Skip to Content

DUA KISAH

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

 

 

DUA KISAH

 

Orang yang berkoar-koar mengaku gagah berani bisa jadi orang itu penakut. Aku punya pengalaman tentang orang seperi itu. Kisahnya terjadi di sebuah kampung. Nama kampungnya S. Sudah lama sekali. Sudah lebih dari 50 tahun. Ketika itu aku masih bujangan.

 

Di kampung itu ada kakak ibuku. Dalam bahasa Sunda sebutannya adalah ua. Ua punya anak perempuan. Cantik. Bagi sebagian gadis kampung, kebiasaan berpakaian zaman itu masih ada yang berkebaya. Demikian juga dengan anak ua. Sejak kedatangan sore hari aku tak bosan-bosan melihat kakakku.

 

Kenangan makan bersama dengan ua sekeluarga, di tepas (teras) rumah panggung, sampai sekarang masih terasa indahnya. Apakah jika kakakku tidak ada akan terasa indah? Entahlah. Aku mnyebutnya kakak (teteh) karena ia anak kakak ibuku. Kenyataan usia, kami beda setahun.

 

Berjalan berdua bujang gadis saat itu masih merupakan hal yang jarang terlihat. Jadi ketika aku dengan pengalaman pergaulan yang sedikit di atas mereka, dan itu kumanfaatkan dalam kedekatanku dengan kakak. Sebelum malam ua tidak melarang kami berjalan berdua. Kakakku (kita sebut saja Teteh ya) kuminta untuk menemani berkeliling kampung.

 

Tapi aku mengajak Teteh bukan hanya keliling kampung, aku mengajaknya ke sawah. Menapaki pematang sawah, ketika sinar matahari sudah condong ke barat, bersama Teteh, bunga desa dalam balutan kebaya, adalah kenangan indah.

 

Di pematang sawah tentu saja tidak bisa berjalan berdampingan, Aku minta T di depan. Aku memaksanya. Di pinggi jalan desa, sebelum kami ke pamatang, T berusaha menolak.

 

“Aku ingin melihat kecantikanmu dari belakang,” aku merayu gombal. Teteh luluh dalam rayuan gombalku. Dan selanjutnya kami berjalan beriringan. Bagi para gombalers –para don yuan- kemana arahku pasti sudah tahu.

 

Di perempatan pematang, ada tanah yang agak lebar. Di tanah itu petani membuat dangau kecil. Sekedar cukup untuk duduk ketika makan. Tiang dangau ala kadarnya dan atapnya dibuat hampir menyentuh tanah. Jadi…kalau berada di dangau itu aman dari pandangan orang meski lewat dekat dengan dangau itu. Teteh tidak berhenti.

“Teteh, ini apa?” Aku bertanya sambil menunduk, menunjuk sesuatu –yang sebenarnya aku sudah tahu- di tanah dekat dangau.

 

Teteh berbalik kemudian mendekat, mengikuti arah telunjukku.

 

“O, ini cangkang keong….” Katanya, Aku melihat wajah Teteh. Teteh menolak untuk bertatapan. Hanya sekilas, Kemudian aku melihat kegelisahannya.

 

“Kenapa seperti terbakar. ya?” tanyaku bodoh. Aku sudah tahu, keong-keong ini dibakar oleh bocah angon untuk lauk nasi, Dari rumah bocah angon itu hanya membawa garam dan korek api.

 

“Oooo… disini juga ada teh ….” Kataku sambil menunjuk cangkang keong di bagian bawah atap. Awalnya Teteh tidak mau masuk, Dia sudah membaca gelagat. Dan setelah Teteh berada denganku di dalam dangau aku berkata sambil memegang kedua belah tangannya.

 

Kami keluar dari dangau kembali ke jalan desa dan pulang. Masih jauh dari rumah, Teteh berlari meninggalkan. Sampai malam Teteh tidak keluar lagi. Mungkin di kamarnya Teteh sedang memandang langit-langit kamarnya. Malam itu langit-langit kamarnya menjadi tembus pandang. Nun, jauh ke langit. Dan di langit ada gambar-gambar indah Teteh bersamaku didangau-dngau.

 

Malamnya ua lelaki mengajakku bergabung tetangga yang agak jauh jaraknya. Aku ikut. Lagi pula di rumah tak ada teman bicara. Teteh bahkan tidak keluar sampai kepulanganku pagi-pagi esoknya.

 

Rumah tetangga yang kami tuju sangat terang terlihat, Ada lampu petromak. Ketika kutanya ada acara apa, ua lelaki menjawab, ada yang meninggal.

 

Kami uluk salam dan bergabung, Ketika bingung mencari tempat duduk, seseorang menawari aku untuk duduk di sampingnya. Tidak ada kursi. Yang tersedia hanya amben (dipan). Ada dipan kayu, ada dipan bambu.

 

Sebentar saja aku sudah akrab dengan mereka. Orang yang mempersilakan aku untuk duduk di sampingnya adalAh tokoh yang disegani di kampung itu. Dia baru tadi pulang dari Tanjungpriuk, dimana dia bekarja sebagai kepala kuli. Dia merasa pulangnya sebagai sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan karena bisa berada di kampung, bisa berada bersAma warga, bertepatan dengan meninggalnya teman yang dulu pernah sama bekerja di Tanjunpriuk.

 

Aku permisi sebentar kepada semuanya untuk naik ke rumah untuk melayat jenazah. Ua ikut, Aku katakan naik sebab benar naik. Ada 4 anak tangga yang harus aku injak sebelum aku sampai ke pelataran yang tidak begitu luas. Jenazah dibaringkan tertutup kain panjang. Batik dengan warna dominan hitam. Terlihat hitam mungkin karena malam.

 

Aku bergumam, kumat-kamit mengucap apa yang aku bisa. Selain aku dan ua ada dua orang lainnya. Di pintu dapur ada beberapa wanita. Kami berdua turun kembali bersamaan dengan dua orang yang terdahulu turun. Kembali aku bergabung dengan mereka di teras. Tidak ada tenda. Kami ngobrol di tempat terbuka.

 

Dari obrolan yang kudengar ternyata keluarga yang “kapapatenan” sedang menunggu dua orang. Pertama menunggu amil, yang akan memulasara jenazah. Dan kedua menunggu keluarga dari Wadas.

 

Jangan dibayangkan transportasi semudah sekarang. Sepeda adalah yang paling umum. Jenazah baru akan dikebumikan setelah yang dari Wadas datang. Dan jenazah baru akan dipulasara setelah amil datang.

 

Tidak ada yang mengaji dekat jenazah. Hanya wanita disana. Lelaki boleh disini semua. Dan obrolan dominasi oleh Jagoan Tanjungpriuk, yang tadi minta aku duduk disampingnya.

 

Aku menyebutnya Jagoan karena apa yang diobrolkannya sungguh menampakkan ia Jagoan. Selama aku berada disana dia sudah mendominasi obrolan dan mengisinya dengan pengalamannya sebagai kepala kuli. Hadirin sungguh hanya menjadi pendengar. Kadang-kadang terdengan decak kagum. Selain decak kagum ada juga sambutan dengan kata “modar siah/mati lu”, “hakan siah/mati lu” dll.

 

“Suatu hari…”katanya, “ada orang datang, diiringi oleh beberapa orang lainnya. Orang yang tidak dikenalnya ini terus terang minta agar kedudukan kepala kuli diserahkan kepadanya. Enak saja. Dulu aku bertarung nyawa untuk dapat tempat ini, sekarangpun begitu. Jika kau ingin kedudukan ini langkahi dulu mayatku. Lalu saya bertanya, mau satu satu atau ramai-ramai. Jika memilih satu satu para pengiringnya harus bersatu dengan orang-orang saya. Di belakang saya. Jika ingin ramai-ramai saya akan tanya anak buah saya, siapa yang akan maju melayani. Ketika saya bentak dengan ajian Bentak Geledek sambil berkata : Hai Bangsat, sayang nyawa mundur” mareka mundur semua, tinggal satu. Jadi satu satu.”

 

Cerita terganggu sebentar, Petromak harus dipompa. Orang-orang punya kesempatan untuk menyeruput kopi. Amil belum datang juga. Tadi ada kabar amil sedang menghadiri adiknya hajatan di Kampung Tanjungrasa.

 

Jagoan kita melanjutkan ceritanya.

“Menghadapi orang seperti ini tidak boleh dengan dua jurus. Harus satu jurus. Jangan dikasih hati. Aku bentak dia dengan jurus Pupuh Bayu. Ajian Pupuh Bayu aku hembuskan sambil membentak “Anjing kurap, kamu pilih mana, pilih dibungkus kapan atau pilih dibungkus perban”.

 

“Dia tidak menjawab langsung menyerang. Melihat gerakannya aku bisa menghitungm orang ini baru berguru silat kepada satu guru silat saja. Jurusnya terbaca akan menghantam dada. Aku berkelit, Kaki kanan geser ke belakang sedikit, begini” katanya.

 

Jagoan kita membongkar silanya, turun dan memperagakan jurusnya. Jurus ini aku kenal. Gerakan awal jurus mematikan. Aku pernah diajari guruku di Bangka. Aku menikmati pertunjukannya. Betul, kuda-kudanya bagus, kaki kanan geser sedikit ke belakang, tidak lebih dari satu langkah, diikuti oleh badan agak miring. Kedua belah tangan siap menangkap tangan kanan lawan. Bewrikutnyam susah menerangkannya, pokoknya lengan tangan kiri Jagoan akan menangkap dan menjepit tangan kanan lawan. Jurus ini bukan mematikan, Hanya mematahkan tangan lawan. Bisa dipilih, patah bahu, patah siku, atau patah tangan.

 

Eee….ketika dia memperagakan jurusnya matanya beberapa kali beradu padang denganku. Aku mengacungkan jempol.

Jagoan ini memang pantas jadi jagoan. Asesori yang dipakainya juga memadai. Dua cincin dengan batu segede jengkol (ini agak berlebihan) terpasang di jari manis dan jari tengan tangan kanan. Gelang bahar tampak seperti ular menghiasi pergelangan tangannya.

 

Gelang bahar itu berpasangan dengan gelang baja putih berbentuk rantai. Di jari manis tangan kirinya ada cincin emas polos belah rotan. Paling tidak 10 gram. Wah luar biasa, Belum asesori asli di wajahnya. Kumis hitam sebesar telunjuk dengan ujung terpilin lancip. Kumis itu dipilin kiri dan kanan setiap ia menyeruput kopi.

 

Badannya tegap, Kulit wajah dan tangan hitam terbakar. Sungguh layak segalanya untuk sebutan dan pengakuan sebagai Jagoan.

 

“Sebenarnya aku bisa mengantar nyawanya ke akhirat tapi aku kasihan anak bininya. Aku pilih mamatahkan lengannya saja. Aku tidak mau berurusan dengan polisi. Di Tanjungpriuk, perkelahian seperti ini sudah umum. Tidak aneh. Polisi sudah bosan mengurus. Tapi kalau sampai mati mau tidak mau harus berurusan dengan polisi”.

 

Jagoan kita memutus peragaannya karena sarungnya hampir lepas. Celana dalam gombrangnya berwarna merah muda kelihatan, Aku hampir tertawa.

 

“Jadiii…krak,,,aku patahkan tangannya…lalu kulepas. Si anjing kurap itu berteriak dan pergi begitu saja.

Jagoan duduk kembali. Amil belum juga datang. Tetangga bertambah, Tidak ada yang kelihatan mengantuk. Jagoan menyeruput kopi dan memilin kumis.

 

“Aku telah mengalahkan banyak orang yang mau merebut kedudukan. Siapa saja aku aku sikat jika mencoba mengganggu. Ingat tidak dulu Si K, waktu dia coba mengganggu Si E, sampai sekarang masih ada codet di mukanya.”

 

“Geledek sudah aku kalahkan. Hanya dengan memetik jari “tik” dua anak geledek mati. Eeee, bapak geledek dendam dan mencari aku. Pas aku di tengah jalan geledek menyambar. Cukup aku tunggingin saja, induk kabur ketakutan.”

 

Lewat tengah malam bapak amil datang. Para tetua menyapa dengan ucapan terima kasih atas kedatangannya. Dari Tanjungrasa, meninggalkan acara hajatan adiknya, pulang menembus gelap malam dengan penerangan batre batu dua. Aduuuuh, semuanya merasa haru akan kedatangan Pak Amil.

 

Jagoan kita turun dan bersalaman dengan amil, cium tangan.

Obrolan beralih terpusat ke Pak Amil. Jenazah akan dikebumikan besok setelah yang datang dari Wadas. Aku tak tahu siapa yang dari Wadas situ. Persiapan untuk memandikan sudah siap. Papan lahad akan disiapkan pagi-pagi. Pohon randu Mang J akan ditebang untuk dijadikan papan lahad. Kain kafan akan dibeli besok di Pasar Jatisari. Semua siap menerima tugas dari Pak Amil.

 

Ketika Pak Amil mengajak hadirin untuk membacakan Surat Yasin, beberapa orang menyatakan siap termasuk Jagoan kita. Ua bertanya kepadaku apakah akan pulang atau akan ikut yasinan. Aku ikut yasinan. Ua tidak.

 

Kami duduk dekat jenazah. Ibu-ibu di pintu dapur tidak sebanyak tadi. Ada 8 orang termasuk Pak Amil yang akan yasinan. Aku di belakang amil. Di sebelah sana ada 3 orang, Jagoan kita diapit dua orang lain di kanan dan kirinya.

 

Teman-teman, setiap aku menceritakan bagian berikut ini (tentang kucing) teman akrab langsung berkata “ah bohong/ngawadul”, Yang tidak berani mengatakan bohong,mengganti dengan kalimat “ah yang bener”. Kebanyakan orang beranggapan bohong.

 

Tapi tidak aku bercerita apa adanya. Tentu saja kalimatnya tidak sama. Kalimat dalam kisah ini aslinya adalah Bahasa Sunda. Kalau ditulis dalam dua bahasa, aku harus menerjemahkan lagi. Jadi langsung kutulis dalam Bahasa Indonesia saja meski terjemahanku tidak bisa mewakili “ketajam rasa bahasa”nya.

 

Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku duduk di belakang Pak Amil. Hanya satu buku Yasin. Buku itu di tangan Pak Amil. Aku tidak hafal. Aku duduk sebagai rasa hormatku kepada tuan rumah.

 

Dan ini tentang kucing. Aku melihat sesuatu bergerak di atas lemari usang di belakang Jagoan. Dan betul itu adalah kucing. Kucing hitam. Kucing dan jenazah selalu dihubungkan dengan kisah yang aneh. Konon katanya, jika jenazah dilangkahi kucing, jenazahnya akan hidup lagi.

 

Gerakanku menengok ke atas dan suara kucing mengeong dilihat oleh Jagoan. Aku menunduk tapi mencuri pandang. Dia tampak gelisah. Gelisahnya tidak seperti gelisah Teteh tadi siang.

 

Ah aku jadi ingin ketemu Teteh, Teteh yang bibirnya wangi daun sirih. Hanya aku yang tidak gelisah diantara orang-orang yang duduk di belakang Pak Amil. Aku tidak takut. Aku anggap kisah kucing dan mayat adalah isapan jempol belaka.

Pak Amil mengeraskan bacaan. Ibu-ibu dekat pintu dapur mengubah posisi duduk mereka dan pandangannya semua terarah ke atas lemari. Dan tiba-tiba kucing itu melompat ke dekat Pak Amil.

 

Bersamaan dengan itu aku melihat kepala jenzah bergerak-gerak. Mendongak dua kali kemudian diam.

Pertama kali yang terdengar adalah jeritan di pintu dapur. Allahuakbar, lalu semuanya bangun berebut pintu dapur. Lalu aku mendengar suara gedombrang. Suara kaleng jatuh.

 

Di depanku tak kalah rusuh. Dua orang sebelah Jagoan melangkah menuju pintu, terdengar suara gedubrak. Jagoan kita ikut bangun, melangkah menuju pintu, sementara di pintu keluar sudah jadi rebutan. Orang yang di belakang Pak Amil –kecuali aku- semua berhamburan keluar. Salah seorang melangkahi kepala Pak Amil sampai-sampai pecinya jatuh.Peci diambil dan dipakai lagi. Suara mengaji berubah menjadi setengah teriakan.

 

Di pintu keluar Jagoan terlibat adu tarik kain. Ketika ia bangun dan membetulkan sarung, sarungnya malah masuk ke kaki salah seorang yang berebut untuk keluar. Yang satu ingin segera keluar yang satu berusaha menahan untuk tidak jatuh. Hasilnya adalah jatuh kedua-duanya. Gedebuknya cukup keras, Kurasa ada yang jatuh menimpa amben. Tampaknya tidak seorangpun yang ingat anak tangga.

 

Kucing hitam mengeong-eong mengelilingi Pak Pak Amil. Amil menggerakkan badannya tapi aku tepuk bahunya. Aku memberi isyarat bahwa aku masih dibelakangnya.

 

Di luar sunyi. Kepala jenazah kembali bergerak. Kali ini aku bukan menepuk bahu lagi tapi aku menekannya untuk tidak pergi kemana-mana.

 

Yasin selesai. Pak Amil kelihatan tenang. Kemudian turun bersamaku. Anak tangga masih ada. Semua duduk. Tidak ada yang bicara. Hanya bersisa 5 orang. Jagoan kita ada tapi ada yang berubah pada wajahnya. Bibir atasnya bengkak. Sarungnya sudah terikat di pinggang. Celana dalam warna merah yang tadi disembunyikan sekarang tampak jelas. Kumisnya tidak baplang seperti tanduk kerbau lagi. Layu seperti kapas kena air. Matanya mendelik,melihatku.

 

Aku mencari ua. O, ua sedang memijit seseorang. Tampaknya siku orang itu keseleo. Yang parah adalah amben awi (dipan bamboo). Ada yang ambruk. Aku memperkirakan amben ini tidak kuat menerima beban jatuh Jagoaan dan yang seorang lagi, entah siapa.

 

Kucing hitam hitam biang kerok ikut turun. Sudah biasa. Naluri kucing adalah mendekati kaki orang ketika lapar. Yang didekatinya selalu kaki Pak Amil. Setelah beberapa kali diusir kucing menjauh. Bergerak mendekat Jagoan. Jagoan pindah duduk ke dipan yang lain. Ia masih ketakutan. Ia salah sangka, Kucing tidak mendekati kakinya tapi ke arah sepeda Pak Amil yang disandarkan di pohon pisang, di belakang Jagoan. Mengeong-eong kemudian mencangkung menjulurkan lidah dan menjilati mulutnya.

 

Dan akhirnya pertanyaanku terjawab. Pak Amil makan di tempat adiknya hajatan. Ia tidak mencuci tangan karena terburu-buru akan pulang. Tangannya yang bau amis makanan, mungkin daging dilapkan ke kain sarung. Jadi kucing hitam itu meloncat ke arah Pak Amil yang berada diseberang jenazah karena bau amis itu.

 

Lalu kucing keluar, bau itu tercium lagi dari arah bungkusan yang tergantung di sepeda Pak Amil.

Tapi bagaimana kepala jenazah jenazah itu bisa bergerak.

Ketika kulihat ua selesai memijat aku minta diantar untuk buang air kecil. Pucuk dicinta ulam tiba. Aku diantar lewat pinggir rumah. Ini yang aku mau. Aku jongkok. Dan melihat Aku melihat sepasang mata kena sorot lampu petromak yang kebetulam sedang diturunkan dari gantungan kaena harus dipompa.

 

Aku menarik ua untuk jongkok dan setelah beberapa memicingkan mata,menerka-nerka ua berteriak.

 

“Amril…..Amril….. dasar orang gila ” teriak ua. Aku tidak jadi kencing. Kuikuti langkah ua ke depan lagi. Semua terkejut mendengar teriakan ua. Mereka bertanya tapi ua tidak menjawab. Nafasnya ngos-ngosan. Ua menunjuk kolong rumah dan berkata setengah marah.

 

“Pek deuleu ku sararia….keur naon tah Si Amril gelo di kolong imah/Silakan kalian lihat, apa yang dilakukan oleh Si Amril gila di kolong rumah”.

 

Semua bergerak, Termasuk jagoan kita. Amril ditarik keluar, Kelihatan kegilaannya dari rambut gimbal. Bercelana rombeng tidak berbaju. Janggut dan kumis tidak karuan. Dan senyum-senyum sementara semua orang tidak ada yang melucu. Di tangannya ada sebatang kayu, mungkin tongkatnya, dan aku pastikan dengan kayu itu dia menjolok lantai persis di bawah kepala jenazah. Karena jolokannya kepala jenazah jadi bergerak.

 

Ketika semua sadar apa yang sebenarnya terjadi barulah muncul umpatan, goblok, dasar gila, dan lain-lain umpatan yang tidak ada dalam kamus bahasa Indonesia. Kalau yang diucapkan Jagoan kita ada.

 

“Anjing kamu ….” dan plak plak terdengar suara tempelengan keras mendarat. Mulut Amril berdarah. Tempelengan kepala kuli pelabuhan yang dijarinya ada batu cincin segede jengkol.

 

Tempelengan ketiga tidak sampai, Jauh, Aku telah berada di depan Amril menahan tangan bangsat itu. Dia berusaha untuk melepaskan tangan tapi semakin ia berusaha jepitanku akan teras bertambah keras meski tidak kutambah tenaga.

 

Semua tegang. Ua mendekati aku dan berteriak memohon jangan lakukan itu. Aku tetap memegang tangan Jagoan kumis tai itu sambil berkata, “tangannya akan aku lepaskan jika ia minta maaf kepada Amril”.

 

Jepitan tanganku terasa semakin sakit. Dan itu tampak pada Jagoan yang makin meringis.

 

Dan tangannya kulepas setelah aku dengar ia berkata, “Ril hampura urang/Ril maafkan kami.”

 

Acara kemit mayat sementara selesai. Suara bedug terdengar. Subuh aku dan ua pulang, Sebelum pulang aku salami Jagoan. Dia menerima setengah hati. Ini terbaca dari ketiakmauannya bertatapan. Sepanjang perjalanan pulang ua tak henti-hentinya mengungkap rasa khawatirnya. Ia khawatir Jagoan menaruh dendam padaku. Aku menenangkan ua untuk tidak khawatir sementara aku sendiri khawatir jika itu terjadi. Paling tidak keluarga ua dijadikan sasaran. Semoga itu tidak terjadi.

 

Sampai di rumah ua aku sudah tidak peduli lgi dengan kejadian itu. Aku ingat wangi sirih di bibir Teteh. Aku ke sumur, dengan harapan akan bertemu. Kembali dari sumur aku lewat dapur. Ku lihat ua perempuan sedang mengipasi nasi di dulang. Ua perempuan tidak menjawab ketika ditanya sedang apa. Ah, apakah gerangan yang terjadi.

 

Kembali ke depan ua lelaki sudah menunggu, Dia menyuruh aku segera pulang ke B. Bagaimanapun dia khawatir atas kejadian kemit mayat tadi.

 

Dua tiga hari kisah mayat dan kucing sudah lewat batas beberapa kampung. Sampai ke kampungku dan sampai ke telingaku. Aku mendengarkan saja berita yang sampai kepada mereka. Beritanya sudah terlalu jauh menyimpang dari alur kisah yang sebenarnya.

 

Lama aku tidak main ke sana. Berbulan-bulan. Sampailah kepada suatu hari aku mendapat kabar akan ada pertunjukan wayang golek disana. Teteh akan menikah. Kepada suaminya teteh minta dibikinkan rumah dan minta pertunjukan wayang golek.

 

Setelah calon suaminya memenuhi permintaannya dia bersedia menikah. Satu lagi permintaannya, Teteh tidak mau dimadu. Calon suaminya memenuhi permintaan itu. Dua isteri terdahulu dicerai dan Teteh menikah dengan Jagoan, jagoan yang sana, bukan jagoan yang ini.

 

Pendekar silat berbaju putih

Basah keringat kaki terkilir

Setiap kulihat hijaunya sirih

Aku teringat wangi di bibir

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler