Di negeri ini, kata "menyadap" dulunya terdengar seperti bisikan rahasia. Kini, ia menjadi kebijakan formal, ditandatangani dengan map, materai, dan konferensi pers. Kejaksaan Agung dan operator telekomunikasi sepakat membuka pintu bagi hukum untuk masuk lebih cepat—melalui jaringan, percakapan, dan diam-diamnya layar-layar ponsel kita.
Sebagai pengacara yang telah melihat bagaimana keadilan bekerja dan kadang terseok dalam kabut prosedur, saya paham betapa penyadapan bisa menjadi kunci. Ia membuka bukti yang tak bisa dikarang. Ia menembus kebohongan yang terdandani. Tapi sebagai penulis, sebagai warga yang masih percaya pada hak untuk memiliki ruang batin yang sunyi, saya tak bisa tidak bertanya:
Siapa yang sebenarnya disadap?
Dan apakah kita benar-benar tahu siapa yang sedang mendengarkan?
Di Balik Nomor, Di Balik Nama
Negara berkata: kami menyadap untuk melindungi. Tapi dalam sistem registrasi kartu SIM kita hari ini, siapa pun bisa menjadi siapa pun. Cukup unduh satu lembar KTP dari dunia gelap digital, dan jadilah nomor baru. Nomor itu bisa bicara, bisa menipu, bisa menyusup. Nomor itu bisa dijual.
Kita tidak tahu apakah nomor yang dicurigai itu benar milik pelaku. Dan yang lebih menyesakkan: kita pun tak tahu apakah kita sedang diawasi atas dosa yang tak pernah kita lakukan.
Sementara negara ingin melangkah cepat, dasar pijakannya masih longgar. Belum ada verifikasi biometrik yang nasional. Belum ada undang-undang penyadapan yang menyeluruh. Yang ada baru semangat, bukan kehati-hatian.
Hukum yang Ingin Masuk, Tapi Lupa Mengetuk
Saya percaya, hukum adalah jalan terang. Tapi bahkan cahaya pun bisa membakar jika datang terlalu dekat tanpa perlindungan. Penyadapan yang dilakukan tanpa validasi identitas, adalah cahaya tanpa lensa—ia menyilaukan, bukan menerangi.
Sebagai pengacara, saya menghormati proses hukum. Tetapi sebagai manusia, saya juga percaya bahwa tak ada hukum yang sah jika tidak dimulai dari rasa hormat pada martabat manusia.
Penyadapan, dalam segala kemampuannya, bukan hanya tentang menangkap bukti. Ia juga menyentuh yang paling dalam dalam diri manusia: ruang berpikir, ruang berbicara, ruang yang tak tertulis.
Kita Butuh Keseimbangan, Bukan Kecepatan
Negara bisa menyadap, ya. Tapi hanya jika ia juga bisa menjamin bahwa sistem yang digunakan telah diuji kebenarannya. Bahwa nomor yang digunakan benar terverifikasi. Bahwa nama yang tercantum tidak dipinjam. Bahwa warga yang dipantau adalah warga yang benar.
Kita tidak anti-penegakan hukum. Kita hanya ingin keadilan tidak menjadi terburu-buru.
Penutup: Mendengar dengan Telinga yang Jernih
Di tengah dunia yang gaduh, negara berusaha mendengar lebih banyak. Tapi siapa yang mendengar dengan telinga bersih, ia tak hanya menangkap suara—ia juga paham maknanya.
Saya tidak menolak penyadapan. Saya hanya meminta agar negara membersihkan kaca mata hukumnya sebelum mengintip lewat jendela.
Kita, rakyat, bukan takut didengar. Kita hanya ingin yang mendengar tahu siapa yang sedang ia dengarkan.
Muhammad Ari Pratomo – MuhammadAriLaw
Pengacara Indonesia | Penulis | Musisi
Komentar
Tulis komentar baru