Skip to Content

PUISI-PUISI DENNI MEILIZON

Foto Denni Meilizon


DOA - DOA DEBU

doa-doa remuk di pelataran bulan
buncah berburai derai - berderai
adakah tangis pecah membungkusi malu?
adakah yakin memunguti berkah?
"Laa Hawla Walaa Quwwata Illaa Billaah"

debu. hanyalah debu
debu yang melekat di rahim semesta
debu-debu membuncahkan doa
"Laa Hawla Walaa Quwwata Illaa Billaah"

Tuhan, tolonglah kami
Mohon berkenan-Mu,
Pungutilah doa-doa kami
Di sela tangis
Di sela yakin
Di sela debu - debu
Di sela - sela pelataran bulan
Di sehampar semesta-Mu

doa - doa debu.
debu yang berqalbu.

2013

 

 

Sajak Rembulan

Rembulan berasap memendar cakrawala
Jenaka warnanya pucat tetapi kehitaman
Malam tersembul dari sela jemari kekasih
Melukis diri pada bibir yang lirih
Memagut rembulan di atas peraduan
Berasap, berpendar, menukik ke cakrawala

Membaca bulan pada mata kekasih
Mengairi dahaga pandang pertama
Seperti jenaka pendar warnanya
Luruh sendi jengkal perjengkal
Rusuhlah hati, rusuhlah hati
berharap bulan berpendar hadir

Saat bulan itu jatuh pada kalender
Maka marilah kekasih kita melukis pagi.

2013

 

 

LUKA MENGADUH BERALAMATKAN TUHAN

 

Senggang mengenang luka.

Airmata pupuh menyungai ke jantung.

Tambo hinggap mengawan.

Mengumpul lalu jatuh derai berderai.

Kenang menggenang, sesenggang hari.

Mengaduhkan luka beralamat Tuhan.

Bersihanyut di sungai air mata.

 

Kita terbiasa membungkus luka.

Mengatup diam menanak rasa.

Biarkan perih merabun dada.

Luka menganak di tulang sulbi.

Lalu lalang di dalam rahim.

Kesumat mengowek di pintu lahir.

 

Luka luka nanah nanar

Dendam redam pelan pelan

lupa lupa regang senggang

rendam gumam dalam dalam

 

Jangan kau bungkus luka.

Lalu ringan saja kau alamatkan pada Tuhan.

Ambil senggang, pancarkan sekata maaf.

Lalu kirimkan pada Tuhan :

"terlampir segores luka,

untuk Engkau bakar bersama jahannam"

 

2013

 

 

 

UMPAMA OMBAK, UMPAMA GUNTUR
GEMURUH YANG TAHTA


Menyiarahi tidurmu
melamun lelahku bicara doa
dekaplah gumam
disebalik mimpi sunyi itu.
Mari merenda takdir.

Merangkaklah bulan
hinggapi keliaran jiwa.
Melenalah malam
sahuti debur di dada.

Ganti berganti
rahim berkunjung dalam sebiduk
kemudian bergelung pula pinta
berdoa ia. Berdoa debur di dada
Umpama ombak.
Umpama guntur
gemuruh yang tahta.

Menyiarahi tidurmu
berharap kekosongan memagutku
menuangkan umpama kemudian jumpa.

2013

 

 

Menyatu Rindu

aku rindu
pada dialog kita yang diam
pada belai kita yang gemetar
pada matamu yang dalam
pada rindumu yang rindu
pada panahmu di jantungku
: anak panah rindumu
seperti senyap angin dalam telusup senja
seperti rinai hujan di raga hari
seperti embun di pelupuk dedaun
seperti halilintar yang bergelegar
menyatukan gairah rindu
yang kurindukan itu
yang kuinginkan itu
yang kujiwai sebagai muara pencarian
hingga luruh menepi
dalam lautan rindu
rindu menyatu.

2013

 

 

KEMBANG API

percikan api dalam bara yang menari
memekak ia lalu berbunga hingar
menjilati malam yang sakit
bagai sakitnya jiwa
yang membakari hasil jerih payah
entah untuk menghibur siapa
entah dibalasi rupa pahala apa
entahlah entah

katanya bahan bakar tak boleh naik
habis menteri-menteri diperkatai berupa-rupa
katanya beras, daging, cabe, bawang tak boleh naik
habis pula menteri-menteri dicarukkan semena-mena
Nah, itu sekarang dengan ridho kau bakar uangmu
meledak menari di pekat malam
entah untuk menghibur siapa
entah dibalasi rupa pahala apa
entahlah entah

entah saya yang sakit
entah engkau yang sakit
satu kita jelas bersetuju
bahwa bangsa ini sedang sakit akut
jiwa.

 

 

MEMATRI AROMA - AROMA

aroma lautan, aroma karang: aroma kita
aroma langit, aroma tanah: aroma kita
aroma angin, aroma embun: aroma kita
aroma api, aroma halilintar: aroma kita
aroma napas dalam buhul-buhul nyawa
adalah aroma hari dalam doa yang kita singsingkan
aroma kata, aroma ego: aroma kita
aroma bahasa yang kita semburkan berbusa-busa
adalah aroma mimpi yang terpeluk dengan berani
bergelayutan di lengan waktu
berharap membaui aroma peradaban
yang terbangun di atas lautan
di atas karang
di atas langit
di atas tanah
di atas angin
di atas embun
di atas api
di atas halilintar
di atas napas
di atas nyawa.

aroma itu adalah keberadaan kita
ketika mematri niat menyalami semesta.

2013

 

 

Bercermin Pada Bayang Bulan

Bulan menggantang rimba
membelukar terbenam di pelupuk mata
jalan-jalan berbayang malam
membangun dinding seperti hantu
teraba tidak terasa ada.

Malam menipis dalam dada
apa itu sepasang sayap di dagumu
hinggap di rekah bibir bebukitan yang lena
maka cengkeramlah daku
bisikkanlah, bisikkanlah
ada tiada.

Ada tiada
teraba tidak terasa ada
memuakkannya cumbu pekat ini
kau ajak aku benar-benar menjadi hantu
mendongak bulan di sisi rimbamu
tapi,
kau memang ada
dalam bayang langit malamku.

2013

 

 

KETIKA HARI MENUA

Kita telah berada pada titian senja yang memekik
bersayap ribuan pasang gelombang memburangsang
dalam tatapan kering matahari telanjang
memberi kita waktu menegakkan kepala, tengadah
menantang gersang wewarna langit
menegaskan tegak bila badaibadai datang menghantam

Kita senantiasa bersepakat untuk mengkelanai ruang
dengan berkendara waktu yang berwujud anak panah
adakalanya terlintas untuk menyambangi ceruk bebatuan
di pegunungan dewadewa sekedar singgah sebentar
memetik bebunga kehidupan yang memberi kita hidup
yang tak tergerus pun yang tak terlekang.
Ada pula kalanya perjalanan kita menukik membubung langit
menghinggapi hutan awan sambil berharap untuk
bisa mencandai para bidadari yang agaknya menetap di sebalik awan itu
memukimi langit pertama menunggu sapaan penduduk bumi
yang memalamkan mimpinya dalam rasuk ketika
dalam doa ada kerling bidadari - bidadari itu mengajak
menyepi lalu mengurai lautan bunga di sepanjang pandang

Kita pernah mengalir seirama air
menyinggahi lubuklubuk dalam
menghinggapi bebatu dalam lingkar lumut
hingga mengaliri sungai para dewa
menyaksikan polah mereka yang kadang semena-mena
menari diatas derita umat manusia
sambil mengunyah ruhruh peradaban
yang dicampurkan dalam seduhan gelas minuman anggur
dan disarikan dalam selaiselai roti yang dihidangkan
pada pesta meriah kahyangan
sehabis mengirimkan api dan amuk ke atas bumi

Kini kita adalah senja itu
memasang lanskap dalam lukisan horison
terpajang di museum - museum
menghuni bukubuku ensikplodia peradaban
hingga bertaut dalam barisan kata para penyair.

Padang, Agustus 2013



TEMBANG NGARAI


pada ngarai yang menyungai,
di lembah matamu
matahari menyingsing bersembunyi
melebur mengipasi angin ketika menelisik
dedaun pinus kemudian membisiki rerumputan
merayu para-para dalam kepalaku
untuk menyelam sedalam-dalamnya

aku merindukan kesyahduan ngarai itu
merambati tebing-tebingnya lalu menyapa unggas
yang asyik membina kediaman di ceruknya
menyoal kebisingan hari di atas sana
mencari damai di mana kusandarkan mimpi
ketika segala takdir lalu memupuh
membunuh hati yang menyemak
adakah, adakah ?

dalam matamu pula merambat cerita kita
hanyut mengilir bermandi matahari
remang remang, rembang rembang
menembang kembang kembang
hiasi ngarai yang syahdu
menyentak mimpi yang tersandar
mungkin saja kita telah butuh sebuah perahu
adakah mungkin telah tiba saatnya
membawa takdir untuk berlayar
Ya, terhadap ritual matahari yang kerap menyingsing
setelah meminum air ngarai di matamu
merebut seluruh takdir
yang terhunus sejak pandang pertama.

Sept. 2013

 

 

PADA SEHELAI KERTAS

Sehelai kertas yang Engkau serahkan padaku itu
Nyatanya adalah helai surga yang memuat ribuan ayat
Wadah di mana kami Kau titahkan untuk berkaca
bermuhasabah akan ketakberdayaan kami
Merenungi kepongahan kami akan jutaan nikmat Engkau
Yang selama ini kami petik
mungkin saja terlengah untuk mensyukuri

Tapi, duhai Engkau yang Maha Mencintai
Aku percaya bahwa sehelai kertas ini
adalah cinta-Mu yang bersamudera
Yang dengan kuasa-Mu
Bercucuran nantinya menjadi embun
menyelimuti keluarga kami

Tuhan, sungguh kami hanyalah debu di pelataran-Mu
tiada daya tiada pun upaya
melainkan dengan pertolongan Engkau jua.

Tuhan, bila sehelai kertas ini adalah ridho Engkau
maka selamatkanlah kami dari neraka-Mu yang menyala-nyala
melaluinya.. aamiin.

Safa Marwa, September 2013

 

AKU MENEMUKANMU, CINTA

 

Aku menemukanmu mendekap hujan

dengan secangkir cokelat diseduhi airmatamu

menetes dari seikat janji beraroma melati

tafakur diam di sudut hatiku.

 

Aku menemukanmu mengusapi malam

lirih mengirisi dadaku dalam hening

menyenandung helai rambutmu

meriapi bulir mimpi yang mengendapi pagi

membawa aroma melati dari sudut hatiku.

 

Aku menemukanmu membaca embun

menggarisi kaca jendela kamarmu

sebelum kemudian kau ajak aku menari

di antara hujan yang menyerbu

berkostum dedaunan sambil mengusai semak belukar

mencari mahkota duri dewa-dewa.

 

Aku menemukanmu di detak jarum jam

lalu berdiam di lembar kalenderku

mengajakku melingkari hari juga jemarimu

tinta merah meriah sekuncup berlian biru

entah bagaimana aku menguatirkan hari itu.

 

Aku menemukanmu memanah mataku

hingga kau kuasai hatiku sesukamu

maka menjelmalah hariku adalah kau

tak lekang pun tak jua rela kuhilang.

 

Cinta, aku telah menemukanmu !

 

Padang, Agustus 2013

 

 

DATANGLAH KEPADA SENJA DENGAN BAIK-BAIK

sekeping senja tumbuh menikam garis jalanan
dilumatnya langit bersama santap malam yang asin
sambil bermain ombak dalam pelupuk mata
digenderangkan azan sekuat marwah
bersama bayu menetak bisu
pada pembuluh darah dibasuhnya wudhu
mengasing sunyi di hadapan Tuhan

di senja pula,
tersebutkanlah segala rasa
merengkuh ayat-ayat terhampar
membungkusi hikayat bara sehari
mendinginkannya kemudian
bersama sujud luruh dalam pujipuja
yang mengharu sepanjang aliran darah
mengeja tempat berhenti di sisi Tuhan

adakah embun bersama senja?
ketika hati kadung berbolak balik
iya mengiya kini, esok entah berentah

bagaimana duhai,
dosa-dosa itu
cukupkah berujung di sana
pada pelupuk mata yang menyungai
cukupkah
cukupkah
sesal saja yang kini merayapi hati
tapi,
kenapa kau jerang malam menyepi
menikmati dosa-dosa yang kau tikam
yang kau tuang ke dalam matamu
lalu mengering kemudian begitu saja
bersama gelegar subuh yang fajar
meruapkan mimpi seranjang malam
begitu pagi terhantar
duhai apa yang kau erami dalam hati
untuk hari ini?

datanglah kembali kepada senja
dengan buku catatan beraroma surga
sebab, merugilah adanya kita
bila buku itu terhampar esok
sementara tangan kita masih berlepotan lumpur
mengering. menghimbau neraka.

2013

 

 

 

CERITA DALAM KAMAR BERKABUT (2)

Paduka, salam takzim tercurah
setangkup hantaran ini, berpulun asa melekat
mengalir dalam ruasruas jemari
yang tersusun berbait waktu
membeban dalam, berpeta berasa
dalam rekah hari menitah
ku buka salam jabat selamat

Paduka tuan petuah negeri
bertimbun segala sesak
mengambil ruang dalam dada berpetakpetak
adalah sedari mula, mencoba menelisik alamat
dimana entah kemana bingung
tersampaikan tidak disampaikan segan
kerakak ialah tumbuh dibatu
dulu iya segan, sekarang mesti
maka inilah salam setakzim jadi
ku hantar selamat sebelum engkau menitah

Mohon duhai Paduka mulia
ku puji engkau yang bertahta damai
di sebalik dinding istana putihmu yang megah
dikawal ribuan penjaga siap berani mati
berlindung di tameng perkakas pencium bahaya
dikelilingi para punggawa cerdik dan pandai
alamat negeri makmur sejahtera adanya


Slipi, 2013

 

 

SEBUAH CERITA DALAM KAMAR BERKABUT

Menara-menara itu, runtuh berdebam ke lautan
meluncur kepingnya ke dasar samudera
Ada Iblis menari di awang-awang
Menebar nanah juga luka ke setiap pori tubuh
Berhasrat membangun istana di atas puing
puing menara yang telah lebur bersama lautan

Maka berkatalah gunung-gunung
Celakalah engkau Iblis
Sebab tanganmu penuh murka darah dunia
Jantungmu niscaya bara angkara
kesumat yang tiada berkeputusan
Celakalah manusia, yang menyeringai gembira
Menyaksikan kehancuran menara - menara itu
dalam pesta pora tak berperi

Udara pun berubah menjadi napas para Iblis
Menggelegak menyesak di ubun-ubun
Mengekang matahari sampai sepenggalahan
Membara menabur amuk
Apa yang kita baca dalam hati
Dingin, dinginlah wahai Api
Seperti Ibrahim yang dizalimi Namrud
Seperti juga Yahya yang disembelih di dalam pohon
Atau bagai Musa yang terkhianati kaumnya sendiri

Istana di atas reruntuhan menara
akan tegak dengan jumawa
Lihatlah kemudian, disana Iblis akan bertahta
Dari dadamu, menjumpai awang, lalu turun berdiam
dari Istananya itu, ditiupkan hasut dan fitnah
Membakar pintu-pintu rumah kita
Tanpa salam. Tanpa menyebut nama Tuhan.

Slipi, 2013

 

 

Puisi 50

petak retak menadah nanah
geretak moyak kiasan susah
tersentak rentak rekah ranah
merebak sedak balasan madah

2013

 

 

DEDAUN BERDURI DARI SURGA

Pasanglah dedaun pada bulir rambutmu.
Lihatlah setandan wangian menjadi gurau.
Semerbak kehidupan berbulir mekar.
Seperti riap yang merayu angin,
Adakah terdengar bisik pelangi
yang menyerbu sudut keremangan hati
Simaklah bait suci yang menggeletar
dirajut dedaun berhelai-helai hinggap
pada mahkota hitammu.

Ketika senyawa kata telah lancang
kau hibahkan melangit biru,
dedaun tadi adalah sulur surga
keringat kaum bidadari dan malaikat
membalur mengurapi ulir ulirnya
hanya untuk memahkotai engkau saja.
Adakah kau ingin kita menarikan kehidupan
sambil menautkan simpul-simpul kematian yang dekat
sedekap peluk yang ketat, mengurung raga
tipis batas yang terlihat, adakah kau raba?

Adalagi mahkota berduri
buah fitnah api yang membakari kesucian.
Duri-duri yang melingkari kepala
menakar darah pada ujung-ujungnya.
Di sini memancar dalam muram.
Menerka kaca sembari menyelaraskan irama dada
berharap suatu tempat di surga sana
adakah kau lihat dalam kelanamu, duhai...
Ketika saja kau pakai mahkota duri itu
tanpa selembar dedaunpun menyertai.
Adakah ada tersebut dalam bacaanmu
surga bisa berubah menjadi tempat tiada bintang
mengirim kesunyian yang baka.

Marilah kita datangi suatu taman di sudut surga
tempat segala riang melabuhkan dahaga.
Dedaun yang disulamkan pada rambutmu itu
berasal dari kilauan tanaman yang terpetik dari sini
ada namamu di sana, mengakar memeluk tanah surga
Tanaman yang juga sama berdurinya
tapi apa pedulimu?

September, 2013
FAM906U-PADANG

 

 

APOCALYPTO

agaknya di singgasana nanti duduk raja berekor
dadanya bersirip baja menutupi hati yang batu
mahkotanya ular yang diberi makan darah jelata
matanya halimun, angin dan badai
mulutnya busuk bertaring runcing
berbulu wajahnya pekat badannya

singgasananya nanti berada di atas pucuk istana
menghadapnya mesti berjalan jongkok
meniti tangga yang disusun sedemikian rupa
mesti bawa upeti darah dan daging
dalam bungkusan hitam diatas nampan kekuningan

titahnya nanti adalah laknat
karena matanya adalah halimun, angin dan badai
titahnya nanti adalah derita
karena mulutnya busuk tangannya penuh lumpur kotor

di atas istana petir dan halilintar menggelegar
maka tanah air penuh amuk
mendidih hari-hari
ternganga jelata yang kelaparan
memamah zikir dan do'a-do'a
meminta tuhan datang mendekat

semoga saja jangan sampai terjadi.

Padang, Oktober 2013

 

 

MONOLOG YANG TERBUANG

aku hanya sisa gumam yang gering
atau juga sudah menjadi ampas kopi
yang lekat tertinggal dari seruput bibirmu
mengerak di bibir cawan keramik mungilmu

sebagaimana sisa, maka makhluk-makhluk kecillah
yang bakal perhatian kepadaku
atau juga bisa saja hanya segores sabun cair
yang kau oleskan berbusa-busa
bakal menjadi akhir domisiliku di bibir cawanmu
sebelum berkelana dalam sub atom
dalam bandar yang hitam kotor
di pembuangan

sepenuhnya aku berpasrah pada takdir
itulah hikayat hikmah dari sisa
hanya sisa yang mesti dibersihkan
bukan bila aku masih melimpah ruah
menjadi pelampiasan kepahitan hidup
atau menjadi penyaksi kemenangan pergulatan
menjadi manusia

aku hanya sisa gumam yang kini berbaur di pembuangan
tak ada yang mengenang
tak ada yang kehilangan
namun, ingatlah bahwa bibirmu itu
pernah menyinggahiku di suatu saat dulu.

Suasso, Oktober 2013

 

 

DALAM KEPALAMU ADA MEDAN PERANG

Dalam kepalamu kulihat ada medan perang
Episode episode itu berpendar liar
Hanya kemudian dari dua matamu kumenyaksi
Kilatan jengah pertempuran dahsyat
di sebalik peluru peluru panas bersahutan
jerit kematian yang diselingi ledakan meriam
hingga tukikan pesawat tempur yang mendesing
keluar dari dalam mulutmu

Tapi, ini masih malam dalam pertempuran yang kulihat itu
malam yang habis menumpahkan diri untuk kau tembaki
Dimana lagi medan perangmu itu kau hamparkan
apakah datangnya pagi nanti
masih belum kau gulung medan perang itu
yang kulihat berpendar liar dalam kepalamu?

Selembar bendera putih kini
terseok seok mengibar beringas
mencari matamu yang sibuk merekam medan perang itu
tepat di hadapanmu.

Safamarwa, 2013

 

 

PADA SEBUAH TITIK

kira-kiralah apa yang setitik itu. Di sekitarmu mengembang lautan. Di atasmu melangit atmosfer terlontar. Rasakan pijakan telapakmu itu. Tanah menggenang menusuk sampai dalam. Siang malamlah yang membasuh ragamu. Berkecambah dibelai cahaya bintang-bintang. Yang menjamahimu pun tiupan debu. Mengitari badai di sela batu.

Bermimpimu tentang rumah kediaman. Tanah terhampar menanamkan bebukitan dan pegunungan. Bahasamu mengerontang mengeja mata air. Dalam mimpi yang setitik kau benamkan kepala ke dalam noktah dari lahar. Di sanalah terbaca cahaya-cahaya lapar. Untuk kemudian ditaburi bunga perkabungan.

Kira-kiralah apa yang setitik itu. Ujung jarimu mengaliri lautan ketika sekuku mimpi tercelupkan. Sudah kau matai sisa cahaya mata air bersama igau dalam lapar. Yang hanya mampu membawamu kembali mengarungi mimpi. Kembali terbenam ke dalam noktah dari lahar.

Bila kau mengharapkan lebih dari setitik ini, harapkanlah. Pada guratan di keningmu, semestinya kau baca bagaimana rupa asa itu.

Safa Marwa 2013

 

 

IA YANG MASIH DIAM

Ia terpanggang siang
yang jatuh bersama daun
Debu berciuman dalam diam
Tak hirau pada riuh keringatnya
yang menjalari lapar

Pagi, siang ataupun malam
Baginya hanya dedaun kering
yang sibuk berjatuhan menggantang
Dalam diam ditatapinya matahari
Ketika entah dari mana
sejuta tangan ada di sana
Meminta semua saku baju celananya
"Keluarkan saku-sakumu," perintah
tangan-tangan itu.

Dalam diam ia merobek semua saku
yang menempeli pakaiannya
Isinya hanyalah debu saja, bathinmu
"Sudah habis dedaun buat kami panggang,
jadi kami butuh saku-sakumu itu
dan juga saku-saku orang lain sepertimu,"
kata salah satu tangan yang berada di tengah
menutupi cahaya matahari.

Aroma pemanggangan menyeruak
bau panggang siangnya, bathinnya, diamnya
dedaun yang berjatuhan dan kini menyengat
aroma debu yang tadi berciuman sebagian
di dalam saku-sakunya mesti rela buyar
ketika tangan-tangan yang semakin banyak
menutupi cahaya matahari meminta saku-saku itu
kepadanya lalu melemparkan ke pemanggangan
sembari terdengar riuh melafalkan mantera
yang tidak bisa dimengerti olehnya.

Ia masih diam
dalam siang yang semakin terpanggang
Ketika debu-debu kembali mulai berciuman
dibukanya baju celana yang sudah tidak bersaku lagi itu
lalu dilemparkannya kepada matahari yang sedang digumuli
oleh tangan-tangan yang semakin banyak saja
entah dari mana.

Jakarta, 25 Oktober 2013
Padang, 26 Oktober 2013

 

 

PEMILIK KALIGRAFI

Di tepi tubir jurang gamang sudah berdirimu
Bibir teringat bacaan kaligrafi di dinding rumah
Seperti kebanyakan ayat-ayat suci di zaman ini
Kaligrafi bersulam emas itu kau gunakan untuk
menandai keberimanan yang naif
dan sekalian untuk mengusir hantu
Maka ketika gamang tiba,
Dengan susah payah kau ingat-ingat kaligrafi itu

Namun, hanya warnanya saja yang terlintas
Gamang semakin berat kau rasa
Langit terasa terang di ubun-ubun
Matahari mengalir tajam menciumi bibirmu
Sementara pijakan itu semakin kerkah
Lalu terlintas lagi sebuah nama
yang kau ingat bisa dimintakan safaatnya
Ah... kembali yang kau ingat hanya kaligrafi itu
Menurut ingatanmu jelas ada namanya tertera
pada kaligrafi itu
Namun, hanya warnanya saja yang terlintas

Sebuah jentikan pada urat kaki
Menerbangkan pemilik kaligrafi bersulam emas itu
terjun ke dalam jurang
Setelah tubuhnya tak mampu lagi menopang
keinginannya untuk mengingat isi tulisan berupa
potongan ayat-ayat suci yang di pajang dalam bentuk
kaligrafi nan indah bersulamkan emas
Anggun menempeli dinding ruang tamunya yang mewah
Semoga ketika bertarung dalam kegelapan jurang
di bawah sana dia sudah ingat bacaan kaligrafinya itu
Setidaknya ingat pada sebuah nama
yang jelas tertera pada kaligrafi tanda keberimanannya
yang naif.

Padang, 7 Nopember 2013

 

 

MEMBACA SAJAKMU

Dalam sajakmu ada kisah perang
yang kudapati bergumul hingga bait akhir
Tapi ada terselip seonggok kubur
oh... bukan seonggok tapi beberapa
di tiap spasi yang bernisankan titik
dijaga oleh malaikat yang bertengger
di tiap huruf vokal.

Dalam sajakmu ada kisah cinta
yang kudapati berciuman di dua bait tengah
Tapi ada terselip seonggok dendam
oh... bukan seonggok tapi beberapa
di tiap spasi yang berhulukan titik
dijaga oleh hati yang berhijabkan segala huruf
konsonan mati.

Dalam sajakmu ada kepingan ragu
yang kudapati berulang bunyi pada tepian larik
Tapi ada terselip seonggok janji
oh... bukan seonggok tapi beberapa
di tiap kata yang menulis ulang kamus
perbendaharaan kata
yang dijaga oleh penyair hingga matinya.

Padang, 2013

 

 

SAJAK BURUNG NAZAR

Sajak kita sudah berubah menjadi burung nazar
matanya yang mengintai awas
menciumi udara amis berbau bangkai
suaranya menguik keras kelaparan tiba-tiba
mengajak kumpulannya untuk berpesta pora

Sajak kita sebagai burung nazar
dalam kumpulan yang sama liarnya
Adalah kelaparan pada kematian kehidupan
Mungkin saja sajak kita penuh doa doa
harapan datangnya akhir tiap makhluk
karena saat semua menjadi bangkai
maka disitulah sajak kita yang sudah berubah
menjadi burung nazar itu
akan berpesta melepas rasa lapar

Sajak kita burung nazar
kadang berebut makanan dengan elang
bersetegang wilayah dengan para singa
berpacu dengan ulat belatung
dalam perlombaan mengunyah daging mentah buruan
untuk melegakan kelaparan yang datang

Burung nazar yang kita sajakkan
dalam kumpulan kata beranak pinak
ditakdirkan untuk mengunyah bangkai
hingga kemudian berlahan lahan
mengunyah dirinya sendiri.

Sajak kita memang pemakan segalanya
yang ditakdirkan sangat rakus sekali.

Padang, 04 Oktober 2013

 

 

UJUNG OKTOBER

Begitu selalu kau menarikan senja
Melihat hamparan pucuk angin bergelung
Menawar rembulan sabit yang muncul langkahi magrib
Sayup gurindam berwajah hujan menderai
Diantara nikmatnya debu penghujung oktober ini
Kau merasa ingin mengajakku menari pula
Biarlah mereka membaca kalender
Yang mengambil kanvas itik pulang petang
sebagai latar

Sepanjang oktober ini banyak hari membuat kita tersipu
Terkadang memberi kita sedikit gelisah
yang kau redam dalam tiap seduhan teh sehabis subuh
atau sebungkus kuaci ketika bercengkerama dengan
layar segi empat di ruang tamu kita
Ditingkahi suara rengekan anak-anak tentu saja
Tapi biarlah begitu
Sebelum mereka pandai nanti membaca kalender
Maka berikan saja mereka cerita tentang hujan
yang tumpah bersama berlalunya oktober
Pesta dewa dewi selalu saja membuat hujan turun
derai berderai berkejaran bersama angin
yang beringas memadamkan gemuruh guntur

Di penghujung oktober
Mimpi masih kita peluk dengan teguh
Sambil rajin membaca kalender
di sela waktu menatapi senja yang memucuk.

Padang, 2013

 

 

ALKISAH

Nun taklah seperti Waw
Setarikan sabit dalam kelam
Butir butir ayat mengalir
Bersama ombak yang dijulurkan Waw

Amuk dalam lautan
Memberi Nun Waw yang akbar
Turunlah pena dalam mulut Nun
Memakan rembulan yang terlempar
Dari perahu undian takdir

Nun mengalir dalam
Bersama kibasan Waw yang melaut
Dalam kelam ketika ayat ayat melekat
Di sana rembulan sujud dengan derai airmata
Ingat siang berharap cahaya

Waw membentur dalam perut Nun
Muntahkan rembulan ke tepian berampun
Ketika Waw mengalungi Nun dengan ombak
Rembulan nyatanya harus kembali
Kepada siang yang berharap cahaya.

Padang, 2013

 

 

DEKLARASI GUGUSAN BINTANG

 

Gugusan bintang menggulung cahaya
Melesat kemudian menggumuli bumi
Menyatu segala daya dicatu matahari
Menjelma menjadi seribu kunang-kunang
yang bertawaf di sekitar kepalamu

Seribu kunang-kunang meledak kemudian
Cahayanya memecah berderai derai
Menusuk kepalamu melalui mata
Meluncur ke dalam dada melalui mulut
Menyinggahi telapak tanganmu melalui bahu
Menerangi tempat tegakmu melalui angin

Sebahagiannya terbang ke angkasa
Lalu singgah pada barisan bohlam

yang menyoroti sebuah stadion olahraga
Menyirami pengunjung yang asyik
bemain bola dengan mata dan mulut
Beradu nyaring dengan beringasnya
suara komentator yang juga ikut bermain bola
di atas kertas.

Barisan bohlam itu lalu pecah
Menderaikan cahaya ke dalam angin
Menarik sisa cahaya kunang-kunang
dalam kepala, dada dan sekitarmu
Kembali menyatu melesat ke angkasa

Di angkasa, cahaya dari ribuan kunang-kunang itu
Mendeklarasikan perceraian dengan bumi
Kembali membentuk gugus bintang
Setelah membayar jasa catu daya matahari
yang terpakai ketika bergumulan dengan bumi
Gugusan bintang melesat pulang
ke haribaan galaksi asal mula
Rembulan juga diajak turut serta
dan meninggalkan bumi dalam kegelapan.

Padang, Nov. 2013

 

UPACARA PARA CAMAR

inilah debu yang memantik api

menghembuskan halilintar ke dalam buhul

direndamlah seribu ikat sumur

menuangkan basahnya angin yang berlari

mengiris buku-buku takdir di telapak tangan

dan mengaji mimpi tentang firdaus

tepian mandi para bidadari

 

inilah emas yang gelinggaman mengayuh lautan

mengurung badai pada tong - tong bahan bakar

menyeret temali hingga buritan

yang diupacarai dupa oleh puluhan camar

dihunus langit yang terlalu lampau

hingga mengarahkan moncong meriam

ke barisan awan sambil mencoreti catatan perjalanan

asing sekali

 

Ketuklah dinding nyanyian bidadari

yang beramai-ramai membasuh tumit

di tepi sungai firdaus.

Larutkanlah debu-debu itu hei emas yang mengayuh

tangkupkan lagi tamparan halilintar

dalam relung badai ketika terhempas.

 

Hingga debu menyatukan api

asapilah lautan dalam upacara para camar

dan suruhlah awan mengumpulkan catatan perjalanan

lalu bakar ke dalam tiap tong bahan bakar

sebelum akhirnya kita pun dipaksa

untuk memanah penghuni langit.

 

Safa Marwa, 2013

 

 

WAJAH BERPETAK UMPET

Tersamar berasing debu
Buku harian teraup lumpur
Senang saja wajah kau benamkan

Wajahmu kemudian menjadi asing
Di bawah matahari merupa topeng
Berkilat - kilat seakan emas

Lalu kau lari bersembunyi
Diam mematai di dinding angin
Hingga lumpur di wajahmu
Berkerak menjadi bedak

Mata mematai
Mengasing diri, menunggu
sebuah nama terpanggil
Baa !

Air Tawar, 20 November 2013

 

 

KAU BELUM CUKUP UMUR

Kau belum cukup umur
Perangmu tak boleh berpeluru
Pakai saja bambu atau panah lidi
Lawanmu sebaiknya rembulan,
cicak, buah-buahan dan hujan

Kalau kau mau menangis
Ya, menangis saja
Kalau kau mau menggambar
Ya, menggambar saja
Berkotor-kotor juga boleh
agar dewasa nanti
kau tidak pula ingin berkotor-kotor

Kau belum cukup umur
Pelurumu adalah putik-putik jambu
Bedilmu bambu
Meriammu bambu
Panahmu pun bolehnya hanya lidi
Lado belum bisa kau kunyah
Daging masak pun mesti dilumatkan dulu
baru bisa kau telan

Kalau kau mau menangis
Ya, menangis saja
Kalau kau mau menggambar
Ya, menggambar saja
Berkotor-kotor juga boleh
agar dewasa nanti
kau ingat kau pernah kotor
berlumpur dan berbau asam
Bila dewasa kau pun tak ingin pula
ikut berkotor-kotor

Kau belum cukup umur
Umurmu baru menjadi mainan
untuk di bawa pulang
lalu di labuhkan dalam mimpi
Bermain perang
sambil memanah rembulan,
cicak, buah-buahan dan hujan.

Suasso, 19 November 2013

 

 

CERITAMU KETIKA DATANG BERTANDANG

Kau merumahkan pagi melewati lubang pintuku
Setangki bacaan tasbih dari butiran embun
Kau tanak bersama keciap mentari

Kunci rumahku kau gigiti
Buah tangan kau sampirkan
Ke dalam pelukan marmer
kita memacu cerita

Dengarlah bisikan daun pintuku
Lama sekali kau tak datang bertandang
Apakah purnama tidak kau matai?

Ceritamu pun menguyupkan rembulan
Tentang angin yang ajal
Bersimbah darah dalam buah tanganmu
Apakah airmata tergenang di ubin marmer itu?

Pagi ini kau berikan padaku lewat lubang pintuku
Bersama bagian cerita yang sesekali datang bertandang.

Safa Marwa, 30 November 2013

 

 

HUD-HUD MEMATAI PETA

Tarikan matamu semanis tanah yang dijanjikan. Membangun gema dalam ruang, kau ukur tiap jengkal sudut, peta. Di pelipis jendela kau tebar semacam tanda di mana Hud-hud untuk bertengger. Tanah kau jadikan bayi mengowek. Kau merabanya seperti dalam rahimmu. Saat duniamu menakar sunyi, hanya ada malam tentu saja. Sisa suatu hari yang dimakan dalam mitologi lama, purba.

 Makanlah apel itu, menusuk garis ke garis. Meraut nama-nama hilang. Mengirim jarum mengaum membumi hanguskan Toba, Pompeii menanti dalam rahim Krakatau. Kau dengar lengkingan memahat batu-batu. Gelombang menjadi tarian acak, Kecak. Selubung masa lalu kau balurkan dalam hamparan peta, tanda. Penjaga dalam sepi memakan sisa malam. Terpancar do'a-do'a, bisu.

Palung berpaut dalam matamu. Peluk pula gunung-gunung. Peluk pulau-pulau. Peluk tangisan-tangisan, magis. Langit menjadi busur dalam ruang yang kau ukur. Para penjaga mengayunkan cemeti. Rahimmu bergetar memecahkan selaput bayi yang semakin keras mengowek. Kau cuma perlu menanak larva ketika meminum do'a Luth, Hud dan Nuh. Kaubaca semua yang kembali, Hud-hud datang bertengger memberi kabar dari kawanan Ababil dengan batu berapi di kakinya. Mata di dalam tanah petamu

saban kali malih-rupa, tanda. Kaudengar auman para bayi yang lahir setelah jarum membumi hanguskan Tsamud dan Aad. Peganglah gelang tangan Sulaiman dan ikutilah ia merentangkan kerajaan Daud. Peluk gunung-gunung di tiang pancang Mezbah-mezbah. Peluk pulau-pulau di atas gemerinting lonceng Jibril. sekarang kau bangun tangga dan kapal. Ajari para Penjaga untuk berlari ke atas bukit. Keluarkan kuda hitam dan putih peranakan apa saja. Bacalah!

Atas nama segala kuasa, tunggu saja.

Padang, Des. 2013

 

 

 

HUD-HUD MEMATAI  ABABIL

Mari ikuti aku, Hud-Hud. Kubawa kau menuju dunia lama, ketika Merapi masih sebesar telur itik. Peta, getar gema dalam ruang kosmik. Dimensi yang menjalari pohon Zaqqum. Getar pada sulbi Azazil si laknat. Membakar selimut cahaya, putih malih-warna menjadi bayang, terang berpendar menghisap dada, mata, apa lagi yang tersisa. Di puncak pohon apel (Adam dan Hawa memakannya, katamu) dua juta tahun sejarah manusia. Semesta mencair.

"Ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"
Itu Syits, Bapak Agung kita. Tubuhnya ialah gema manusia.
Dia hanyalah cahaya, Hud-Hud! Dan kita tidak berhenti di sini, jangan sapa dia. Sebentar lagi akan kau lihat banjir bah itu, segera kepak sayapmu. Qabil telah membunuh Habil. Darah yang mengalir dibaca lautan malaikat di hadapan Arsy sebagai peperangan. Sebab satu nyawa terbunuh seluruhnya pun mati. Oo.. Hud-Hud, cantikkah menurut engkau Iqlimiya itu? Rambutnya langsat tergerai halus memeluk gunung-gunung.

"Ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"

Sedepa ujar Nuh mengalir. Sedikit saja yang mendengar. Hitung saja, Hud-Hud hitung saja. Ke bukit mereka berlabuh. Oo Nuh, kini ialah Bapak agung kita. Oo Nuh, Bapak Agung! di buritan Bahtera terbang dia dalam angin. Dunia air, dunia tenggelam. Hud-Hud, marilah turun sejenak, kita sapa dia yang terberkati.

“Ke mana kau labuhkan bahtera ini wahai Bapak Agung? Telah kami jelajahi utara selatan barat dan timur, tak ada daratan, daratan tenggelam”.

“Terbanglah engkau hai Ababil ke Lembah Mesopotamia! Di Themanon kita menegakkan kota!”

“Temui Ibrahim di sana, dinginkan api!, dinginkan api!”

 

"Ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"

Percayalah pada suara-suara batu di kakiku. Porinya ialah kerak neraka (Malik sendiri yang meletakkannya di situ). Kau lihat sayapku ini, Hud-Hud? Ialah gelombang gema api yang menyala di bakar ledakan kosmik. Sampaikan pada mereka yang menunggu, dua juta tahun manusia menyurut, fana. Aku ini telah melintasi Mesopotamia dalam bentuk tanpa rupa, ketika nyala api di dinginkan Ibrahim.  Dua juta tahun perjalanan menguliti tentara bergajah seperti daun di makan ulat di atas langit Arabia. Aku adalah penjaga penantian manusia itu. Ku susuri langit-langit peradaban datang dan lenyap. Para penjaga hanya perlu melecutkan cemetinya untuk membuatku mengepakkan sayap api.

 


Padang, Desember 2013

 

 

Arhoiba di Gerbang Arkana (1)

Marilah kejar bintang-bintang itu. Bukan pada malam ini saja,
duduklah diam patuki detak jarum jam. Bukan pada malam ini saja,
tunduklah Arhoiba, kau bunga mekar di atas rerumputan basah
Rumput yang berbicara memacari cemara di tubir penggal detik yang
ditebas jarum jam itu.

Arhoiba, kau luka yang diserahkan ke dalam bibir Ababil
Mimpimu habis dikunyah semesta ketika di gerbang Arkana kau
susun puluhan singgasana mengajak raja-raja untuk mengejar bintang
bintang. Ababil bisu, melegam dibakar raganya sendiri. Tiap kepakannya bergema sahut menyahut namamu. Maka di sana muncul dari ayakan pasir
yang dimuntahkan Versimell -gunung itu- perkenalkan bintang pertamamu, merajah diri dengan nama, sebut saja Washeya.

Oo, luka berambut indah yang memeluk gunung-gunung. Oo, pembawa telaga bersusun tiga dalam genangan di atas pasir Versimell!
Washeya, bintang pertama itu. Kau dongeng tidur yang prasasti menggantung dalam tembok Arkana. Dunia yang bernama bayang-bayang. Tiap jengkalnya mengalir keangkuhan perang. Untukmu Arhoiba, Versimell sedia menyingkap pepasir dua juta tahun yang membenamkan dongeng ke dalam botol mitologi purba.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki dalam gigitan Ababil semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

“Bukan kau kiranya, Washeya. Mimpiku masih menari, mengelupasi dinding
gerbang ini, menyusun kembali singgasana raja-raja yang rela mati
mengejar bintang-bintang lain bersamaku”.

Safa Marwa, Desember 2013

 

 

 

Arhoiba di Gerbang Arkana (2)

Arhoiba menata tatakan gelas para raja. Deru puing puncak Versimell memanggil kawanan badai, mengelus angin lalu menyimbah hantam gerbang Arkana, tempat Arhoiba menyusun singgasana raja-raja yang berkhidmat kepadanya. Oo prahara, detik jam mengiris tajam. Tatakan gelas berhamburan menjadi bulu. Bulu menjelma menjadi api. Api membakar dalam lautan. Istana terpanggang. Arhoiba, pilu menanti datangnya bintang kedua, Washmina.

Washmina, bintang air. Dulu gencar mengibaskan selendang dalam salju. Arkana berbalut basah, sejuk berdesir. Gerbang membiru memagut rembulan bersama singgasana. Washmina dahulu kala, sejak Arhoiba menggoda para raja. Menghujam ke dalam bebatuan. Menyeret desir, rembulan dan warna biru. Lenyap sejuk, basah air. Arhoiba menangis.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

Gemuruh langit membilas Arkana, padang pasir, prasasti-prasasti. Derak tanah rengkah, badai prahara melenguh.
Di hadapan singgasana, di atas puing gerbang Arkana. Arhoiba merapalkan doa. Selendang jingga mengibas udara yang merah.
Washmina! menyingkaplah!

Safa Marwa, Januari 2014

Arhoiba

Daulat Washmina;

Gugur angin meracau petala. Sinar-sinar berkilauan keras menusuk tiang pancang istana. Istana Arkana yang memuing gosong dan berasap. Sebongkah isi perut Versimell yang dimuntahkannya dengan beringas perkasa pongah menanti nyanyian pepasir menyingkap ribuan desing suara, hembuskan petaka menusuk Arhoiba ketika selendang kebesarannya menjamah udara.
Arhoiba, bunga mekar perindu rerumputan di taman istana Arkana.
Ibu Agung para pangeran dan putri. Yang diwariskan para raja ke dalam rahimnya. Daulat Arkana.

Di Gerbang Arkana, singgasana para raja bergetar. Tanah semburat, tercabut dari gelanggang yang berdentang mengadu urat-urat pasak dalam bumi. Berdesak-desakan membaca prahara. Arhoiba menggigil, selendang jingga itu tergolek di tanah, terkapar.

Bebatuan rengkah. Washmina!
Menyingkaplah!

Dari timur pekik udara mengirim anyir. Perang berkelebatan seperti kumparan yang mengirim ketakutan yang lebih dalam.

"Arhoiba! Kau dihukum! Kau prahara bumi dan langit!".
"Arhoiba! Kau bunuh raja-raja!".
"Arhoiba! Kau bunuh anakmu sendiri!".
"Arhoiba! Kau penjarakan bintang-bintang!
"Arhoiba! Kau hancurkan Arkana!".

Arhoiba lekat mematung. Tubuhnya tersingkap. Anyir perang, geger suara letusan Versimell dan gema kutukan memeluknya ketat.

"Washmina, Aku yang menghidupkanmu!"
"Washmina, Aku yang memanggilmu!"

"Kau butuh Washeya, Arhoiba!
bukan aku!"
"Bintang yang mengunjungimu di awal kehidupanmu. Yang kau kurung di dalam perut Versimell -gunung itu-".
"Ohh, iba nasibmu, Ibu Agung! Suri para raja Arkana!"
"Negerimu di amuk bintangmu sendiri...!"

Washmina, bintang biru berkilau itu. Dingin kulitnya. Sejuk matanya. Mengirimkan api ke dalam rahim Arhoiba.
Arhoiba diam, terbakar jerit pilu. Ibu Agung Arkana, penguasa singgasana para raja, penjaga gerbang Arkana, mati.
Arkana mati. Washmina hidup.
Washeya masih menggerung murka di dalam perut Versimell.
Mematai Washmina yang mendaulat diri.

Januari, 2014

 

 

KARENA KAU

Bagimu rindu di selasar kalbu
kau kepingku menyarat sendu
bulanku kau gigiti di atas perdu
mataku terbenam anginmu
basahi satu bukan sembilu
tapi daging tubuhku
menggugu mengapurancanglah aku
karena kau.

Serpihan bulan itu
mengembang peluk lekuk anginmu
hanya rindu memberiku gigil, ngilu
demam kepayang pada lakumu
basahi kembang taman airmatamu
tapi daging tubuhku
mengiris lebam karena kau.

Oo.. kekallah, tapi
Oo.. bekulah, tapi
Ah, ulurkan saja diang apimu
rindu daging tubuhku
menyungai tak bertepi
karena kau.

2013



 

Menunggu Kereta

Kereta datang menyeret kaleng-kaleng sampah
Kuda tujuh ekor cantik dan tegap menarik serentak
Langkahnya berderap hentak bumi, berlari
dalam ringkikan menembus rumah-rumah bambu
Mengais lumpur cair yang terkibas mengenai muka
muka bebatuan.

Kereta lewati saja waktu menunggumu
Acuh tak peduli bahwa kau sejak dulu
berdiri diam menunggunya
Sambil melupakan lapar dengan sedikit
sedikit mengiris rembulan yang kau celupkan
ke dalam airmata dalam botol plastik yang
masih saja meniupkan bau soda
yang telah kau gunakan membersihkan darah
dosa, nanah atau juga menyarukan bunyi desah
napas bangkai yang kau makan bersama selimut malam

Temaram lampu masih kau ingat
yang dilarang matikan oleh selimutmu
akan merubah dia menjadi serigala
yang akan memanggil sais kereta
bertelekung hitam yang rapalan mulutnya
akan melecut kuda tujuh ekor itu berlari tanpa
pernah akan mau kau tumpangi

Malam. Bingkai dosa dalam ruap soda.
Kau masih menunggu kereta.
"Matikan lampunya," bisikmu
sembari menggigit pinggiran selimutmu.

Padang, 18 Desember 2013

 

 

JANJI DALAM POT BUNGA

Janji pada musim itu mengeras pada seonggok pot bunga
di atas meja pualam
"Pulang," katamu. Hanyalah sebuah kata
yang di bariskan pada sisi luar musim itu
di mana angsa, puteri tidur, rusa terbang dan beruang periang
menunggu mengusung parade di tengah pintu.

Pot bunga itu penuh dengan cabikan kertas musim itu
sedikit saja luapan soda melimpah ke dalamnya
maka buburlah musim itu
"Ciumi aku," katamu. hanyalah ekspresi wajahmu yang mengurat
terbaca pada sebaris burung-burung di seberang horison
hinggap pada pucuk bunga melati, flamboyan, kenanga
berputiklah pada jambu mengerang di atas batu-batu.

Lihatlah, pot bunga itu sudah tak lagi muda. Pualamnya sudah keropos.
bubur kertas aroma musim itu mengeras memeluk janji pulang untuk
menciumimu hingga luapan soda menghitung busa yang meleleh
membentuk gugusan garis di atas kainmu.

Pot bunga. Janji musim. Musim yang kita ukur
ketika kita ada pada suatu masa entah.

Desember 2013

 

 

RINDURI

dalam suara angin kau serupa gema. pada raganya kau tubuhkan bulan yang pernah kita cumbui.
di mana lagi gema itu bergaung? lamban laun limbubu angin menjadi rindu juga.

Rinduri, dalam getar dawai harpa kau memang adalah angin. merayaplah mengeja gelombang. kaislah oktaf yang mengail nadamu yang kini berkasih-kasihan dalam pangkuan gema.

ke mana ruang kita ukur lagi, Rinduri. fajar tetaplah fajar walau bulan terkadang nyasar bertamu kesiangan. Tapi engkau perlu ruang, gema, nada
dan sebingkai cerita. Harpa juga tetaplah harpa walau oktaf terkadang menyekar di atas kubur sendiri.

Oo Rinduri. kini saatnya memasukkan angin ke dalam stoples. buatkanlah prasasti untuk melekatkannya pada nyanyianmu. Apabila dawai harpa itu putus, gema masih engkau punya. begitu pula fajar masih ada tergantung dalam bingkai meski sudah tidak berhias bulan lagi.

"aku juga inginkan kau menjadi ruangku," bisikmu.
aku pun terdiam. beku.

Desember 2013


 

Ringkik Kuda di Bawah Mahoni

Lelahmu bersimbah darah, tercecer di atas rerumput kering. Mati tersihir siul angin, menguliti kain kulitmu terhisap anyir musim. Yang kita tunggu itu, ringkik kuda di bawah mahoni. Lewati senja berderap derap. Mengusung tandu kukuh pada kereta, tempatmu mengusap airmata habis darah.

Daun mahoni tentu tahu, kita dua peluru yang kini sibuk berlari. Kunyahlah rerumput kering itu. Kita butuh darah, siul angin juga. Mantera sihir itu juga. Tapi, tinggalkan kulitmu, telanjang lebih baik sehingga senja bisa membaca.

Putik berjatuhan di sela pangkumu. Rumput mengerang di sela gigimu. Aku bosan menunggu ringkik kuda kita. Aku mual menghabiskan cecer darahmu.

Safamarwa, Januari 2014



Melangkahlah! Merantinglah! Menarilah!

melangkahlah tepian. awas serpih beling, paku dan duri.
tahan koyak pasir, koral dan kerikil.
menjadilah angin. kupas malam sehangat siang.
titi ombak seumpama riak. berselancar saja
mengalun gelombang.

merantinglah kerisik. menunduklah rerumput.
ciumlah angin, dekaplah tanah.
pipihlah alunan darah. tampunglah derai airmata.
peluk raga dalam selimut gurau yang parau.

angkatlah telapak tanganmu. usaplah semua pitaruh.
legam jadi putih. kafan jadi selendang.
luluhkan kusam. hapal kurungan bulan.
tandai di mana kita menaruh putik.
mendaunkan jabat di bawah langit.
mengakar tunggang, serak berserabut.

menanamlah tepian. taburlah benih.
siramlah kecambah. rawatlah bayi-bayi.
menarilah!

Safamarwa Januari 2014



SEPATU DALAM SOBEKAN KERTAS


ini bukan tentang sajak yang kau tulis di atas rerumput basah kemarin
ini tentang sajak yang lain, sajak sobekan kertas di bawah kasurmu itu
tapi kenapa sketsa sepatu itu tak juga bisa kau selesaikan?
sketsa itu memulung mimpi yang berkubang dalam tidurmu
atau mungkin pensil sudah bosan pula kau raut hingga tajam
sepatu itu masih belum bertali, masih pula belum kau gambar tapaknya
masih sebelah pula, sepasang lagi masih kau simpan dalam batang pensil
yang belum kau raut.

di bawah kasur, sobekan kertas itu berenang dalam getar dengkur malammu. aku membacanya dalam sajak, sajak dingin setelah kertas itu sobek dan kusut. dan sepatu itu masih tetap sebelah juga.

Slipi, 31 januari 2014



bergelung akar


beban kita menjadi kuda
menggigiti besi di atas daun lontar
rumput kita menjadi akar
memeluk tidur dalam belukar
arah angin dalam kompas purba
rupa mata menangisi hujan
hilang ingat, lenyap terkubur
dalam mitologi kita mengais rupa

mitologi yang asing, menyingsing
melewati daun telinga, tuli
membaca seringai bibir, bisu
mengibas detak urat, mengaca
tumbuh pada mata, meraba
hisap tulang belulang
menjadi amis saat malih rupa
kuda menggigiti besi
rumput bergelung akar
angin bermata hujan
kita masih berkubur hilang
lupa rupa sendiri

Slipi, Feb. 2014



KERUDUNG ABADI


Jari-jariku menjadi kabut
berbaur dengan yang tak terlihat
menghirup aroma tetumbuhan
yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga

Dalam kebun-kebun hasratku
aku mencium udara dan semua angin
mencari peta perjalanan dan teriakan
tak kukenal
menyanyikan himne angkasa
ke dalam cangkir-cangkir yang
tak tersentuh oleh bibir

aku ditiup angin dingin
ketika keheningan menyala redup
menggulung asap dan terkubur
menjadi abu

Kabutlah semua hasratku
menghisap kerudung abadi
buah lingkaran cahaya tak berawal
tidak berakhir
memetik kecapi yang mengapung
di cakrawala
merengkuh, menerangi, melayang
berjalan dengan cahaya

Slipi, Februari 2014 

 

 

 

 

RINDU DALAM KUBUR HUJAN

malam berkubur hujan
gelap menukik, mengibas nyala lilin
cahaya menari seperti tarian gadis penari
di antara kelam, gerimis bertahta
ini rasa napasmu, membelantarai bunga
menyimpulkan rindu, menganak kata

dada berdebur. kemudian ada ombak
berlarian di sisi matamu
kibasan nyala lilin selembut angin
rindu itupun,
mengalir mendekap hujan
berkanvas pada dinding kamar

safa marwa, 2013

 

 

MEDAN LAGA

Medan laga akal dan nafsu
Mencari juru damai
Sebagai tamu-tamu yang kau cintai
dalam rumahmu sendiri

Tuhan dalam akal
Ketika hati bicara sunyi
Tuhan dalam nafsu
Ketika hati berdecak kagum

Juru damai dari diri
bernyanyi membakar kebangkitan hari
Dari abu, nafsu bangkit menjadi
burung api
memakan kehancuran
kehilangan cinta yang meranggas di dedaun
rimba

Juru damai dari diri
menghembuskan angkasa ke hamparan cakrawala
Di sana akal melesat tinggi
memandang ke hamparan tanah
menilai kerakusan
meneriakkan kekuasaan langit
Diam dalam keindahan

Medan laga bersemayam
Medan laga bergerak


Slipi, Februari 2014

 

 

SUNGAI DI JALAN ENTAH DI MANA

Sungai memecah jalanan
Kau sibak ombak di bawah terik,
memaki matahari entah di mana

Matahari yang kau maki sejadi-jadinya itu
memecah ombak sungai di atas jalanan
Menyibak nikmat entah di mana

Sungai memecah jalanan
Kau maki matahari dengan nikmat
ombak kau sibak sekencang peluru
entah di mana.

Slipi, Feb. 14

 

CELANA KEDODORAN AYAH PINJAMAN MAK

Mak, sesudah malam habis
Anakmu ini menghabiskan pagi
yang disisakan oleh lumut
dalam obrolan tentang comberan
yang di muat media massa
di sela berita bencana yang semakin
membuat negeri ini kelam
hingga lupa memberi makan aku
dan teman-temanku yang telah kau tinggalkan, Mak
Mengais mimpi sepertiga malam
agar bisa mengawini subuh dengan
sepenuh harapan semoga saja berbuah sejuta
rezeki yang tak akan bisa dimengerti
oleh media massa.

Mak, celana ayah yang telah kau pinjamkan
kepadaku semakin melorot hingga bila kutarik
paksa niscaya akan bisa menutupi dadaku yang
bisa memainkan piano dengan letak jari
yang sempurna kata dokter ini akibat hidup yang
terlalu kunikmati dalam kelupaan yang dihembuskan
benda-benda kecil yang saban jam menyetubuhi bibirku
dengan teramat mesra di hadapan media massa
kita yang membagi halamannya menurut jumlah
kata yang sudah bisa dipastikan bakal mengikat aku
menurut saja dalam titik tanpa merasa terkurung
melampaui sepertiga malam dalam tembakau yang
tercium amis tiap aku menghela napas dan bau
hitam perkawinanku dengan subuh di atas
matahari pagi tanpa selembar kain apapun
yang menutupi tubuhku selain celana kendor
ayah yang sudah engkau pinjamkan kepadaku
dulu, Mak.

Seingatku Mak, katamu kau melahirkan aku
di atas serakan tulang belulang ikan dan
miang padi kita yang panen begitu saja
menyamai kelahiranku yang katamu pula
sempat dikalungi tali pusarku sendiri hingga
darahmu yang berceceran dalam desakan tulang
ikan, miang padi dan balutan sarung tangan bidan
yang menguras habis isi tenaga yang kadung kau
kumpulkan di antara perut dan pahamu membuat aku
lupa untuk menangis walau setelah kelahiranku bidan
menampar lembut panggul merah hijau dan hitam
kecilku dalam kecemasan yang tak mungkin diceritakannya
kepadamu dan ayah Mak, namun aku menangis setelah
puting susumu kau paksa lekatkan ke bibirku yang menurutmu
mirip bibirmu itu yang kini setelah kau pinjamkan aku
celana ayah yang kedodoran bila kupakai sudah saban waktu
disetubuhi benda kecil berasap hasil membodohi diri
dalam hiburan media massa yang halaman-halamannya
mesti dipasangi iklan agar bisa saban hari mengajak aku
dan teman-teman sibuk membincangkan kesunyian kata
yang sudah dijatah berapa jumlahnya itu, hingga kelak mengisi
halaman yang disediakan secara cuma-cuma sebagaimana
kau pun pernah berkata kepadaku untuk mendahulukan yang cuma-cuma
sebelum memilih yang menguras hasil keringat ayah
yang celananya sudah kau pinjamkan kepadaku itu, Mak.

Mak, mengingat itu semua sebaiknya aku telanjang saja.

 

Padang, April 2014

 

 

BANGKU TUNGGU

alas kaki tempat duduk
membaca bau karbol
derit kaca kelam
balon menampung kata
di sini kiranya sama
sedang memahami takdir
datang begitu saja
dari darah bertalian
nasab tak butuh ranji
hanya mengawasi kabar
panggilan untuk keluarga
di bangku tunggu.

harapankita, Jkt Feb 2014

 

 

LAENG ROKEK

jalanmu berliukan memapah liatnya tanah
maka melambailah itu dedaun dimakan angin
maka menarilah itu pakis yang menyibak sisa embun
butir serbuksari terasa manis bila kau yang menjadikannya
sebagai hiasan rambutmu yang menyentuh bebatuan
di mana batahan mengalir di sela pelipisnya yang lumut

tanjakan jalan di sisi mana kita daki
adakah sudah kau bawa bau tanah itu
dalam adangan yang bergumul dengan bekal nasi berlauk
ikan asin dan bulung gadung yang di awasi separang besar harapan
untuk menuai panen pada awal musim penghujan datang?

buah-buah para sudah jatuh, menanam kehidupan
pada dunia lain di mana airmata kita sudah menjadi gula
tapi tubuh getahnya adalah hidup kita
boleh saja kebun kita kelak menjadi pohon sawit berminyak
seboleh tanah huma kelak mungkin saja berubah menjadi komplek
perumahan akibat dahsyat benar kaum asing itu membenihkan uangnya untuk menjengkali tanah kita.
terjallah lembah, dalam gaung suara
memerciklah batahan, mengaumlah harimau
berdesislah jalanan yang kelok berkelok
bunian masih menempelkan kehidupan
adakah kita baca itu dalam selembar sertifikat bahwa pemilik tanah di sini adalah mereka?

2014

Menjadilah Begini, Bai

Maka menjadilah begini, Bai
Sekujur ragamu telah melebur
Pasti kau ingat kapan kita bakar
Sehingga engkau menjadi abu, Bai.

Bai, terhadap segala dosa itu
Telah kita nikmati bersama
Bukan pada kumpulan yang kita mamah
Tapi saat kita melamur diri dalam rasa yang sama
Yang kau juga tahu, Bai
Aku menyukainya.

Jadi pergilah, Bai
Aku suka, kaupun suka
Kini biarkan saja
Apa yang sudah kita tanam
Hiduplah ia.

Slipi, 24 Februari 2014

HARI YANG KEDELAPAN

Asap yang membaur dengan jalan beton buah tangan anak-anakmu
Menusuk dinding angin setelah kipasan dedaun semak memberitahukan kepadamu
Kedatangan gemerincing kuda kencana yang ditunggangi Jibril
Memakai tudung putih bersayap pendar merah menyaga
Menyisakan bintik tanah liat sepanjang jalanan beton itu
Menggeliat surai kuda yang empat ekor penarik kereta
Dengan lengkingan belum pernah kau dengar
Semenjak hari kelak kau hitung sampai tujuh

Jalanan beton buah tangan anak-anakmu
Persis sama saja dengan sebaris bait dalam ayat-ayat suci
Ayat yang sama lurusnya tanpa ada kata menyimpang
Hingga setiap hari yang telah kau hitung sebanyak tujuh itu
Bukan jalan yang sesat dan bukan pula jalan yang zalim

Pada kedatangan Jibril dengan bintik tanah liat sepatu kuda
Engkau masih memimpikan untuk membangun rumah-rumah
Yang nanti kau minta kepadaku untuk mengatur dalam tata
Sepanjang jalanan beton sebagai pembatas dan tempat berpulang
dari tualang dunia lama
"Ambil saja setitik dari saripati tanah liat yang berjejak"
"Oleskan ke setiap sketsa rumah yang kuminta kau bangunkan"
"Rumah yang kau selesaikan selama tujuh hari saja sesuai nubuat
kitab suci"

Kau di bawah kepakan sayap Jibril yang kini tegak melangit di atas kencananya
Dan aku yang kini mengerjakan sketsa rumah mimpimu
Setelah memasukkan tanah liat yang kupungut dari sisa yang tertoreh di sepanjang jalanan beton hasil karya anak-anakmu
Pada pasal perjanjian kita aku ingin kau mengoreksi
Selagi Jibril masih di hadapan kita, supaya dia juga tahu
Bahwa hari yang tujuh dulu kau berikan padaku
Tidak akan bisa membuat rumah permintaanmu bisa ditegakkan
Maka dalam kesepakatan ini, di sini diantara lengking suara kuda
kencana Jibril
Aku meminta hari yang kedelapan
Dan Tuhan yang kita sembah tak perlu beristirahat
setiap akhir minggu.

Safamarwa, Maret 2014

 

 

DENTING DI BATU

Ajaklah aku. Ajaklah
Geraikanlah indah rambutmu. Geraikanlah
Segala badai, segala samudera
Semua angin, semua awan
diam. Diamlah
Diamlah
Kaca pecah, botol berdenting
Batu permadani, kerikil menjelma pantun

Adalah secarik bunga
Yang selalu bertumbuh di manapun kau tegak
Kelopak menyeruak di sela jemari
Menembus kulit telapak kakimu
Menanam kau, engkau kini bunga
Bunga yang hitam panjang rambutnya

Kautahu, bila matahari kembali menyingsing
Ajaklah aku. Ajaklah
Geraikanlah indah rambutmu. Geraikanlah
Cabiklah kelopak, menguaplah bebauanmu
Ketika mengharum bunga
Permadani memeluk kerikil
Kaca pecah denting di batu
Aku lenyap ke dalam matamu.

Safamarwa, Maret 2014

 

 

Sulukku Rebah

Pada suluk kita rebah.
Suluk yang melepas.
Suluk dalam genggaman.
Suluk segala penantian.
Suluk yang terucap di titik sunyi.

Pada suluk kitapun menyatu.
Suluk hamba, sekedar tanda.
Sulukmu melekangkan, Tuhan!.
Sulukku yang Kau ambil.
Suluk dalam benak, bagai sulukku juga dalam sujud.

Pada suluk kita berkeping, berderai.
Suluk menyerpih.
Suluk yang tak bersela.
Suluk tak berenda.
Suluk pada dekapan.
Suluk dalam hempasan, lidah.
Suluk kata, kala yang melintasi ruang.
Suluh dalam wadah, raga mengasing tepi.
Suluk mencari, kita yang tercerai berai.
Suluk menyatu, hilang raga hilang kuasa hilang kita.

Pada suluk kita ada.
Suluk dalam hijab, kitab terbuka.
Suluk kita, suluk Engkau.
Suluk sujud.
Suluk menghimpun.
Sulukku Kau genggam, hilang aku hilang raga hilang akalku.

Sulukku pada Kau selalu ada.

Safamarwa, 2014

 

 

PADA SUATU MASA

Kau di balik hijab
dan aku telanjang
Kau melihatku
dan aku buta
Kau merengkuhku
dan aku hamba
Kau tak butuh aku
dan aku butuh Kau
Kau meliputiku
dan aku tiada.

Suasso, Maret 2014


Dari Urat Tanah

Kita petani mencangkul tanah huma
Ingin menanam seribu butir biji-bijian
Mengibaskan embun pada titik udara
Kita huma berumah di sejuta musim
Menekuri tanah sepanjang langit

Kita petani memakan tanah bajakan
Sekuali biji berkuah lumpur juga hujan
Sesekali mengunyah pupuk
Meminum racun tuba dan pestisida
Kita kuat meneruka langit
Kita huma pada setiap akar
Petani biji hingga umbi-umbian

Kita petani mengais tanah karang
Menangis cangkulan airmata panen
Huma menjadi lautan
Lumpur memeluk tuba
Pestisida dimakan pupuk
Biji, umbi-umbian dan hujan digigit hama
Kita hama dari urat tanah

Kita petani menelan mimpi
Tanah meliuk terbang ke langit
Kita dicangkul dan ditanam
disimpan diujung akar kecambah
dan urat tunggang
Meniduri karang.

Padang, 13 April 2014

 

 

KETIKA MENJADI PEMBURU

Kita pun menjadi pemburu titik yang sudah lemas terkulai.
Sebaris tanya masih saja kita tandai dengan seru yang ganjil.
Bagai mengail perigi dengan timba menganga, dan

 kita bermimpi tentang air yang meniti tali

untuk bersama kita hisap dengan sedotan saja.

 

Lumrah saja bagi kita.
Ketika kata adalah barisan tanda seru dengan empat kaki
sebutan yang memanggil segala penghuni hutan.
Tanda seru itu berpeluh, bau dan gosong mengendap
dalam mimpi itu, rasa anyir pada mulut sedotan kita
Ketika kelak air meniti tali timba, tapi
alangkah kecilnya sedotan itu
Timba yang kian menganga, dan air itu kering tiba-tiba.

Titik isian kian terkulai, berjejer kosong di hadapan tanda tanya
Kita kini mengganjili mimpi, mendoakan perigi
Dan timba kita disatukan tanda seru yang telah menggumpal bau
Menutupi nganga dengan mulut sedotan kita.

Begitulah ganjilnya kita, ketika menjadi pemburu.

Padang, 14 April 2014

 

 

 

Dadu dan Mata Pisau

malam di atas dadu, mata pisau melenting
gelas berdenging mengasah darah
dadu melangkah, pisau berlari
darah setangkup tetes
buku jemari pulas dan pias
gelas menggelepar memisau
risau dadu tergeletak
pisau bergetar, darah
dadu
malam
pulas
di atas dadu mata pisau gelepar

Pdg, 5 Mei 14

 

 

Setampuk Pinang Belah Delapan

Menghadap seribu pintu dalam bungkusan
kain menguning setampuk pinang belah delapan
delapan lembar sirih kering tak sudah sebutir getah gambir
pemutih lengkungan sirip dedaun sirih untuk dikunyah
engku Namoraon memanggil para raja menegakkan
halaman luas pertanda helat akan digelar bunyikan ogung,
talempong dan gendang tegak tujuh lapis bendera diikat pedang

 

Adapun pinang belah delapan dalam bungkusan

di hadapan putik muda pagar negeri mengajak berhenti
pejalan kaki menunda melangkah niat di hati yang jauh dihimbau datang
yang dekat dibawa serta berkumpul sipangkal helat menangkup

ajakan engku Namoraon makan beradat minum beradab

Dijambarkan bersukat hidangan gulai pisang, cempedak
dan irisan daging bergilir semenda mengedarkan pandang
mengulum senyum puti indung mata helat dibuka alangkah

meriah hidangan habis pertanda berkah

Ogung berdentang sahut menyahut dibalas talempong
rempak bertalu ditabuh gendang meregang perut mengantar engku Namoraon

sampai ke pintu, seribu pintu yang telah dituju sirih dalam bungkusan
pinang belah delapan berbedak tepung gambir putih piasnya
helat selesai sehari sudah.

Padang, 2014


Suara Kita Berhubungan Intim di Atas Panggung

Sisa ruang bagi kita hanya sebuah lupa
Selebihnya pestapora panggung,
panggung sebesar 14 inchi
Menampilkan punggung berlubang
mengalihsuara kita punya

Dari lupa kita, panggung di dekorasi berupa rupa
orasi, onani, pecahan ketuban, muntahan
pisau berlepotan sperma hasil hubungan intim
tanpa cincin dan malu lalu mencincang
sekardus dosa dibungkus wewarna pelangi
kemudian entah kapan karena lupa
menjadi menu sepanjang hari
bagi kita di ruang lupa

Antara kita ada lupa bernama ruang
Ada suara kita di atas panggung
dalam pestapora teater naskah lapuk
berlubang, berdialog memunggungi lupa

Di atas panggung, antara ruang lupa
Suara kita mengawini pisau berlepotan sperma
Sekelebat saja sekardus wewarna pelangi itu
hamil tua begitu bengkak dan bunting
mengerang hebat berdarah-darah

Dari darah lahirlah kurcaci kurcaci, mengowek
memegang kemaluan memakai peci
lupa kita ternganga
ruang kita memperdebatkan nama

Panggung usai, naskah selesai
Suara kita menggendong kurcaci
Oo banyak kurcaci kini duduk di kursi
Memakan menu  sepanjang hari
melupakan kita dalam bisu, tuli
dan mati.

Padang, 17 Mei 2014

 

 

CITRA KLIK ! KLIK ! KLIK !
: Pada sebuah dongeng

Sebuah poto tempo dahulu

dalam buku dongeng kelas 2 SD
Pak Pandir pergi ke sawah
Bu Pandir membawa nasi
Citra, anak satu-satunya bermain
kamera bersama pengasuhnya
Klik! Klik! Klik!

Pak Pandir dipoto makan nasi
di atas pangkuan Bu Pandir.
Pada hitungan ketiga,
Pak Pandir berubah menjadi Katak,
lalu menjadi Ayam.
Ayam menjadi Polisi.

Dalam dongeng di kelas 2 SD
Sejak Ayam menjadi Polisi,
banyaklah Elang yang tertangkap

Citra menjadi Elang,
Ibu Pandir masih menanak nasi
Pak Pandir kini jadi Polisi
Pengasuh masih bermain kamera
Klik! Klik! Klik.

Padang, 17 Juni 2014

 

 

Di Warung Kopi Tadi Malam

Jok ! Wo !
Cok ! To !
Jerko ! Porto !
Skor 4 - 0
To lol !!

Padang, 1762014

 

 

Pada Bunyi Dentang

Jam berdentang, kita
telentang. Menghitung,
mengurung. Menepuk,
tersuruk. Lari ke mari,

di udara beradu dada, paha, rasa.
Sayang!

Padang, 1662014

 

 

BIDADARI TUAN SENJA

pagi tuan! apa kabarmu?
aku datang tuan,
ini seikat sunyi dalam sekantong kresek
ini biografimu dalam buku bergaris putus-putus
ini bidadari untuk bermain pada untai jenggotmu
ini kaji tulisan tangan engku buya
bersama rempah dan bunga kenanga
aku tak lupa tuan,
ceret dan kuali tanah seperti pesanmu
tapi,
kain kafan putih belum kudapat
warna hitam menurutku pantas buatmu
hanya keranda saja tuan belum kuurus,
nanti pulang dari sini kusinggahi mushalla
mendiskusikan jadwal kematianmu
dengan engku buya beserta pengurus mushalla lainnya

tentang bidadari ini tuan,
aku pinjam beberapa hari berselang
tentu saja dari malaikat ridwan adanya
yang kusogok dengan gelang kerincing
dan emas 24 karat seperti pesanmu
oh iya, ini ada surat pula untuk tuan
dari malaikat izrail yang kebetulan sedang duduk
di tengah gerbang surga menungguku katanya
untuk dapat menyampaikan salam kepadamu, tuan
maka terimalah bidadari ini dan juga surat ini
bukalah tuan! bukalah!

dan tuan, mohon maafkan aku
sekiranya telah cukup antaranku ini
izinkan aku mohon diri
jadwal kematianmu nanti aku inbox saja
ah iya!, perlu kita buatkan iklan di koran
tuan?

baiklah, permisi tuan.

padang, juni 2014

 

 

Ruas Bambu Seruas Selendang

ajaklah aku mengukur ruas bambu
bambu yang keras tajam batangnya
sesayat di tengah membagi sama lurus
lima ruas sehasta pangkal ke ujung
lancip ke ujung berbedak miang
hingga ke akar

di atas akar seruas saja
memakai selendang empat pasang
sama sebangun
keras bukan bambu tidak bisa pula
disebut daun
namun bambu bagai malu-malu
menutupi bawah tubuhnya dimamah mata
bambu lainnya
malu pula kepada limpahan akar yang
menghujam sebelum menyerabuti tanah
membagi rata kawanan serumpun

bambu seruas di belah dua
ambillah tengahnya buang ujungnya
kuliti saja pelan-pelan
pisau meraut darah jangan mengalir
bila sudah datang nanti hari raya besar
kita bakar bambu dan beras
untuk menghidangkan penganan lemang.

Padang, 20 Juni 2014

 

 

NYANYIAN ANGKA DUABELAS

denting berdenting
tikus berlarian mengencingi jarum jam
Tik tok, Tik tok

denting berdenting
anjing berlari detik ke detik
Tik tok, Tik tok

denting berdenting
tikus dan anjing bernyanyi pada angka duabelas
Tik tok, Tik tok

denting berdenting
napas anjing, napas tikus mendengus lantai jam
Tik tok menit keduabelas
Tik tok sejam kemudian

anjing, tikus dan jam
mengkhianati aku.

Tik tok!

Padang, 15 Juli 2014

 

 

Asalnya Ajal

Senja dan malam,
akankah nanti,
bila kupulang pada
asalnya ajal

bisa mengeja
tiap ketuk pintu
bila ia datang tiba-tiba

salam yang mana
bisa kujawab
dalam ajal menyesak

nama sendiri pun
sudah kulupa.

Padang, 12 Juli 2014

 

 

KUIKKWAN

Anak-anak mati
yang tua juga
PBB main kembang api
Israel main roket

hatiku mati
di Gaza.

Gazaku mati
di tangan Tuhan.

Istriku katanya ingin
ke Gaza.
Hatinya ingin mati
di sana
Bersama anak-anak
yang mati
Memeluk kuburan orangtua
yang mati
Meninggalkan aku
yang mati

Katanya PBB
tak mau mati-matian
katanya pun dikutuk

Katanya Israel
mati-matian
hanya kematian memeluk Gaza
dengan roket berhulu kembang api

Aku mati-matian
menonton Kuikkwan
di sini
ketika istriku mematikan hatinya
di Gaza.

Jumat, Juli 2014

 

 

Bermain Kata Mati

serahim secawan kata
dituliskan kata mengaji rupa
seair sedaging kata
ditiupkan tiada menjadi ada

janganlah penuh cawannya kata
jikalau penuh malanglah kata

kata menurun, kata mendaki
kabar dipulung, kabar dicari

sehampa ruang kata
sekeranda pulang kata
makna terbuang
mantera mengusang

kata menuju rahim
ada menuju tiada

:usang, hilang dan mati.

Padang, 07 Juli 2014

 

 

DI DERMAGA SUNGAIMU

Aku kini ingin menyeberang ke bagian lain sungai yang mengalir dalam dirimu
Sungaimu jernih dan sejuk penuh kehidupan
Sampanku telah lama menyauh di bibirnya, di mana sebuah dermaga kecil kubuat diam-diam
Purnama kutandai dalam barisan angka kalender,
menunggu isyarat darimu, tanda yang kini menjadi duniaku
untuk melepas sauh dan ikatan sampanku
Menemui sebaris kehidupan di seberang sungai yang mengalir dalam dirimu

Aku kini ingin
Berilah aku isyarat itu
Musim ini sungaimu alangkah tenangnya
Hei! pemilik sungai
sungai tenangmu gemas riak menampar
apa ini isyaratmu itu?
berilah aku isyarat lain
bahwa kau juga ingin turut serta.

Aku kini ingin menunggu tanda darimu untuk menyeberangi dengan sampan yang masih menempel di bibir dermaga sungaimu.

Hei! pemilik sungai.

Suasso, 6 Maret 2014

 

 

JUJUNG MA BULUNG-BULUNGi

I ma sapikulan ende sian boru
manyintak modom nia, ngot di tondik ni subuhi
mardalan dao manuat mangoban pasari-sari
ara ni bituha ni daganak na ken ilean
ara na pusuk ni amang ni daganaki
inda bolas abis
ara na indahan inda bolas markancit

manangkok manuat pardalanan na
mekkel ma unggeh dohot silompas para
di topi dalan ni
jujung ma bulung-bulungi
di adangan pe bahat do marsimbur doma
sinduduk, pining, unik, ciak-ciak dohot bulung-bulungna
unte, bulung salam dohot lasiak na

di paompar ma di topi di poken ni
potang ari mambungkus hepeng
kehen pardapur dohot pasari-sari
salero ni amang daganak dohot
daganak na i.

Padang, Februari 2014


URARE

dulu, biji-bijian termakan induk rusa
rusa berbelang kaki lima tingkat tanduknya
tanduknya berkilau emas dibasahi air batahan
batahan yang itu juga sejak urare masih menetaskan telur

setiap pemeraman naik sehabis pupuh hujan
hujan yang diminum rusa yang tanduknya mengais matahari
menyisakan asap kabut yang kemudian ramai dikerubungi
walet dan siri-siri menyerbukkan tubuh humus, pembakaran
muara lempung perut ikan urare pacak di atas bebatu berlumut

kalau sudah pemeraman naik ada bunyi berdentam
mengejutkan tepi air batahan, dulu selalu begitu
hingga besok pagi ikan urare berpindah ke dalam
belanga tanah berkobar di atas tungku
dengan biji mata pucat dan perut penuh telur
pangganglah sisik putih bergaris hitam dalam apit-apit
asapilah sampai ke negeri rantau, handai tolan lama
tak memakan ikan urare pemeraman yang melimpah
terbirit-birit ke tepian air batahan

biji-bijian dari mulut rusa menjadi pohon kapas
ketika dalam paruh burung menjadi bulir padi
saat tanduk rusa yang lima tingkat menyerbukkan matahari
dalam kabut di tepian batahan biji-bijian menjadi telur
yang menetaskan ribuan ikan urare, terpelanting dalam tubuh
batahan yang menderas, berderam, berdentam mengadu batu,
betung, manau dan kerisik daun bambu
daun bambu dalam asap kabut menjelma menjadi ikan urare
menunggu pemeraman naik sehabis hujan
angin memberi suara dentam dalam malam yang kuyup
tungku memberi kabar kepada rantau
pulanglah ketika pagi,
pulanglah ketika pagi,
buka tebat kita sehabis lebaran.

Silaping, 29 Juli 2014


Malam Kepulangan

Diam bukan kita teguk
maka bicaralah sereguk
tentang para beruk di kebun sebelah
yang menghabisi panen jambu air
setelah semusim lebih dijaga Mak.

Lampu bernyala di ruang tengah
telong menggantung di nganga beranda
decit sungai meniti bebatu
teramat dalam singgah pada malam
padi telah menjadi sawit dan anak muda
acapkali berangkulan birahi di tengah rimba
pokok ranum sulur buah sawit coklat kehitaman
hujan entah ke mana, dalam bunyi banzi kata
matamu, bagaimana aku akan melenggangkan
ronggeng, kuda kepang dan silat sigantang itu
sedangkan sungai airku tak sampai-sampai ke muara
hilang dihisap jelaga mentari menjadi minyak mentah
CPO yang harganya entah memakai hitungan apa.

batang pasaman kuning mengais warna
batahan menghisap humus, menyisir butir pasir hitam
seperti hitam rambutmu yang mulai meranggas
menyisakan sepetak huma di ujung kening
Huma itu mengiris birahi yang dikibarkan sepanjang
bebatu lubuk manggis, di situ bebatu menangis, di situ
dosa-dosa meringis

aku ingin pulang, Mak. Tetapi,
malam telah menghabisiku dalam seember
bir yang mengisi timba sumurku yang
semakin mengering akibat dahsyatnya
panjang kemarau di tanah darah tempat aku
kau lahirkan, Mak.

Ujunggading, 1 Agustus 2014

 

 

BATAHAN

desah batahan apa kabar?
resah bertahan membawa pulang
di kampungku rindu terbayang mata
bersua sehari sampailah sudah
pucuk bukit melaing ke tepian
kubawa rantau bersanding lekat
ke muara mais tanah pemandian
hanyutkanlah aku puput batang padi
sawah ladang hinggap di silayang
menyeberangkan tanah ketumpahan
lubuk gobing sabar menanti

batahan, ribuan not lagu di kecipak bebatu
ada banzi, gondang, suling dan tambur
cengkerama musim di sela jemari kaki
silaping bersolek bermanis muka
Oh! aku rindu pada siboru lubis,
boru matondang dan boru nasution
pada derai tawa boru batubara, boru siregar
dan boru pulungan
Hei! boru harahap kaubawa cintaku ke langit
sedang darah tumpahku bermain di silaping
bebatu pecahku menyungai
berlari, menghempas, menerangi,
pintu padang menumbuk gunung tua
tambang padang di tepi tubir
diseberang tanah menguning
sawah mudik tempat mukim para raja
membujur kuburan panjang
menuju puncak celah sigantang

simpang tolang kurindu pula
indung mata dalam berkubur
menyambut datang ke tapal batas
kampung mesjid baru taming batahan.

batahan! batahan!
ketika sunyi datang
bernyanyilah untukku,
Tuan.

Padang, 25 Juli 2014

 

 

Untuk Sebuah Sajak

Jalan yang kasat mata itu bersimpangan.
Tiba-tiba laut menyimbah, datang dari awan.
Laut itu memenuhi jalan yang akan kita tempuh.
Lihat di sana, di antara semak dan perdu
sebuah bukit tumbuh
mengaitkan diri kepada matahari.

Ke sana saja kita mendaki.
Pada badannya nanti,
kita menanam tomat, kentang dan gandum.
Di punggungnya nanti,
kita buatkan tebat
yang ikannya kita kail
menjelang petang datang.

Kita butuh sebuah kapal.
Bukankah jalan kita sudah menjadi lautan?
rumah-rumah menjadi karang,
tempat camar riuh berkencan.
Di celahnya barangkali nanti,
kita bisa memanen siput dan remas.
Atau tentu saja,
kita bisa duduk-duduk saja
berpacaran dengan ombak.

Angin sepoi menggigit, menghitung helai rambutmu.
menyapa kain selendang
yang indah menutupi tengkuk dan dadamu.
Tak usah kau tanya
di mana matahari untuk saat ini.
Lihatlah semburat jingga keemasan
yang hampir tenggelam di batas horison,
di sanalah matahari yang kau maksud
sedang menarikan senja.
Meninggalkan bukit kita
untuk benar-benar kita miliki berdua saja.

Di puncak bukit
pastinya akan lebih sempuna bila
kita dirikan sepetak huma.
Tentu saja dengan
sebuah pondok tempat kita
memeluk ruang dan waktu.

Di kaki bukit
debur ombak menampar karang
yang dulu adalah rumah-rumah,

di atas kita awan melayang
seumpama kapas dan salju.
Biru langit,
hijau bukit kita.
Indahlah semak dan perdu.

Maka di antara itu semua,
kemari rebahlah di atas dadaku.
Bisikkanlah kepadaku
inginkah engkau bila esok
bukit kita ini menjadi pulau saja?

Lubuk Minturun 2014

 

 

Dalam Sebuah Sajak

Akulah bayangan. Akulah cerita.
Aku tak berdaging, akupun tak bertulang.
Apa aku punya nama? Tidak! Kau jawablah begitu.
Tuliskanlah segala anatomiku sebagaimana kau suka.
Aku gelap, tapi ada.

Jangan kau pungkiri. Bertahun kau kuiringi ke mana saja.
Segala yang kau cinta itu
tak lain adalah bagianku juga.
Kenikmatan yang kau rasa itupun dariku juga.
Akulah batasmu. Aku pula cerminmu.
Ketika kau enggan mengukur aku dengan ragamu,
semua yang kau punya juga
akan menguap, meninggalkan engkau menjadi diriku.
Tak berdaging, tak bertulang.
Kau setumpuk kotoran saja.

Duniaku ini tidak akan lepas dari duniamu.
Berlarilah kau! Menarilah,
dan aku akan berlari serta menari juga.
Selagi kau melakukan itu, aku akan menertawakanmu.
Lakukanlah apa yang kau suka.
Sedangkan aku dengan suka cita menyertaimu pula,
sampai kau tak punya apapun lagi
untuk kau umbar di hadapanku.

Aku bayangan. Makananku tanah, angin dan ragamu.
Aku bercanda dengan sendagurau
yang tak akan kau mengerti.
Makananmu napas, saripati tanah,
dan nafsu yang melekat pada lidahmu.
Kau menyebut segala bentuk
makanan lucu itu dengan kata lapar.
Sebuah kata
yang membuatmu terbuang dari taman firdaus.
Aku sudah mengingatkanmu,
bagaimana kau bisa lupa?

Nafsumu pula yang ingin
memisahkan aku dengan engkau.
Sejak mula,
aku sudah menjadikan nafsumu itu sebagai musuhku,
musuh yang mesti kita kekang bersama.
Namun, kau itu manusia penghiba.
Atas nama kehidupanmu,
permusuhanku dengan nafsumu akan menjadi perang
dalam dunia yang tak akan kau pahami dengan
raga manusiamu itu.
Boleh saja kau bersikeras hati
untuk tidak mengindahkan permintaanku,
dan aku akan menjalani permusuhan ini
dengan senang hati pula.

Aku bayangan
dan aku tidak akan merasa lelah untuk itu.
Kau belum tahu, bukan?

Lubuk Minturun 2014

 

 

Pesta Ramai

pulang ke pesta ramai
bawa taji, kaji, dan tari
antukkan kepala ke dada nyanyi
noni-noni melenggok lentik
memberhalai punggung lelaki
membagi sesaji ke kanan dan kiri

belulang dibalut kulit
seketat kutang di dada lekat
bincang rambut riuh di kepala
sulang mulut ludah berdusta
ketatkan pegangan di pinggang
dansi menari tanpa selendang

mari berdusta kusayang
dekat meregang mengerang
kulupa kaji kuingat taji
pulang ke pesta dada menari
kita rebah tanpa alas punggung
rasa sama sama raba kita mengurung

pesta ramai
kita sendiri
ketat berbagi
aduhai kaji.

Lubuk Minturun 2014


Spora

di bebatu, kita makan aneka lumut,
di dengus sungai, kita sebar aneka spora,
di manis rembulan, kita ngaga aneka mulut,
di kerasnya kesunyian, kita belajar aneka suara,

bebatu mendengus, lumut memakan aneka spora semanis rembulan di tengah sungai
melaung dalam mulut yang menganga membunyikan suara decap aneka spora, lalu meletus di bibir bebatu, dikunyah rakus aneka lumut
dalam kesunyian berdekut keras meminta sungai mengalir
deras pada ngaga mulut,
dengus yang bersahutan, mengecap manis, belajar memakan suara
di kerasnya bebatu yang memakan rembulan,

di bebatu, spora menjadi lumut
di dengus sungai, spora menjadi lumut
di manis rembulan, suara menjadi mulut
di kerasnya kesunyian, suara menjadi mulut

lumut dalam mulut bersuara spora.

Padang, Agustus 2014

 

TENTANG PENYAIR

 

Denni Meilizon lahir tanggal 6 Mei di Silaping Pasaman Barat. Kumpulan puisinya dibukukan dalam Kumpulan Puisi: Kidung Pengelana Hujan (2012), Siluet Tarian Indang (2013) dan Rembang Dendang (2013). Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.



Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler