Skip to Content

Kado Terbungkus Darah

Foto Tio Margono

Kado  Terbungkus Darah

 

Gelap mulai merayap ke atap bumi sedari siang tadi. Senja di ufuk barat hanya meninggalkan sedikit garis-garis cahaya berwarna jingga. Lampu-lampu dari tiang di pinggiran jalan kota menyala berkilau, seperti terbitnya mentari yang ingin mengusir malam. Tidak lama kemudian, jarum-jarum gerimis mulai melesat ke perut bumi yang sudah tua renta. Layaknya anak panah yang terlepas dari busur dan menghujam hewan buruannya.

Deru mesin-mesin dari setiap kendaraan yang saling bersimpang-siur, memecahkan kesunyian di sore itu. Aku masih saja menghisap duka yang tertanam di benakku. Memangku dagu. Membopong segala penyesalan yang kumenggumpal. Sesal yang sampai saat ini masih terus menempel, namun tak merekat. Sesal yang masih tergantung, namun tak bertali.

Waktu terasa sangat lambat berjalan. Perlahan, malam membukakan pintu-pintu kejenuhan yang dijaga oleh suram dan bersenjatakan kelam. Gelap semakin merangkak memasuki pekatnya malam. Mulanya gerimis, kini telah menjadi hujan yang lebat. Kilat menggelegar, menyambut datangnya hujan, dan aku pun berpayungkan luka. Luka yang dilahirkan oleh sang duka.

Empat hari lagi adalah hari ulang tahun almarhum Ibuku. Aku merasa belum bisa membahagiakan beliau semasa hidupnya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.

“Bodoh! Hal-hal bodoh hanya terjadi pada orang bodoh sepertiku!” makiku.

Seandainya aku bisa menghentikan waktu beberapa jenak, pasti sudah kubiarkan sesal ini mengendap di tubuhku. Lalu akan kumuntahkan segala penyesalan yang ada dan setelah itu akan kuizinkan waktu untuk berputar lagi. Tapi, adalah hal mustahil untuk dilakukan. Rasa sesal terus berjalan merambat bersama aliran darah ke seluruh tubuhku.

Aku masih ingat betul, saat tanganku terpangku di dagu, ragu untuk memulai sesuatu yang baru. Terdengar lirih suara Ibu, menancapkan keberanian di hatiku untuk maju. Dengan mudahnya kutolak mentah-mentah nasehat itu, tanpa berpikir bagaimana rasanya bila hal tersebut terjadi kepadaku. Kini, aku baru bisa berpikir di saat kasih sayangnya telah berakhir. Aku baru mengerti di saat cintanya telah terhenti.

Serasa aku ingin mengutuk diriku sendiri. Betapa aku tidak percayanya, bahwa Tuhan begitu cepat memanggil Ibuku. Padahal, tanpa diundang pun kematian pasti akan datang, tapi mengapa harus Ibuku? Tak adakah yang lain? Tuhan, Engkaulah yang benar-benar mengerti, bahwa aku belum sempat menanamkan rasa bahagia dan menumbuhkan senyum bangga di bibirnya. Namun, di lain sisi, aku sungguh merasa sebagai anak yang durhaka. Betapa seringnya aku menyia-nyiakan nasehat dan cinta serta kasih sayang darinya.

Gelap yang kueja pada tanah basah, sisa dari hujan malam itu, membuatku berdiam diri untuk meratapi semua penyesalan. Rasa tak berdaya membuatku jadi tidak ada di antara tawa dalam canda.

“Tuhan, ampuni dan berikan tempat yang layak untuk Ibuku” gumamku lirih.

“Rasa sesal tidak bisa musnah begitu saja” jawab Ayah.

Ada tekanan nada di suara Ayahku. Seperti ingin menyampaikan rasa kekecewaannya kepadaku. Hal itu terlihat dari ekor matanya yang begitu tajam memandangku. Kata-kata yang dilahirkan oleh Ayah, seakan merobek hatiku. Menghujam jantungku. Seribu kali menghujam. Menjadikanku semakin tenggelam dalam lautan sesal yang tak akan pernah mengering.

Ratapan demi ratapan jatuh menetes bersama deraian air mata. Dalam hening, dalam sisa cahaya, kubergelut dengan pikiran yang sedang kalut. Sungguh hati ini gamang tak bisa tenang dan belum dapat merelakan kepulangan Sang Ibu ke tangan Tuhan.

***

Tak terlihat matahari membulat dengan cahayanya yang tajam. Wajah langit pun tampak pucat pasi, sepucat hati ini. Hawa dingin merasuki tubuhku, sedangkan angin tidak ada. Nyanyian sumbang dari sekelompok burung di pagi hari mengusik ingatanku, akan harapan yang semakin hari semakin panjang tak berujung. Harapan yang kini menjadi satu-satunya nyawa untukku. Aku ingin memberi kado untuk almarhum Ibuku.

Di depan retaknya cermin yang telah rusak, kupandangku wajah yang layu tak bersemi. Kutatap garis bibirku, tak juga senyumku mekar dan merekah. Hatiku seolah-olah tandus tak berarti, tanpa sosok wanita berjiwa baja di sisiku.

“Belum sempat kutunjukkan lukisan lengkung warni-warni kepadamu, Ibu. Belum sempat kau lihat ucapmu menjadi sifat dan sikapku. Keangkuhanku telah membawa hidupku tersesat dalam segala arah. Tak ada lagi yang menasehati, memarahi, memukulku dengan kata-katamu.” ucapku penuh sesal.

“Bobi…”

“Iya, Ayah. Ada apa?”

“Sudah jam berapa ini! Mengapa tidak segera menuju sekolah?”

Sejenak aku membisu setelah melakukan sedikit percakapan basa-basi bersama Ayah. Dalam hati, sebenarnya aku ingin memeluk dan menangis dalam dekapannya, tapi keangkuhan sepertinya lebih kuat dari ketidakberdayaan ini, dan seakan memasung gerak dan inginku untuk mewujudkan hal tersebut.

Entah rasa apa yang harus kutelan dengan terpaksa. Entah apa arti dari kemandulan pikiranku ini. Aku sayang Ayah, tapi tidak aku pungkiri kalau ada kebencian untuknya. Kebencian yang bercongkol di hati.

Bagaimana tidak? Sudah hampir satu bulan berjalan, setelah Ibu meninggal, Ayah malah menjadi gencar bermain dengan wanita lain. Ya, katakanlah kalau wanita itu adalah sosok yang liar. Beberapa waktu lalu, aku memergoki Ayah sedang berpelukan dengan wanita itu. Betapa ingin kubedil dada mereka berdua saat itu. Kuambil lukanya, lalu akan kuberikan pada anjing yang menggonggong kelaparan dan meminta makan. Ah, entahlah. Mungkin benar kata Ibu, bahwa kehidupan ini adalah rahasia yang menyimpan banyak cerita. Baik itu cerita tentang malam di dalam siang atau pun siang yang seperti malam.

“Bobi!” pekik Ayah.

Lamunanku buyar. Gelap awan saat kutatap. Mau tidak mau aku harus tetap berangkat ke sekolah. Kulangkahkan kakiku yang terasa lemah. Berjalan membelah genangan air dari sisa hujan. Menembus pagi dengan sisa elegi semalaman.

***

Setengah perjalanan sudah berlalu. Niat untuk ke sekolah telah dirusir oleh pertanyaan-pertanya yang merangkak keluar dari kuncian otakku yang penasaran. Tentang seorang wanita liar yang wajahnya masih bergelantungan di ingatanku sedari kemarin hingga hari ini. Kupalingkan langkah. Kubuang niat ke sekolah. Aku pun kembali ke rumah secara diam-diam.

Sesampainya aku, diiringi tanda tanya yang bergantungan di udara, aku menyelinap bagai seorang penyamun. Kucuri beberapa detik waktu. Menyelinap melalui sela-sela fentilasi jendela untuk menyelidiki apa yang tengah dilakukan Ayah di dalam rumah.

Benar. Tidak diragukan lagi, bahwa Ayah telah mengkhianati cinta kasih dari Ibu. Ia bercumbu mesra di atas sofa dengan wanita liar itu. Satu detik, dua detik, tiga detik, kutahan geramku. Tiba pada hitungan yang entah ke berapa, amarahku memuncak dan membabi-buta. Kuarahkan langkah menuju pintu utama di ruang tamu. Menerjang kesabaran yang mencoba menghadangku.

“Braaakk!!!” kutendangkan geram ke daun pintu.

“Dasar kau lonte!” makiku.

“Duuugg!” kupukulkan tinjuku ke wajah lonte itu.

Sementara, di waktu yang bersamaan, Ayah berusaha memadamkan kobaran api amarahku. Entah setan berjenis apa yang sudah melalap kesabaran yang kumiliki.

Tanganku semakin dihinakan oleh dosa. Kutak peduli. Ayah pun menjadi sasaran berikutnya. Kulepaskan tendang dan tinjuku ke arah kemaluan Ayah, hingga berulang kali. Benar-benar membabi-buta. Hatiku tak lagi bermata. Otakku berderak lontarkan kecewa.

“Inikah cara Ayah menyayangi Ibu?!” tanyaku.

“Bobi…” panggil Ayah dengan nada lemah.

“Tidak ada lagi kebenaran di dunia dan kehidupan ini” tegasku.

Aku berlari dengan cepat. Bukan untuk menghindari konflik yang terjadi, tapi mengarahkan langkahku ke sebuah pisau yang melambai-lambai di atas meja makan. Kini, pisau tajam telah berada dalam genggamanku. Ekor mataku pun semakin tajam menatap lonte liar itu. Sedangkan Ayah masih saja menahan rasa sakit di kemaluannya.

“Gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang” ujarku sambil tersenyum sinis.

“Hari ini aku menjelma menjadi seorang gila, Ayah!” kataku dengan geram.

“Tidak! Jangan, Bobi” usaha Ayah menghentikanku.

Lonte itu di banjiri dengan keringat-keringat panas yang mengucur deras. Ia membanjiri tubuhnya dengan ketakutan amat mendalam. Aku merasakan telah kehilangan akal dan pikiran. Tampaknya tak ada lagi otak di kepalaku. Tidak pikir panjang, kutancapkan sebilah pisau di sebelah kiri rongga dada perek tersebut.

Jerit kesakitan menambah kegaduhan yang sedang terjadi. Sekali lagi, entah setan berjenis apa yang telah memorak-porandakan kesabaranku. Seolah aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kesempatan untuk merasakan menjadi iblis yang begitu sadis. Sungguh, tidak akan kusiakan kesempatan ini.

“Sekarang giliranmu, Ayah!”

“Segeralah menyusul Ibu, dan ceritakanlah apa yang terjadi, Ayah!”

“Jangan lupa, sampaikan rinduku untuk Ibu”

“Ayahku tersayang, selamat menikmati suguhan dari amarahku!”

Dengan gontai langkahnya, Ayah mencoba berlari mengejar waktu untuk menjauhiku. Jerit meminta pertolongan dari mulutnya pun terus diteriakkan.

Akan kujadikan nyawa Ayah sebagai hadiah untuk ulang tahun almarhum Ibu yang tinggal beberapa hari lagi.

“Jleb… Jleb… Jleb… Jleb” tertancap pisau tepat di kedua mata Ayahku.

Empat kali, bahkan lebih, hingga aku tersesat dalam hitungan yang entah ke berapa. Darah merah, menyala, dan segar telah menggenangi lantai rumah.

“Inilah jadinya bila harapan telah mati”

“Kini, mati telah menjadi harapan” lirih kuberucap pada sebilah pisau diantara dua mayat.

Kemudian, tanpa ragu pisau pun sengaja kutancapkan tepat di tempat jantungku berada. Sakit, namun kumasih bisa tertawa di sisa usia. Mengakak di ujung nyawa.

 

-SELESAI-

 

 

 

Bandar Lampung, 15102012 02:51

Komentar

Foto Ahmad Farhan

Horor

Ngeri bang ceritanya, gk mau kalah sama film-film horor yg lagi marak di negeri ini
hahaa

Foto Miyos Ndaru

cool

wah kalau ini anaknya yang ngeri :D

Foto Tio Margono

Terima kasih

terima kasih teman-teman... :)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler