Suara bising, lalu lalang jalanan Ibukota dengan aktifitas masing-masing, dibawah tekanan kehidupan modern. Lamunan bocah kecil itu tak mengoyahkan apa yang dilakukanya setiap hari . Berharap, pundi-pundi rupiah terkumpul banyak agar kecukupanya serta keluarganya terpenuhi.
Andi sapa bocah itu, Anak semata wayang dari keluarga di bawah tekanan garis kemiskinan. Bapaknya lumpuh setelah kecelakaan kerja yang menimpanya,dan hanya mampu berbaring di kamar. Ibunya, hanya buruh serabutan yang setiap hari tak selalu membutuhakan jasanya. Ya, tapi lebih sering jadi tukang cuci pakaian dengan upah hanya cukup untuk makan bertiga.Sisanya, hasil Andi untuk berobat Bapaknya kalaupun cukup.
Sungguh, malang sekali nasib anak itu tak memiliki teman untuk di ajak bermain bukannya dari golongan kurang mampu, hari-harinya ia habiskan untuk bekerja. Padahal Anak seusia itu lebih patut berada di Sekolah belajar dengan sungguh dan bermain seperti anak-anak lain.
Sehabis sholat subuh, Andi selalu berada di Taman pinggiran Kota sendiri. Termenung, membawa tas kayunya serta tak lupa buku tulis. Setiap apa yang paling terpenting dalam hari-harinya ia catat. Alangkah beruntungnya masih bisa membaca dan menulis yang diajarakan oleh Ibunya, karena Ibunya masih sempat mengenyam pendidikan walaupun hanya setingkat menegah pertama.
Waktu mulai menampakan pergerakannya. Andi sudah siap, berjalan menghampiri Orang dewasa yang berdiri di pelataran halte dengan gagahnya memakai seragam kerja.
“Permisi, apa Bapak membutuhkan jasa saya?” berdiri di depan Lelaki paruh baya diiringi senyum yang tulus.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Lelaki itu dengan wajah lusut.
Andi meletakkan tas kayunya mengeluarkan kain bersih serta polesan semir sepatu.
Dengan sigap, “Pak, sepatunya Saya bersihkan hingga bersih agar Bapak lebih semangat berangkat kerjanya!’’ Tawar bocah itu dengan semangatnya.
Lelaki itu duduk, bersandar di halte bus mencopot sepatunya sebelah kanan. “Ini tolong yang bersih!” Seru lelaki itu.
Perlahan tapi pasti bocah itu sangat-sangat menikmati pekerjaanya, kebiasaan seperti itu ia lakukan dari umur delapan tahun, usia yang semangatnya memilih Taman kanak-kanak yang Andi sukai dan kini mulai beranjak usia empat belas tahun. Memang keterbatasan biayalah hal yang paling menonjol. Andi juga sangat prihatin melihat kondisi Keluarganya. Baginya Orang tua adalah anugerah dari Tuhan yang paling berharga. Karena, dengan tulus memperkenalkan kehidupan ketika mulai beranjak bertumbuh menjadi orang yang lebih berharga lagi.
Udara pagi yang begitu sejuk, duduk bersandar di halte bus Lelaki itu tertidur lelap seperti tak ada tanggungan, entah sedang bermimipi atau tidak. Tak terasa sepatu yang Andi poles sudah nampak mengkilap bersih.
Menepuk pundak Lelaki itu. “Pak, pak ,pak.” Bicara pelan membangunkan Lelaki itu.
Lelaki itu masih belum terbangun juga dari tidurnya.
Andi mencoba lagi. “Pak, pak... Sepatunya sudah, ganti yang satunya!” suara Andi begitu terdesak.
Andi kebingungan. “Haduh.. kok belum bangun ya!” Andi terdiam merunduk, tampak wajahnya sudah mulai frustasi.
Andi tak punya waktu banyak, setelah bekerja ia sudah janji sama Ibunya mau mengantarkan Bapaknya pergi berobat. Ibunya sedang bekerja di rumah tetangga bantu-bantu karena ada tamu penting. Waktu memang terus bergerak. Orang-orang sudah mulai ramai, ada yang mulai menata lapaknya di pinggir halte. Orang dewasa berangkat kerja. Murid yang mau berangkat ke Sekolah juga tak mau ketinggalan.
Andi mencoba sekali lagi, tapi dengan cara yang berbeda.
Berbisik pelan ditelinga lelaki itu. “Pak, pak ,pak..”
Tak ada respon dari lelaki itu. Mencoba lagi
“Pak, pak!” dengan suara lirih
Perlahan mata Lelaki itu terbuka sedikit .
*Kaget, matanya sampai membelak.*
“Hah... APA! kau kira aku mau mati, sampai-sampai berbisik segala..” nada yang tak enak dengan tatapan sinisnya.
Andi sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi selagi berbicara apa adanya.
“Maaf pak.. Tadi Bapak ketiduran, Saya mencoba membangunkan Bapak, mengingatkan sepatunya sudah bersih!” bicara Andi dengan santun.
Orang –orang di Sekitar mengarahkan pandangnya ke arah Lelaki itu.
Sekitar pelataran halte, Gadis cantik mungil berbicara dengan Ibunya.
"Bu.. Orang itu kenapa?” tanya Gadis itu menatap Ibunya dari samping.
"SSSTT.. Biarakan, orangnya memang begitu!”
"Lho, Ibu kenal?” tanya gadis itu seolah penasaran.
“Iya, Lelaki itu rekan kerja Ibu. Sudahlah nak, Ayo berangkat, itu angkotnya sudah di depan kita.” Menunjuk ke arah angkot jurusan Kelapa gading .
Jam menunjukan pukul 06.30 pagi, Lelaki itu masih santai dan mempertimbangkan sepatunya sudah beres atau belum.
“Baik.. Ini yang satunya!” suruh Lelaki itu setelah mencopot sepatunya yang sebelah kiri.
“Baik pak.” Andi segera melanjutkan pekerjaanya toh tinggal yang satu ini paling nggak sampai lama.
Masih di Tempat yang sama. Entah lupa atau disengaja kalau hari ini jam kerjannya, Lelaki itu merogoh saku celananya mengelurakan sebungkus rokok serta memesan kopi.
“Buk, kopinya satu!” Memanggil ibu penjual kopi di pinggir halte.
Suasana memang sudah tak se-ramai tadi cuman; Andi, Lelaki itu, dan Ibu penjual kopi, Andi juga kenal Ibu penjual kopi itu. Ya, karena memang tetangga sebelah.
Tak lama satu gelas kopi yang dipesan diantarkan Ibu itu.
“Pak, ini kopinya.”
Berdiri mengeluarkan dompet tebalnya disaku belakang.
“Berapa buk?”
“Tiga ribu pak.” jawab Ibu penjual kopi.
Menyodorkan uang lima ribu rupiah.
“Ini.. Kembalinya buat ibu saja!”
“Ini buat saya? Terima kasih pak.” Ibu itu kegirangan segera meninggalkan Lelaki itu dan melanjutkan kembali berjualan.
Hari ini adalah harinya, Lelaki itu begitu nyaman, menikmati rokok plus kopi yang begitu membuatnya melayang-layang.
“Alangkah bahagianya hidupku ini, hahaha...” Lelaki itu sedang bekhayal, melihat ke atas langit seperti surganya sudah dekat sekali.
Andi bingung apa yang bapak itu pikirkan, dan Andi juga tak mau memikirkannya.
“Pak.. Ini sepatunya, sudah selesai!”menunjukan kalau pekerjaanya sudah selesai dan Andi ingin sekali segera pergi.
“Mana?” sejenak berpikir. “Masih belum itu yang bersih lagi! Nanti, kalau tidak aku tak akan bayar lebih!” saut lelaki itu.
“Maaf Pak, saya tidak ada waktu lama setelah ini saya mengatarkan Bapak saya pergi berobat,” “Maaf... Apa Bapak tidak berangkat kerja?” tambah bicara Andi.
“Lho.. Kamu, anak kecil berani ngomong begitu ya!” Nada yang mulai emosi, hampir saja Andi kena tangan panasnya Lelaki itu. Suasana begitu berdebar bagi Andi, Andi mencoba sabar dulu ia tahu resiko bagi para pekerja, Andi mencoba sekali lagi.
Karena bosan sedang diganggu. Angin sepoi-sepoi semilir sampai terasa diubun-ubun, mata yang sudah kelelahan untuk dibuka kembali mencoba untuk memejamkan sebentar.
Sekarang, Andi sudah merasa kalau pekerjaanya sudah selesai apapun hasilnya, karena memang tak punya banyak waktu.
“Pak, pak.. sepatunya sudah!” Andi berbicara pelan.
Masih tak ada jawaban dari Lelaki itu. Andi nampak kacau sekali, pikiranya tak hanya di situ, di rumah masih ke pikiran Bapaknya juga, dan mencoba sekali lagi kalau beruntung.
“Pak.. Kalau masih mengantuk silahkan dilanjut tidurnya, sepatunya Saya taruh di samping Bapak!” Andi bicara pelan dan juga tak ingin membangunkan Lelaki itu .
Segera Andi mengeluarkan buku tulisanya serta menyobek kertas yang kosong menulis pesan lalu diselipkan di antara sepatu yang mengkilap tadi, tak butuh waktu lama untuk menulis.
Setelah itu Andi menghampiri Ibu penjual kopi.
“Bu.. Nanti kalau Bapak itu tanya Andi, Andi sedang buru-buru pergi!”
“Baik nak Andi,”
“Lho nak Andi mau kemana?” tanya Ibu setengah tua dan segera menyimpan pesan dari anak itu.
Tak ada jawaban dari Andi. Andi langsung berjalan menuju lampu merah yang dekat dengan halte, segera menyebrang jalan raya yang sedang macet-macetnya.
Jam menunjukan pukul 07.00, handphone Lelaki itu berdering lama berulang kali. Sejenak bangun dari tidur lelapnya. Ekspresi kaget yang begitu mendalam setelah melihat ponsel canggihnya berdering lama. Ternyata panggilan keluar lumayan banyak, lalu matanya mengarah pada jam tangannya.
“HAH... Jam delapan?” suaranya begitu berat, lalu clinguk-an mencari Anak kecil itu tadi.
Bergegas menghampiri Ibu penjual kopi itu lagi.
“Maaf Bu.. Tadi Anak kecil penyemir sepatu tadi kemana?” tanya Lelaki itu.
“Oh.... Nak Andi, sudah pergi. Kalau nggak salah mau mengantarkan Bapaknya pergi berobat.” jawab Ibu itu yang sedang beres-beres menutup lapaknya.
Lelaki itu kembali duduk di halte lagi mengambil sepatunya lalu memakainya. Selembar kertas yang terselip dari dalam sepatunya jatuh. Lelaki itu penasaran apa isi tulisan itu, lalu membacanya dengan perlahan;
Bapak sudah bangun! Terima kasih kalau sempat membaca tulisan Saya.
Pagi yang begitu indah, pengalaman berharga dalam hidup Saya.Saya andi pak, Saya perkenalkan diri Saya sebentar. Hehehe.. Saya sering mencari sumber kehidupan di situ. Karena Saya terlahir dari garis tangan yang begitu terdesak, entah salah siapa Saya tak mau menyalahkan siapapun. Maaf, tadi pekerjaan Andi mengecewakan Bapak kalau sepatunya tak membuat Bapak puas, Saya memang butuh uang itu untuk berobat Bapak Saya, itulah yang setiap hari Saya lakukan. Bukannya Saya kecewa direndahkan tapi dalam hati Saya berpikir kembali, apakah Bapak Saya kalau sehat melakukan seperti yang Bapak lakukan kepada Saya. Sungguh, Saya Anak kecil yang belum sepatutnya memikirkan hal semacam itu. Maaf sekali, Saya relakan uang itu, Bapak Saya sedang menunggu, Saya pergi pak, Terima kasih.
Lelaki itu tersentuh membaca tulisan anak itu, kata-katanya sungguh cemerlang sehingga air matanya keluar. Lalu, Lelaki itu meninggalkan tempatnya segera berangkat bekerja, tak peduli sampai di kantor dapat sangsi atau tidak. Lelaki itu ingin sekali bertemu Andi. Sebelum berangkat, Lelaki itu menungginya di tempat biasa. Lelaki itu sangat berat menjalani kehidupannya, karena penyesalan yang ia buat.Pada akhirnya, Andi sudah terbebas, Andi sedang bermain, berkarya seperti impianya yang ia catat setiap hari.
Hari terakhirnya hidup. Sejak saat itu, hendak pulang ke rumah untuk mengantarkan Bapaknya berobat, trotoar yang di lewati terampas oleh pengendara sepeda motor yang tidak bertanggung jawab. Karena, saat itu sama-sama terburu-buru dengan keperluan masing-masing. Andi meninggal di tempat dengan duka yang mendalam bagi kedua Orang tuanya.
Komentar
Tulis komentar baru