Skip to Content

Bukan Hidup yang Membuatku Sepi, Tetapi Kesepian yang Membuatku Mati

Foto Royhanatul Fauziah
Langkah kaki perempuan tua itu tiba-tiba terhenti di depan sebuah restoran seafood. Lewat kaca jendela restoran, perempuan tua itu lalu menatap ke arah sekumpulan ibu-ibu yang sedang asik berbincang. Samar-samar terdengar obrolan mereka yang membicarakan tentang kesuksesan suami, anak-anaknya, juga cucu-cucunya, sambil diiringi tawa dan senyum bangga.
 
Seperti ingin duduk berada diantara mereka, aku masih menatap lewat kaca jendela restoran berharap bisa menikmati masa tuaku ini dengan sesama ibu-ibu sambil membicarakan kehebatan anak cucu dan suami tercinta. Tapi lewat kaca jendela itu pula aku bercermin bahwa aku hanyalah perempuan tua dan kesepian yang tak memiliki teman seperti yang sedang aku lihat saat itu.
 
Tapi Tuhan memang maha adil, aku bersyukur tak pernah diberi teman. Karena jika aku harus memiliki teman, mungkin aku akan tetap bersedih karena tak punya cerita bahagia yang harus kubagi. Mungkin aku akan menceritakan kepada mereka bahwa aku sudah menikah tiga kali, dan tiga kali itu pula aku ditinggalkan. Ditinggal mati, ditinggal selingkuh dua kali oleh mantan suamiku yang sialan.
 
Aku sudah cukup merasa muak melihat tatapan iba orang-orang sekelilingku. Dan memiliki teman hanya akan membuat hidupku semakin menderita. Bagaimana tidak, orang-orang zaman sekarang ini banyak yang munafik. Di depan saja ia berkata manis, menyunggingkan senyum ramah, sambil mengatakan sesuatu yang menenangkan hati, padahal di belakang mereka menertawakan kesendirianku yang… Ah, sudahlah.
 
Akupun beranjak pergi dari tempat itu.
 
Hidup ini terasa berat jika aku hanya selalu melihat ke atas, tapi bagaimana bisa aku melihat ke bawah sedang hidupku ini seperti berada di posisi paling bawah. Dengan penderitaan-penderitaanku yang bertubi.
 
Beratnya hidup semakin nyata saja saat aku menyadari botol-botol di bakul yang ku gendong masih penuh. Suara air di dalam botol berkecipak seperti tetesan air mata yang jatuh ke sebuah telaga yang sepi.
 
“Jamu.. jamu.. jamu, mas?”
 
Ah, lagi-lagi teriakan ini. Seperti perempuan nakal saja aku menawarkan jamu kuat kepada para pria yang sedang bergmul dengan asap rokok.
 
Ya, aku memang perempuan nakal. Sesekali aku membiarkan tangan-tangan kasar mereka mencolek daguku, sambil menyunggingkan senyum tentunya. Terpaksa? Mungkin saja. Karena jika aku mengelak, mungkin aku akan kehilangan pelanggan tetapku. Meskipun aku menyadari bahwa mereka menjadi pelangganku bukan karena rasa jamuku yang enak. Kaupun tahu, rasa jamu tak pernah manis, ia selalu pahit. Seperti hidup ini. Bukan pula karena jamuku yang berkhasiat. Haha, apa artinya jamu kuat jika kepada istrinya saja mereka tak pernah bernafsu. Karena akulah, karena tubuhku, karena parasku mereka selalu setia membeli jamu yang ku tawarkan. Itu masih kemungkinan. Nyatanya, bisa saja mereka membeli jamuku karena kasihan. Karena iba melihat kesepianku yang… Ah, sudahlah.
 
Hanya dari bakul inilah aku melanjutkan hidup. Dari teriakan nakalku aku mampu menghasilkan uang. Dari jamu pahit ini aku melanjutkan hidupku yang pahit. Sesekali ada anak-anak kecil yang membeli jamuku. Kadang lewat wajah anak-anak inilah aku memiliki tawa, hanya tawa kecil. Bahkan aku tak pernah ingat kapan terakhir kali aku benar-benar tertawa. Kau tahu, aku selalu tertawa kecil ketika melihat wajah anak-anak itu, mulut mungil mereka berubah lucu saat merasakan pahitnya jamuku, dan kembali tersenyum saat meminum jamu penutup yang manis rasanya. Seperti hidup ini, kadang kita harus melewati kehidupan yang pahit terlebih dahulu sebelum menikmati kehidupan yang manis. Tapi hidupku selalu pahit rasanya, akankah aku bertemu kehidupan yang manis suatu saat nanti? Entahlah, hanya tuhan yang tahu.
 
Untuk sebagian pembeli mungkin jamu ini merubah sedikit hidupnya. Misalnya merubah sedikit kebahagiaan si istri saat malam tiba. Atau merubah kekuatan tenaga si pekerja sehingga mendapat pujian atau gaji tambahan dari majikannya. Mungkin lewat jamu-jamu ini aku mampu memberi sedikit kebahagian kepada mereka.
 
Tapi siapa yang mampu memberiku kebahagiaan? Aku tak pernah meminum jamu. Bagiku jamu-jamu ini tidak ada apa-apanya. Mungkin untuk mereka jamu-jamu ini mampu memberi kekuatan, tapi tak bisa jamu-jamu ini memberi kekuatan pada hidupku, pada hatiku.
 
Aku duduk di trotoar jalan, di perempatan sekitar tempat lampu merah. Sekedar melepas lelah. Matahari menyengat, udara panas, beribu kendaraan lewat di depanku, debu-debu bergumul menambah kelabu saja hatiku yang risau.
 
Orang-orang lalu lalang mencari kesibukannya sendiri. Tanpa melihat aku. Apalagi mempedulikanku. Entahlah di tengah keramaian ini, suara klakson, suara mesin bergumam, suara dercit ban yang mencium aspal di jalan raya ini malah semakin membuat aku merasa kesepian.
 
Aku memang kesepian. Setelah tiga kali pernikahanku yang gagal aku berjanji untuk hidup sendiri, tanpa laki-laki. Ya, laki-laki hanya menjadi sumber penderitaan bagi hidupku.
 
Lampu merah menyala, tanda kendaraan akan berhenti disini, di depanku. Anak jalanan langsung menyerbu mobil-mobil mewah itu, menyanyikan lagu dengan suara yang pas-pasan dilengkapi dengan alat musik yang seadanya. Ada juga penjual koran yang menawarkan berita-berita korupsi, perselingkuhan, atau cerita-cerita perceraian artis. Kulihat tak banyak yang membeli koran, karena orang-orang mungkin sudah tak tertarik lagi untuk membaca.
 
Dari tempat dudukku, aku melihat ke arah sebuah mobil sedan yang jendelanya sedikit terbuka, di dalamnya ada seorang lelaki tua sedang bermesraan dengan seorang perempuan muda, sambil suap menyuapi makanan ringan dan tertawa-tawa diselingi ciuman-ciuman nakal. Demi Tuhan, aku ingin muntah saat itu juga.
 
Lampu masih merah, tanda kendaraan masih akan berhenti. Aku hendak menyebrang jalan. Aku ingin pulang. Tapi kemana? Bukankah aku tak pernah benar-benar memiliki tempat untuk berpulang?
 
Rumah hanya sebatas bilik yang sobek, atap yang bolong, dan lantai yang kosong. Ah, kulanjutkan saja perjalanan pulangku dengan tatapan kosong dan lamunan hidupku sendiri.
 
Tiba-tiba gelap menyelimuti mataku. Ada apa ini? Kenapa gelap sekali? Dan tubuhku terasa ringan.
 
Aku baru menyadari kalau keranjang dan botol-botol jamuku sudah tumpah dan berserakan di jalan raya. Aku hendak memungutinya, tetapi orang-orang menghalangiku untuk meraihnya. Mereka berkerumun, ribut dan bingung. Aku ikut bingung juga rupanya melihat sesosok jasad berlumur darah, sesosok jasad perempuan yang…… sudah kuduga, itu jasadku!
 
Aku menangis. Menangisi diriku sendiri.
Mati dengan tragis? Bukan itu yang membuatku menangis. Tetapi kematian yang sepi. Tanpa tangisan kerabat atau keluarga, tanpa doa-doa atau sekedar taburan bunga.
 
*selesai

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler