Skip to Content

Sang Tamu

Foto Adri Wahyono

“ Kulonuwun…”

“ Kulonuwun…”

Pak Ratno keluar melalui ruang tamu untuk melihat siapa yang bertamu.

“ Mangga…” Pak Ratno menjawab meskipun belum lagi sampai di pintu dan melihat siapa yang bertamu pada saat tanggung Maghrib begini.

Seorang laki-laki paruh baya yang tampak asing berdiri di depan pintu.

“ Mangga Pak…” sekali lagi Pak Ratno mempersilakan sang tamu sembari mengamati sosoknya. Rasanya ia memang belum pernah melihat orang ini sebelumnya.

Ekspresi sang tamu tampak datar saja meskipun Pak Ratno telah mencoba menyambutnya dengan sopan santun paling terhormat menurut adat tradisi yang diwarisinya turun temurun.

Bahkan cara bersalamannya kurang gereget menurut perasaan Pak Ratno, karena laki-laki paruh baya itu seakan hanya menempelkan telapak tangannya saja, bukan menggenggam erat lazimnya orang berjabat tangan.

Tapi meskipun merasa janggal terhadap sang tamu yang selain datang pada saat yang kurang tepat menurut tata cara orang bertamu, juga kesannya yang datar dan dingin, Pak Ratno tetap memperlihatkan sambutan hangat dan antusias sebagai tanda hormat pada sang tamu.

Setelah mempersilakan sang tamu untuk duduk, Pak Ratno menanyakan jati diri sang tamu dan maksud kedatangannya. Meski tetap dengan datar dan kaku, sang tamu memperkenalkan dirinya, desa tempat ia tinggal dan sebagainya.

Pak Ratno mendengarkan penuh perhatian.

“ Maksud kedatangan saya kesini tak lain karena saya diutus oleh Kepala Dusun mengundang Pak Dhalang untuk mendhalang di dusun kami, Kepala Dusun akan mantu dan ingin nanggap wayang. “ kata sang tamu.

“ Kapan itu Pak ?”

Pak Ratno melupakan rasa janggalnya pada sang tamu begitu mendengar penuturan sang tamu tentang maksud kedatangannya untuk mengundangnya pentas mendhalang di dusun sang tamu.

Setahun terakhir ini memang hanya dua kali Pak Ratno mendapat order mendhalang. Itupun yang sekali hanya pentas di dusun ini saja waktu selamatan merti dusun beberapa bulan lalu dengan honor ala kadarnya, karena memang sifatnya sambatan.

Sebagai Dhalang sekaligus seniman kampung, Pak Ratno memang tak bisa mengandalkan keterampilannya mendhalang untuk hidup. Jaman sepertinya memang telah sampai pada saat dimana seni budaya tradisi luhur turun temurun dari nenek moyangnya telah dianggap sebagai sebuah seni konyol yang tak perlu diperhatikan apalagi dipertahankan keberadaannya, keberlangsungan dan masa depannya. Sedihnya para pewarisnya sendirilah yang melakukan itu.

Pak Ratno antusias atas undangan mendhalang yang dianggapnya sebagai penghormatan, dan melupakan kejanggalan sang tamu termasuk nama dusun sang tamu yang belum pernah didengarnya. Bahkan Pak Ratno tak kehilangan antusiasnya ketika sang tamu hanya menjawab pertanyaannya tentang lakon apa yang diminta oleh Kepala Dusun yang akan mantu nanti dengan kata “terserah”, pokoknya mereka ingin menanggap Pak Ratno itu saja, dan titik. 

Pak Ratno akan memikirkan lakonnya nanti sambil melakukan persiapan. Hanya saja Pak Ratno sedikit kecewa karena sang tamu hanya menginginkan dirinya, tidak dengan teman-teman serombongannya yang tergabung dalam sebuah paguyuban seni didusunnya.

“ Pokoknya nanti Pak Dhalang tinggal bersiap saja, saya sendiri yang akan menjemput Pak Dhalang nanti, gamelan sudah kami sediakan termasuk para niyaga dan sindhen-nya, Pak Dhalang tinggal minggah…” jelas sang tamu.

Rasa janggal itu terselip kembali di hati Pak Ratno, tapi bagaimanapun rasa antusiasnya pada undangan itu, membuat Pak Ratno menepis rasa janggal itu dengan mencoba berpikir sebaik-baiknya seorang seniman. Itu adalah sebuah penghormatan mereka terhadap seni dan dirinya sebagai seorang Dhalang.

Pak Ratno masihlah Pak Ratno, dhalang kampung dengan tradisi bersahaja namun kuat memegang teguh idealisme turun temurunnya. Dia antusias karena memang darah seninya selalu menggelegak untuk mengekspresikan semangat berkeseniannya. Sekian lama tak mengaktualisasikan kemampuannya yang setiap waktu diasah dengan berlatih bersama teman-teman sesama seniman dalam pentas sesungguhnya, membuat Pak Ratno layaknya seseorang yang kehausan.

Itulah sebab sangat sederhana Pak Ratno begitu antusias hingga melupakan kenyataan betapa sang tamu sebenarnya sangat mencurigakannya. Bahkan soal bayaran, sang tamu berkata akan memberi berapapun yang Pak Ratno mau. Hal tak lazim yang belum pernah ditemui Pak Ratno sejak ia menjalani profesi sebagai seorang dhalang. Kebanyakan mereka yang pernah datang pada Pak Ratno akan menawar, bahkan ketika Pak Ratno menyebut angka paling minim dengan perasaan kurang nyaman.

Meski dengan bayaran paling minim sekalipun, Pak Ratno tak pernah menolak undangan untuk mendhalang. Karena baginya itu adalah sebuah penghormatan bukan saja bagi dirinya, tapi juga bagi nilai-nilai luhur seni budaya tradisi. Menolaknya bagi Pak Ratno adalah sebuah pengingkaran terhadap kewajiban dia sebagai pewaris.

Karena itulah kenapa Pak Ratno masih tetap sebagai Ki Suratno, dhalang kampung yang tak pernah “pergi jauh”, bahkan ketika dhalang lain sudah malang melintang di berbagai pentas terhormat dengan bayaran yang lebih dari sekedar cukup. Ia tak pernah ingin “menjual” seni tradisi dan menganggapnya sebagai sebuah aset komersil, yang seringkali hanya berakhir sekedar sebagai tontonan. Ia ingin mengekspresikan seni pedhalangan sebagai sebuah tontonan yang menjadi tuntunan yang bisa dibaginya untuk orang lain, untuk generasi selanjutnya.

Akhirnya Pak Ratno dan sang tamu mencapai kata sepakat, dan telah ditentukan harinya dimana sang tamu akan datang lagi untuk menjemputnya. Sempat terbersit perasaan tidak nyaman dengan teman-teman sesama seniman dikampungnya yang rata-rata sepantaran dia. Kalau mereka tahu bisa menimbulkan kecurigaan. Tapi, apa boleh buat…sang tamu hanya menginginkan dirinya, dan hanya itu saja.

…………ooo000ooo…………

Tiba dihari yang telah disepakati, sang tamu datang untuk menjemputnya. Dan Pak Ratno merahasiakan undangan dan kesepakatan itu dari teman-teman senimannya. Ia ingin menjaga perasaan mereka, lagi pula undangan kali ini memang terasa janggal, jadi ia merasa tak perlu mereka mengetahuinya.

Sebelum berangkat, sang tamu mengatakan sesuatu yang mengejutkannnya, sesuatu yang makin menguatkan kejanggalan yang ia rasakan sejak kedatangan sang tamu pertama kali.

“ Nanti Pak Dhalang bonceng saya, dan saya pesan jangan menengok kebelakang ! sekali lagi saya katakan jangan menengok kebelakang. ” begitu sang tamu memberi pesan.

Meski kata-kata sang tamu menjadikannya gugup, Pak Ratno mengiyakan sekaligus berjanji dalam hatinya sendiri untuk melakukan apa yang dipesankan sang tamu. Bagaimanapun ia merasa harus menghormati sang tamu.

“ Dan kalau Pak Dhalang sudah minggah nanti, jangan sekali-sekali menengok kebelakang, Pak Dhalang harus ingat itu, tradisi di dusun kami melarang dhalang yang sedang pentas menengok kebelakang. “

Pak Ratno sekali lagi hanya mengiyakan, meski itu benar-benar membuatnya menjadi gelisah. Ia memang tak pernah menengok kebelakang kalau sedang pentas, tapi itu bukan karena dilarang melainkan karena ia merasa bahwa seorang dhalang harus fokus didepan kelir* untuk memainkan lakon cerita sebaik-baiknya.

Mereka berangkat menuju dusun sang tamu. Dan selama perjalanan, Pak Ratno berusaha menguatkan hatinya agar tak melanggar pesan sang tamu yang tak memperbolehkannya menengok kebelakang. Tapi godaan untuk menengok kebelakang ternyata begitu besar, sehingga Pak Ratno merasa ada sesuatu yang tengah dan akan terjadi, dan ia tak habis mengerti meski ia sudah berpikir sedemikian keras. Sejurus kemudian ia mulai mencoba untuk memikirkan urutan-urutan lakon cerita yang akan dibawakannya, dan godaan untuk menengok kebelakang sedikit mulai berkurang.

Keganjilan ternyata tidak berhenti sampai disitu, dalam waktu yang begitu singkat mereka tiba disebuah dusun. Pak Ratno benar-benar merasa tak habis pikir, dusun itu belum pernah didatanginya tapi sepertinya perjalanan ke dusun itu seperti sekejap saja. Ia kembali mencoba mengingat-ingat, apakah ia pernah datang ke dusun ini. Tapi rasanya memang tidak pernah. Rumah dan apapun yang ada di dusun ini semua asing baginya. Tapi kenapa sepertinya perjalanan tadi hanya memakan waktu singkat. Sementara hampir semua dusun di kaki gunung ini telah dijelajahinya, tapi dimana dusun ini. Dekat tapi ia tak pernah tahu…

Hari telah gelap, karena tadi sang tamu menjemputnya menjelang Maghrib, waktu yang juga dia pakai ketika datang pertama kali. Mereka tiba didepan sebuah rumah yang cukup besar dan model rumah itu kuno sekali, rumah dengan model seperti rumah seorang Bupati atau Demang jaman dulu. Kata sang tamu itulah rumah Kepala Dusun. Panggung untuk pentas wayang itu sendiri terletak di halaman rumah . Panggungnya begitu besar dan tampak megah. Berhias janur dan bunga-bungaan. Pak Ratno merasa takjub.

Baru kali ini ia ditanggap dan diberi panggung sedemikian besar dan luas. Kelir-nya tinggi dan lebar, dengan hiasan ukiran dua ekor naga masing-masing menghadap keluar. Wayang dengan model ukiran gaya Jogyakarta telah di simping* dikiri dan kanan kelir, semuanya tampak cerah. Tidak seperti wayang koleksinya yang kebanyakan sudah kusam dimakan waktu. Gamelan dengan titi laras* Pelog* dan Slendro* telah berjajar rapi, dan semuanya adalah gamelan perunggu.

Sejenak Pak Ratno merasa sedikit berbesar hati. Ini mungkin pentas terhebat yang pernah dilakukannya. Dari panggung, kelir, wayang dan gamelannya semua istimewa. Ia tinggal berharap semoga para niyagayang akan mengiringi pentasnya nanti juga merupakan niyaga yang istimewa dan bisa mengiringinya dengan baik meskipun belum pernah manggung bersama.

Kepala Dusun bersama beberapa orang menerima dan menyambut Pak Ratno dengan lumayan hangat. Sedikitnya mereka berbeda dengan salah satu dari mereka yang merupakan sang tamu yang mengundang Pak Ratno, yang dingin dan datar sekali.

Mereka menyuguhi makanan dan minuman untuk Pak Ratno, tapi Pak Ratno menolak dengan halus karena ia memang terbiasa berpuasa sehari menjelang pentas dan baru akan berbuka ketika ia sudah minggahpanggung. Itu memang ritual yang dijalaninya dan diwarisi dari almarhum kakeknya yang juga seorang dhalang. Pak Ratno merasa lega karena mereka bisa mengerti penjelasannya.

Tibalah waktunya Pak Ratno untuk pentas, di panggung gamelan telah dimainkan. Suasana benar-benar terasa menyenangkan bagi Pak Ratno. Kegelisahan yang disebabkan keganjilan itu sedikit terlupakan begitu mendengar irama gamelan yang menghanyutkan. Apalagi ia naik panggung dengan di iringkan Kepala Dusun dan orang-orang yang sepertinya berpengaruh disitu.

Tapi ternyata itu hanya sekejap saja, karena tiba-tiba sang tamu yang menjemputnya tadi kembali membisikkan pesannya tadi ketika masih di rumah.

“ Ingat pesan saya Pak Dhalang, kalau Pak Dhalang melanggarnya, Pak Dhalang harus pulang sendiri besok pagi, saya tidak mau mengantarkan. “

Pak Ratno kembali di liputi rasa gelisah yang jauh lebih meresahkannya. Saat naik ke panggung Pak Ratno melihat para niyaga tampak menabuh gamelan dengan ekspresi yang sangat dingin. Mereka bahkan tak melihat sedikitpun kearah Pak Ratno. Keanehan semakin menjalari perasaan Pak Ratno.

Pentas pun segera dimulainya, mula-mula berjalan lancar sejak dari Jejer hingga Perang Kagol. Para niyaga itu rasanya mengerti benar semua keinginannya. Pengendangnya juga sangat terampil mengikuti semua permainannnya, dan piawai sebagai dirijen. Sindhen-sindhen yang tadi tak sempat dilihatnya itu juga menyajikan suara yang indah dan sesuai yang menjadi idealnya.

Tapi ketika sampai Gara-gara, kejanggalan yang sempat dilupakan Pak Ratno kembali muncul. Selama menjalani profesi sebagai dhalang ia belum pernah bisa menyajikan lelucon seringan malam ini ketika memainkan Tokoh Panakawan, Semar , Gareng, Petruk dan Bagong. Pak Ratno berhasil membuat penonton dan para niyaga dibelakangnya tertawa dengan banyolan-banyolan khas para Panakawan yang dimainkannya.

Ada yang sampai tertawa terpingkal-pingkal. Mula-mula Pak Ratno merasa bersemangat, karena memang ia merasa belum pernah sesukses malam ini. Tapi kemudian Pak Ratno mulai menyadari ada yang aneh, karena ia merasa banyolannya biasa saja, tapi para penonton dan niyaga dibelakangnya seperti berlebihan menanggapinya. Ia merasa di lulu. Dan suara tawa itu semakin lama semakin aneh. Aneh menurut pendengaran Pak Ratno yang memang tak melihat mereka. Mereka mulai tertawa bahkan pada saat Pak Ratno tidak membanyol. Ada yang cekikikan tapi terdengar menyeramkan, ada yang tertawa dengan suara menggelegar. Keanehan ini membuat Pak Ratno ingat pesan sang tamu, bahwa ia tak boleh menengok kebelakang.

Pak Ratno semakin penasaran meski ia mencoba untuk menahan diri, tapi godaan untuk menengok kebelakang semakin besar. Karena suara tawa penonton dan niyaga dibelakangnya semakin aneh dan menyeramkan. Pak Ratno merasakan bulu di tengkuknya merinding, dan ia pun mulai merasa takut. Apalagi dengan larangan untuk menengok kebelakang.

Pak Ratno berusaha menahan rasa takut dan penasarannya terhadap apa yang tengah terjadi pada para penonton dan para niyaga. Ia berusaha mengingat ancaman sang tamu yang tak mau mengantarnya kalau ia melanggar pesannya. Tapi keanehan yang diawali kejanggalan sang tamu hingga apa yang terjadi saat ini telah membuat Pak Ratno tak kuasa lagi untuk melihat kebelakang. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai sang tamu melarangnya untuk menengok.

Akhirnya Pak Ratno pun melanggar janjinya…ia menengok kebelakang…

Pak Ratno hampir saja terpekik melihat apa yang terlihat dibelakangnya ! 

Semua orang yang tadinya dilihatnya sebagai niyaga dan penonton dipinggir panggung itu ternyata kini adalah makhluk-makhluk paling mengerikan yang pernah dilihatnya. Ada pocongan, genderuwo, kuntilanak, tuyul, banaspati, dan makhluk siluman lain yang berwajah menyeramkan.

Pak Ratno berusaha untuk menahan diri, ia tidak ingin pingsan apalagi mati disini. Kalaupun harus mati, ia tidak ingin mati ditengah-tengah kalangan yang terdiri dari makhluk-makhluk menakutkan itu. Pak Ratno berusaha terus dengan tugasnya yang masih separuh lagi. Ia berharap malam akan segera berlalu dan segera pergi dari tempat ini. 

Pak Ratno telah kehilangan konsentrasi sehingga permainannya menjadi kacau, dan itul membuat mereka semakin tertawa menajdi-jadi. Pak Ratno berdoa agar diberi kekuatan untuk merampungkan sesuatu yang telah dianggapnya sebagai tugas yang harus diselesaikannya, apapun keadaannya.

----------ooo000ooo---------

Menjelang pagi pentas pun usai. Pak Ratno merasa lega, tapi ia tak berani lagi menengok kebelakang. Kini suasana kembali sunyi, tidak seperti beberapa jam sebelumnya yang hingar bingar tapi begitu menakutkan.

Sang tamu datang padanya dengan wajah yang datar dan tatapan nyalang pada Pak Ratno.

“ Pak Dhalang telah melanggar janji, untuk itu Pak Dhalang harus pulang sendiri, dan ini sudah janji !” kata sang tamu. Pak Ratno pun tak bisa berbuat apa-apa lagi karena ia menyadari kesalahannya. Hanya saja ia masih belum bisa membayangkan jalan mana yang akan membawanya pulang dari tempat yang menyeramnkan ini.

“ Kepala Dusun tak mau menemui Pak Dhalang karena pelanggaran yang Pak Dhalang lakukan, tapi Kepala Dusun menitipkan ini untuk Pak Dhalang, terimalah…”

Sang tamu menyerahkan sebuah amplop besar dan tebal. Pak Ratno melirik sekilas pada amplop yang baru diterimanya dari sang tamu. Mereka kemudian berjabat tangan lagi. Seperti waktu pertama kali datang, sang tamu bersalaman hanya menempelkan telapak tangannya saja.

Pak Ratno pun menngucapkan terima kasih dan pamit pada sang tamu, sang tamu mengangguk dengan dingin dan berkata,

“ Pak Dhalang lewat jalan ini terus dan tak perlu berbelok, sebelum sampai dirumah dan masuk Pak Dhalang jangan sekali-kali menengok kebelakang, ingat itu !”

Pak Ratno pun berjalan pulang melewati jalan yang di tunjukkan sang tamu. Kegelisahannya dan ketakutannya sudah mulai berkurang meski belumlah hilang sama sekali. Kejanggalan masih meliputi perasaannya, sejuta tanya akan siapa sebenarnya sang tamu, dusun itu dan segala yang ada didalamnya tetap membuatnya penasaran. Bagaimana mungkin dusun itu hanya perlu ditempuh dengan perjalanan singkat tapi ia tak tahu da dimana.

Rasa penasaran itu jugalah yang membuatnya tak bisa menahan diri untuk sekali lagi melanggar janjinya pada sang tamu menengok kebelakang. Ia ingin sekali lagi melihat dusun itu sebelum meninggalkannya.

Pak Ratno pun menoleh…

Hatinya terkesiap…dusun yang belum sepuluh meter ditinggalkannya itu dan semalam didatanginya untuk mendhalang itu ternyata tidak terlihat sama sekali. Pak Ratno mencoba menahan rasa ngerinya, kemana dan ada dimana dia semalam. 

Yang kemudian ia tahu adalah tempat ini ternyata adalah sawah, dan tak jauh jauh dari situ adalah sawahnya sendiri yang dipisahkan oleh sebuah kali yang dipenuhi batu-batu besar. Pak Ratno menarik nafas sedalam-dalamnya. Ia tak habis pikir akan pernah mengalami kejadian aneh ini. 

Kemudian pak Ratno teringat amplop yang diberikan sang tamu, ditengah sawah itu Pak Ratno membukanya…dan amplop itu berisi daun-daun kering !

---------ooo000ooo--------

Pak Ratno masih menyimpan amplop berisi daun-daun kering itu dan membungkusnya dengan kain mori. Ia hanya ingin mengenang kejadian menakutkan itu, ia berharap daun-daun kering itu akan mengingatkannya untuk jauh lebih berhati-hati dimasa depan. Daun-daun kering itu saksi bisu kejadian itu sekaligus pengingat baginya untuk tak pernah lagi mencoba mengingkari janji yang telah diucapkan. Janji layaknya sumpah seorang ksatria, jika dilanggar selalu membawa pada kenyataan yang buruk.

Sekarang sebagai Ki Suratno, Pak Ratno hampir tak pernah sepi order mendhalang, meski hanya berkutat di dusun-dusun di sekitar kaki dan lereng gunung. Ia merasa ada perbedaan semenjak kejadian aneh didusun yang ternyata terletak ditengah sawah itu. kadang-kadang ia membayangkan andai ia tak melanggar janji itu.

Tapi bagaimanapun ia tetap merasa bersyukur, karena ia masih diberi kekuatan untuk terus menjalankan seni tradisi yang digemarinya sejak kecil.

Kadang-kadang ia merasa geli sendiri mengingat kejadian itu, geli untuk mentertawakan dirinya dan berkata pada istrinya Nyi Tirah, 

“ Saking sepinya ndhalang sampai ditanggap setan saja di datangi Nyi…”

 

Magelang, Mei 2012

 

 

Kulonuwun : permisi salam bertamu

Mangga : silakan

Ndhalang : mementaskan lakon wayang

Mantu : menikahkan anak

nanggap wayang : mengadakan pentas wayang

merti dusun : bersih desa, tradisi selamatan

sambatan : kerja sukarela, gotong royong

minggah : naik panggung

niyaga : penabuh gamelan

sindhen : penyanyi wanita dalam musik gamelan jawa

kelir : layar putih untuk menggelar pentas wayang

simping-an : tatanan wayang berjajar didepan layar, dikiri dan kanan

titi laras : titi nada, not

Pelog : titi nada gamelan, pelog = mayor

Slendro : titi nada gamelan, slendro = minor

Jejer ; babak awal pentas wayang

Perang Kagol ; perang gagal babak dalam pentas wayang selanjutnya

Gara-gara ; babak dalam pentas wayang, biasanya tengah malam

Tokoh Panakawan : tokoh abdi para ksatria

Semar : tokoh panakawan, Resi Ismaya bapaknya gareng, petruk dan bagong

Gareng : tokoh panakawan, anak semar

Petruk : tokoh panakawan, anak semar adik gareng

Bagong : tokoh panakawan, anak semar adik gareng dan petruk

di lulu : sengaja dibiarkan untuk ditertawakan

pocongan, genderuwo, kuntilanak, tuyul, banaspati, dll : nama-nama hantu

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler