Skip to Content

CERITA KECIL KERIKIL SUNGAI

Foto izat gunawan

Kami selaku kerikil kerikil kecil tidak pernah percaya kalau ternyata para batu besar itu  menghianati ibu kami ; sungai.

Mereka bersekongkol meninggalkan ibu yang setiap waktu ikhlas memberikan perlindungan dengan tubuhnya sendiri. Sekarang semua batu menggelindingkan tubuhnya menuju induk yang lebih luas dan perkasa ; samudera. Menurut kabar ikan dan udang, batu batu telah mencapai muara. Mereka tengah bersiap berguling ke laut. Bahkan kabarnya ada beberapa kelompok batu yang telah mengungkapkan keinginan mereka untuk mendaftarkan diri menjadi anak samudera yang baru. Mereka tega menanggalkan nama “batu sungai” demi sebuah gelar baru yang lebih kokoh ; batu karang.

Mendengar ini, ibu kami menjadi sedih tiada tara, tubuhnya menjadi kurus dan kering. Alirannya semakin sedikit tiap harinya. Saudara saudara kerikilku yang berada di tepian ibu pun mulai jatuh sakit karena tubuh mereka tersengat panas sepanjang hari. Kasihan. Sementara sebahagian kerikil yang masih sehat tak henti hentinya menyumpahi kelakuan kakak kakak kami ini. “semoga mereka dikutuk seperti si malin kundang anak durhaka”. Aku agak bingung juga mendengarnya, jika malin adalah manusia yang dikutuk tuhan menjadi batu karena durhaka pada ibunya, Maka kutukan apa yang akan diberikan Tuhan bagi batu batu yang durhaka pada sungainya. Ah, entahlah. Biar saja itu tetap menjadi rahasia besar yang diselipkan pada alam raya.

Lama lama aku memberanikan diri menghadap ibu di hulunya. Aku sungguh kaget ketika bertatapan langsung dengannya. Tidak pernah seumur hidup kulihat dia begitu pucat dan menderita. Hampir tidak ada bening lagi pada mata airnya.

“kenapa kamu bisa sampai disini ? bukankah itu melawan arusku ?” suaranya serak dan bergetar

Aku sungguh iba dengan keadaan ibu. Tapi aku harus mengatakan sesuatu

“aku tidak ingin melawan kehendak siapa siapa, apalagi kehendak ibu. Dari bawah sana kami dapat melihat dengan jelas aliranmu yang semakin kering. Aku hanya khawatir padamu bu, seluruh penghuni rahim sungai ini juga telah tahu bahwa ibu terlalu memikirkan kakak kakak kami yang membelot dari kehendak dan hukum hukum. Sudilah kiranya ibu mengakui itu semua dan memberikan aku kesempatan untuk berbicara langsung pada kakak kakak batu di muara sana sebelum mereka semua lenyap dengan bangga di dasar samudera”

Ibu hanya diam. Dari air mukanya aku paham dia malu dan terpukul dengan kata kataku barusan. Dalam hati aku memohon maaf padanya, “aku tak punya pilihan ibu. Harus ada yang mengakhiri penderitaanmu”

“kerikil yang lugu. Kamu benar benar belum paham betapa luas dunia yang diciptakan Nya ini. Pulanglah ke asalmu. Ibu akan terus mengalir sekuat yang ibu mampu. Kamu tak perlu melakukan apa apa, apa lagi bersusah payah mengalirkan tubuh mungilmu itu untuk bicara pada kakak kakakmu di muara. Sudahlah, lebih baik kau diam di rumah, jangan memperkeruh aliran persaan ibumu ini”

“astaga, ibu tidak realistis. Ibu terlalu mengedepankan perasaan dan ...”

“dan ibu sudah bulat !!!” dia memotong pembicaraanku dengan ketus

Sial. Jika sekarang aku terus memaksakan keinginanku, mungkin hanya akan menambah rasa sakit ibu. Biarlah, mungkin tidak hari ini.

“kalau begitu aku pulang. Semoga ibu lekas sembuh”

Dengan kesal dan iba yang menjadi jadi akupun bergegas hanyut dalam aliran ibu.

Dalam perjalan pulang aku bertemu seekor mujair aneh. Tidak seperti mujair lainnya yang berenang kesana kemari mencari makan, mujair ini berdiam diri. Matanya tertutup rapat. Aku berhenti sebentar untuk melihatnya. Aneh memang, aku mulai mengamati seluruh lekuk tubuhnya

“hmm..apa yang aneh dari mujair ini sebenarnya ?” pikirku sambil terus mengawasi mulut sampai ekornya berulang ulang

“mata ? aku tak dapat melihatnya..sisik ? ah,biasa saja”, ekorpun begitu

Oh tidak, insangnya. Ya insangnya tidak bergerak sama sekali. Celaka ! sepertinya ikan ini hendak bunuh diri. Dia tidak mau bernafas. Aku takut melihat ketika tubuhnya mulai berubah warna menjadi ungu. Aku harus melakukan sesuatu  !!!

Denga n spontan aku berenang masuk kedalam mulut ikan itu dan langsung menuju saluran pernafasannya. Aku mendobrak insang yang sudah mulai lemas itu sekuat tenaga. Lagi dan lagi. Barangkali karena gerakanku yang terlalu agresif di dalam sini sehingga dia merasakan geli pada sekujur insang itu. Dengan terpaksa ikan mujair ini membuka insangnya dan berguling guling di dasar rahim ibu untuk mengeluarkan aku dari sana. Akupun terpental keluar. Mujair ini terbatuk terbatuk dan jelaslah rasa sakit pada seluruh wajahnya

“apa yang kau lakukan di dalam sana, ha?”

“aku mencoba menolongmu”

“kerikil bodoh.Siapa yang memintamu ?”

“nuraniku”

“alah !”

“percayalah, awalnya aku takut dan tidak pernah punya niat untuk membuka paksa insang yang sengaja kau tutup itu. Kemudian entah bagaimana tubuhku melakukan itu dengan sendirinya. Akupun tak memintanya” 

“kau bicara terlalu banyak. Pembual “

“sungguh”

Mujair ini wajahnya jadi merah, dia berenang pelan ke arahku. Matanya tajam. Oh tuhan, bola mata itu lebih besar dari aku. Mengerikan. Kini nafas pada insangnya benar benar terdengar jelas menggema pada air di sekitar kami. Suaraku jadi pelan dan bergetar

“me..me.mengapa kau ingin bunuh diri ??”

Suaranya besar dengan nada dasar yang begitu rendah, “hidupku bukan urusanmu”

“ma.maafkan aku kalau begitu. Aku tak akan mengganggumu lagi jika kau ingin bunuh diri”

Setengah putus asa mujair ini menjawab, “apa kau tahu aku membutuhkan berhari hari untuk mengumpulkan keberanian menutup insangku dengan paksa ?? dan begitu aku mampu membesarkan nyali, sebutir kerikil kecil seperti kamu malah mengacaukan semuanya. Halah. Sekarang aku jadi takut lagi”.

“maaf...”

“berhenti minta maaf. Toh aku tak akan jadi berani seketika jika mendengarmu merengek minta maaf”

Entah kenapa aku berpikir bahwa menceritakan keadaan ibu pada mujair ini adalah ide bagus. Akupun memaksakan diri untuk mulai menceritakannya. Semuanya. Mulai dari kelakuan para batu yang durhaka sampai keadaan ibu yang kini sangat memprihatinkan.

Awalnya dia tidak tertarik sama sekali. Mungkin dia menganggap aku membual lagi.

Pada penghujung ceritaku ini, raut wajahnya berubah jadi serius. Matanya mengkerut

“ya.ya..aku sudah mendengar gosip soal batu batu ini.” Dia berpikir sebentar. “hnng, lalu apa yang hendak kau lakukan ?”

“aku ingin menemui mereka dan meminta mereka kembali agar ibu bisa segera sehat”

“jika mereka tidak mau”

“aku akan menemui samudera dan meminta langsung padanya agar tidak mengijinkan ada batu batu sungai pada lautan dan pantai pantai. Itu menyalahi aturan”

Mujair tertawa keras. Begitu lepas tawa itu sampai air matanya ikut keluar.

“hahahahaha...kamu kerikil kecil dengan mimpi yang besar rupanya. Lalu bagaimana kamu hendak ke muara?”

“entahlah, ibu tak mau mengalirkan aku kesana”

“seandainya aku mampu membantumu sampai disana, apa kamu masih punya nyali untuk melakukan semua yang kau katakan barusan?”

“tentu saja! Tapi bagaimana ? ibu tak akan mengalirkan kita kesana. Bahkan jika kau adalah perenang paling handal dimuka bumi, apa yang bisa kau lakukan jika ibu berdiam diri ?”

“banyak jalan menuju roma kata manusia. Jadi akan banyak pula jalan menuju muara bagi kita”

“maksudmu ?”

“perhatikan ini !”

Mujair ini berenang ke permukaan kulit ibu, dia melompat lompat seperti lumba lumba yang sedang sirkus

“aku ingin kau berjanji kerikil kecil, jika nanti telah berjumpa dengan samudera, kau harus melakukan apa yang harus dilakukan”

“aku janji padamu”

“baiklah, sekarang menempel di ekorku” perintahnya

Akupun segera berenang kemudian menempel pada ekornya. Dia membawaku melompat lompat. Kemudian mujair ini berteriak.

“hooii elang bodoh. Apa kau lapar ?? kemarilah! Makan aku jika kau cukup berani”

“mujair gila” pikirku. Apa maksudnya semua ini. Sebelum aku sempat menanyakan perilaku anehnya itu seekor elang dengan leher perak telah mendekati kami dan,

“zzzttt”

Kuku kuku tajam menancap pada tubuh mujair. Keringat dingin mengucur terus dari kulitku yang kasar. Telingaku mengiang ngiang. Aku hampir tak mendengar apa yang dikatakan mujair ini. Aku berusaha fokus meski gendang telingaku seperti pecah karena tekanan udara di atas sini.

“bersiaplah kerikil kecil. Kau akan mendarat tepat di jantung samudera” katanya. Suaranya samar samar dihantam angin.

“nah ini dia. Kencangkan sabuk pengamanmu dan melompatlah !!” dia mengibaskan ekornya sehingga akupun terpental jauh kebawah. Gila. Mujair Gila !!

Aku hanya mampu melihat elang itu berputar putar kemudian mereka lenyap ditelan awan. Bahkan aku tak sempat berterima kasih pada sang mujair. Ketika sadar aku telah berada kurang lebih 15 cm di kulit samudera.

Aku tenggelam ber mil mil ke dasarnya.

Disini semuanya biru dan tenang. Aku seperti hilang. Tidak, maksudku seperti dilahirkan kembali.

Disini aku jadi bisu dan tak bisa mengingat apa apa lagi.

Ini adalah amnesia yang indah. Terlalu indah.

Dalam kepalaku tak ada lagi ibu. Tak ada juga sang mujair gila.

Aku tak punya lagi kakak kakak yang durhaka,

Sebab begitu nyata bahwa akulah malin kundang pertama.

 

Sigi okt 12.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler