Tiga bulan berlalu aku melangkah menjalani keseharian seperti biasanya dari pertemuanku dengan Pak Mulya di stadion. Meski gelombang rasa yang kualami saat itu hampir-hampir menghempas hidupku, hampir-hampir menitiskan noda hitam dalam hatiku, tapi alhamdulillah masih ada jalan untuk meluruskannya kembali.
Meski sudah terpisah secara fisik dalam keseharian, hempasan riak gelombang dalam bentuk gosip juga sudah seharusnya memisahkan, masukan dari berbagai teman dengan berbagai pertimbangan sudah setiap saat aku terima, tetapi dalam hati kecilku Pak Mulya belum bisa aku bersihkan dari hatiku. Belum bisa. Dan rasanya tidak bisa. Entah kenapa apakah tekadku belum kuat untuk benar-benar ikhlas melepaskannya.
“Mendekati Ramadhan tahun ini, aku akan belajar kembali memperbaiki diri. Aku akan fokus memperbaiki diri soal ketertautan hatiku dengan Pak Mulya,” tekadku dalam hati.
Aku runtut kembali perjalanan hidupku setelah aku dekat dengan Pak Mulya. Aku sadar bahwa aku yang memulai sebuah permainan ini. Ini aku akui. Namun untuk mengakui ini adalah sebuah kesalahan juga sulit karena memang menurutku tak ada salahnya mencintai seseorang, termasuk orang yang sudah beristripun. Yang salah jika nafsu yang mewarnai cintaku hingga merusak rumahtangga orang. Bahkan dalam anganku yang agak gila, aku juga pernah membayangkan menjadi istri keduanya dengan tetap menjaga keharmonisan dengan dengan keluarga yang telah ada. Ya..., itulah yang kemudian menjadi akar cinta yang menancap kuat dalam hatiku.
Kucari cara dan tuntunan untuk menuntun pembersihan hatiku. Aku belajar kembali untuk menata hati. Memang sholatku selama ini alhamdulillah masih cukup istiqamah. Tapi bekas yang kudapat dari sholatku belum bisa membuatku mampu berakhlakul karimah terutama untuk diriku sendiri.
“Kalau hanya sholat, hanya butuh waktu maksimal limabelas menit sudah termasuk dzikir dan doa. Aku perlu mengembangkan kegiatan lain untuk membunuh sepi. Karena banyak waktu kosong menyebabkan aku berkhayal yang ndak-ndak,” bisikku dalam hati.
“Yah... akan kusibukkan diri selama ramadhan dengan tetap menjalankan tugas-tugas utama,” bisikku menguatkan tekad.
Aku inventarisir kemungkinan kegiatan untuk mengisi waktu. Sambil menambah incomne aku akan belajar membuat karya yang mudah, murah dan dibutuhkan.
“Bunga-bunga meja yang sudah berkembang tetap aku pertahankan dan aku tingkatkan. Terus apalagi ya yang sekiranya bisa mengisi waktu luang?” tanyaku pada diriku sendiri dalam hati.
“Waktu aku ke perpus Pak Mulya, sebelah warung depan perpus aku melihat beberapa remaja seperti membuat aneka bros. Kelihatannya asyik dan bisa ditiru. Tapi... aku juga harus belajar dulu dengan melihat dari dekat,” lanjutku mengangan-anagan.
Seminggu sebelum puasa Ramadhan aku belum bisa memutuskan mau menambah kegiatan produktif apa selama Ramadhan. Disamping karena ketrampilan dan keyakinan belum mantab, juga tepat membuat laporan akhir bulan.
Di waktu longgarku siang itu aku meneruskan pengelanaanku mencari alternatif tambahan kesibukan dan sekaligus bisa menambah income. Tiba-tiba hp yang kuletakkan agak jauh berdering.
“Oh...istrinya Pak Mulya. Jangan-jangan ngerti ulah tingkahku beberapa saat yang lalu. Ku angkat dak ya!” tanyaku dalam hati.
Aku biarkan telepon itu sampek tiga kali. Tapi perasaanku juga malah ndak enak membiarkan orang yang maenghungi siang-siang ini. Jangan-jangan penting. Aku tunggu sebentar, kemudian aku telepon balik.
“Assalamu’alaikum,” WatsApp Call ku membuka percakapan dengan istri Pak Mulya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab beliau.
“Maaf bu, tadi saya pas di belakang,” lanjutku.
“Mbak Wulan kok lama ndak muncul ya. Di mana aja,” tanya istri Pak Mulya meneruskan pembicaraan.
“Sebenarnya ndak ke mana-mana bu, tapi karena sekarang tempat kerjaku agak jauh rasanya waktu kian sempit,” jawabku.
“O ya. Apa sibuk sekali ya. Terutama selama Ramadhan nanti,” tanya istri Pak Mulya lebih lanjut.
“Kelihatannya biasa-biasa saja bu Ada apa bu?” tanyaku penasaran.
“Gini mbak, saya kan dapat pesanan buka bersama sekitar duapuluh hari selama Ramadhan. Dan itupun ada yang sehari dua tempat. Yang pesan sebagian besar juga di kota. Kalau bisa melonggarkan waktu, saya suruh bantu,” jawab istri Pak Mulya.
“Pulang saya kan sudah sore bu. Gimana ya?” tanyaku menegaskan.
“Gini mbak, karena menyangkut makanan, tim saya yang membuat sayur dan lauknya. Terus mbak wulan mencari teman untuk menanak nasinya. Jadi nanti yang wilayah kota Mbak Wulan yang bertanggungjawab,” lanjut istri pak Mulya menjelaskan via telepon.
“O...gitu. Insya Allah bu kalau seperti itu. Selambatnya dua hari sebelum puasa saya tak keoordinasi ke rumah,” jawabku.
“Ya Mbak, saya tunggu ya. Makasih,” jawab istri Pak Mulya
“Sama-sama Bu,” balasku.
“Makasih ya. Assalamu’alaikum,” balas istri Pak Mulya.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku menutup pembicaraan via telepon.
Aku diam dan termenung sambil menundukkan kepala ke meja kerja serta menghirup nafas dalam.
“Ini tantangan, tapi juga jalan kebaikan,” bisikku dalam hati
“Tantangan, karena jelas aku akan sering ketemu kembali dengan Pak Mulya, yang bisa jadi akan menggagalkan tekadku untuk membersihkan hati,” bisikku dalam hati selanjutnya.
“Tapi biarlah. Entah gimana nanti hasilnya,” bisikku halan hati kemudian sambil menghela nafas dan mengangkat kepalaku dari meja kerja.
“Alhamdulillah, mungkin ini memang jalan rejekiku dan tidak harus kutolak,” ucapku lirih.
Seperti yang aku janjikan, aku datang ke rumah Pak Mulya dua hari jelang puasa Ramadhan. Tidak bisa kupungkiri, mulai persiapan berangkat hatiku mulai kambuh kembali melamunkan Pak Mulya. Tidak bisa tidak, itu memang manusiawi. Yang penting bagaimana selanjutnya aku harus memanaj hatiku agar dapat terkendali dan tetap seperti tak pernah ada apa-apa dengan Pak Mulya.
“Wulan...! Alhamdulillah,” sapa Pak Mulya di depan rumah ketika aku sampai di rumahnya.
“Ibu ada pak?” tanyaku.
“Ada! Langsung masuk aja. Ini tak neruskan bersih-bersih,” jawab Pak Mulya sambil senyum dan menatapku.
“Assalamu’alaikum. Bu...!” sapaku pada istri Pak Mulya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab istri Pak Mulya
“Ayo masuk mbak,”lanjut istri pak Mulya.
“Ini mbak. Ini tadi malam dah saya othak-athik dan juga sasaran yang harus dilayani serta jadwalnya,” sambung istri Pak Mulya sambil menunjukkan buku catatan.
Aku hanya mengangguk-angguk sambil mencermati buku cacatan itu meski belum terlalu detail.
Saat aku sedang serius bersama istri Pak Mulya membicarakan bisnis itu, tiba-tiba Pak Mulya berdiri di antara kami berdua.
“O , lah. Itu yang katanya pesanan buka bersama to,” sela Pak Mulya memotong konsentrasi kami.
“Ya gini aja. Lebih mudah, Wulan mencari teman dua atau tiga orang untuk mengerjakan. Jadi lebih ringan dan yang penting meskipun sedikit bisa bagi-bagi kebahagian,” lanjut Pak Mulya mengusulkan.
“Iya pak. Saya tadi juga berfikir seperti itu,” jawabku sambil menatap wajah Pak Mulya.
Setelah istri Pak Mulya menjelaskan secara lebih rinci tenta proses sampai pembagian keuntungan, aku istirahat sebentar dan terus mohon diri untuk pulang.
“Oya, sebentar...! Nanti untuk kardus dibelikan sesuai keterangan di catatan tadi ya. Trus untuk Stiker kapan hari tak ampirkan ke kantor. Dan jangan lupa foto rekeningnya,” ujar istri Pak Mulya.
“Insya Allah bu,” jawabku
“Saya pamit dulu Bu...Pak... Terimakasih banget telah diberi kesempatan. Assalamu’alaikum,” lanjutku sambil berdiri dari kursi.
“Kukira tidak mungkin istri Pak Mulya tidak mengerti kalau aku memiliki hubungan khusus dengan Pak Mulya. Tapi kenapa ya kok malah mendekatiku. Terhadap Pak Mulya sendiri juga nampak tidak marah,” bisikku dalam hati sambil perjalanan pulang.
“Kok ada ya, orang seperti itu. Kalau wanita yang lain bisa jadi sudah menghabisiku atau paling tidak menghabisi karakterku. Aku jadi malu dengan diriku sendiri. Aku makin kurang enak kalau terus begini,” bisikku selanjutnya dalam hati.
Waktu terus berlalu. Perjalanan Ramadhan dengan paduan kesibukan kerja rutin sebagai tenaga honorer, tetap berjalannya pesanan bunga-bunga meja yang meningkat hadapi hari raya, dan tambahan pemenenuhan peluang penambah rejeki dari Istri Pak Mulya, serta butir-butir ibadah siang maupun malam hari, kian memberikan nuansa baru dalam rasa, fikir, dan pelilaku yang aku alami. Target yang kuangankan memang belum mencapai seratus persen tergapai. Tapi paling tidak aku merasakan peningkatan dalam dimensi finansial, fikir, maupun suasana hati.
Pemenuhan pesanan buka puasa yang dilimpahkan padaku dari istri pak Mulya terselesaikan memasuki malam duapuluh tujuh. Pak Mulya beserta istri ke rumahku satu jam sebelum maghrib tiba di duapuluh enam Ramadhan saat itu.
“Sebagai penutupan kerjasama kita, sengaja kami ke sini,” ujar Istri Pak Mulya.
“Kami menyampaikan rasa terimakasih, kalau ada yang masih kurang natin bisa kita selesaikan, dan bilamana selama kerjasama ini berlangsung ada yang kurang berkenan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya,” lanjut istri Pak Mulya yang berdiri di depanku dan belum sempat aku suruh masuk rumah.
Pak Mulya menyusul dengan membawa bungkusan rapi yang dikeluarkan dari bagasi mobil. Aku dan Istri Pak Mulya menatap sambil berdiri berdampingan.
“Ini sekedar penanda lebaran. Ya, sekedarnya,” ujar Istri Pak Mulya sambil menyerahkan bungkusan yang telah diterima dari Pak Mulya.
Aku masih belum bisa menjawab apapun sampai beberapa saat. Aku diam sambil memegang bungkusan yang di berikan istri Pak Mulya. Tanpa sadar bitir air mataku menetes.
“Terimaksaih Bu,” jawabku sambil memeluk istri Pak Mulya.
Suasana hening sejenak karena keharuanku membawaku berurai air mata. Sekali lagi aku merasa malu pada diriku sendiri. Orang yang mestinya sakit karena mendengar perbuatanku justru menghargaiku dengan cara yang menurutku diluar kewajaran manusiawi.
“Jangan dinilai besarnya ya. Karena hari ini itulah yang mampu kami berikan. Tetap kita jaga silaturrahim meski dalam situasi hati bagaimanapun dan situasi apapun. Setelah ini kami pamitan karena siang tadi ketiga anak kami sudah kumpul di rumah,” lanjut istri Pak Mulya sambil melepas pelukanku.
“Ya bu. Terimakasih banyak,” jawabku singkat dengan tetap berdiri campur haru hari melepas Pak Mulya beserta istri.
Aku tidak tahu dan tidak mengerti sama sekali semuanya berjalan seperti ini. Aku hanya bisa menerima apa yang bisa kutangkap dengan dengan mata. Mata batinku masih begitu buta untuk bisa mengerti semua kejadian karena memang bagiku semua berjalan di luar jangkauan fikiranku.
Aku segera membawa bungkusan itu ke dalam kamar dan langsung membukanya. Di dalamnya bungkusan besar itu terdapat bungkusan yang dibungkus dengan rapi pula. Dan di dalam bungkusan rapi yang kedua itu ada dua bungkusan kecil.
Tanpa mempedulikan waktu aku buka satu persatu bungkusan kecil. Karena rasa penasaran yang berpadu dengan kegembiraan sampai aku sampai tak menyadari kalau waktu berbuka telah berlalu hampir limabelas menit, sampai-sampai ibuku meningkatkan kalau waktunya buka puasa.
Kutinggalkan sementara bukusan yang telah kubuka itu dan kutinggal buka puasa dan sholat maghrib. Bungkusan pertama dengan sampul biru yang berisi busana muslim lengkap, disertai tulisan pada kertas selebar kartu nama dan hanya dibubuhi tulisan, “Mudah-mudahan sesuiai selera. TTD Bu Ari/Ny. Mulya).” Sementara bungkusan kedua berisi mukena merah muda dengan aksesoris cukup menarik disertai tulisan pada amplop tertutup.
Hatiku berdebar dan penasaran. “Ada apakah ya di dalamnya,” bisikku dalam hati.”
Aku menunda membuka amplop itu meski dengan rasa penasaran. Khayalku menembus seluruh peristiwa masa lalu saat episode perjalanan hidupku begitu lekat dengan Pak Mulya.
“Jangan-jangan ada sesuatu yang ditulis Pak Mulya ya.,” bisik hatiku sambil menatap kosong tembok-tembok kamarku.
Adzan isyak telah berkumandang. Hatiku begitu galau karena pengaruh khayalku yang begitu jauh melewati batas-batas kenyataan. Akan kutunda membuka amplop hatiku dah ndak betah dan membayangkan entah apa yang tertulis di dalamnya, tapi jika segera kubuka juga aku takut akan membuat aku larut dengan isinya. Sebab aku cukup mengerti kalu Pak Mulya telah menulis dengan pilihan kata yang puitis mesti menyeretku ke dunia khayal yang sulit aku hapuskan.
Aku memilih tidak jamaah isyak dan tarwih dari pada hati dan fikiranku tidak bisa konsentrasi. Ya... yang jelas konsentrasiku ternggu. Sebab aku coba mau sholat isyak sendirian di kamar aja baru takbiratul ikram sudah hilang fokus.
Kurelakan menunda sholat. Aku buka aja amplop tertutup yang menyertai mukena merah muda. Kubuka pelan dengan hati yang gemetaran. “Benar! Tulisan puitis Pak Mulya,” bisikku sambil membuka sepintas isi amplop itu.
Wulan!
sebelum kau baca apa yang hendak aku goreskan
beningkan dulu hati dan fikiran
karena hati yang fikiran yang bening
akan mampu menangkap dengan kebeningan
dari setiap butir kata yang hendak aku persembahkan
sebaliknya,
apabila hati dan fikiran dalam kendali emosi, nafsu,
ketidaksenangan ataupun kesenangan yang terlalu
maka yang engkau tangkap bisa jadi keruh”
Wulan,
jika penanda dalam bentuk bingkisan ini
datang bersama idul fitri
bukan karena sengaja sebagai hadiah lebaran
tapi akupun tak tahu mengapa harus kusampaikan saat ini
mungkin hanya sebuah ketepatan
yang kita sendiri tak tahu kenapa ketepan itu terjadi
seperti ketepatapan-ketepatan sebelumnya
kita hanya bisa mengambil hikmah darinya”
Wulan,
sengaja aku pilih mukena merah muda
warna yang begitu engkau sukai di samping warna lain
karena aku pernah menatapmu
dengan warna itu auramu bigitu anggun
tapi mohon maaf jika pilihan warna itu
masih kurang begitu selaras denganmu”
Wulan,
sengaja aku pilih mukena
agar dalam doaku aku menyelimuti sujudmu
agar sujudmu dalam tetap kuselimuti
tidak seperti kalung penanda di lehermu yang kusematkan
sebagai simbol lahiriah penuh kemilauan
mukena ini
semoga menjadi penanda batiniah yang landai
yang jika benih cinta kita semai tak bisa kita lerai
namun menghadirkan suasana hati dalam dekapan Illahi”
Wulan,
penanda mukena merah muda yang sengaja aku sampaikan
sekali lagi bukan pengikat
tapi jadikan hanya sebuah penanda
yang akan menjadi titik awal kita masaki episode berikutnya
episode hidup berikutnya
karena memang hidup ini harus kita lalui episede demi episode
dan bilamana episode yang akan kita jalani berbeda
berbeda fisik dan berbeda suasana hati
maka jadikan mukana ini
sebagai simpul yang membawa hikmah
sebab kita telah sama-sama belajar
bahwa setiap langkah tetap bermakna
Aku bergetar memagang kertas dengan tulisan Pak Mulya. Entah kenapa tanpa terasa air mataku mengalir deras hampir tak bisa kubendung meski tak ada suara tangis turut mewarnai. Dan akhirnya akupun tertidur di atas sajadah yang belum aku gunakan untuk sholat.
Komentar
Tulis komentar baru