Skip to Content

Sahabatku, Wanita Pecandu

Foto Tan Erwin

Kau menghela rambut disaat perbincangan antara kau dan Rifal. Wajah seriusmu dapat kutebak lewat beberapa kerutan dikening. Rifal bicara kau simak, Rifal bertanya kau jawab, dan diantara kalian ibarat penguasa dan wartawan. Tiba-tiba kau tertawa saat Rifal bertanya sebatang rokok.

Sebatang rokok kau ambil dari kantongmu. Kau belai-belai tubuh rokok bak membelai kekasihmu. Kau nyalakan api lalu membakar rokok itu. Tampak merah dari ujung rokokmu. Kau tarik kuat dan keluar asap dari mulut dan hidungmu. Berkali-kali kau ulang sampai rokok itu mengeluarkan abu dan habis. Aku terkesima melihat tingkahmu. Sejak kapan teman wanitaku bisa selihai itu bermain dengan asap dan asap itu kau buat lingkaran-lingkaran.

Hampir tak ada bedanya kau dengan Rifal, bergelut dengan sebatang rokok. Rifal, wajar-wajar saja lihai bermain-main dengan rokok karena dia seorang lelaki. Tapi, kau seorang wanita yang feminim. Jujur, aku heran. Sejak kapan kau bisa mengenal dan menggunakan benda yang selama ini diperdebatkan oleh para ulama tentang keharamannya. Bukannya dulu kau memfatwa barang itu haram dengan beragam dalil al-Qur’an dan al-Hadist.

Kupikir kau sekarang malu. Dulu kau mengatakan bahwa rokok itu menyebabkan kantong kering (kanker). Tapi, sekarang menjadi temanmu yang bisa menghilangkan berbagai permasalahan. Seperti menelan liur sendiri, itulah kau.

Angin membawa asap itu kearahku. Segera kutepiskan asap itu dengan lima jemariku.

“Bahaya asap ini. Perokok pasip itu berbahaya.” Kataku sambil menutup hidung.

Kau hanya tertawa dan mengulangi perbuatanmu itu, menarik dalam asap rokok.

Rifal pun sama. Sama-sama pecandu terhadap  rokok, benda yang katanya dapat mengangkat gensinya, mendapat inspirasi jika mengkonsumsinya, dan dapat menambah energi. Banyak dari kalangan aktivis kesehatan mengatakan bahwa merokok itu memperpendek umur, banyak dari kalangan atlit mengatakan bahwa merokok dapat membuat nafas sesak saat berlatih, dan banyak dari kalangan penyanyi mengatakan bahwa merokok memperpendek pernafasan. Jadi, bagaimana kalian menyikapi ini selaku mahasiswa.

***

Malam yang dingin ini, antara jadi atau tidak hujan turun. Kau semakin menjadi-jadi mengisap dan menghembuskan asap. Belum satu hari, baru beberapa jam sebungkus rokok yang baru kau beli itu sudah kau habiskan dengan sendirinya. Membuatku benci ketika kau selalu menghembuskan asapnya kearahku. Aku tau maksudmu itu bercanda. Tapi, seperti itukah canda seorang teman sekaligus sahabat.

“Fir, bagaimana dengan orangtuamu?” Tanyaku dengan menutup hidung.

“Orangtuaku?”

“Iya orangtuamu, apa mereka tau dengan kelakuanmu?”

“Mana ornagtuaku tau, jika mereka tau, mati aku. Barang kali aku tak lagi dianggapnya anak?”

Rifal mendengar perbincangan kami, seolah-olah tak ambil pusing. Aku khawatir kawan. Kau ini wanita yang harus dijaga.  Berdampak negatif apabila kau terus-terusan sampai ketergantungan terhadap rokok itu. bagaimana dengan janinmu kelak. Kasihan kawan.

Aku perhatikan tingkahmu saat kau mencari-cari rokok disaku celanamu. Kau meraba-raba seperti mencari sebuah benda berharga yang hilang. Aku merasa senang karena rokokkmu habis. Tampak wajah kecewa dibalut putus asa. Ternyata tak sampai disitu usahamu. Memang wanita pecandu. Kau sanggup untuk membeli lagi.

“Pakai rokok dulu Fir…!!” Rifal menawarkan.

Kau tersenyum, merasa menang. Kau nyalakan lagi rokok itu dengan tokai berwarna merah. Api menyala dan kepulan asap pun memenuhi wajah manismu. Asap-asap berkeliaran disela-sela sudut kamar kecil. Hampir menuntupi cahaya lampu. Kau merdeka, tampak dari bola matamu yang hitam itu. Rifal sudah kau anggap sebagai pahlawan yang sudah memerdekakanmu dari jeratan tanpa rokok. Memerdekakan dari rasa asam di mulutmu.

“Manfaat asap ini dapat mengusir nyamuk.” Kata Fira.

Aku geli mendengarnya. Alasan yang tak logis pun kau utarakan. Hidupmu kini telah dihantui sebatang rokok. Kata orang-orang tua. Rokok adalah awal dari segala untuk mengkonsumsi barang-barang haram lainnya. Jangan sampai kawan! Jangan kau konsumsi barang-barang haram lainnya. Cukup saja kau mengkonsumsi rokok, dengan ini saja aku hampir saja menjauhi hidupmu.

Bukan aku benci atau murka terhadapmu. Aku tak rela kau dibinasakan perlahan oleh racun yang terselubung di dalam asap itu. Coba lihat dan kau hembuskan asap itu ke baju putih atau ke jarimu. Pasti baju putih dan jarimu akan menguning. Itulah racunnya yang akan membunuhmu perlahan.

“Haruskah aku melaporkan kelakuan ini keorangtuamu?”

“Jangan Lan..!! kumohon.”

Tampak wajah memohon dari rautan pipi dan alismu. Rifal di sampingmu terperanjat mendengar ancamanku. Tapi, dia hanya terdiam sambil menarik asap dari hidungnya. Ntah bagaimana bentuk dan rupa paru-parunya. Mungkin saja bolong-bolong. Giginya saja sudang menguning akibat dari efek samping merokok. Kudengar rifal batuk-batuk kecil yang belum sembuh dari dulu.

“Lan, kita main kartu saja yuk, aku, kamu, dan Rifal. Biar aku yang mengocok kartunya.” Tawaran Fira.

Kau berusaha menyuapku dengan bermain kartu. Ah… tidak mempan kawan. Aku bukan tipe manusia yang bisa disuap-suap. Bukan  juga yang bisa dirayu-rayu agar aku melupakan kejahatanmu. Idealisku masih tinggi dan tidak bisa diperjualbelikan.

“Kalian beruda saja yang main kartunya.” Kataku.

Kau menerima tawaranku dan memulai mengocok kartunya.

“Tolonglah, asapnya jangan kau hembuskan kearahku.”

Kau hanya tersenyum dan terus mengocok kartu lalu membagikan kartu itu satu persatu. Remi Box, itulah permainan yang mengasikkan bagimu. Permainan menyusun kartu. Permainan yang kupikir tak ada manfaatnya. Kau main berdua dengan Rifal pun jadi. Aku melihat kau lihai permainan ini dan Rifal hampir keteran. Kau santai-santai saja duduk bersandar di dinding kumal kosmu.

“Fira…. Fira.” Aku memanggilmu dalam hati. Sudah tentu kau tak dapat mendengar. Teriakan seorang sahabat terhadap sahabatnya. Inikah perlakuanmu sebagai anak  disaat kau jauh dari orangtuamu. Nun jauh orangtuamu pontang-panting membanting tulang mencari uang. Inikah kelakuanmu yang telah kau perbuat saat kau menggenggam status mahasiswa. Lebih baik kau pikirkan itu dari pada kau menghabiskan sebatang rokok yang tak ada gunanya.

“Aku pulang dulu ya.” Pintaku.

Mereka memandangku.

“Masih awal Lan.”

“Masih awal apa? Pukul 23. 20. Embun-embun pun sudah turun.”

Mereka tertawa dan mengizinkanku pulang.

Aku pulang, menembus embun-embun yang mulai turun bak salju yang berjatuhan. Rasa dingin menusuk tulangku.

***

Beberapa minggu berlalau, aku kembali mendengar kabarmu. Kau sehat-sehat saja. Tapi. Aku tak mendengar kabar baik darimu seperti kabar baik yang diutarakan oleh tokoh agama tentang surga yang menunggu kita. Kau tak berubah kawan. Tetap saja bergelut dengan rokok. Malah aku mendengar yang hampir mencekik leherku. Kau lebih parah, minum arak.

Kau meminum benda yang benar-benar diharamkan itu. menurut kepercayaan Islam, jika kau minum arak maka kau tak akan mencium surga. Minuman yang belum sama sekali aku sentuh. Cium baunya saja kepalaku sudah berat sebelah. Minuman yang kau banggakan itu dapat mengubah fisik dan psikismu. Kau resek, matamu merah, dan jalanmu terhuyung-huyung.

Fira, andai aku dapat melihat dalam tubuhmu. Akan kulihat paru-parumu dan segera aku ceritakan kepadamu kerusakannya. Akan kulihat syaraf-syaraf di dalam tubuhmu dan segera aku ceritakan bahwa syaraf-syarafmu telah putus sedikit demi sedikit.

“Ini bukti solidaritas, kita kawan.” Katamu mengangkat botol arak.

Teman-teman lainnya tertawa memujimu.

Ah… Solidaritas. Ada-ada saja perkataan itu. pemikiran yang tidak rasional. Solidaritas teman bukan dengan ikut-ikutan seperti itu. Bukan dengan menyakiti diri. Aku tak dapat memarahimu karena kutau emosimu lagi tak stabil.

Beberapa teguk kau minum sambil memakan kacang-kacang di meja. Beberapa buih emosi yang pecah di hatiku. Aku menahan amarah bagaikan menahan sakit.  Muka berkeringat dan jari-jari kukepal siap untuk memukul meja di depanku. Bagaimana lagi caranya untuk mencegahmu. Aku selalu berdo’a.  tapi, kau tak berusaha untuk berhenti. Tentu hasilnya nihil.  Kau seperti anak kecil, diberi hati minta jantung.

Suara azan isya berkumandang. Hatiku tenang dan berharap setan-setan yang menari-nari di depanmu pergi menjauh sambil  menjerit-jerit ketakutan. Tak ayal, kau melanjutkan meneguk minuman itu. aku terheran-heran. Suara kumandang azan yang keras tak mampu benndungan setan ditelingamu.

Angin menghembusmmu. Rambut dan asap rokok melayang-layang. Kau memijit-mijit kepalamu dengan tangan kanan. Aku lihat itu. tangan kirimu mmemijit-mijit perutmu. Beberapa saat setelah itu kau mencari-cari tempat kosong tepatnya dibawah pohon rindang besar. Tak kuduga, kau muntah-muntah. Mengeluarkan bannyak cairan dan sisa makanan dari isi perutmu. Hatiku terdorong untuk mendekati dan memijit-mijit lehermu. Teman-teman pada ketawa dan melanjutkan meneguk araknya.

“Makasih Lan.”

“Kamu pulang saja Fir…!!!” Pintaku.

“Nanti saja. Aku masih betah disini.”

Usahaku gagal mengajakmu pulang. Inilah yang kau banggakan atas nama solidaritas teman. Kau rela menghancurkan fisik dan psikismu. Apa manfaatnya seperti ini? Teman-temanmu tak memperdulikanmu. Aku yang berusaha memperdulikanmu, sama sekali tak kau anggap. Persepsimu salah, memaknai arti sebuah teman. Kau harus belajar lagi.

Sudah berapa lama aku memperhatikanmu yang salah jalur ini. Usahaku sendiri ternyata tak mampu untuk membedung ambisimu. Rasa putus asa tiba di depan mataku.  Aku ragu untuk menyambut rasa itu. tapi, aku sebagai manusia normal akan berusaha dengan cara lain.

Tak lain dan tak bukan. Aku kan melakukann usaha lain. Aku akan membongkar kedok ini kepada orangtuamu. Kau pasti diancam untuk berhenti kuliah dan disuruh pulang kekampung halaman. Kau pasti dapat ceramah dari orangtuamu.

“Sampai kapan pun teman, aku tak merelakanmu jatuh kedalam lembah yang hina.”

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler