La Galigo bersemayam di perpustaan Universitas Leiden, Belanda. 12 jilid naskah karya sastra kuno itu disimpan di sebuah ruangan bersuhu 18 derajat celcius.
Dibutuhkan donatur untuk menerbitkan naskah kuno masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, "I La galigo" berhuruf latin dalam 10 jilid.
"Terdapat 12 jilid naskah sastra kuno Bugis itu tersimpan di Belanda dan sudah ada dua jilid yang sudah diterbitkan," kata Direktur Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies Dr Roger Tol di Makassar, Senin.
Penerjemah epos I La Galigo, Muhammad Salim (alm), memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atas dedikasinya mengenalkan sastra dan budaya Bugis itu ke panggung dunia.
Komunitas sastra Indonesia berduka besar. Puang Matoa Bissu Saidi (49), penghafal naskah La Galigo, tutup usia karena penyakit tifus.
Puang Saidi meninggal pukul 15.35 Wita, Selasa (28/6/2011) di RS Wahidin, Makassar. Menurut informasi dari kelurga, saat ini jenazah akan diberangkatkan dari RS Wahidin ke kampung halamannya di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel.
Pentas teater internasional 'I La Galigo' akhirnya pulang kampung ke tanah kelahirannya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Sepanjang tahun 2003 hingga tahun 2008. 'I La Galigo' telah dipentaskan di beberapa kota besar dunia, seperti Amsterdam, Madrid, Barcelona, New York, Lyon, Ravena, Milan, Melbourne dan Taipei.
Warga Sulawesi Selatan akan makin bangga. Setelah Sureq Galigo di kenal dengan La Galigo akan di pentaskan dalam visual art, kini hikayat asal muasa orang bugis akan dikembangkan dalam bentuk komik bertema komik I La Galigo.
Sutradara pementasan teater I La Galigo, Robert Wilson, mendapatkan penghargaan khusus dari Kerajaan Luwu atas karyanya yang telah dipentaskan dunia. Penghargaan tersebut sejajar dengan pengukuhan Datu atau Raja Luwu. Penghargaan tersebut diserahkan melalui ritual Riwata Lawaolo yang berlangsung di halaman Fort Rotterdam Kamis pagi (21/4).
Muhammad Salim, 75, tidak banyak orang yang mengenalnya. Padahal ternyata dia adalah seorang pembaca lontara (aksara Bugis) yang ulung.
Dia pulalah yang menterjemahkan naskah I La Galigo dari aksara lontara kuno ke Bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan sebuah pementasan oleh sutradara ternama Robert Wilson menjadi pertunjukan yang terkenal di penjuru dunia.
Muhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan karya sastra asli Bugis I La Galigo sebagai salah satu memory of the world (MOW) atau warisan budaya dunia.
Komentar Terbaru