Skip to Content

KISAH SUSI

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

(Maaf kalau ada persamaan nama)

Pagi yang indah, Jumat, aku ingat betul. Aku selalu mencantumkan mata ajaran matematika pada hari Jumat agar pertemuan ke hari Senin minggu berikutnya tidak terlalu jauh.

Aku memberi tugas lima soal perkalian pecahan setelah lebih dari sepuluh kali menerangkan bahan ajar baru ini.

Kelas sepi. Deru kendaraan bermotor tidak mengganggu kesungguhan mereka. Dua tiga anak gelisah. Ini terlihat dari penggunaan penghapus berkali-kali. Jika terlihat yang demikian aku memberi saran secara umum kepada semua anak untuk berhenti dulu.

Ada yang berhenti untuk menunggu penjelasan lagi tapi kebanyakan serius.

Ku buka daftar kelas untuk mengisi daftar hadir. Dan ketika mengisi daftar hadir inilah aku dikejutkan oleh suara Susi.

“Pak, boleh nggak saya minta air…..?” tanya Susi.

“Air apa Susi… cantik…?”

“Air cuci tangan yang di ember itu,” katanya.

“O, boleh, silakan, dan kalau perlu kau boleh pakai lapnya,” jawabku sambil terus mengerjakan pekerjaan.

Aku tak ingat berapa lama. Yang kuingat ialah Susi kembali minta izinku untuk air itu. Tentu saja ku izinkan.

Ku sulut sebatang rokok kemudian aku berdiri berkeliling kelas menengok anak-anak yang tampak kesulitan.

Beberapa diantara mereka ada yang kelihatannya sudah selesai. Berikutnya aku duduk kembali, sambil memberitahu mereka bahwa lima menit lagi waktu habis untuk mengerjakan soal.

Itu sudah kesepakatan kami di kelas. Selesai atau tidak selesai lepaskan alat tulis. Kumpulkan dan tunggu penilaian.

Tiba-tiba Susi bergerak cepat ke arahku dan kembali seperti tadi….. minta air… . Aku jadi heran ada apa gerangan dengan Susi dan air cuci tangan. Dengan lebih lemah lembut aku persilakan.

Tapi, belum selesai bicaraku dia sudah bergegas ke dekat pintu di mana ember itu berada, dan aku sungguh kaget ketika melihat ia mengusapkan tangannya yang basah di kepalanya.

Lima menit lewat..

“Oke, letakkan alat tulis, perhatikan ke depan, dan seperti biasa, siapa yang siap untuk nomor 1?” tanyaku sambil memandang kelas.

Hanya beberapa orang yang tidak mengacungkan tangan. Di antara yang mengacung,ada yang sangat percaya diri dan ada juga yang tampak ragu.

Soal demi soal dikerjakan oleh anak-anak. Ada sedikit-sedikit koreksi dariku. Hasilnya sangat menggembirakan.

Pukul 09.15, aku suruh mereka ke luar untuk istirahat. Setelah mereka semua keluar aku baru ingat bahwa aku akan menanyakan sesuatu kepada Susi.

Kebetulan ia belum jauh dari pintu kelas. Kupanggil Susi dan kusuruh duduk.

“Bolehkah Bapak bertanya….?” tanyaku pelan.

“Bb…boleh…Pak… Aku tidak nyontek Pak,” jawab Susi gugup.

“Oo.., Bapak tidak bertanya tentang itu. Oh ya, kamu dapat nilai berapa?” tanyaku lagi untuk mencairkan suasana. ”sepuluh ya?”

“Tidak, delapan, betul 4,” jawab Susi lagi.

“Hebat kau, jarang kau dapat delapan. Senin kalau tidak salah 7. Rabu…Rabu…berapa ya…Bapak lupa…”

“Enam..” Susi menyambung.

“Dan sekarang kau delapan….selamat ya!”

“Kan pakai resep tadi itu Pak..” sambung Susi.

“Apa itu..?” tanyaku.

“Air tadi itu….” kata Susi senyum bangga.

“Oh.. ya, Bapak ingin tahu kenapa kau membasahi kepalamu dengan air… Wah rambutmu masih basah ya….?!”

“Itu Pak, kata Mamah…”

 

“Kata Mamah, apa kata Mamah?”

“Tadi malam…. Aku dengar Mamah bilang kalau susah masuk, kepalanya mesti dibasahi dulu… Kalau kepalanya dibasahi, masuknya gampang…

Tadi aku kan susah yang nomor 4 dan 5, setelah dibasahi jadi gampang yang nomor 4, jadinya aku betul 4, jadinya aku nilai delapan.”

“Ya, sudah.. sudah… silakan main ya!”

Oh jagat dewa betara. Susi baru kelas 3.

        

201604052330_Kotabaru_Karawang

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler