Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (12/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

DUABELAS

 

SIANG, pukul 12.00 cuaca sangat terik, matahari menyengat seluruh kota Hamburgas. Sudah beberapa hari ini hujan gak menyiram kota. Memasuki musim penghujan, memang begitulah cuaca, gak pernah menentu.

Kadang panas begitu terik, lantas hujan turun dengan lebatnya. Tapi, kadang-kadang, awalnya hujan lebat dan berselang beberapa jam saja matahari dengan garangnya memancarkan sinarnya, seolah-olah hujan udah lama gak turun, padahal beberapa jam sebelumnya, hujan turun dengan lebatnya.

Namun hari itu gak seperti hal di atas. Di langit sana awan hitam gak ada, langit kelihatan bersih, biru, hingga gak ada tanda-tanda hujan akan turun hari itu, seperti hari-hari kemarin, seminggu terakhir ini.

Namun, begitu pun, belum pasti cuaca akan tetap cerah sampai malam menyelimuti kesibukan-kesibukan masyarakat kota yang majemuk itu. Dari berkebun, berdagang sampai berwiraswasta.

Dari arah utara, arah luar provinsi, tiga buah mobil mewah bermerk Suzuki Neo Baleno, meluncur memasuki kota. Bila diperhatikan plat kendaraan itu, taulah kita, kalau ketiga mobil mewah yang berlogo RAMONA ENTERTAINMENT itu berasal dari Jakarta, karena platnya bertanda huruf B.

Ketiga mobil itu kelihatan berdebu, menandakan sedang mengadakan perjalanan jauh dan kebetulan lewat di kota Hamburgas, kota kecil jika dilihat dari segi luasnya.

Namun dari segi pemerintahan dan PAD cukup menjanjikan kalau Hamburgas akan menjelma menjadi kota besar dan metropolitan.

Bangunan-bangunan sudah berdiri di jantung kota sampai beberapa tingkat. Fasilitas-fasilitas perekonomian, kultur budaya, pendidikan, perkantoran, sarana perhubungan darat, sarana dan prasarana olah raga sudah dibangun. Restoran, hotel dan pusat perbelanjaan modal raksasa mulai dirintis oleh para pengusaha besar begitu juga dengan sarana-sarana hiburan. Jalan raya sudah dibangun dan kebersihan adalah prioritas utama pemerintah kota.

Kota itu tertata apik, nyaman dan indah. Penduduk kota itu pun terdiri dari berbagai etnis dan suku. Ada yang berasal dari Eropa, Afrika, India, Arab dan Cina, serta suku-suku lain yang berasal dari Indonesia sendiri.

Ketiga mobil Suzuki Neo Baleno itu akhirnya berhenti di depan sebuah klinik. Di balik pagar ada papan plat yang bertulis dengan huruf kapital

KLINIK SEHAT KELUARGA

dr.ALFIANSYAH HERMANTO,SPks

Dari mobil yang berjalan paling depan, seorang laki-laki berbadan tegap dan tinggi keluar, usianya sekira lima puluhan. Laki-laki itu berkemeja lengan panjang motif kotak-kotak warna hitam dipadu warna cokelat, lengan baju dilipat hingga setengah lengan.

Kemejanya dipadukan dengan celana jeans bermerk Lea 505. Warna kulitnya sedikit cerah, sesuai dengan warna baju yang dikenakannya. Di tangan kirinya melingkar sebuah jam sport bermerk Guess.

Rambutnya panjang dan hitam, meskipun sudah berumur lima puluhan, tapi tak sehelai rambut pun yang berwarna putih. Rambut itu diikat bagian belakang, sedang bagian samping dibiarkan tergerai sampai batas dadanya. Jenggot, kumis dan cambang menghiasi wajahnya yang memakai kaca mata minus itu.

Sekilas ia seperti tentara militan Iran pimpinan Ayatullah Komeini. Tapi, bila diperhatikan dengan baik, aura ketampanannya akan terlihat. Meskipun sudah berumur lima puluh tahun, tapi gigi dan rahangnya masih kelihatan sempurna dan kokoh.

Laki-laki itu memasuki pekarangan klinik dr.Alfiansyah yang kebetulan sepi. Pekarangan klinik itu cukup luas juga, begitu juga dengan ruang klinik. Dokter Alfiansyah berbicara dengan anaknya Al Ghazali yang juga sudah memakai jas kebanggaan bagi setiap orang yang sudah menyandang gelar dr di depan namanya.

Jas yang berwarna putih dan bersih, yang melambangkan jiwa seorang dokter, yang harus putih dan bersih tanpa membedakan pasien lewat pranata sosialnya. Miskin dan kaya semuanya harus disamakan, harus diberi layanan kesehatan dengan baik. Apalagi akhir-akhir ini pemerintah merencanakan program Sehat 2010, bahkan pemerintah mengeluarkan Asuransi Kesehatan Miskin dan diberikan pada keluarga miskin dengan tujuan agar para petugas kesehatan melayani masyarakat dengan baik.

Tapi, meskipun demikian, masih banyak dokter yang menyalah gunakan jas yang berwarna putih dan bersih untuk memperkaya diri. Kalau bukan orang kaya tidak akan dilayani dengan baik, bahkan ada yang malah menolak jika pasien menunjukkan kartu ASKESKIN. Begitu juga dengan rumah sakit yang ada.

Di depan pintu, laki-laki tadi mengucap salam. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” katanya dengan bahasa yang jelas dan fasih.

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab dr.Alfiansyah dan anaknya. “Silakan masuk, Pak!” ajak dr.Alfiansyah.

Laki-laki itu masuk setelah menggosok sepatunya di keset.

“Al, berdirilah, biarkan tamu kita duduk di situ.” kata dr.Alfiansyah pada anaknya.

“Baik, Pa!” balas Al Ghazali berdiri. “Silakan, Pak!”

“Silakan duduk, Pak!” kata dr.Alfiansyah setelah tamunya dekat ke meja kerjanya.

Sebelum duduk, laki-laki itu mengulurkan tangannya. Dokter Alfiansyah berdiri menyambutnya sambil mengulas senyum.

“Dokter Alfiansyah, ya?”

“Benar sekali. Silakan duduk!”

“Terima kasih.” balasnya sambil duduk.

“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya dr.Alfiansyah menatap tamunya ramah.

“Dia anak dokter yang bernama Aal, ya?” tanya laki-laki itu gak peduli dengan pertanyaan dr.Alfiansyah.

“Ya, betul sekali, Pak!” balas dr.Alfiansyah heran. Laki-laki itu belum dikenalnya, tapi tau nama panggilan anaknya.

“Sudah jadi dokter dia rupanya? Sudah menikah?”

“Belum. Dia masih ingin fokus dengan pekerjaannya.” balas dr.Alfiansyah tambah heran.

“Bisakah ia bantu saya?”

“Oo..., tentu bisa, Pak.” balas dr.Alfiansyah masih tetap heran. Siapa gerangan orang yang ada di depannya. “Bantu apa, Pak?”

“Kebetulan saya kehabisan rokok dan ingin merokok. Bisakah ia membelikannya? Oo..., ya..., di klinik ini bisa merokok, kan?” tanyanya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Keliatannya, di ruangan ini tidak ada larangan merokok. Berarti bolehkan saya merokok? Bagaimana Nak Aal, bisa kan?” tanyanya sambil mengeluarkan dompet. Dari dompetnya dikeluarkan uang dua puluh ribu. “Djarum Black sebungkus!”

Dengan berat hati, dr.Al Ghazali bangkit dan keluar untuk membelikan sebungkus rokok. “Masuk klinik bukannya berobat, eh...malah minta dibelikan rokok. Dasar sialan...!” maki Al Ghazali dalam hati.

“Maaf. Siapa sebenarnya anda?” tanya dr.Alfiansyah tak mampu menahan rasa penasarannya.

“O ya, seingat saya dokter punya tiga orang anak.” katanya tak acuh dengan pertanyaan dr.Alfiansyah. “Anak kedua, kalau tak salah perempuan namanya Ira, Irawati Natsir. Sedangkan yang ketiga namanya Maghdalena. Ketiga anak dokter memiliki nama yang bagus-bagus. Nama tokoh-tokoh besar, Al Ghazali dan Irawati Natsir dan satunya lagi tokoh cerita G.Bernard Shalu.”

Al Ghazali sudah kembali, di tangannya ada sebungkus rokok Djarum Black. Rokok dan uang kembaliannya diletakkan di atas meja.

“Terima kasih, Nak!” ucap laki-laki itu dengan senyum. Rokok itu diraihnya dan diambilnya sebatang dan dinyalakan dengan korek gas.

“Maaf, Pak. Saya belum kenal anda dan belum pernah melihat sebelumnya. Tapi anda tau banyak soal keluarga saya. Aneh kan? Siapa anda sebenarnya?” tanya dokter itu penasaran. Rasa penasarannya sangat jelas dari raut wajahnya dan suaranya yang ditekan.

“Aneh? Rasanya tak terlalu aneh, Dok. Dokter orang hebat dan terkenal. Siapa yang tak kenal dokter, bahkan saya kenal istri dokter.” balasnya. “Saya orang sini, cuman sudah lama di Jakarta. Saya sutradara Ramona Entertainment yang akan mengadakan syuting di kota ini.”

“Anda terlalu banyak teka-teki. Siapa pun anda, sutradara, menteri, presiden kami tak peduli. Kalau memang anda tak ada urusan dengan kami, lebih baik anda pergi saja.” balas dokter itu mulai emosi.

“Dokter masih tetap pemarah rupanya. Tapi saya ke sini dengan urusan yang lebih penting lagi. Saya ingin mengajak dokter ambil bagian dalam film yang akan saya sutradarai tersebut, dan berperan sebagai dokter.”

“Maaf, saya tak begitu tertarik dengan seni. Sebaiknya katakan saja siapa anda sebenarnya.”

“Oh ya, saya lupa, kalau dokter sangat alergi dengan  yang namanya seni.” balas laki-laki itu. “Boleh saya pakai pulpennya, Dok?”

“Untuk apa?”

“Saya ingin menuliskan nama obat yang saya butuhkan.”

“Sebutkan saja, tak usah ditulis segala.”

“Maaf, Dok, saya belum biasa menyebutkannya dengan baik. Maklumlah, Dok, saya bukan orang terpelajar.”

Dokter Alfiansyah akhirnya memberikan pulpen yang ada di sakunya. Pulpen itu berwarna kuning emas dan berukir dua buah nama serta tahun 1975. Diulurkan pula secarik kertas pada laki-laki aneh itu.

Laki-laki itu menuliskan dua nama obat yang pernah dikenalnya, tapi obat itu lumayan langka. Setelah selesai, kertas itu di serahkan pada dr.Alfiansyah dan pulpen itu diperhatikannya. Ia merasa tertarik pada pulpen itu.

“Apa susahnya menyebutkan nama obat ini?” tanya dr.Alfiansyah, kemudian diberikannya pada anaknya agar mengambil dua jenis obat itu.

“Buat dokter memang tak susah. Tapi bagi saya? Soal obat-obatan, saya tak begitu paham. Maklum, hanya tamatan SMA.” balas laki-laki itu. “Oh ya, sekalian saya ingin membeli pulpen ini, saya sangat tertarik.”

“Maaf, pulpen itu tak saya jual. Saya tak menjual pulpen di sini, hanya obat.” balas dr.Alfiansyah. “Pulpen itu punya sejarah besar dalam hidup saya. Sebuah persahabatan yang tak akan terlupakan dan tergantikan begitu saja. Lihat saja, ada nama saya dan nama sahabat saya Setiawan AR. Berapa pun anda menawarnya, tak akan saya jual.” balas dokter itu.

“Tolonglah, Dok. Saya sangat tertarik. Saya berani menggantinya dengan tiga mobil saya yang ada di depan itu.” tawar laki-laki itu.

“Maaf, mobil anda memang harganya ratusan juta sedangkan harga pulpen itu hanya tiga puluh ribu. Tapi, ini harganya adalah sebuah persahabatan.”

“Berikan saja, Pa. Pulpen seperti itu masih banyak menjual di toko. Lagian Om Setiawan belum tentu ingat Papa. Maghdalena juga udah gak tinggal di rumah. Jangan-jangan Om Setiawan juga sudah meninggal.”

“Tutup mulut kamu, Al!”

“Anak anda benar, Dok. Belum tentu sahabat dokter itu mengenang dokter, seperti dokter mengenangnya. Sekarang segalanya hanya diukur oleh harta. Kalau kita kaya, kita akan banyak sahabat. Orang banyak akan mendengar omongan kita. Di tambah lagi dokter punya reputasi baik di kota ini. Tapi kalau kita miskin, orang-orang akan menjauhi kita.”

“Apapun yang anda katakan saya tidak akan peduli. Bagi saya, kekayaan bukanlah segalanya, sebab sahabat saya itulah yang membuat saya begini. Tanpa dia, mungkin saya hanya seorang buruh tani yang miskin.”

“Jadi dokter benar-benar menolak tiga buah Suzuki Neo Baleno keluaran terbaru itu, atau penawaran saya masih terlalu murah?” tanya laki-laki itu mengeluarkan sebuah cek kosong dan segera ditandatanganinya dan disodorkan pada dr.Alfiansyah. “Dokter silakan mengisi sebanyak yang dokter inginkan.”

“Iya, Pak. Papa pasti mau menerimanya apabila ditambah dengan uang.” kata dr.Al Ghazali.

“Tutup mulut kamu, Aal!” bentak dr.Alfiansyah pada anaknya. Ia merasa malu dengan ucapan anaknya itu. “Tau apa kamu dengan persahabatan?” lanjutnya sambil menoleh laki-laki asing itu. “Maaf, kalau pamer jangan di sini, saya tidak tertarik.”

“Ternyata rasa setia kawan dokter tinggi juga. Saya salut dengan dokter yang menolak penawaran saya atas pulpen yang cuma seharga tiga puluh ribu ini. Seandainya saja, saya adalah sahabat dokter itu, mungkin hari ini dokter adalah orang yang sangat bahagia.” kata  laki-laki itu sambil menurunkan tangannya ke bawah dan dari saku celananya ia mengambil sesuatu.

“Saya juga masih memakai pulpen itu, Al.” kata laki-laki itu meletakkan sebuah pulpen yang sama persis dengan pulpen milik dr.Alfiansyah di samping pulpen dr.Alfiansyah.

Sementara dr.Alfiansyah masih bingung melihat laki-laki asing itu. Ia masih belum percaya melihat apa yang telah terjadi. Dialihkan pandangannya pada kedua pulpen itu. Sama. Kedua pulpen itu bertuliskan dua nama: SETIAWAN AR & ALFIANSYAH HT-1975.

“Kok, bingung, Al?”

Dokter Alfiansyah tambah bingung. Ia yakin kalau laki-laki asing itu adalah Setiawan sahabatnya yang terpisah selama empat belas tahun. Keyakinannya bertambah, karena hanya Setiawan yang memanggilnya Al, selebihnya Fian, dokter atau teman masa kecilnya, memanggilnya gundul seperti beberapa bulan lalu, ketika sedang menghadiri pertemuan Ikatan Dokter Indonesia se-Provinsi, ia bertemu Sukiman yang telah menjadi pemimpin sebuah rumah sakit, masih memanggilnya gundul.

“Anda... benar-benar...?”

“Kamu masih ragu, Al?” tanya laki-laki asing itu mengeluarkan logat Maduranya yang kental. “Ya, aku Setiawan.” katanya meyakinkan dr.Alfiansyah.

Tanpa ragu lagi, dr.Alfiansyah bangkit dan berjalan mendekati laki-laki asing yang bernama Setiawan, yang ternyata sahabat karibnya. Setiawan ikut bangkit. Tradisi lama persahabatan mereka segera keluar: beradu kepal tinju sambil nepuk bahu dan berpelukan, sebentar merenggang dan kembali berpelukan seakrab mungkin.

“Maafin aku, Wan. Aku gak bisa jaga putri kamu dengan baik. Perjanjian terpaksa dilanggar sebelum waktunya. Abah dan emak sudah memberi tau tentang kamu dan mendiang Rahayu pada Maghdalena. Tapi keliatannya ia tegar, sama seperti kamu.”

“Aku sudah tau, Al, dari abah dan emak. Tadi pagi aku mampir di Sukorejo dan ziarah ke makam Rahayu. Aku sangat bersyukur masih bisa ketemu dengan abah dan emak dan mereka sudah menceritakan segalanya.”

“Maafin aku ya, Wan.”

“Akulah yang salah, Al. Sudah sekian lama  aku tidak mengingatnya. Istriku yang malah memaksaku menjemputnya, karena kami tidak punya anak perempuan. Dan kebetulan kami ingin membuat film layar lebar di kota ini, di SMA kita dulu. Tapi, kedengarannya namanya sudah diganti, ya, Al?”

“Benar. Bahkan sudah dua kali. Tahun 1998, namanya SMU Reformasi dan sejak tahun 2000 menjadi SMA Pelita Bangsa. Ketua Yayasan sekarang Edi Erianto. Kamu masih ingat dia, kan?”

“Ya, padanyalah kami buat rekomendasi untuk mengadakan syuting dan rekan HUMAS Ramona Entertainment sudah mengurus rekomendasi kepada Pemko.”

“Putri kamu juga sekolah di situ dan prestasinya sangat membanggakan. Dia memperoleh bea siswa. Dia juga hampir terkenal dengan bandnya bersama empat temannya. Mereka sudah punya album, tapi hanya dipasarkan dalam jumlah yang sangat terbatas karena minimnya dana, tapi tak urung juga dia membuat video clips untuk lagu hits single yang dibintanginya dan kamu mungkin tidak percaya kalau dia yang menulis skenarionya bahkan menyutradarainya sendiri.”

“Apa? Dia membintangi sekaligus menyutradarai? Saya tidak menyangkanya, Al. Kebetulan saya memiliki kasetnya tapi hanya kaset tape. Sudah ada dua tiga orang rekanku yang memiliki studio rekaman yang tertarik dan meminta aku untuk melihat kemampuan The Parlement.” balasnya. “Ada sebuah lagu yang membuat aku teringat pada mendiang Rahayu, Untuk Sepasang Kekasih.” lanjutnya.

“Lagu itu memang untuk sepasang kekasih yang dirindukannya. Untuk ayahandanya Setiawan AR dan mendiang bundanya Rahayu Maghdalena. Dia juga yang ciptain lagu itu, Maghdalena Setiawan, namanya sengaja aku tambah dengan nama depanmu, dengan tujuan, dia itu satu-satunya buah cinta Setiawan dan Rahayu.” jelas dr.Alfiansyah. “Apa kamu ingin langsung bertemu dengannya?”

“Jangan dulu. Aku bermaksud memberinya sedikit kejutan, sekedar membuat pertemuan ini berkesan.” balas Setiawan. “Di mana ia tinggal sekarang?”

“Kalau kamu masih ingat dengan Handoko, bersamanyalah ia tinggal saat ini. Handoko itu gurunya dan penasihat band mereka.”

“Handoko yang mana?”

“Itu, anak-anak yang sering main bola di sini dulu. Kalau Om pulang, mereka selalu kebagian oleh-oleh.”

“Oo..., yang itu. Handokonya yang mana?”

“Itu, anak yang paling besar. Kebetulan pula, istrinya sepupu mendiang Rahayu. Keliatannya ia bahagia sekali di sana. Potretmu dan potret mendiang Rahayu dipajang di ruang tamu itu. Ia benar-benar menjadi putri mereka.” cerita dr.Alfiansyah. “Rasanya aku sangat malu menceritakan ini padamu. Maghdalena yang kamu titipkan padaku melewati hari-hari suramnya di rumah. Apapun yang dikerjakannya selalu salah di mata istriku.”

“Udahlah, Al. Aku maklum. Aku gak bisa nyalahin kalian. Aku yang salah. Hampir lima belas tahun aku meninggalkannya. Orang tua macam apa aku? Kadang, bila aku ingat dia, hatiku bertanya: Bencikah aku padanya, karena kehadirannya, seolah sudah mengorbankan Rahayu?”

“Cukup, Wan. Rahayu meninggal bukan karena kehadirannya, tapi kehendak Allah. Lupakan pertanyaan bodoh itu. Bagaimana kalau ia mendengarnya? Betapa sakitnya hatinya. Sekian lama berpisah denganmu, ketika bertemu, kata-kata itukah yang pertama sekali didengarnya dari ayah yang begitu dirindukannya. Dari kekasih bundanya yang telah tiada. Aku pikir tidakkan, Wan? Lebih baik kamu memeluknya seerat mungkin sambil minta maaf padanya. Tidak salah, orang tua yang terlebih dahulu meminta maaf pada anaknya. Itu sah-sah saja.” jelas  dr.Alfiansyah. “Mana keluargamu, Wan?”

“Oo, iya, hampir lupa, mereka aku suruh tunggu di mobil.”

“Lho, kenapa tidak di ajak ke sini?” tanya dr.Alfiansyah. “Aal, kamu panggil keluarga Om kamu ke mobil, suruh mereka masuk!” perintah dr.Alfiansyah pada putranya. Putranya segera keluar. Mereka juga keluar dan masuk ke teras samping, teras sebuah rumah tua.

Pintu rumah dibuka oleh dr.Alfian dan keduanya segera masuk. Sofa tua masih berada di ruang tamu yang lumayan luas. Di sudut ruangan ada sebuah piano. Di dinding banyak tergantung foto. Foto kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, fotonya bersama Alfian. Paling sudut, dekat sebuah jam Jughun asal Italia, ada sebuah foto wanita. Matanya tertumpu ke sana. Ia yang menyelipkan foto Sri di sana, mantan kekasihnya dan sekarang istri sahabatnya.

“Kamu gak pernah tinggal di sini, Al?” tanyanya pada sahabatnya itu, karena foto yang diselipkannya itu masih seperti dulu.

“Pernah. Tapi tak sampai tiga bulan. Istriku merasa kurang nyaman dan tak betah di sini.”

Setiawan memaklumi alasan istri sahabatnya. Mungkin karena terlalu banyak kenangan antara dirinya dan Sri di rumah ini.

Tak berapa lama, Aal masuk bersama empat orang wanita yang salah satunya penduduk pribumi dan tiga orang lagi penduduk asing. Dua orang laki-laki, satunya pribumi dan satunya orang asing.

“Kenalkan, Al, ini kakakku yang bernama Margaretha Concetta Ramona dan ini suaminya Andreas Pavlova, orang Ukraina. Ini ponakan aku, putri mereka Merry Pavlova.” kata Setiawan pada sahabatnya dan putranya.

Kedua dokter itu bersalaman dengan dengan saudara Setiawan sambil menyebutkan nama mereka masing-masing. Aal tak berkedip melihat keponakan Setiawan.

Mereka sudah menjadi WNI dan masuk Islam.” kata Setiawan pula. “Kalau yang ini adikku yang tinggal di Barcelona, namanya Charlie Cristine dan ini suaminya Rianto Subroto, orang Kediri. Charlie sudah masuk Islam sejak menikah dengan Broto.” katanya lagi mengenalkan adiknya. “Sedangkan ini istriku, namanya Wahyuni, orang Sunda.”

Kembali kedua dokter itu berkenalan dengan saudara Setiawan.

“Wan, mana putrimu, Maghdalena, aku ingin sekali bertemu dengannya?” tanya Margaretha dengan logat Eropanya yang kental.

“Iya, Mas. Aku ingin sekali bertemu dengannya.” kata Charlie dengan logat Eropanya pula.

“Iya, Pa, Mama ingin liat putri kita. Mama ingin mengajaknya saja ke Jakarta, kita kan tidak punya anak perempuan.”

“Kalau ia mau. Kalau tidak, jangan dipaksa. Kita bertemu dengannya malam setelah jumpa pers ke sekolah. Kita memang bertemu dengannya di sekolah, tapi jangan dulu. Urusan bisnis harus dipisahkan dengan urusan keluarga. Kita datangi ia ke tempat tinggalnya. Aku ingin memberinya sedikit kejutan.”

“Hadiah untuknya apa, Mas?” tanya Charlie adiknya.

“Iya. Cocoknya apa, ya?”

“Kasih saja bandnya, Om dan lagu mereka jadikan sound track film kita.”

“Ide yang bagus.” balas papanya dengan logat Eropa yang paling kental.

“Ini rumah papa dulu, Wan?” tanya Margaretha.

“Ya, inilah tempat kami bertiga sebelum papa dan mama bercerai, ditambah sahabatku ini dan sepasang pembantu.” jawab Setiawan. “Kami pergi dulu, ya!” kata Setiawan pada saudara-saudaranya.

“Ke mana?”

“Mama ikut, ya, Pa.” kata Yuni.

“Boleh!” balas dr.Alfian.

Ia meminta putranya menemani keluarga Setiawan. Aal menyanggupinya dengan senang hati, karena ia akan bisa ngobrol dengan Merry.

Ketiganya, dr.Alfian, Setiawan dan Yuni keluar dari klinik dan menaiki Suzuki Neo Baleno milik Setiawan dan segera melaju di jalan raya.

“Wan, kamu sebaiknya memotong rambutmu, mencukur jenggot dan cambangmu serta mempertipis kumismu. Kamu tak seperti Setiawan lagi. Aku saja tidak mengenalmu lagi.”

“Saya sudah menyuruhnya beberapa kali, Dok. Tapi jawabannya selalu itu-itu juga. Ini khas seniman katanya.” kata Yuni.

“Betul, Wan. Tidak selamanya seniman itu berpenampilan seperti teroris begini,seperti pasukan millitan Iran saja, pimpinan Ayatullah Komeini. Liat Setiawan Djodhi dan Butet Kartaredjasa, mereka seniman dan budayawan, tapi tidak seperti ini.”

“Kok, teroris, sih?” balas Setiawan.

“Pinggir, Wan! Rumahku yang itu, yang cat putih.”

Setiawan segera menghentikan laju mobil Suzuki Neo Baleno di depan rumah dr.Alfian, sahabatnya.

Dengan bahagia, dr.Alfian mengajak sahabatnya itu ke rumahnya.

“Bu...Bu..., liat siapa yang datang?” tanya dr.Alfian pada istrinya yang sedang membaca majalah yang diasuh oleh Setiawan dengan perasaan bahagia yang tak terkira. Betapa tidak, sekian belas tahun terpisah dan dia tidak punya harapan lagi untuk bertemu. Tapi, tak disangka bisa bertemu dengan tiba-tiba.

Istrinya segera berdiri dan menyambut kedatangannya dengan senyum. Ada sedikit kebahagiaan yang menjalar dalam dada Setiawan melihat kekasih yang sangat dicintainya hidup bahagia bersama sahabatnya. Ia merasa, pengorbanannya tidak sia-sia.

“Siapa, Pa?” tanya istrinya sambil menatap Setiawan dan Yuyun.

“Ah, coba tebak dulu!”

“Ah, tidak usah tebak-tebakan segala. Siapa, sih?” tanya istrinya mengalihkan pandangannya pada suaminya. Sementara Setiawan terus memandang mantan kekasihnya, Sri, istri dr.Alfian, sahabatnya.

Dokter Alfian meraih majalah yang ada di tangan istrinya. “Orang ini adalah pengasuh majalah ini.”

“S.A.Ramona?”

“Iya. Tapi buat Papa, dia bukan S.A.Ramona, dia sahabat papa.”

“Lantas siapa, dong?”

“Ternyata istri kamu sudah benar-benar lupa denganku, Dok.”

“Kamu jangan panggil aku dokter terus. Seperti dulu saja.”

“O, iya. Mungkin kamu pakai jas terus. Buka saja! Apa tidak gerah pakai jas seterik ini?”

“Baik...baik.... Maklumlah, kamu kan tau ini jas kebanggaan.” balas dr.Alfian sambil membuka jasnya dan memberikan pada istrinya.

“Sepertinya ibu begitu kenal suaranya, Pak.” kata istrinya sambil menerima jas yang diberikan suaminya.

“Kamu sudah benar-benar lupa padaku, Sri? Aku... Setiawan, ayahnya Maghdalena.”

“Setiawan?” tanya Sri kaget. Wajahnya langsung berubah masam dan segera meninggalkan mereka.

Dokter Alfian segera menyusul istrinya setelah mempersilakan sahabat dan istrinya masuk dan mempersilakan duduk di sofa. Sambil minta maaf. Ia heran melihat istrinya yang tiba-tiba berubah.

“Bu..., kamu kenapa? Kok, tiba-tiba berubah?” tanya dr.Alfian pada istrinya setelah sampai di kamar. “Aku jadi malu, Bu.”

“Pa, untuk apa laki-laki bajingan itu kemari?” balik istrinya bertanya dengan emosi yang terlihat jelas di wajahnya yang awet muda.

“Lho, memangnya tidak boleh. Diakan sahabatku, jadi tidak ada masalah kalau ia datang kemari. Tidak mungkin aku mengusirnya. Keterlaluan sekali rasanya, kalau aku mengusirnya. Asal kamu tau, Bu, aku jadi dokter sekarang ini karena orang tuanya. Tanpa orang tuanya, mungkin aku hanya seorang petani dan hidup kita tidak akan seperti ini. Makanya aku mati-matian mengobatkannya ketika ia gila dan begitu bersedia menerima Maghdalena.” kata dokter itu pada istrinya. “Ayolah, kita temui mereka keluar!”

“Untuk apa?”

“Berkenalan dengan istrinya atau sekedar basa-basi.”

“Aku tidak suka basa-basi dan siapa pun istrinya aku tidak mau kenal.”

“Kenapa?”

“Aku bilang tidak perlu!”

“Apa kita mesti ribut saat mereka datang ke sini?”

“Terserah!”

“Ayo, Bu! Jangan buat aku malu. Ibu kenapa, sih? Anaknya ibu benci, sekarang ayahnya juga ibu benci. Sebenarnya ada apa?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Kalau tidak ada apa-apa, kenapa ibu jadi begini? Ayo kita temui mereka!” ajak dr.Alfian.

Dengan berat hati, Sri bangkit mengikuti suaminya keluar. Di luar, Alfian segera tersenyum pada Setiawan dan istrinya.

“Maafkan istriku, Wan...Dik Yuni.”

“Tidak apa-apa, Mas!” balas istri Setiawan dengan mengulas senyum.

Sedangkan Sri, tidak sedikit pun menoleh pada Setiawan.

“Kamu masih dendam padaku, Sri? Sudah sekian lama? Untuk apa lagi kamu dendam padaku. Semua sudah lama berlalu, dan biarkanlah semua berlalu. Kita sudah hampir punya cucu.” kata Setiawan.

Dokter Alfian heran mendengar kata-kata sahabatnya. Sedikit pun ia tidak mengerti arah pembicaraan sahabatnya pada istrinya. Seolah mereka pernah begitu akrab, padahal setahunya, keduanya tidak begitu dekat. Bahkan ketika ia mengenalkan istrinya pada sahabatnya, mereka tidak saling menegor, hanya bersalaman saja.

“Sri, sebenarnya kau tak perlu membenci putriku. Karena seperti apapun engkau membencinya, dia tidak akan mengerti apapun. Kalau kamu membenciku, itu lebih baik, karena memang pantas kau membenciku.”

“Ya, aku memang membencimu!” kata Sri dengan ketusnya. Alfian semakin tidak mengerti. “Aku juga punya hak membenci putrimu dan seluruh keturunanmu. Seluruh keturunanku tidak akan pernah berbaikan dengan keturunanmu. Kamu pikir, kamu itu siapa? sudah seenaknya menyakiti perasaan orang, malah seenaknya pula menitipkan anakmu di sini. Apa maksud kamu, kalau bukan ingin menghinaku?”

Yuni, istri Setiawan hanya diam mendengarkan. Ia telah mengerti ke arah mana pembicaraan keduanya. Ia membenarkan sikap Sri. Wanita mana yang mau di sakiti sedemikian, lantas hari ini seenaknya muncul di rumahnya. Tapi, meskipun ia sudah tau, ia hanya memilih diam saja, karena itu bukan urusannya.

“Kenapa aku mesti menghina kamu? Kamu telah menikah dengan Alfian dan kamu bahagia. Saat itu kamu juga sudah punya anak, jadi tidak ada alasannya kalau aku menghina kamu. Terkecuali kamu belum punya anak, mungkin tuduhanmu aku terima dengan senang hati.” dalih Setiawan.

“Bahagia, katamu? Justru aku begitu kecewa padamu. Hingga tanpa pikir panjang, aku putuskan menerima lamaran Alfian. Kekecewaanku berubah jadi dendam, ketika kamu menitipkan anakmu di sini. Aku berjanji tidak akan pernah menyentuh anakmu.”

“Aku sengaja membuatmu kecewa, agar kamu mau menerima lamaran Alfian dan melupakan aku. Kamu tau siapa aku kan, orang yang tidak punya masa depan, korban broken home. Sedangkan Alfian punya masa depan. Aku memang mencintai kamu dan ingin membahagiakanmu. Itulah sebabnya aku melepasmu menikah dengan Alfian dan kenyataannya, seperti apa yang aku harapkan, kamu bahagia dan berkecukupan bersama Alfian.”

“Laki-laki pengecut!” sergah Sri.

“Aku terima, Sri. Aku memang pengecut. Aku tidak berani meminangmu pada orang tuamu dan membiarkanmu menikah dengan Alfian.”

“Jadi, kalian.....” Alfian sudah mengerti ada apa antara istrinya dan sahabatnya.

“Ya, Al. Kami dulu pacaran. Tapi aku terpaksa menyakitinya ketika tau kamu menyukai Sri. Aku merasa bersyukur telah mendapatkan orang yang bisa membahagiakan Sri lahir dan bathin. Seorang calon dokter dan karena itu pulalah aku memaksa papa membantu biayamu untuk lulus dan benar-benar jadi seorang dokter.”

“Kamu keterlaluan, Wan! Buat apa kamu berkorban sejauh itu?”

“Sudahlah, Al. Semua sudah berlalu. Mungkin kami memang tidak berjodoh dan kalianlah yang berjodoh. Aku tidak menyesal melakukannya, kenyataannya Sri bahagia dan berkecukupan denganmu. Dia beruntung tidak menjadi istriku, mengingat seperti apa aku bertahan hidup. Selama delapan tahun aku melanglang buana, hidup seorang diri di kota sebesar Jakarta yang tidak mengenal kompromi dan toleransi. Di sana hidup serba individu, tanpa tempat persinggahan, tanpa pekerjaan, tiada tempat mengadu.

Apalagi saat negeri ini dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan, tidur di kolong jembatan, mengais-ngais sampah demi sesuap nasi yang dimakan sebelum terlelap tidur.

Hingga akhirnya aku sampai di sebuah lokasi syuting dan aku sering ke sana. Untunglah sutradaranya orang baik dan menawarkan aku pekerjaan yang bisa menghasilkan uang beberapa ribu. Lama-lama ia mengetahui bakatku dengan seni peran dan sering menyuruhku menggantikan asistennya yang sering molor. Hal ini karena aku sering protes dengan pemain yang kurang sempurna membuat ekspresi. Bahkan ia sering menyuruh aku menggantikannya ketika ia ke kamar kecil atau istirahat dan shalat. Dari situlah semua berawal hingga aku menjadi seperti sekarang.

Lama kelamaan aku bertemu dengan Yuni dan aku menikahinya. Dengannyalah semua dapat kuperjuangkan. Dia sering jadi peran pembantu pada beberapa sinetron dan film yang disutradarai orang baik itu. Dia seorang janda, tapi perhatiannya padaku membuat aku simpatik dan berpikir, dialah yang mampu menggantikan nama Rahayu dalam hidupku. Ia tidak peduli siapa aku.” cerita Setiawan panjang lebar.

“Setelah menikah dengannya, aku beruntung, karena dipercayakan menyutradarai sebuah film action oleh produserku, tentu saja atas persetujuan sutradara baik hati itu. Yuni memilih berhenti dari pekerjaannya dan memilih mendampingiku menjadi sutradara. Pernikahan kami di anugerahi dua orang putra.” lanjut Setiawan.

“Benar. Berkat kegigihan dan keberhasilannya menyutradarai film action itu, suamiku kembali dipercayakan menyutradarai sebuah film action yang syuting ke luar negeri, bahkan sampai ke negeri asalnya, Italia. Pertemuannya  dengan saudara-saudaranya mungkin hanya kebetulan saja, ia bertemu dengan keponakannya, meski tak saling kenal, mereka begitu akrab. Dialog dua bahasa tidak mengurungkan mereka saling mengobrol.

Suatu ketika Merry kecelakaan setelah pulang dari lokasi syuting dan kami segera membawanya ke rumah sakit. Dari situlah pertemuan mereka. Di waktu senggang, Mbak Margaretha mengajak kami ke Barcelona menemui Charlie yang ternyata sudah menikah dengan orang Indonesia dan sudah memeluk agama Islam.

Menurut ceritanya, ia pernah ke Indonesia bersama pacarnya, teman sekolahnya ke Indonesia untuk mencari suamiku, tapi tidak bertemu dan mereka menikah.

Dari pertemuan itu, suamiku mengajak mereka tinggal di Indonesia dan mengajak Mbak Margaretha masuk Islam. Di Jakarta mereka mendirikan sebuah PH yang dipimpin oleh Mbak Margaretha. Mengetahui suamiku yang menjadi tulang punggung Ramona Entertainment, banyak para pengusaha besar menanamkan modal di PH kami, sehingga dalam sekejap saja PH kami berkembang dengan pesat karena memiliki film yang bermutu dan berstandar Internasional.

Hari ini kami bermaksud mengadakan syuting film layar lebar di kota ini. Film ini di angkat dari novel A.A.Nugroho dan Sapta Setyowaty, pemenang Seminar Forum Komunikasi Komplotan Penyair dan Penulis Pemula dan Komunitas Majalah LEKSIKON. Kedua pengarang itu orang sini, itulah sebabnya syuting di adakan di sini.” cerita Yuni panjang lebar.

“Tapi, yang paling utama, kedatanganku ke sini adalah ingin meminta maaf padamu, Sri. Maukan kamu memaafkan aku? Aku tau, tidak semudah itu memaafkan kesalahanku, tapi setidaknya kamu sudah tau alasanku yang sengaja membuatmu kecewa. Sungguh karena aku begitu menyayangimu. Kamu tidak bisa mengharapkan apa-apa dariku. “ kata Setiawan pula.

Sri terdiam mendengar permintaan maaf Setiawan yang sekian lama dibencinya. Ia tidak bisa menjawab, karena ia telah berjanji untuk tidak akan pernah memaafkan Setiawan sampai kapan pun. Kekecewaan dan dendamnya akan dibawanya ke dalam kubur.

“Bu..., maafkanlah Setiawan, lupakan saja semua yang sudah berlalu, karena hanya akan menorehkan luka baru.” bujuk dr.Alfian pada istrinya yang hanya diam.

“Aku tidak bisa memaafkanmu dan tidak akan bisa memaafkanmu sampai kapan pun. Kedatanganmu hari ini membuat lukaku yang sudah lama sembuh, terusik kembali. Biarlah keadilan Tuhan yang menyelesaikan semua yang pernah terjadi antara kita. Bawalah kesalahanmu ke dalam kubur dan biarkan kubawa pula kekecewaan dan dendamku ke sana.” balas Sri.

“Apa kita tidak bisa selesaikan di atas dunia ini, Sri?”

“Maaf, tidak semudah itu bagiku. Aku tidak bisa memaafkanmu begitu saja.”

“Baiklah, Sri....” kata Setiawan. “... kalau kamu memang tidak mau menyelesaikannya di atas dunia ini, tidak apa, itu hakmu. Cuma, urusan ini kuharap hanya antara kita berdua, jangan libatkan orang lain. Jangan libatkan anak cucumu dan anak cucuku. Mereka tidak tau apa-apa.” kata Setiawan melanjutkan. “Al, aku pamit!” kata Setiawan bangkit diikuti istrinya. “Kamu tidak perlu mempersoalkan ini lagi. Mungkin menurut Sri, hanya Tuhan yang dapat menyelesaikannya.”

Alfiansyah mengangguk pada Setiawan, meskipun ia begitu kecewa pada istrinya yang mengambil keputusan demikian. Seolah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, hanya untuk menyelesaikan kesalahpahaman antara mereka.

Alfiansyah mengantar Setiawan, sahabatnya, ke depan.

“Wan, kita masih bersahabatkan?”

“Pasti, Al. Urusan dengan Sri tidak ada sangkut pautnya dengan persahabatan kita. Satu hal yang pasti, aku tidak menduga betapa sakit dan kecewanya dia, sampai-sampai menyerahkan urusan ini ke pada pengadilan Tuhan. Tapi itu haknya. Kita jangan mencampurinya dengan persahabatan kita.” kata Setiawan menjalankan mobilnya dan meninggalkan Alfian dan istrinya.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler