Skip to Content

Kata aku juga, jangan terlalu seneng disiksa orang atuh da...

Foto oichidan

Hari itu, aku tengah mengejar-ngejar seorang maling kondang berpakaian seperti orang baru beli sarung lalu digunakan untuk menudungi kepalanya. Dia telah mencuri beberapa kolor milik tetangga yang tengah dijemur. Aku berhasil mengejarnya hingga mendapatinya masuk ke dalam sebuah gedung apartemen tua yang sudah terbengkalai. Dia mendobrak masuk ke dalam dengan menendang pintu kayu dengan engsel yang sudah meronta-ronta karena usia makin menua.

Dia lari ke lantai dua. Melalui tumpukan barang-barang dan perabot berserakan aku berhasil membuntutinya hingga berhasil masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat berantakan. Bagaimana tidak aku sebut kamar itu tidak berantakan saat di sana-sini terdapat perabotan yang sudah nyaris ditutupi sarang laba-laba, debu tebal dimana-mana, lampu mati, jendela berdebu cukup tebal, pokoknya benar-benar seperti tidak pernah ditinggali oleh siapapun lah. Tinggal tambahkan waktu malam, dan tempat ini cocok sekali untuk shooting film-film horror. Tapi bukan horror lokal ya~

Ruangan ini begitu sunyi senyap. Seperti tidak dapat dirasakan kehadiran makhluk hidup apapun di dalamnya kecuali laba-laba yang tengah asyik merajut sarangnya di atas lampu bekas yang tergeletak di atas meja. Aku mencoba mendekati meja itu. Ada suara-suara gedrugan (semacam yang akan timbul jika kamu bergerak di atas lantai kayu) yang terdengar dari bawah meja. Benar saja, belum aku cek bawah mejanya lebih lanjut, si maling membalikkan meja itu sehingga aku tertimpa. Dia melompatiku. Dia memecahkan kaca dan melompat keluar seperti penjahat di film-film laga barat.

Tak mau ketinggalan, aku melompat keluar juga. Jika ini bukan karena tetanggaku ngamuk minta-minta tolong sampai kesal, tak akan kukejar maling mesum ini.

Si penjahat berhasil mendarat dengan selamat. Ia melanjutkan pelariannya. Sementara aku? Aku mendarat di tanah hanya untuk ditabrak mobil yang tengah melaju kencang dari arah tertentu. Badanku terpental, suaraku merintih... Hingga aku sadar aku sudah menabrak tembok dinding.

Aku duduk menyandarkan punggungku bersimbah darah. Di hadapanku, di kala pandangan mataku sudah mulai memburam dan indera perasaku sudah mulai meminta istirahat, ada seseorang berbadan kurus, kulit sawo dan jaket hitam tengah memanggil-manggil namaku, menggoyang-goyangkan pundakku. Suaranya untung masih bisa kukenal jelas. Itu suaranya Akbar.

Akbar adalah salah seorang temanku. Aku sendiri meragukan status kemanusiaannya--karena dia bisa pergi ke masa lampau untuk mengubah urutan kejadian yang terjadi di masa lampau, dalam rangka mengubah masa depan menjadi lebih baik. Tapi dia tidak bisa pergi ke masa depan, itu saja kekurangannya. Dia bilang padaku, dia akan membuat semuanya lebih baik dan aku tidak mati. Aku hanya mengangguk pelan.

 

 

Hari itu, aku tengah mengejar-ngejar seorang maling kondang berpakaian seperti orang baru beli sarung lalu digunakan untuk menudungi kepalanya. Dia telah mencuri beberapa kolor milik tetangga yang tengah dijemur. Aku berhasil mengejarnya hingga mendapatinya masuk ke dalam sebuah gedung apartemen tua yang sudah terbengkalai. Dia mendobrak masuk ke dalam dengan menendang pintu kayu dengan engsel yang sudah meronta-ronta karena usia makin menua.

Dia lari ke lantai dua. Melalui tumpukan barang-barang dan perabot berserakan aku berhasil membuntutinya hingga berhasil masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat berantakan. Bagaimana tidak aku sebut kamar itu tidak berantakan saat di sana-sini terdapat perabotan yang sudah nyaris ditutupi sarang laba-laba, debu tebal dimana-mana, lampu mati, jendela berdebu cukup tebal, pokoknya benar-benar seperti tidak pernah ditinggali oleh siapapun lah. Tinggal tambahkan waktu malam, dan tempat ini cocok sekali untuk shooting film-film horror. Tapi bukan horror lokal ya~

Ruangan ini begitu sunyi senyap. Seperti tidak dapat dirasakan kehadiran makhluk hidup apapun di dalamnya kecuali laba-laba yang tengah asyik merajut sarangnya di atas lampu bekas yang tergeletak di atas meja. Aku mencoba mendekati meja itu. Ada suara-suara gedrugan (semacam yang akan timbul jika kamu bergerak di atas lantai kayu) yang terdengar dari bawah meja. Benar saja, belum aku cek bawah mejanya lebih lanjut, si maling membalikkan meja itu sehingga aku tertimpa. Dia melompatiku. Dia memecahkan kaca dan melompat keluar seperti penjahat di film-film laga barat.

Tak mau ketinggalan, aku melompat keluar juga. Jika ini bukan karena tetanggaku ngamuk minta-minta tolong sampai kesal, tak akan kukejar maling mesum ini.

Si penjahat berhasil mendarat dengan selamat. Ia melanjutkan pelariannya. Sementara aku? Aku berhasil melandakan diriku dengan baik di atas tanah. Namun, sebelum aku mendarat, aku mendapati ada mobil yang tengah melaju kencang. Mobil itu menabrak seseorang yang tengah menyeberangi jalan hingga badannya menubruk dinding.

Aku memprioritaskan keselamatannya ketimbang maling kolor, pikirku. Aku menghampiri orang yang baru saja tertabrak. Terkejut, ya aku terkejut. Adalah Akbar, salah seorang temanku yang kuragukan kemanusiaannya karena bisa pergi ke masa lampau untuk mengubah urutan kejadian agar masa depan berubah, sudah dalam kondisi duduk menyandar bersimbah darah.

"Kenapa sampai segininya, woi?!" Aku berusaha memanggil-manggil namanya dan menggoyang-goyangkan pundaknya. Dia nampaknya masih sadar--tapi dari matanya aku bisa tahu dia sudah mulai memburam pendengarannya.

"Kang, ini semata-mata... Biar akang bisa nangkap maling itu... Soalnya kalau aku engga gini, akang bakal ketabrak mobil yang tadi..." rintihnya. (Kang / akang = Panggilan sopan untuk pria dalam Bahasa Sunda)

"Kalau gitu, kenapa ga kamu buat aja malingnya ketabrak mobil biar langsung ketangkap? Eh ai kamu!"

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler