Skip to Content

Rumah Angker

Foto Rahmat adianto

Rumah Angker
                                                
Rahmat Adianto

Raungan serine mobil mayat menciptakan suasana horor. Diiringi barisan motor-motor. Sepotong kain kafan berkibar di atas motor paling depan. Lampu mobil mayat memicu kecurigaanku. Memaksa pikiranku menerawang isinya. Mataku ikut mengiringi mobil mayat itu. Saat mobil itu jauh, aku tersadar dari kecurigaan. Sejak kecil aku menganggap warna-warni lampu mobil mayat sebagai tanda kematian.

Aku menjejali setiap rumah dengan pandangan. Rumah-rumah di Kota Lama seperti rumah kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sepanjang jalan Kota Lama, mataku menerawang ke segala arah. Di trotoar seorang nenek duduk di bawah pohon. Pandanganku terpusat pada nenek itu. Tidak ada suara yang kudengar. Aku seperti dalam dimensi lain, hanya ada nenek dan aku. Nenek tersenyum padaku. Separuh kepalanya tertutup kain hitam sebatas bahu. Aku curiga untuk kedua kalinya pada sesuatu yang berbeda. "Nenek itu bukan manusia, mungkin arwah gentayangan" batinku. Tatapan aneh nenek itu perlahan menumbuhkan rasa takutku. Aku tidak melihat sesuatu di sekitarku. Hanya rumah-rumah, pohon, dan rumput.

Sial! Ada apa dengan mataku. Seumur hidup aku baru merasakan peristiwa ini. Suasana seperti mencekamku. Tidak ada seseorang yang dapat menolongku. Aku berteman rasa takut, keringat mengucur dari ubun-ubun, tubuhku gemetar. Suasana berubah seperti semula, ketika nenek menjajakan kue padaku.

Tidak jauh dari tempat duduk nenek tadi. Ada tempat yang tidak asing untuk orang-orang Kendari, Kendari Beach. Akrab dengan sebutan Kebi. Biasanya pantai diramaikan orang-orang rekreasi. Berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Mulai dari berenang, memancing, bermain sampan, dan masih banyak lagi yang lebih asik. Malah terbalik, malam hari Kebi diramaikan perempuan-perempuan malam, laki-laki yang mencari kenikmatan, dan tidak terpisahkan dari kerlap-kerlip lampu disko.

Gedung tua di belakang Kebi lebih menarik perhatianku. Tepat di sebarang jalan poros utama, huruf K.B.H terpampang jelas pada plang besi depan gedung. Umur gedung itu sekitar puluhan tahun, Dinding dasar sampai tingkat kedua berlumut. Ujung besi-besi berkarat.

Aku menghentikan pete-pete, kemudian menyeberang menuju gedung itu. Menukik bukit rendah, rasanya lumayan lelah. Entah kenapa hari itu aku merasa serba aneh. Mataku menerawang ke seluruh wilayah gedung itu. Rerumputan di belakang gedung betasi pandanganku. Beberapa pohon mengelilingi gedung.

Aku masuk dalam gedung, pemandangan tidak sedap terlihat dalam gedung, di lantai pertama. Kotoran-kotoran bercampur merusak penglihatan dan mencemari udara. Rumput-rumput bergelantung di seluruh dinding. Langit-langit dipenuhi sarang laba-laba. Bilik-bilik kamar terlihat gelap. Aku suka tantangan. Menurutku kegelapan menjadi tantangan untuk dilalui. satu persatu kumasuki bilik gedung.

Dengan cahaya android sebagai penerang, aku meraba-raba dinding kusam gedung.  Mulai dari satu bilik ke bilik lain. Aku melihat coretan-coretan di dinding. Seperti coretan anak TK. Aku mendekat dan menyetuh soretan itu. Arang yang menempel masih segar. Dengan seksama kumamandang coteran itu. Serupa gambar anak, ibu, dan ayah. Aku keluar dan menelusuri seluruh lantai pertama gendung. Tidak ada seseorang di sana.

Astaga! Pikiranku menjadi tambah aneh. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan gedung ini. Aku kembali ke tempat pertama masuk. Seekor kelewar yang keluar dari salah satu bilik mengagetkanku. Aku tambah bingung dengan keadan. Mungkin aku sedang sakit. Tapi aku baik-baik saja.

Rasa penasaran memanggilku masuk ke bilik kalelawar keluar. "Astagfirullah" batinku. Aku kaget melihat gadis kecil yang menghilang terserot cahaya androdku. Aku mendekati tempat gadis kecil menghilang. Mengarahkan layar androiku ke segala arah, berharap gadis kecil tadi masih dalam bilik itu. Coretan yang sama pada bilik yang berbeda, di tempat gadis kecil menghilang. Terdengar suara langkah gontai dari luar. Aku keluar dan mencari di setiap bilik, tempat pertama aku masuk. Lalu keluar dari gedung suasana mulai remang. Waktu di androidku  menunjukan pukul 15.49 Wita.

Dalam langkah pertama ketikan ingin pulang, kembali terdengar suara langkah gontai dalam gedung. Aku menoleh ke dalam gedung. Gadis kecil yang sama memandangku dari tangga, kemudian naik ke atas. Aku berlari masuk dan menuju tangga. Mengejar gadis kecil sampai ke tingkat dua. Di atas suasana semakin gelap. Cahaya androidku redup-redup, sebantar lagi kehabisan daya. Rasa penasaran bekecamuk dalam dada, diiringi detak jantung yang kencang.

Di tingkat dua, pandanganku samar. Tidak dapat menerobos kejauhan. Yang kulakukan hanya mengancarkan redupan android di sekitarku. Tangisan anak itu memecah sepinya nuansa gelap, justru mengobarkan rasa penasaranku untuk mencapai tangisan. Langkahku tertatih menuju suara itu. sekonyong-konyong cahaya androidku mengenai punggung gadis kecil yang kucari. Kemudian kujejali  setengah punggungnya dengan cahaya android. Sepertinya ia menongkak dagu memakai lutut.

"Kamu sedang apa dek? Kenapa belum pulang?"
"Mama" kuserot redup cahaya android menerangi telunjuk kecilnya mengarah di sebuah bilik.
"Kenapa mamamu?
"Mama" Menangis, lalu berlari ke bilik yang ditunjuknya.

Masih tertatih menuju bilik gadis kecil masuk. Tidak ada sepercik cahaya dalam bilik itu. Aku memberanikan diri masuk ke dalam. Masuk dengan wawas. tubuhku selangkah masuk dari bingkai pintu. Aku mengarahkan cahaya android ke hadapanku. "Astagfirullah! Allahu akbar" teriakku lantang.

Cahaya android mengenai wajah yang sangat puncat sepintas mendekati wajahku. Aku mundur dan kakiku tersandul di bingkai pintu. Kemudian lari meninggalkan bilik itu. Aku tidak peduli berapa tangga yang akan aku pijaki. Dalam hatiku, keluar dari gedung itu sudah cukup.

Setelah melewati tangga, aku keluar dan berlari kencang menuju jalan. Aku hampir menabrak palang besi. Setelah melewati palang itu, tiba di jalan. Suasana malam mencekam, Tidak ada sesiapa di kawasan itu. Aku berlari ke arah utara menelusuri tepi jalan. Behenti di rumah yang berlampu terang. Berdiri sejenak menenangkan diri. Aku merasa legah, pete-pete menghampiriku. Saat berhenti, kubuka pintu depan, duduk di sampaing supir. Peristiwa dalam gedung itu, menyasakan trauma padaku. Di pete-pete aku kembali merasakan ketenangan, yang sempat kulupakan.

 

S E K I A N

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler