Skip to Content

Diam-diam Kuuntai Kasih XI

Foto Cahyamulia

Tiga bulan berlalu aku melangkah menjalani keseharian seperti biasanya dari pertemuanku  dengan Pak Mulya di stadion. Meski gelombang rasa yang kualami saat itu  hampir-hampir menghempas hidupku, hampir-hampir  menitiskan  noda  hitam  dalam  hatiku, tapi alhamdulillah masih ada jalan untuk meluruskannya kembali.

Meski sudah terpisah  secara fisik dalam keseharian, hempasan riak gelombang dalam bentuk gosip  juga sudah seharusnya memisahkan, masukan dari  berbagai  teman dengan berbagai pertimbangan sudah  setiap saat aku terima, tetapi dalam hati kecilku Pak Mulya belum bisa aku bersihkan dari hatiku. Belum bisa. Dan rasanya tidak bisa. Entah kenapa apakah tekadku belum kuat untuk benar-benar ikhlas melepaskannya.

“Mendekati Ramadhan tahun ini, aku akan belajar kembali memperbaiki diri. Aku akan fokus memperbaiki diri soal  ketertautan  hatiku dengan Pak Mulya,” tekadku dalam hati.

Aku  runtut kembali perjalanan hidupku setelah aku dekat dengan Pak Mulya.  Aku sadar bahwa aku  yang  memulai  sebuah permainan ini. Ini aku akui. Namun  untuk  mengakui ini adalah sebuah kesalahan juga sulit karena memang menurutku tak ada salahnya mencintai seseorang, termasuk  orang  yang  sudah  beristripun. Yang salah jika nafsu yang mewarnai cintaku hingga merusak rumahtangga orang. Bahkan dalam anganku yang agak gila, aku juga pernah membayangkan menjadi istri keduanya dengan tetap menjaga keharmonisan dengan dengan keluarga yang telah ada. Ya..., itulah yang kemudian menjadi akar cinta yang menancap kuat dalam hatiku.

Kucari cara dan tuntunan untuk menuntun pembersihan  hatiku. Aku belajar kembali untuk menata hati. Memang sholatku selama ini alhamdulillah masih cukup istiqamah. Tapi bekas yang kudapat dari sholatku belum bisa membuatku mampu berakhlakul karimah terutama untuk diriku sendiri.

“Kalau hanya sholat, hanya butuh waktu maksimal limabelas menit sudah termasuk dzikir dan doa. Aku perlu mengembangkan kegiatan lain untuk membunuh sepi. Karena banyak waktu kosong menyebabkan aku berkhayal yang ndak-ndak,” bisikku dalam hati.

“Yah... akan kusibukkan diri selama ramadhan dengan tetap menjalankan tugas-tugas utama,” bisikku menguatkan tekad.

Aku  inventarisir  kemungkinan  kegiatan  untuk mengisi waktu. Sambil  menambah  incomne aku akan  belajar  membuat karya yang mudah, murah dan dibutuhkan.

“Bunga-bunga meja yang sudah berkembang tetap aku  pertahankan dan aku tingkatkan. Terus apalagi ya yang sekiranya bisa mengisi waktu luang?” tanyaku pada diriku sendiri dalam hati.

“Waktu aku ke perpus Pak Mulya, sebelah warung  depan perpus aku  melihat  beberapa  remaja  seperti membuat aneka bros. Kelihatannya asyik dan bisa ditiru. Tapi... aku juga harus belajar dulu dengan  melihat dari dekat,” lanjutku mengangan-anagan.

Seminggu  sebelum puasa Ramadhan aku belum bisa memutuskan mau menambah kegiatan produktif apa selama Ramadhan. Disamping karena ketrampilan dan keyakinan belum mantab, juga tepat membuat laporan akhir bulan.

Di waktu longgarku siang itu aku meneruskan pengelanaanku mencari alternatif tambahan kesibukan dan sekaligus bisa menambah income. Tiba-tiba hp yang kuletakkan agak jauh berdering.

“Oh...istrinya Pak Mulya. Jangan-jangan ngerti ulah tingkahku beberapa saat yang lalu. Ku angkat dak ya!” tanyaku dalam hati.

Aku biarkan telepon itu sampek tiga kali. Tapi perasaanku juga malah ndak enak membiarkan orang yang maenghungi siang-siang ini. Jangan-jangan  penting. Aku tunggu sebentar, kemudian aku telepon balik.

“Assalamu’alaikum,” WatsApp Call ku membuka percakapan dengan istri Pak Mulya.

“Wa’alaikumussalam,” jawab beliau.

“Maaf  bu, tadi saya pas di belakang,” lanjutku.

“Mbak Wulan  kok  lama ndak muncul ya. Di  mana aja,” tanya istri Pak Mulya meneruskan pembicaraan.

“Sebenarnya ndak ke mana-mana bu, tapi karena sekarang tempat kerjaku agak jauh rasanya waktu kian sempit,” jawabku.

“O ya. Apa sibuk sekali ya. Terutama selama Ramadhan nanti,” tanya istri Pak Mulya lebih lanjut.

“Kelihatannya biasa-biasa saja bu Ada apa bu?” tanyaku penasaran.

“Gini mbak, saya kan dapat pesanan buka bersama  sekitar duapuluh hari selama Ramadhan. Dan  itupun  ada yang sehari dua tempat. Yang pesan sebagian besar juga di kota. Kalau bisa melonggarkan waktu, saya suruh bantu,” jawab istri Pak Mulya.

“Pulang  saya kan sudah sore bu. Gimana ya?” tanyaku  menegaskan.

“Gini mbak, karena  menyangkut  makanan, tim saya yang membuat sayur dan lauknya. Terus mbak wulan mencari teman untuk menanak nasinya. Jadi nanti yang wilayah kota Mbak Wulan yang bertanggungjawab,” lanjut istri pak Mulya menjelaskan via telepon.

“O...gitu. Insya Allah bu kalau seperti itu. Selambatnya dua hari sebelum puasa saya tak keoordinasi ke rumah,” jawabku.

“Ya Mbak, saya tunggu ya. Makasih,” jawab istri Pak Mulya

“Sama-sama Bu,” balasku.

“Makasih ya. Assalamu’alaikum,” balas istri Pak Mulya.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku  menutup pembicaraan via telepon.

Aku diam dan termenung  sambil menundukkan kepala ke meja kerja serta menghirup nafas dalam.

“Ini tantangan, tapi juga jalan kebaikan,” bisikku dalam hati

“Tantangan, karena jelas aku akan sering ketemu kembali dengan Pak Mulya, yang bisa jadi akan  menggagalkan tekadku untuk membersihkan hati,” bisikku dalam hati selanjutnya.

“Tapi biarlah. Entah gimana nanti hasilnya,” bisikku halan hati kemudian sambil menghela nafas dan mengangkat kepalaku dari meja kerja.

“Alhamdulillah, mungkin ini memang  jalan  rejekiku dan tidak harus kutolak,” ucapku lirih.

Seperti yang  aku janjikan, aku datang  ke rumah Pak Mulya dua hari jelang  puasa  Ramadhan. Tidak bisa kupungkiri, mulai persiapan berangkat hatiku  mulai  kambuh  kembali  melamunkan Pak Mulya. Tidak bisa tidak, itu memang manusiawi. Yang penting bagaimana selanjutnya aku harus memanaj  hatiku agar dapat terkendali dan tetap seperti tak pernah ada apa-apa dengan Pak Mulya.

“Wulan...! Alhamdulillah,” sapa Pak Mulya di depan rumah ketika aku sampai di rumahnya.

“Ibu ada pak?” tanyaku.

“Ada! Langsung masuk aja. Ini tak neruskan bersih-bersih,” jawab Pak Mulya sambil senyum dan menatapku.

“Assalamu’alaikum. Bu...!” sapaku pada istri Pak Mulya.

“Wa’alaikumussalam,” jawab istri Pak Mulya

“Ayo masuk mbak,”lanjut istri pak Mulya.

“Ini  mbak. Ini  tadi  malam  dah  saya othak-athik dan juga sasaran yang harus dilayani serta jadwalnya,” sambung istri Pak Mulya sambil menunjukkan buku catatan.

Aku hanya mengangguk-angguk sambil mencermati buku cacatan itu meski belum terlalu detail.

Saat aku sedang serius bersama istri Pak Mulya membicarakan bisnis itu, tiba-tiba Pak Mulya berdiri di antara kami berdua.

“O , lah. Itu yang katanya pesanan buka bersama to,” sela Pak Mulya memotong konsentrasi kami.

“Ya gini aja. Lebih mudah, Wulan mencari teman dua atau tiga orang untuk mengerjakan. Jadi lebih ringan dan yang penting meskipun sedikit bisa bagi-bagi kebahagian,” lanjut Pak Mulya mengusulkan.

“Iya pak. Saya tadi juga berfikir seperti itu,” jawabku sambil menatap wajah Pak Mulya.

Setelah istri Pak Mulya menjelaskan secara lebih rinci tenta proses sampai  pembagian  keuntungan, aku  istirahat sebentar dan  terus mohon diri untuk pulang.

“Oya, sebentar...! Nanti untuk kardus dibelikan sesuai keterangan di catatan tadi ya. Trus untuk Stiker  kapan hari tak ampirkan ke kantor. Dan jangan lupa foto rekeningnya,” ujar istri Pak Mulya.

“Insya Allah bu,” jawabku

“Saya pamit dulu Bu...Pak... Terimakasih banget telah diberi kesempatan.  Assalamu’alaikum,”   lanjutku sambil berdiri dari kursi.

“Kukira tidak mungkin istri Pak Mulya tidak mengerti kalau aku memiliki  hubungan  khusus  dengan Pak Mulya. Tapi  kenapa ya  kok malah mendekatiku. Terhadap Pak Mulya sendiri juga nampak tidak marah,” bisikku dalam hati sambil perjalanan pulang.

“Kok ada ya, orang seperti itu. Kalau wanita yang lain bisa jadi sudah menghabisiku atau  paling  tidak menghabisi karakterku. Aku jadi malu dengan diriku sendiri. Aku makin kurang enak kalau terus begini,” bisikku selanjutnya dalam hati.

Waktu  terus berlalu. Perjalanan Ramadhan dengan paduan kesibukan  kerja  rutin  sebagai tenaga honorer, tetap  berjalannya  pesanan bunga-bunga meja yang meningkat hadapi hari raya, dan tambahan pemenenuhan peluang penambah rejeki dari Istri Pak Mulya, serta butir-butir  ibadah siang maupun malam hari, kian memberikan nuansa baru dalam rasa, fikir, dan pelilaku yang aku alami. Target yang  kuangankan memang belum mencapai seratus persen tergapai. Tapi paling tidak aku merasakan  peningkatan dalam dimensi  finansial, fikir, maupun suasana hati.

Pemenuhan  pesanan  buka  puasa yang dilimpahkan padaku dari istri pak Mulya terselesaikan  memasuki  malam  duapuluh tujuh. Pak Mulya beserta istri ke rumahku satu jam  sebelum  maghrib tiba di duapuluh enam Ramadhan saat itu.

“Sebagai  penutupan  kerjasama kita, sengaja kami ke sini,” ujar Istri Pak Mulya.

“Kami menyampaikan rasa terimakasih, kalau ada yang masih kurang natin bisa kita selesaikan, dan bilamana selama kerjasama ini berlangsung ada yang kurang berkenan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya,” lanjut  istri Pak Mulya yang berdiri di depanku dan belum sempat aku suruh masuk rumah.

Pak Mulya menyusul dengan membawa bungkusan rapi yang dikeluarkan dari bagasi mobil. Aku dan Istri Pak Mulya menatap sambil berdiri berdampingan.

“Ini sekedar penanda lebaran. Ya, sekedarnya,” ujar Istri Pak Mulya sambil menyerahkan bungkusan yang telah diterima dari Pak Mulya.

Aku  masih belum bisa menjawab apapun sampai beberapa saat. Aku diam  sambil  memegang  bungkusan yang di berikan istri Pak Mulya. Tanpa sadar bitir air mataku menetes.

“Terimaksaih Bu,” jawabku sambil memeluk istri Pak Mulya.

Suasana  hening  sejenak  karena keharuanku membawaku berurai air mata. Sekali lagi aku merasa malu pada diriku sendiri. Orang yang mestinya sakit  karena  mendengar  perbuatanku justru menghargaiku dengan cara yang menurutku diluar kewajaran manusiawi.

“Jangan dinilai  besarnya ya. Karena hari ini itulah yang mampu kami berikan. Tetap kita jaga silaturrahim meski dalam situasi hati bagaimanapun dan situasi apapun. Setelah ini kami pamitan karena siang tadi ketiga anak kami sudah kumpul di rumah,” lanjut istri Pak Mulya sambil melepas  pelukanku.

“Ya bu. Terimakasih banyak,” jawabku singkat dengan tetap berdiri campur haru hari melepas Pak Mulya beserta istri.

Aku  tidak  tahu dan  tidak  mengerti  sama sekali semuanya berjalan seperti ini. Aku hanya bisa menerima apa yang bisa kutangkap dengan dengan mata. Mata batinku  masih begitu buta untuk bisa mengerti semua kejadian  karena memang  bagiku semua berjalan di luar jangkauan fikiranku.

Aku segera membawa bungkusan  itu ke dalam  kamar dan  langsung membukanya. Di dalamnya bungkusan besar itu terdapat bungkusan yang dibungkus dengan  rapi  pula. Dan di dalam bungkusan rapi yang kedua itu ada dua bungkusan kecil.

Tanpa  mempedulikan waktu aku  buka satu persatu bungkusan kecil. Karena rasa penasaran yang  berpadu dengan  kegembiraan sampai aku sampai tak menyadari kalau waktu berbuka telah berlalu hampir limabelas menit, sampai-sampai  ibuku  meningkatkan  kalau waktunya buka puasa.

Kutinggalkan sementara bukusan yang telah kubuka  itu dan kutinggal buka puasa dan sholat maghrib. Bungkusan pertama dengan sampul biru yang  berisi busana muslim lengkap, disertai tulisan  pada kertas  selebar  kartu  nama dan  hanya dibubuhi  tulisan, “Mudah-mudahan sesuiai selera. TTD Bu Ari/Ny. Mulya).” Sementara  bungkusan kedua berisi  mukena merah muda dengan  aksesoris cukup menarik disertai tulisan pada amplop tertutup.

Hatiku berdebar dan penasaran. “Ada apakah ya di dalamnya,” bisikku dalam hati.”

Aku  menunda  membuka  amplop itu  meski dengan  rasa penasaran. Khayalku menembus seluruh peristiwa masa lalu saat episode perjalanan hidupku begitu lekat dengan Pak Mulya.

“Jangan-jangan ada sesuatu yang ditulis Pak Mulya ya.,” bisik hatiku sambil menatap kosong tembok-tembok kamarku.

Adzan isyak telah berkumandang. Hatiku begitu galau karena pengaruh khayalku  yang  begitu jauh  melewati batas-batas kenyataan. Akan  kutunda  membuka amplop hatiku dah ndak betah dan membayangkan entah apa yang tertulis di dalamnya, tapi jika segera kubuka juga aku  takut akan  membuat aku larut dengan isinya. Sebab aku cukup mengerti kalu Pak Mulya telah menulis dengan pilihan kata yang puitis mesti menyeretku ke dunia khayal yang sulit aku hapuskan.

Aku memilih tidak jamaah isyak dan tarwih dari pada hati dan fikiranku tidak bisa konsentrasi. Ya... yang jelas konsentrasiku ternggu. Sebab aku coba mau sholat isyak sendirian di kamar aja baru takbiratul ikram sudah  hilang fokus.

Kurelakan menunda sholat. Aku buka aja amplop tertutup yang menyertai  mukena  merah muda. Kubuka pelan dengan hati yang gemetaran. “Benar! Tulisan puitis Pak Mulya,” bisikku sambil membuka sepintas isi amplop itu.

 

Wulan!

sebelum kau baca apa yang hendak aku goreskan

beningkan dulu hati dan fikiran

karena hati yang fikiran yang bening

akan mampu menangkap dengan kebeningan

dari setiap butir kata yang hendak aku persembahkan

sebaliknya,

apabila hati dan fikiran dalam kendali emosi, nafsu,

ketidaksenangan ataupun kesenangan yang terlalu

maka yang engkau tangkap bisa jadi keruh”

Wulan,

jika penanda dalam bentuk bingkisan ini

datang bersama idul fitri

bukan karena sengaja sebagai hadiah lebaran

tapi akupun tak tahu mengapa harus kusampaikan saat ini

mungkin hanya sebuah ketepatan

yang  kita sendiri tak tahu kenapa ketepan itu terjadi

seperti  ketepatapan-ketepatan sebelumnya

kita hanya bisa mengambil hikmah darinya”

Wulan,

sengaja aku pilih mukena merah muda

warna yang begitu engkau sukai di samping warna lain

karena aku pernah menatapmu

dengan warna itu auramu bigitu anggun

tapi mohon maaf jika pilihan warna itu

masih kurang begitu selaras denganmu”

Wulan,

sengaja aku pilih mukena

agar dalam doaku aku menyelimuti sujudmu

agar sujudmu dalam tetap kuselimuti

tidak seperti kalung penanda di lehermu yang kusematkan

sebagai simbol lahiriah penuh kemilauan

mukena ini

semoga menjadi penanda batiniah yang landai

yang  jika benih cinta kita semai tak bisa kita lerai

namun menghadirkan suasana hati dalam dekapan Illahi”

Wulan,

penanda mukena merah muda yang sengaja aku sampaikan

sekali lagi bukan pengikat

tapi jadikan hanya sebuah penanda

yang akan menjadi titik awal kita masaki episode berikutnya

episode hidup berikutnya

karena memang hidup ini harus kita lalui episede demi episode

dan bilamana episode yang akan kita jalani berbeda

berbeda fisik dan berbeda suasana hati

maka jadikan mukana ini

sebagai simpul yang membawa hikmah

sebab kita telah sama-sama belajar

bahwa setiap langkah tetap bermakna

 

Aku bergetar memagang kertas dengan tulisan Pak Mulya. Entah kenapa tanpa terasa air mataku mengalir deras hampir tak bisa kubendung meski tak ada suara tangis turut mewarnai.  Dan akhirnya akupun tertidur di atas sajadah yang belum aku gunakan untuk sholat. 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler