Skip to Content

teater

Foto Deo Helero

 

 

DI BAWAH TERANG BULAN PURNAMA

(Sebuah Teater)

 

Karya: Edy Soge Ef Er

 

 

“Karya ini saya persembahkan untukmu wanita malam purnama, gadis pesisir bermata permata dengan senyum rembulan dan tawa musim dingin… Kebarek  Lamaholot, purnacandra asmara, mari kita tautan jari kelilingking sambil nyanyikan pantun cinta agar getaran dadamu dan getaran dadaku menjadi satu getaran: dolo-dolo cinta pertama. Semoga kita tetap ingat bahwa di bawah terang bulan purnama kita mengikhlaskan sebuah pelukan atas nama cinta laki-laki dan perempuan dan berjanji sehidup semati sampai kekal.”

                                                                        (Edy Soge Ef Er)

                                                                                                                        Ledalero, Maret 2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DI BAWAH TERANG BULAN PURNAMA

 

Prolog:  Pembacaan puisi W. S. Rendra (panggung menampilkan suasana romantis malam bulan purnama. Sepasang kekasih saling menatap dari dekat sambil berbagi senyum lalu saling mendekap penuh kasih sayang).

Telah Satu

Gelisahmu adalah gelisahku.

Berjalanlah kita bergandengan

dalam hidup yang nyata,

dan kita cintai.

 

Lama kita saling bertatap mata

dan makin mengerti

tak lagi bisa dipisahkan.

 

Engkau adalah peniti

yang telah disematkan.

Aku adalah kapal

yang telah berlabuh dan ditambatkan.

 

Kita berdua adalah lava

yang tak bisa lagi diuraikan.

 

Catatan:

Setelah pembacaan puisi selesai langsung diikuti dengan tarian dolo-dolo[1]. Para penari masuk dan membentuk lingkaran yang nantinya melingkupi dua sejoli dan kemudian saling berbalas pantun.

 

 

 

 

 

Setting 1:

Lighting panggung suram, samar-samar, seorang perempuan masuk panggung dengan langkah yang berat, tubuh tak kuat benar bagai diliputi tragik dan tragedi cinta perkawinan. Ia sepertinya menyesali janji setia yang diucapkan saat nikah suci. Musik melankoli diputar.

 

Orang 1(perempuan):

Adam kekasihku, malam bulan purnama tak pernah datang lagi. Purna sudah purnama perkawinan. Pantun dan syair yang kita lantunkan bersama-sama telah menjadi elegi dan balada dalam sepi, sendiri hari-hariku tanpamu. Engkau telah memilih rupiah, gadis manja, pelacur perayu  yang disukai ribuan jutaan lelaki di bumi. Mengapa aku kau tinggalkan (merintih dan menangis). Mengapa… Mengapa… Mengapa… Hari-hari ini aku telah menjadi berbeda. Dulu aku menjadi istri yang penyanyang, dan ibu penuh kasih sayang bagi anak-anak, tetapi sekarang aku hanyalah sampah di masyarakat, mawar liar di ladang hidup malam hari.

Backsound:

 Suara isak tangis perempuan (sentimental dan melankolis).

Orang 1(perempuan):

Adam kekasihku, dengarlah jeritan tangisku. Tangis dari jiwa yang sepi. Jiwa seorang perempuan jalang-melalang-merandai-ilalang malam,malam-malam panjang…….Aku telah engkau jadikan pelacur, Adam.

Orang 2 (laki-laki):

(Masuk panggung)

Hahhaha… Hahaha…. Hahahahaaa… (tetawa bangga, seolah-olah sangat berkuasa). Akulah Adam. Akulah laki-laki, penguasa peradaban. Satu hal penting yang menjadi cita-citaku adalah meningkatkan human trafficking demi uang, uang dan uang. Uang adalah segalanya. Tuhan sekalipun mampu dikalahkan uang. Agama dipolitisai karena uang, religius jatuh karena uang; tidak mampu menaati janji setianya untuk miskin di hadapan Allah. Ah, uang adalah satu-satunya. Karena itu penting bagi saya untuk menjalankan transaksi jual beli manusia. Manusia perempuan harus dijual sebab ia adalah keindahan yang perlu dinikmati. Perempuan, makhluk terindah yang tercipta dari rusukku. Hahaha… Hahahaa….

Backsound: Musik-musik sendu dan melodis.

Orang 1 (perempuan):

Aku perempuan pasrah tak berdaya, telentang manis memendam amarah tak terucap. Aku dibaringkan di padang gurun ranjang nafsu dan birahi milik Adam, lelaki penguasa. Aku layu, lunglai, lalu ranggas… Engkau bebas menyelusuri lekuk indah tubuhku perempuan malang. Tanpa beban dosa engkau menyusuri lorong-lorong indah tubuhku. Singgah  di telagaku yang menyimpan air kehidupan. Aduh,… engkau merobek rumahku, Adam (menagis). Aku menangis. Engkau tak peduli. Dengan kasar engkau memetik apel ranum di dadaku, meremasnya hingga kenyalku tak kenyal. Betapa jahatnya engkau, Adam. Engkau menjual aku dengan rupiah yang tak aku ketahui  berapa jumlahnya. Aku dijual….. Selesai!

 

Ah…Ah…Ah… (berteriak gelisah)

Mengapa aku diciptakan? Mengapa aku telanjang? Apakah ini gambaran tanpa dosa? Apakah ini cinta dan keindahan? Aku rindu untuk kembali ke firdaus. Di sana aku bisa telanjang lagi di hadapanmu, Adam. Tetapi mengapa engkau masih menganggap dirimu lebih besar, tinggi, agung dan berkuasa?

Orang 2 (laki-laki):

Karena  engkau tercipta dari rusukku - “Inilah dia,tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki” (kej. 2:21-23).

Orang 1 (perempuan):

Mengapa harus rusukmu yang diambi dan bukan tulang yang lain?

Orang 2 (laki-laki):

Karena rusukku lebih dekat dengan hati. Ia adalah pelindung. Ia adalah pendamping. Akulah pelindung perempuan. Akulah pendamping jiwa.

Orang 1 (perempuan):

Tetapi mengapa engkau berkuasa atas aku? Dan kini engkau menjual aku seolah aku ini barang dagangan? Mengapa?

Orang 2 (laki-laki):

Ha! (pause) Ini budaya patriarki (mundur lalu keluar panggung).

 

 

 

Backsound: Instrument gembira, menghibur, menguatkan (klasik).

Orang 3 (pastor):

(Masuk panggung dengan lilin paskah di tangan. Ia datang “melawat” perempuan yang berdosa.)

Anakku, mari dan ikutlah aku. Bulan purnama akan tiba. Tuhan sudah bangkit. Purnama adalah Rahim kehidupan. Purnama adalah cinta. Purnama adalah paskah Kristus. Kristus pulang pada Rahim segala Rahim.

Orang 4 (pemberontak):

Hei pastor, apa yang Anda perbuat terhadap orang ini. Apakah Anda berpikir agama adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar kehidupan. Anda harus ingat bahwa Anda seorang yang berdosa. Anda pernah memberi pengakuan bahwa dosa banyak terjadi di atas tempat tidur. Seorang pastor tidak punya istri, tetapi ingin sekali punya istri (pause). Bagaiamana seorang berdosa menuntut orang berdosa. Bagaimana kalau orang buta menuntun orang buta. Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang. Saya curiga jika Anda menolong orang ini kalian akan jatuh ke dalam pencobaan. Orang berdosa yang menuntun orang berdosa keduanya  akan berbuat berdosa.

Orang 3 (pastor):

Apa? (memberontak, tidak puas). Dari mana Anda tahu kalau saya berdosa?

Orang 4 (pemberontak):

Coba kita dengar suara ini.

Orang 3 (pastor):

Suara siapa?

Orang 1 (perempuan):

Suaraku. Suara Maria Zaitun.

 

Vox:

(Pembacaan beberapa bait puisi “Nyanyia Angsa” karya W. S. Rendra).

 

 (Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya iri dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Aku gemetar ketakutan.

Hilang rasa. Hilang pikirku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang takut dan celaka.)

 

Jam satu siang.

Matahari masih dipuncak.

Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.

Dan aspal jalan yang jelek mutunya

lumer di bawah kakinya.

Ia berjalan menuju gereja.

Pintu gereja telah dikunci.

Karna kuatir akan pencuri.

Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.

Koster ke luar dan berkata:

“Kamu mau apa?

Pastor sedang makan siang.

Dan ini bukan jam bicara.”

“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”

Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.

Lalu berkata:

“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.

Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”

Lalu koster pergi menutup pintu.

Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.

Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.

Setelah mengorek sisa makanan dari giginya

ia nyalakan crutu, lalu bertanya:

“Kamu perlu apa?”

Bau anggur dari mulutnya.

Selopnya dari kulit buaya.

Maria Zaitun menjawabnya:

“Mau mengaku dosa.”

“Tapi ini bukan jam bicara.

Ini waktu saya untuk berdo’a.”

“Saya mau mati.”

“Kamu sakit?”

“Ya. Saya kena rajasinga.”

Mendengar ini pastor mundur dua tindak.

Mukanya mungkret.

Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:

“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”

“Saya pelacur. Ya.”

“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”

“Ya.”

“Santo Petrus!”

Tiga detik tanpa suara.

Matahari terus menyala.

Lalu pastor kembali bersuara:

“Kamu telah tergoda dosa.”

“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”

“Kamu telah terbujuk setan.”

“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.

Dan gagal mencari kerja.”

“Santo Petrus!”

“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.

Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.

Yang nyata hidup saya sudah gagal.

Jiwa saya kalut.

Dan saya mau mati.

Sekarang saya takut sekali.

Saya perlu Tuhan atau apa saja

untuk menemani saya.”

Dan muka pastor menjadi merah padam.

Ia menuding Maria Zaitun.

“Kamu galak seperti macan betina.

Barangkali kamu akan gila.

Tapi tak akan mati.

Kamu tak perlu pastor.

Kamu perlu dokter jiwa.”

 

 

 

Setting 2:

Panggung terang benderang. Seorang perempuan berdiri di depan mimbar dan berbicara di hadapan pendengar.

Orang 1 (perempuan):

Kekasih Adam yang terhormat, aku akui aku tercipta dari engkau. Tetapi bukan berarti aku lebih rendah darimu Adam, hai laki-laki. Ini adalah kesamaan martabat kita, perempuan dan laki-laki-“Memiliki tulang dan daging yang sama” (Kej. 2:23). Aku juga penolong yang sepadan dengan engkau Adam (bdk. Kej 2:21-23). Karena itu kita saling membutuhkan satu sama lain, khususnya dala hidup perkawinan. Ingat pesan rasul Paulus, “Dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.” Ok Adam, aku juga mohon maaf karena aku cepat tergoda. Aku lebih dulu jatuh. Ular itu cerdik Adam. Hati-hati ya Adam. Awas digigit ular. Racun ular adalah uang dan kuasa. Tetapi bagaiman ya, kamu sudah minum racun itu. Dan aku telah kamu racuni dengan racun itu. Ah, sudahlah. Oh, aku juga sangat bangga saat ini. Meskipun aku tergoda, aku masih sempat mengingat perintah Allah (Kej. 3:2-3). Sedangkan ketika aku memberikan buah terlarang itu engkau lansung memakannya tanpa peduli pada perintah Allah (kej. 3:6b). Ternyata engkau rakus, Adam. Engkau pelahap, engkau agresif. Engkau liar, Adam. Ingat, Allah menuntut pertanggungjawabanmu pertama-tama (bdk. Kej. 3:9-12), setelah itu baru aku perempuan (bdk. Kej. 3:13). Karena itu, dalam pengajarannya mengenai dosa, rasul Paulus sendiri tidak mempersalahkan aku – hawa - perempuan (bdk. 1 Tim 2:24), melainkan engkau adam-laki-laki sebagai sumber dosa dan maut (bdk. Rom. 5:12-21). Engkau adalah dosa adam. Engkau adalah ular. Engkau adalah penguasa.

Kekasihku Adam yang terhormat, malam bulan purnama sudah tiba. Mari kita tautkan jari kelingking, kita menari dolo sambil bermain pantun.

 

Epilog:

(pembacaan puisi “Aku Ingin Mencintai dengan Sederhana” karya Sapardi Djoko Damono).

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

 

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

 

*Edy Soge Ef Er, lahir di Hewa (Larantuka, Flores Timur), 27 Oktober 1996. Belajar menulis puisi sejak di Seminari San Dominggo Hokeng, Larantuka dan sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero, Maumere. Menulis buku kumpulan cerpen “Jendela Sunyi” (2018). Nomor HP: 082119450638.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran:

Pantun yang sering mengiringi tari Dolo-dolo:

"LUIE"

Ulangan (Refren):

lui e…. lui e…. benedita sepia lenggang tangan

lui e…. lui e…. benedita sepia lenggang tangan

oa oa e.. le le… mari mari beta endo

oa oa e.. le le… mari mari beta endo

solo:

kata ikan ikan mata kena

kata ganto ganto ujong bale

kata no mata so tekena

kata hati hati bulu bale

 

kata padi padi hatu ble

kata rega rega tiga suku

anta oa maso dalam bile

untuk serewi serewi bapa suku

 

kata mandi mandi ae kongga

kata tako tako malaria

kata no orang punya soba

kata jangan jangan jemberia

 

kata ae ae kebo kebo

kata turon turon raba ketang

kata oa jangan sebo sebo

kata tunggu tunggu eso petang

 

 

[1]Tarian dolo-dolo merupakan tarian tradisional orang Lamaholot (Flores Timur, Lembata) yang mengungkapkan nilai persatuan, komunio kultural, dan nilai persahabatan yang  sering kali dimanfaatkan oleh kaum muda untuk mencari pasangan (jodoh). Biasanya orang muda Lamaholot bermain dolo-dolo pada malam bulan purnama. Dalam tarian ini (siapa saja boleh ikut serta) akan saling menautkan jari kelingking dan membentuk lingkaran. Sekarang dolo-dolo menjadi popular saat pesta perkawinan atau acara syukuran. Namun sebetulnya dulu dolo-dolo dipentaskan pada puncak sebuah ritual adat. Tarian dolo-dolo berkembang dari tarian yang lebih tua, yang disebut Banama : tarian yang dipentaskan sebagai syukur atas panen. . Dolo-dolo diiringi oleh gendang atau gong, tetapi sekarang orang dengan mudah menggunakan  music mp3 yang berirama dolo pada perangkat audio. Perlu kita ketahui bahwa kata dolo-dolo yang kita kenal selama ini, bermula dari kata dola, yakni paduan nada do dan nada la dalam sistem solmisasi sebagai standar bunyi atau nada awal untuk menyampaikan syair atau pantun. Informasi lebih lengkap  baca di internet dengan alamat, https://wandypunang.blogspot.com/2017/03/tarian-dolo-dolo-perseteruan-an....

Komentar

Foto Deo Helero

bulan purnama, bulan asmara

bulan purnama, bulan asmara

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler