EFITAP PENYAIR TERLUPAKAN
-- Gimin Artekjursi --
Tak terkubur, duniamu tak terkubur
Di bulan Agustus yang bukan milikmu
kereta-kereta mati
mengiring hari
ke makam tua
mengantar penyair mengusap nisan
dalam isak sajak yang paling rahasia
Ada ibu muda duduk tertunduk
tanpa suara
ada bayi membiru di pangkuan
mengulum ibu jari merah ungu
Roda kereta berderak di kelok setapak
Bukan di mana
bukan ke mana
Tapi di sini nun di lembah pujian ini
padang pun lepas terbuka
begitu luas dibaca
kubur nganga begitu senyap ditatap!
Tangan haus menulis, tangan pipihmu
yang tak mau henti ngembara
kini gemetar melintasi
Malam piatu
bagi semua ibu
yang tersedu
Begitu pucat
rumput tercerabut
membelah sisa dunia yang kau pijak
Namun kertas putih hampa
pena sebatangkara
tak akan percuma menagih nyawa kata
Tak terkubur penyair, namamu tak terkubur.
2000
Nelayan tua nyenyakkah tidurmu di ombak
seharian angankan diri biduk lapuk
letih jadi ikan terbang tak berkawan
Dayung berulang patah, kemudi hilang arah
ah, jala koyakmu mana bisa menjaring
kilau bintang yang paling terang
Tengadah ke awan perlahan
saksikan awan hitam penuh riak
rumput dan bunga berubah warna
bayang-bayang berjatuhan dalam gelap
Sebab hidup cuma sekecup buih
saksikanlah ikan-ikan pengeluh
jiwa-jiwa lunglai putus asa
berkali benturkan tubuh
ke lengang runcing karang
Sebab hidup cuma sekecup buih
hanya sekejap lenyap
ucapkan salam pamitmu
yang paling riang, ucapkan lembut;
Selamat tinggal topi jerami penuh mimpi
selamat tinggal hiu jinak bermata biru!
Tak peduli hanyut jadi biduk lapuk
jadi ikan terbang tak berkawan
Ucapkan salam pamitmu paling riang;
Selamat tinggal dunia riuh penuh keluh
selamat tinggal patung keramat berlumut!
Terbang melayang melintasi laut lain
ombak dan topan lain
melayang sendiri menyusuri senyap
tak peduli meluncur lenyap dalam gelap
Tapi, nyenyakkah tidurmu di ombak
hanyut seumur-umur sendiri?
Ah, sialan, kenapa tak kau angankan
dirimu sesekali jadi tuhan
menari riang di awan tak berkawan.
1990-1992
MATA AIR
Kau impikan aku
menjadi patung letih
Tidur dengan mata layu terbuka
dan mulut pucat menganga
Bertahun mencari sumber air suci
Kendi ini berlumut di bahuku. Kendi itu mimpi;
Aku gali tujuh perigi tujuh sumur keramat
tapi air tak juga memancar
Air itu cermin diri -- Ibu sejati kata-kata
Dewi padi yang diam-diam menyamar
mengalir, mengalirlah genangi sekujur diriku!
Sebab inginku lahir kembali
dari rahim hening ini
serupa dulu di tanganku burung bercumbu
ikan-ikan jinak girang meloncat
Di ujung lembut lidahku
kata merujuk makna. Sederhana
bagai duri membelai nyeri
terang mengusap gelap
Tapi berenang menyeberangi sungai tua
arus deras mana lagi yang menyeretku
Ayahku pohon rimbun berlumut
tak pernah peduli si piatu ini sesat
Tak pernah mengajari bagaimana
akar melilit menyelamatkan diri
dari banjir besar
dari puting beliung segala bencana
Tercerabut aku, tercerabut hanyut!
Lalu seperti nujuman lontar lapuk itu;
Hanya seekor ular hijau
atau setetes cahaya
kelak jadi isyarat di rekah tanah
Di kaki candi tempat tangga batu itu
lurus melaju membawaku ke kilau awan
Membawamu ke sumber asal
ke benih suci -- jalan air mengalir
yang bertahun kau impikan.
Tapi kendi tua itu retak
saat kumasuki sunyi mimpimu
Lalu dengan hati-hati
aku gali perigi dalam diri
Agar kisah ini ditulis dan dibaca lagi
agar dewata tahu bahwa mataku sesat
dan lenyap di langit senyap.
1989 - 1991
JALAN PULANG
Karena laut
sungai lupa
jalan pulang
Kasihku, cahaya redup sesaat
di sela jariku gemetar
Bergoyang riak ini
setiap kali terasa getar di langit dingin
Membuka peta tak terbaca
Silau menyaksikan pulau musnah
di bawah serpihan bintang.
Bintang apa yang tadi lenyap
pohon apa yang tadi menyala.
suara apa berlari di udara beku?
Kukira kau yang selalu diam
berlari sepanjang malam
Seperti batu menangis
meluncur di sungai
tak tahu jalan pulang
1987
BEBERAPA TIKUNGAN LAGI KE BUKITTINGGI
Hatta
Beberapa tikungan lagi ke Bukittinggi
Sepanjang jalan pulang, seperti Binuang muda
Yang sendiri, aku ingin kekal
Menjadi kanak-kanak nakal, jauh dari sesal
Ingat lagu Mande, bisikmu. Bandar-bandar tua
Sekociku oleng dihantam angin sakal
Karam di teluk terkucil
Ingat, Leninggrad, pagar kawat khianat
Badai salju berakhir. Aku berbaris, cemas
Mantel kumalku kelabu meniru abu pada tungku
Aku berbaris, memanggul bedil ke perbatasan
Lunglai bagai buah arbai, berjatuhan di jalan
Bergulingan diseret angin dingin dari selatan
Bernyanyi lirih serupa kanak dulu
Dengan senapan kayu
Mengintai lawan di sebalik perdu:
Owai, sepanjang jalan pulang, pucuk-pucuk cubadak
Buah-buah jatuh tanpa keluh, membusuk jadi rabuk
Jadi bunga tanjung yang harumnya melintasi gunung!
Kawan S tak dikenal, menitipkan selipat surat dan seberkas
identitas. Patriot setengah hati yang akhirnya mati tercekik
ransel sendiri Pelarian kaum partisan diringkus dini hari
Diseret sekarat dan dieksekusi tanpa diadili Jadi arang hutan
lindung Jadi puing benteng terkepung Tertulis di dahi si
mati, manifesto terakhir Perang besar tak akan mungkin lagi
berakhir Owai, payang kakek lapuk terbujuk ombak Di
pesisir pasir berbutir menghitung umur Diseret air lalu sia-
Sia berhenti mengalir Digemakan genta kecil dari jauh, keluh
Binuang pada pedati; Beberapa tikungan lagi sampai ke
tujuan? Letih oleh api revolusi, singgah di dangau petang hari
Mungkin Tan Malaka, kini juga diriku,
berulangkali Melamunkan jalan pintas ke kampung halaman
Owai, pulanglah, buyung, pulanglah. Burung pipit Sunyi
Bunuh diri, jemu meniru nyanyi bansi si mati Di surau,
adakah tanjung tangismu lagi untuk ibu
TUKANG JAGAL SIALAN
kepada: W.S
Tukang jagal sialan, penyu hijau
atau kura-kura batu
dari lubuk teluk mana lagi
yang dungu terpikat meja laknatmu
Dini hari bunyi ngeri tubuh terbelah
dan celoteh riuhmu adalah teror
Dewi teror yang menggedorgedor
kamar sempit rumah siput penyairku
Yang telinganya tuli karena badai pujian
yang matanya kini rabun
bertahun terhisap cahaya senyap bulan
Penyair lalai 1000 tahun ini, kasihanilah oh puisi
kasihanilah ia sia-sia mengais remah kata
Mana sanggup merasakan kulit tipis terkelupas
daging putih suci yang berkilau pilu
Semalaman seperti penujum yang menunggu ilham
berkali ia menimbangulang bunyi mematutmatut arti
mabuk tepuk lalu melolong sendirian di depan cermin
Sakit apakah gerangan, ia resah, demam dirajam
lamunan, membayangkan diri sesat jadi lalat hijau
sekarat hanyut diseret amis darah
dikepung lengking parau tukang jagal sialan
Ia cemas, tibakah kini mautnya; kertas nganga jadi jurang
setiap huruf lenyap segala suara menagih nyawa
Padahal ia hanya ingin berkhayal jadi batu bisu yang kekal
Ia cuma ingin nyaman angankan gaun putri malu-malu
yang tak pernah mau tahu hiasan indah di rambutnya
sepotong tulang pelindung jantung si lugu
Penghuni kerajaan tenteram dasar lautan
Sorga kekal yang didamba penyair lalai 1000 tahunmu!
1994-1996
TENTANG WARIH WISATSANA
Warih Wisatsana lahir di Bandung 20 April 1965. Sekitar tahun 80-an menetap di Bali dan bergabung dengan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali. Pernah diundang dalam Winternachten Festival di Den Haag, Belanda, serta berkeliling Perancis untuk membaca puisi. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis oleh Prof. Dr. A Teeuw, Dr Thomas Huntert, dan Dr. Jean Couteau. Pemegang penghargaan Borobudur Award, Bung Hatta Award ini, setelah 20 tahun masa kepenyairan, baru memiliki satu antologi tunggal yaitu buku ini: Ikan Terbang tak Berkawan (2003).
kumpulan puisi yg melembutkan
kumpulan puisi yg melembutkan hati....ayooo warih ditunggu kumpulan puisinya yg lain
sukses untukmu dik...dunia akhirat
Tulis komentar baru