Skip to Content

Bulan Terakhir

Foto Novhita Malihah

Bulan Terakhir

            “Bulan, kamu cantik sekali malam ini. Cahaya mu begitu indah dan bersinar terang menghiasi rasa sepi di hati ini. Tapi, aku sekarang sedang sangat sedih. Kamu tau kenapa?. Karena aku merasa sekarang semua orang tak lagi memperdulikan aku. Mereka telah sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah, Bunda, dan Abang Lim pun begitu. Sekarang hanya kamu satu-satunya yang mau menemani aku. Dan tolong jangan ikut-ikutan mereka yah ninggalin aku.” Ratap Ayak sendirian. Buliran hangat mengalir dari kedua pelupuk matanya. Membasahi wajah cantiknya.

            “Non Ayak.” Sapa Bik Odah, pengasuh setianya sejak kecil. “Sudah malam seperti ini kenapa masih saja di luar?. Kalau nanti masuk angin dan sakit bagaimana?.”

            “Biar saja Bik, siapa tau kalo ayak sakit. Ayah, Bunda, sama Abang Lim akan sayang dan perduli lagi sama ayak.”

            “Eeh eeh.., kok ngomongnya begitu non. Gak boleh ah, pamalik.”

            “Tapi bik..”

            “Sudah non kita masuk aja ya!.” Pinta Bi Odah memelas. Ayak pun mengikuti permintaan pengasuh yang amat disayanginya itu. Baru beberapa langkah melangkah, ia pun berhenti dan kembali menatap rembulannya.

            “Bulan, andai saja Bunda seperti Bik Odah. Pasti Ayak gak akan merasa kesepiaan kayak gini.” Ujarnya di balik relung hati.

            “Kenapa berhenti non?.”

            “Emh gakpapa bik.” Ucapnya tersenyum. “Yuk Bik, kita masuk.” Kembali dengan senyum mengembang.

¤¤¤¤¤

            Malam ini kembali ia tatap bulannya yang mulai tak utuh lagi.

            “Bulan, tadi di sekolah aku pingsan. Sebab jatuh dari tangga. Tapi, sebenarnya bukan karena itu. Sebelum jatuh aku uda ngerasa pusing banget, leher dan pundakku juga terasa berat. Apa karena tadi pagi aku gak sarapan terus pas jam istirahat sekolah, aku juga telat makannya.” Ia pun berfikir sejenak dan menarik nafas panjang.

            “Bulan, kamu kok gak bulat lagi?. Oh iya, kata Ibu Ros. Kamu itu mengelilingi bumi setiap harinya. Jadi sedikit demi sedikit wajah kamu jadi gak keliatan karena gak kena sinar matahari. Tapi gak papa deh, buat aku kamu itu tetap cantik.” Senyumnya.

            “Non..,” kembali Bik Odah melakukan hal yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Dan seperti biyasa Ayak pun akan sedikt menolak untuk melakukannya.

            Pagi telah menjelang, namun tidak ada perbedaan dari pagi-pagi sebelumnya. Tetap ada Ayah, Bunda, dan Abang Lim memenuhi meja makan itu. Namun tak sampai lima menit Ayak duduk diantara mereka. Secepat kilat, satu persatu dari mereka lenyap dan pergi meninggalkan Ayak sendirian di meja makan itu. Dia hanya diam terpaku, wajahnya sedikit pucat hari ini. Sejak semalam tubuhnya terasa meriang. Mungkin hanya sedikit terserang demam atau masuk angin. Mengetahui hal itu, Bik Odah pun khawatir. Dilayangkan tangannya keatas kening Ayak. Tidak panas, tapi kenapa terlihat pucat?.

            “Non, non Ayak sakit ya?.” Tanyanya resah.

            “Tidak Bik, Ayak hanya merasa mual dan sedikit pusing. Mungkin hanya masuk angin.” Cobanya menenangkan pengasuhnya ini.

            “Kita periksa kedokter yuk non.”

            “Gak mau ah Bik, Ayak mau sekolah aja. Hari ini Ayak ada ulangan matematika. Ayak gak mau telat.”

            “Tapi non.”

            “Mang Deden.” Panggilnya.

            “Dalem non.” Teriaknya dari teras.

            “Kita berangkat yuk mang.” Melihat kondisi nonanya yang cukup menghawatirkan membuat Mang Deden sedikit ragu untu mengabulkan permintaannya.

            “Yuk Mang, tunggu apa lagi?. Nanti Ayak bisa telat masuk sekolahnya loh.”

            “O oh iya non.” Ia pun mengantarkan majikan kecilnya hingga sampai kesekolahnya. “Sudah sampai non, non Ayak gak turun?.” Tanyanya. Namun, sedikitpun tak ada balasan. Tak ada respon darinya. Hatinya pun mendadak bergejolak kencang, rasa khawatir menyelimuti relung hatinya. “Non, non Ayak.”  Saat di balikkannya kepala Ayak yang bersandar menghadap kaca. Betapa luar biasa terkejutnya ia, saat melihat darah segar mengalir dari hidung majikan kecilnya. Spontan ia berteriak dengan di bantu oleh satpam dan beberapa guru disana, Ayakpun dilarikan kerumah sakit.

            Dengan kepanikan luar biasa Ayah, Bunda, dan Abang Lim segera pergi kerumah sakit saat mendengar hal yang menimpa Ayak. Di ruang ICU para dokter berjuang untuk menyelamatkan Ayak. Detak jantungnya sempat hilang dalam beberapa menit, meski akhirnya dapat kembali berdetak, namun tubuh Ayak begitu lemah. Setelah hampir satu jam Dokter bertarung di dalam, akhirnya mereka pun keluar. Secepat kilat Ayah, Bunda, dan Abang Lim menyerbu sang dokter.

            “Dokter, apa yang terjadi pada anak saya?. Ayak baik-baik saja kan?.”

            “Tenang Pak, tenang Bu.” Sang dokter pun menarik nafas panjang. “Saya harap, bapak ibu dan semuanya bisa berbesar hati menerima ini. Saya cukup kaget dengan ini, sebab anak sepuluh tahun seperti ayak sudah harus menderita penyakit yang mematikan seperti ini.”

            “Ma..maksud dokter apa?.” Tanya Bunda dengan tubuh gemetar.

            “Ayak menderita Leukimia dan Paru-paru basah stadium akhir.”

            “Tidaak..” sepontan Bunda dan semuanya berteriak histeris. “Ayaaak.., gak mungkin dokter. Anda pasti bohong, Ayak tidak mungkin menderita penyakit mematikan itu, tidak mungkin. Bik Odah, kenapa ini bisa terjadi, bukannya bibik saya beri tugas untuk menjaga Ayak, kenapa Ayak bisa sakit seperti ini. Kenapa?.”

            “Maaf Nyonya, Tuan. Saya juga tidak tau, belakangan ini non Ayak memang sering pucat, tapi ia tidak pernah mengeluh. Meskipun saya tau dia merasakan sakit di kepalanya. Tapi non Ayak selalu memberikan senyuman terbaiknya untuk menutupi semua itu. Saya juga pernah mengatakan hal ini pada Tuan maupun Nyonya. Tapi kalian selalu sibuk dan tidak perduli. Kalian hanya mengatakan bahwa ini hanya sakit kepala biasa. Tuan dan Nyonya tau, non Ayak selalu merindukan kebersamaan dengan kalian. Yang sudah cukup lama tidak ia rasakan. Hati saya hancur Tuan, hati saya sakit melihat non Ayak seperti ini. Sakiit..”

            “Astagfirullah bik, maafkan saya. Ini salah saya, saya bukanlah ibu yang baik buat Ayak. Ya Allah...” Bunda pun menangis histeris.

            ¤¤¤¤¤

            Berdiri tegap Lim di hadapan adik tercintanya, di tatapnya tubuh lemah tak berdaya dengan berbagai bentuk peralatan rumah sakit di tubuhnya. Ia pun menunduk sambil menggenggap tangan mungil adiknya itu.

            “Ayak, maafkan Abang Lim. Abang sudah jahat sama kamu, belakangan ini Abang sibuk sendiri. Tidak pernah lagi nemenin kamu main dan ketemu sama bulan. Maafkan Abang Yak, maafkan.” Ia pun menangis sesunggukan.

            “Abang Lim.” Panggil Ayak lirih. “Banggg..”

            “Ayak.., kamu uda bangun dik.”

            “Abang ada disini?. Ayah sama Bunda mana?.”

            “Ayah sama Bunda disini nak.” Ucap Ayah. Bundapun menghamburkan diri dan memeluknya. “Maafkan Bunda Yak. Maafkan Bunda yang tidak pernah ada di samping kamu. Yang tidak pernah perduli dan menemani kamu. Maafkan Bunda nak, maafkan.”

            “Bunda, kenapa bilang begitu?. Ayak yang nakal, sebab uda bikin Bunda nangis kayak gini.” Ucapnya lirih.

            “Enggak sayang, Ayak gak nakal. Sama sekali gak nakal. Ayak itu putri Bunda sama Ayah yang paling cantik dan cerdas.”

            “Benar Bund?.”

            “Iya.”

            “Abang Lim.”

            “Iya Yak.”

            “Ayak pengen liat Bulan kak malam ini. Abangkan uda lama gak nemenin Ayak. Sekali ini aja bang, habiz itu Ayak gak akan minta lagi. Boleh ya?.”

            “Iya, abang temenin kamu. Mau sampai kapan pun ayak minta temenin, pasti Abang temenin Yak.”

¤¤¤¤¤

            “Bulan, malam ini Ayak seneng banget. Sebab Ayak gak sendiri lagi. Kamu benar, kalo Ayak sakit pasti semua perhatiin Ayak, dan semuanya sekarang uda terjadi. Bulan, terimakasih yah karena kamu uda mau nungguin Ayak. Kamu belum benar-benar habis, kamu masih sisain diri kamu yang hanya seperempat itu buat nungguin Ayak. Terimakasih yah bulan, Ayak sayang sama kamu. Ayak juga sayang sama Ayah, Bunda, Abang Lim, Bik Odah, dan Mang Deden. Ayak sayaang semuanya.”

            “Abang dan semuanya juga sayang kamu Yak.”

            “Bang, Ayak ngantuk. Ayak tidur sandaran sama bahu Abang ya?.”

            “Iya, gak apa-apa. Kapan pun kamu mau, kamu bisa bersandar di bahu Abang. Besok kalau kamu mau, Abang akan temenin kamu lagi Yak. Yak, Yak..., Ayak..,” karena khawatir ia pun menaruhkan jari telunjuknya kebawah hidung Ayak, dan.. “Ayaaaak.... bangun Yak, banguun. Jangan tinggalin Abang, Ayyaaak...”



Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler