Dibawah gemawan yang menelurkan untaian rinai,
aku memilih pasrah sampai kuyup
dari segala hingar yang menggelayuti,
dari segala bingar yang menjejali.
Biar semua menjelma sayup lalu perlahan hening tak bergeming.
Jadilah aku reranting yang menggugurkan dedaunan,
Luruh sebelum musimnya
yang ikhlas melayang jatuh dihempaskan angin
yang sedia patah meranggas kehilangan angan.
Sang segara biru membisikkan rungu tentang debur, mengajarkan sukma untuk rela ditelan buih, sirna dilahap pasang, hilang dikunyah gelombang.
Katanya, hidup tak melulu seindah terumbu yang mewarna-warni palung hati paling lubuk.
Pun jiwa tak selalu setegar karang yang julang membentang pada ujung teluk.
Akhirnya aku berdiri senyap disana
di jalanan yang tak ada dalam peta,
di kota yang telah lama tak bernyawa,
diantara hitam dan putih, menghuni diam yang abu-abu.
Komentar
Tulis komentar baru