Angka memang terlihat sederhana. Deretan nomor NIK dan KK seringkali dianggap cukup sakti untuk membuka banyak akses dalam hidup kita—dari layanan kesehatan, pendidikan, hingga yang paling remeh sekalipun: aktivasi nomor ponsel.
Namun siapa sangka, di balik kesederhanaan angka-angka itu, tersembunyi luka digital yang tak kasat mata?
Berapa banyak dari kita yang tahu bahwa data pribadi kita mungkin telah disalahgunakan untuk mendaftarkan ratusan bahkan ribuan nomor SIM card tanpa seizin kita? Berapa banyak dari kita yang terbangun suatu hari, lalu mendapati bahwa identitas kita dipakai untuk penipuan, penyebaran hoaks, bahkan kejahatan lintas batas?
Dan celakanya, negara belum beranjak.
Kita masih berkutat pada sistem yang mengandalkan dua data yang sudah terlalu lama bocor: NIK dan KK. Dua angka yang bisa disalin, difotokopi, ditukar, bahkan diperjualbelikan.
Mengapa tidak beralih ke sidik jari digital?
Mengapa tidak memanfaatkan verifikasi wajah langsung (live face recognition) sebagaimana telah diterapkan di negara yang menghargai warganya?
Mengapa kecepatan birokrasi kita selalu kalah dari kecepatan kejahatan digital?
Ini bukan sekadar kritik. Ini panggilan.
Untuk sebuah sistem yang lebih adil. Lebih aman. Dan lebih manusiawi.
Karena data bukan hanya milik, tapi juga martabat.
Komentar
Tulis komentar baru