Skip to Content

Cerewetnya Ibuku

Foto krshnptr14

“Mainnya jangan lama-lama. Kalau lama, nanti jemputnya susah. Inget waktu shalat. Jangan telat shalatnya. Terus nanti ajak si Dino baca qur’an juga. Ibu enggak mau kamu telat nanti bimbelnya jam tujuh, kan kamu anak baru. Terus..”

“Iya, bu! Aku enggak bakal lama-lama. Cuma ngerjain tugas doang. Terus nanti paling habis ashar udah selesai. Udah ya Bu.”

“Kamu jangan motong perkataan Ibu! Nanti kualat. Oh iya, nanti di rumah nyapu dulu, ya! Ibu mau arisan dulu. Jangan lupa nyiram bunga sama kasih makan Ikan, ya. Kucingmu Brownie Ibu titipin ke Tante Citra.”

“Iya, Bu..! Nyiram bunga? Iih ogah. Tapi ya udah deh. Danang nyapu lah, apa, lah. Semuanya, deh.”

“Hhh. Iya sudah. Jangan lama-lama, ya.”

*****

Hahh. Malesnya punya Ibu cerewet kayak Ibuku itu. Itulah, apalah, inilah. Kayak anak Mama aja, sih. Jadi sebal kadang-kadang!

“Woi, Nang, jadi enggak main di rumahku?” Dino tiba-tiba mengagetkanku.

“Eh, kukira siapa. Jadi, kok. Tapi kata ibuku enggak boleh lama-lama. Habis ashar aku pulang.”

“Ashar? Yah, cepet amat. Belum tentu kamu bisa nyetak gol dalam waktu secepat itu. Pake shalat Ashar, lagi. Aku mah enggak pernah Shalat Ashar.” Tukas Dino sambil nyengir.

“Parah banget kamu. Kamu kan udah SMP kelas 1, masa enggak pernah? Aku kalau enggak shalat dipukul sama Ibuku. Untung enggak sama Ayah. Ayahku sih, baiiik..!” Jawabku sambil menerawang. Aku baru ingat kalau aku tidak punya Ayah lagi. Uh, aku jadi kangen sama Ayah.

KRIING!!

Akhirnya waktu pulang juga. Aku segera keluar bareng Dino. Kami pergi ke kantin. Dia mentraktirku. Anak orang kaya, maklumlah. Lumayan dijajanin bakwan malang sama teh botol.

“Nang, udah belom makannya? Aku udah dijemput nih!” Dino membereskan tasnya. Aku menyedot teh botol yang tinggal sedikit lalu berlari menyusul Dino yang sudah masuk ke dalam Vios hitam pribadinya.

“Eh, Din, yakin nih pulangnya habis Ashar? Ini udah jam setengah empat. Main bola kan 90 menit. Berartii, sampe jam setengah lima lebih lah. Udah telat, tuh. Mending makan apa enggak mandi dulu aja di rumahku.” Tawar Dino.

Hmm. Tapi kalau pulang telat, Ibu pasti marah. Enggak sih, menasihati. Tapi nasihatnya itu lho yang bikin telinga males dengerin. Cerewet abis. Nasihatnya kemana-mana. Ke Ayah, lah. Ke Ibu Guru lah. Nenek kadang-kadang juga dimasukin ke dalam nasihatnya. Hhh, nasihat apa cerita, sih.

Eh, tapi kan Ibu bakal Arisan. Paling lama. Kan Ibu-Ibu disana Gosipan doang kerjaannya. Lama, lah. Apalagi pakai acara makan-makan sama jual-beli. Setengah enam nyampe rumah, enggak bakal ketauan, kan Ibu masih arisan. Pikirku.

“Woi, Danang!”

“Iya, kemungkinan sampai jam setengah enam, ya Din! Nanti aku pulang sendiri bisa, kok.” Jawabku.

“Oke, tapi kalo pulang aku aja deh yang nganterin. Udah maghrib-maghrib pulang sendiri..”

“Yaah, terserah kamu aja, deh.”

*******

Rumah Dino besaaar sekali. Dua kali lipatnya rumahku. Kamar Dino, enggak kalah besar dari ruang tamunya yang bisa dimasukkin Gajah. Mungkin, sih.

“Langsung aja, yuk Nang! Udah jam empat, nih.” Dino mengambil peralatan Gamenya, lalu memasangnya ke TV LCD Besar di kamarnya.

“Kamu mau main tim apa, Din?” Tanyaku. Dia ternyata memilih tim Barcelona. Aku sendiri memilih tim Manchester United. Kami akhirnya lawan bertanding.

Kami sedang asyik bermain, tiba-tiba.. BRUK! Entah kenapa, Stick PSku jatuh. Mungkin karena terlalu asyik bermain, tanganku berkeringan dan, Stick itu meluncur begitu saja. Aku nyengir menyeringai.

“Iiih, Danang! Itu baru aja dibenerin, kamu banting lagi!” Omel Dino.

“Sorii, Din. Gatau nih. Eh, Astaghfirullah! Udah jam lima seperempat. Aku pulang, ya Din!” Aku membereskan tasku dan memasukkan topi dan kaos kaki ke dalam tas.

“Eh, Nang! Bantuin dulu, dong beresin!” Dino kewalahan membawa dua stick PS dengan kabelnya yang menjuntai dan buku album CD Game. Aku membantunya memasukkan kembali ke dalam kardus dan menaruhnya di atas lemari.

“Sip, kan Din? Udah, yaa. Aku pulang sendiri aja, deh.” Pamitku. Orangtua Dino belum pulang, jadi aku langsung ngeloyor pergi dari rumah Dino. Dino mengantarkanku sampai ujung perumahan elitenya.

“Makasih, ya Din! Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

*****

Angkot yang kutumpangi akhirnya berhenti di depan jalan raya dekat rumah. Kulihat jalan menuju rumah ramai sekali. Kayaknya enggak ada yang kawinan, deh. Tapi kok... Bendera Kuning?

Aku langsung terpikir yang tidak-tidak. Tidak, jalan sekitar rumahku cukup sepi! Ada juga gang kecil masuk perkampungan. Oh, tidak.. Jangan.. Ya Allah, jangan ambil dulu Ibuku..!

Aku langsung berlari secepat yang aku bisa. Mataku berkaca-kaca dan mulai berair. Dari jalan raya ke jalan rumahku cukup dekat, tapi gara-gara kerumunan mobil dan motor, aku jadi sulit untuk mencapai jalan rumahku. Orang-orang melihatku dengan iba. Ah tidak! Aku terus ber-istighfar.

Ya Allah, ada Ambulans tepat di depan rumahku. Mataku panas berair. Aku sudah ditinggal Ayah tiga tahun lalu, kini akan ditinggal lagi oleh Ibu. Aku anak siapa, dong? Uh, maksudku, aku akan dirawat siapa? Jadi anak panti asuhan? Hii, aku membayangkan temanku Udin, anak panti asuhan yang tubuhnya kurus kering kurang makan. Astaghfirullah..

Rumahku ramai. Aku tambah takut. Kubuka pintu rumah..

“IBU!!”

“Da.. Danang?!”

“Danang, yang sabar, sayang!” Ibu-ibu disana memelukku. Aku melihat jasad beku ibuku. Dibaringkan disana..

“IBU!!!!” Aku menghambur. Ibuku. Ibuku telah pergi! Ibu meninggalkanku.  

Kubuang pikiran burukku jauh-jauh. Tidak, aku tidak mau Ibu meninggalkanku. Aku tahu betapa sebalnya kalau dinasihati ibuku. Disuruh ini-itu. Tapi, ada gunanya. Aku bisa masak sendiri karena disuruh-suruh ibu, walaupun aku memasak dengan setengah hati sambil bersungut-sungut. Aku jadi ingat apa kata ibu saat aku menolak untuk 

Ternyata, Ibuku membuka pintu depan. Beliau kaget sekali saat aku memeluknya.

“Nang, Ya Allah Danang, kenapa sih? Malu tuh diliatin tetangga..!” Ibuku memelukku sambil bingung melihatku yang menangis.

“Kamu kenapa? Oh iya, kamu kok pulangnya sore banget, sih? Belum nyapu, belum nyiram bunga, kasih makan ikan..”

Gubrak.

******

Makan Malam.

“Hahaha, Itu Kakeknya Tiara yang meninggal. Kamu itu pikirannya aneh-aneh aja, sih Nang. Sampai nangis-nangis begitu..”

Aku cuma bisa diam dan nyengir lebar. Uuh, malunya. Ternyata, Ibuku lagi kedapetan Arisan dirumahnya. Jadi, rumahku ramai. Lalu, rumahku yang ada di mulut jalan, ditempati Ambulan karena rumah Tiara di dalam gang samping rumahku, tidak dapat dimasuki Ambulan.

Tapi, aku tetap takut kalau-kalau Ibuku pergi. Aku jadi ingat kalau tidak boleh mengacuhkan perintah Ibu. Aku berjanji di dalam hati, kalau  aku tidak akan pernah mengacuhkan nasihat Ibuku lagi.

“Aku Janji, Bu!”

Ibuku melongo bingung.

“Janji apa, sih? Kamu ini.” Ibuku membawa piring kotor dan masuk ke dapur.

“Oh iya, Nang. Kamu beresin tuh bekas arisan ibu, gulung tikarnya, Cuci piringnya, buang gelas plastiknya, terus buang sampah, ya. Habis itu kamu belajar. Terus tidur, ya.” Suruh Ibu dari dalam dapur.

Yaah. Beres-beres. Tapi, aku kan sudah janji..

 

—The End—

By : Nuringga Krishnaputri

Form 2A Girls Jakarta Islamic School

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler