Skip to Content

MEREKA YANG BERFIKIR DAN MERASA

Foto Ida Bagus Gde Parwita

MEREKA YANG BERFIKIR DAN YANG MERASA

Oleh : Ida Bagus Gde Parwita

Dalam hidupnya seorang filsuf “Socrates” menghabiskan waktunya menjelajahi kota Athena. Baginya : Ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisah – pisahkan satu dengan lainnya. Ia habiskan waktunya untuk bercakap – cakap dan bertanyajawab dengan siapapun juga. Ketika sebuah pertanyaan diajukan kepadanya, mengapa ia tak pernah jalan – jalan keluar kota Athena dan menikmati pemandangan – pemandangan indah di sana, maka  ia menjawab, “Maaf sahabat, pohon – pohon dan pemandangan – pemandangan indah itu tak mengajarkan apa – apa kepadaku”.

Socrates sebagai filsuf ia tak pernah menulis apa – apa. Namanya menjadi terkenal setelah sang murid Aristokles, yang lebih dikenal dengan nama Plato mengabadikan ajaran – ajarannya, hingga pidato pembelaannya “Apologia” dalam pengadilan gaya Athena yang memutus hukum mati dengan minum racun kepadanya.

Seorang filsuf seperti Socrates yang mencari dirinya pada orang – orang yang ia temui harus rela menanggung tuduhan  meracuni fikiran kaum muda dengan ajaran – ajarannya serta ketidakpercayaannya terhadap ketuhanan. Pembandingan dirinya sebagai seorang pemberi bentuk fikiran orang, serta mengusahakan lahirnya gagasan – gagasan baru dengan bertolak pada pekerjaan sang ayah seorang pemahat batu, dan ibunya seorang bidan telah merenggut nyawanya dalam usia tujuh puluh tahun, dalam kekalahan di pengadilan tahun 339 SM, pada perbandingan suara 281 berbanding 220  antara yang mempersalahkan dan tak menyalahkannya.

Pencaharian  diri diantara manusia terkadang berbuah penjerumusan diantaranya. Barangkali inilah yang amat berbeda dengan mereka para pemuja kesunyian. Gunung, Laut yang didatanginya selalu menyambutnya dengan ramah. Pohon – pohon, bunga – bunga dan buah bagaikan sengaja memberi suguhan untuk dinikmati oleh yang datang kepadanya. Kesunyian menjadi jembatan para kawi dalam mewujudkan ciptaannya.

Pencari kebenaran berdasar akal sehat selalu berpegang pada pikiran – pikirannya, Para kawi yang melanglang mencari kesunyian dan keheningan mengutamakan perasaannya, adalah dua hal yang merpengaruhi manusia. Pikiran dan perasaan adalah dua senjata utama yang mesti digunakan. Tiada pemisahan yang harus dilakukan untuk menuju pengertian manusia yang utuh. Pemikiran-pemikiran menjadikan manusia mengerti baik dan buruk, patut dan tak patut. Perasaan menghaluskannya untuk lebih memahami manusia lainnya dan kepekaan situasi jaman.  Seorang yang berfikir tahu bahwa manusia memiliki kekuatan. Ia tahu kalau menjadi peminta – minta itu tak baik, ia tahu bahwa setiap orang harus berjuang untuk hidupnya. Namun ia harus menggunakan perasaannya untuk memahami kesedihan manusia lainnya, ia harus dapat merasakan bagaimana penderitaan manusia lainnya di muka bumi ini. Sebaliknya manusia yang hanya menggunakan perasaannya saja dalam setiap tindakannya akan divonis sebagai orang yang tiada punya ketetapan hati, bahkan mungkin dianggap gila.

Kebebasan fikiran adalah sebebas kehendak manusia. Kebebasan fikiran yang menjelmakan ilmu pengetahuan terkadang menjadi sebuah kealpaan bagi digelarnya sebuah kepercayaan. Ilmu pengetahuan tak menghendaki lahirnya dogma, namun ia akan melahirkan rumus dan hukum – hukum. Betapa manusia menjadi seorang yang egois dan individualis karena keyakinan pikiran akan ditemukannya rumus – rumus dan hukum – hukum itu, yang terkadang kering akan hati nurani.

Dalam perjalanan peradaban manusia yang meyakini adanya kekuatan yang maha agung diluar dirinya, yang harus dihormatinya dengan ketulusan, hal ini terkadang nampak bersebrangan dengan daya jangkau fikiran manusia, sementara ilmu pengetahuan tak sanggup membuktikan keberadaan zat yang maha agung dalam kehidupan nyata ini.

Mpu Kanwa Sang Pengawi Arjuna Wiwaha menjawab bagaimana pikiran dan perasaan itu menyatu pada diri seorang yang bijaksana: “Ambek sang paramartha pandita huwus limpad sakeng sunyata/ tan sangkeng wisaya prayojananira lwir sanggraheng lokika” (Pikiran seorang bijaksana yang telah memperoleh kebenaran yang maha tinggi, telah melewati hakekat kehampaan/ bukan karena indria (nafsu) tujuan beliau, seperti yang telah terbiasa pada masyarakat umumnya). Petikan kakawin Arjuna Wiwaha ini mengisyaratkan bahwa kebijaksanaan itu adalah kebenaran yang maha tinggi yang mesti melewati kehampaan / sunyata, tidak karena keinginan indria yang menjadi tujuannya, dan tidak harus berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat lingkungannya. Ternyata  kalimat yang sederhana ini memberi gambaran betapa seorang yang bijaksana sekalipun tak perlu harus menyimpang dari kaidah yang berlaku dalam lingkungannya, dengan begitu tak akan terjadi pertentangan seperti apa yang dialami Socrates. Walau baginya kebenaran itu bukanlah sesuatu yang sisajikan, apalagi sesuatu yang harus didesakkan kepada orang lain. Perbedaan cara yang karena lingkungan belum dapat menerimanya justru menjerumuskan pada kematiannya.

Kiranya keseimbangan pikiran dan perasaan itulah yang terkadang alpa dijaga, terlebih dalam pertemuan – pertemuan antar manusia yang terkadang cenderung melihat dari alamnya sendiri, apalagi didasari ketidakmauan memahami alam pikir lainnya. Perbedaan pandang, perbedaan latar belakang, bisa lebih menjadikan tak adanya perasaan untuk menghadapi manusia lainnya. Ini yang patut direnungkan.

 


Apologia, pidato pembelaan terhadap Socrates

Komentar

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Mereka Yang Berfikir dan Merasa

Berfikir dan Merasa adalah satu rangkaian yang harus seimbang, tak dapat dipisahkan. Berfikir saja berarti tak punya rasa, merasakan saja tanpa berfikir ya... gila.

Foto Ervi Aisyi Mundiri

pa, ajari bagaiman membuat

pa, ajari bagaiman membuat prosa?

mundiri

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Untuk Ervi Aisyi Mundiri

Terimakasih pertanyaannya, semoga memang telah membaca terlebih dahulu. Soal membuat prosa, secara teori pikirkan temanya, lalu masalah yang akan dikemukakan apa saja (pikiran pokok) tinggal mengembangkan pikiran pokok tersebut. Kira-kira begitu ? sebab prosapun sebagai karangan ada berbagai macam jenis!!! yang penting banyak-banyak membaca, lama-lama pasti mengendap dan bisa muncul ke permukaan.

Foto Ervi Aisyi Mundiri

oke,,, i will try it

oke,,, i will try it :)
terimakasih

mundiri

Foto Steven Sitohang

Maha Guru 'tak beralas kaki. . .

Dicela karena makan terlalu sedikit, Socrates menjawab "aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan". Itulah mengapa ia dianggap bijaksana karena ia tidak menamakan dirinya bijaksana.
Satu karya "berfikir dan merasa" yang sangat indah pak..
aku adalah pengagum para penulis dari Bali atau yang bernuansakan Bali, terutama Ibu Oka Rusmini...

Salam hangat dari Jakarta berdarah Batak.

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Yth. Mas Steven Turhang

Terimakasih komentarnya, semoga kita bisa lebih bijaksana dalam meniti kehidupan

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler