Skip to Content

Puisi-Puisi Daruz Armedian

Foto Daruz Armedian

Puisi-Puisi Daruz Armedian

 

Topeng

 

Betapa menyedihkan ketika sepagi itu

Kulihat wajahku di retakan cermin

Wajah yang dingin

Wajah yang bisa menjadi apa dan siapa saja

Tapi tidak bagi diri sendiri

 

Betapa menyedihkan sekumpulan bayang-bayang itu

Mereka lahir seperti ditakdir

            Atau mungkin disihir

Menjadi pendusta sepanjang usia

 

Apalagi yang akan semesta tawarkan

Untuk kutirukan

Apakah Tuhan?

 

2016

 

Matniwa

 

Aku melangkahkan kaki

Tidak untuk siapa-siapa

Bahkan tidak untuk diriku sendiri

 

Segalanya adalah kehampaan, Matniwa

Ruang-ruang tak berguna

Bagi sesuatu yang juga tak berguna

 

Aku menatapmu dengan mata

Yang entah milik siapa

Sebagaimana memanggilmu dengan bahasa

Yang begitu rahasia

 

Dari ujung jauh

Kau membalasku dengan hadapan tubuh

Tubuh yang kau sendiri tak merasa memiliki

 

Kita bertemu untuk berpisah

Sebagaimana berpisah untuk bertemu lagi

Berpencar lagi, seperti sinar matahari

 

2016

 

November

            Kepada diri

 

Aku bahagia

Membiarkan ulangtahunku berlalu

Begitu saja

Sebagaimana abai aku pada badai

Menuntun tangan hujan berjalan

Di halaman rumahku

            Di kedalaman dadaku

 

Aku melihat orang lain

Menyalakan lilin-lilin suatu hari

Hanya untuk dipadamkan kembali

 

Aku melihat orang lain

Menertawakan kenyataan lain

Mereka tidak tahu

Setiap tahun yang berulang

Selalu menciptakan jurang demi jurang

Dengan lubang menganga

Yang membahayakan sisa-sisa usia

 

Ketika suatu pagi, semisal

Kepalaku bangun dari bantal

Mataku kembali menatap kenyataan dunia

Kau bahagia berkata

“Selamat mengulang tahun kelahiran

Semoga panjang umur, Sayang.”

Aku akan menghatur terima kasih

Terima kasih kau masih ada

            Sebagaimana biasanya

 

Aku tak lebih baik dari kedunguan batu-batu

Jika tiba-tiba merayakan ulangtahun

Bertahun-tahun ketiadaan kutimbun

Kubangun sebegitu rupa untuk sesuatu

Yang tak benar-benar ada

 

Biar november menuju desember

Biar januari menuju februari

Aku tak peduli

 

2016

 

Selamat Jalan, Masa Depan

 

Selamat jalan, masa depan

Aku ingin berburu masalalu

Di rimba raya masalalu

 

Mungkin bernama masa kecil

Masa di mana hujan tak membuat tubuh gigil

Mungkin bernama rahim ibu

 

Atau jauh sebelum itu

 

Segalanya akan berjalan ke belakang

Ke arah yang silam

Menapak jejak-jejak yang pernah dipijak

 

Dan jika masalalu jadi tujuan

Menjelma masa depan

Aku akan mengatakan “Selamat jalan, masa depan!”

 

Sembari melangkahkan kaki

Ke masa lalu yang itu masa depanku

 

2016

 

Khayal

 

Diam di kamar ini

Aku merasa berjalan

Ke dunia yang jauh

Dunia yang kakiku rapuh untuk menempuh

 

Aku berjalan

Di panas hamparan sahara

Pada saat yang sama di dingin kutub utara

Kulitku tak melepuh

Sebagaimana ia tak membeku

 

Aku pergi dari khayal

Bangkit ke luar kamar

Dunia begitu sempit ternyata

Untuk ukuran sepasang mata

 

2016

 

Di Samudera Asmara

 

di samudera asmara

alif sampanku

ba perahuku

ta, kita adalah dua titik

            yang mengarungi samudera itu

 

di samudera asmara

yang aku butuh hanya:

 

Nyanyian

 

bernyanyilah, ta, bernyanyilah

suaramu adalah detak jantungku

yang senantiasa merawat alir darah

 

jika darahku mengalir

sebagaimana air sungai

berjalan dari hulu ke hilir

            tak mengenal usai

ini sampan

akan berjalan

sebagai kaki perahu

tak rapuh

oleh batu-batu waktu yang jatuh

dan

perjalanan yang jauh

 

Binar Mata dan Hal-Hal yang Sederhana

 

tangkap aku

dengan tatapan itu

mata mungil menyimpan dunia1

: samudera, langit tua,

bundar bumi, sinar matahari

dan sebagainya dan sebagainya

 

penjarakan aku

dengan kesederhanaan itu

semisal: senyum sesejuk embun

atau cerah wajah

juga dekap erat

 

setelah itu

mari ikut aku

perahu kita

            yang itu perahu-Nya juga

akan kupacu ke kedalaman keabadian

 

2016

1)       Judul cerpen Agus Noor

 

Di Tepi Jalan Pantura

            —kepada Alfarisi

ke arah timur, suatu pagi

di tepi jalan ini

kau bertanya, di mana

ujung sebuah matahari?

 

di belakang, bayangan lebih panjang

dari tubuh kita

diam-diam

menyembunyikan kata-kata

 

di mana ujung matahari itu?

aku tak tahu

 

kita jalan beriringan

di kananmu, kendaraan lalu lalang

di kiriku, berjajar pagar

dan pada trotoar

yang kotor

terlihat jejak samar-samar

 

kenapa musti ada jejak kaki?

aku tak mengerti

 

di utara kita, pantai

yang berdebur

tak kunjung usai

dari ombak laut yang hancur

menghentak

karang-karang yang terpacak

 

matahari meninggi

katamu, ia tak sungguh-sungguh meninggi

aku paham benar

bumi yang berputar

 

kita tetap berjalan

ke timur pada suatu pagi

yang sejenak beranjak

pada suatu siang

untuk apa kita di tepi jalan ini?

tanyaku

seperti kau tanya untuk apa kita di dunia

katamu

 

2016

 

Gasing

 

akulah gasing

di tengah-tengah dunia:

berpusing-pusing

seperti rumi

menari-nari

mabuk Ilahi

seperti bumi

berputar

untuk matahari

 

2016

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler