Skip to Content

Puisi-Puisi Muhammad Rois Rinaldi

Foto Rumah Sastra Indonesia

Tentang Lelaki Kecil

yang Bunuh Diri di Gantungan Lemari

 

I

Anak-anak menangis. Pada seragam putih

biru mengambang awan hitam

tapi tidak turun hujan. Guru

berjaga di pintu-pintu kelas.

Mata mereka—mata pendidikan yang rabun—

terarah kepada taman sekolah.

Di sana, di bangku barisan paling ujung,

biasanya seorang lelaki kecil duduk

menulis cita-cita dengan telunjuknya

di tanah lembab.

Tetapi, lelaki kecil itu, kini, tidak ada.

 

II

Petang itu, lelaki kecil masuk kamar.

Dari tangannya satu gulung tambang

—yang ia beli dari warung sebelah—

diikat pada dua tungkai lemari.

Sejenak ia tersenyum, sejenak ia terisak.

Menatap tambang itu, seperti menatap

malaikat maut menggelengkan kepala.

Tetapi ia sudah kehabisan alasan

untuk tetap hidup seperti kambing kecil

tersesat di hutan. Dengan gemetar

ia melilitkan tambang di lehernya yang polos.

Sepasang kaki mungilnya ditekuk.

Udara meninggalkan paru-paru juga

jantungnya seperti jarum

jam patah di malam pekat.

 

III

Wajah Bunda yang sibuk bercinta

melintas-lintas pada batas napas.

Nyanyian Ayah bergerak begitu lambat

di dekat batinnya. Lemari dua pintu

berderak-derak dalam sunyi  kematiannya.

Sekian detik. Sekian menit.  Sekian jam.

Sunyi yang berpusing itu

gagak yang mengakak  di pemakaman.

Orang-orang melangkah pergi dari kubur

lelaki kecil sambil terisak.

 

IV

Seorang perempuan tua berbaring

di kamar cucunya yang mati bunuh diri.

Dipandanginya langit-langit kamar, putih.

Ia seperti mendengar lagi

rengek lelaki kecil yang mendamba

dongengan Ayah dan hangat pelukan

Bunda menjelang  tidur.

Terbayang hari pesta pernikahan Santi

—gadis hitam manis, anak semata wayangnya itu.

Tahun-tahun pertama

yang teramat romantis berubah begitu saja

pada tahun kedua seperti ribuan taman bunga

yang seketika berubah menjadi gua kelawar

yang pengap dan penuh kotoran.

Mereka saling mempertanyakan kesetiaan karena bosan.

Terbayang hari-hari perceraian

yang penuh amarah dan kesumat.

Santi kini di kota lain, ikut dengan suami barunya.

Ia tidak tahu di mana bekas suami Santi

—si Hardi, lelaki tegap dan bermata tajam itu.

Sejak hak asuh anak diberikan kepada Santi

Hardi seperti kesiup meninggalkan pintu.

 

Meleleh mata perempuan tua itu! 

Dirabanya bayang cucu tersayang

yang lekas hilang di antara gerak kelambu.

Bibirnya yang ungu genderiya terus bergetar.

Sejenak ia tertegun. Ia berpikir,

mungkin ada baiknya cucunya mati.

Ada baiknya ia terlontar dari kehidupan

yang membuatnya menderita.

Karena keisengan di bumi hanya sekelumit kisah

yang mengecewakan dan kehidupan

semata ilusi sedih

yang gampang ditebak akhinya.

 

V

Di dalam kubur,

lelaki kecil tidur lebih dari lelap. Bibirnya

menyungging, seperti menyinggung

beribu pesta perkawinan yang digelar dengan gairah

cinta yang mudah gugur dan membusuk.

Berpasang-pasang manusia yang menikah

beranak pinak, lalu bosan

itu tidak peduli kepada derita anak-anak

yang dilahirkan untuk ditinggalkan

seperti meninggalkan kotoran di sebuah WC umum.

Lelaki kecil dalam kubur tidur lebih dari lelap.

Bibirnya menyungging, seperti menyinggung

berpasang-pasang kekasih yang membiarkan

anak-anak memilih bunuh diri

di gantungan lemari.

 

Kramat, 2015

 

Sumber: Buku Puisi Terlepas (Pustaka Senja, 2015)

 

 

L e l a k i   G i l a


Di kota yang ditinggalkan jiwanya ini,

hanya lelaki gila itu yang tampak hidup.

 

Rambut lusuhnya

—yang dihinggapi sekumpulan lalat  hijau—

adalah akar-akar pohon beribu tahun.

Di sana seekor katak piatu menciptakan nyanyian

dari nada rendah yang menenteramkan

1.000 bidadari di musim penghujan.

 

Kuku-kukunya yang panjang dan hitam

adalah gua pertapaan para sufi,

sang suci yang dikorbankan pada hari api.

Dunia gelap dan bau

adalah dunia kalis yang telah ia lampaui

ketika orang-orang waras di kota ini

terlalu asyik bermain-main dengan kotoran.

 

Pengembaraan-pengembaraannya yang ganjil

itu adalah tirakat sepuluh malaikat

pembaca risalah bagi tanah rasywah

yang telah lama ditinggalkan rajah dan tuah.

 

Ketika ia tidur, mulutnya yang menganga

adalah lorong cahaya kegelapan

yang berkelok curam tanpa ujung.

Di sana, beribu pejalan kaki tersesat

mencari surga.

 

2012

 

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)


 

ODE

untuk Kekasih-kekasih Seorang Penyair

seorang penyair tak pernah
memberi kalian bunga
selain beberapa rangkai kata yang tak selalu
dapat kalian pahami
tapi kalian tetap saja mencintainya.
barangkali pesona suara
seorang penyair lebih dari welas asih
dan diamnya adalah sihir.
tak penting seberapa letih
kalian menanti ia datang
di sekitar pasar atau taman
ketika malam ditumbuhi
lampu temaram.
kalian telah menerima
seorang penyair sebagai filsuf
mengembaradi jagat yang terlepas
dari setiap jarak dan batas.
ia takkan mampu menetap
meski demi denyut hatinya sendiri.
sekali waktu, jelang fajar
mungkin kalian melihatnya
tepekur di beranda,
seakan ia menginginkan kalian tiba
tapi sebelum kalian sempat
mendekat, ia telah pergi.
kalian yang mendamba pelukan
tetap kedinginan.


terpujilah ketabahan kekasih-kekasih
seorang penyair!

 

2013

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)

 

 

Kenyataannya Kini 

 

Kita seperti surga yang digagahi kalajengking.

Setelahnya, kemalangan yang diterima

adalah taruhan antara samar kebaikan dan kejahatan.

Beribu zaman bermilyar keturunan kita jadi liar,

terlunta, dan merana sebagai alap-alap

yang tersekap teka-teki resonansi kebenaran.

Mata kita yang menatap,  mata kuda buta.

Keyakinan yang kita genggam, keragu-raguan

Abad puncak kita, abad kegelapan.

Khianat menuruni lembah-lembah; suara

kepalsuan menggonggong lapar di puncak

gunung; dataran rendah penuh kotoran.

Kita terkepung bau mulut, kentut, dan mesiu!

Setiap kali kita bertemu, yang menggebu-gebu

adalah kehendak untuk saling memangsa.

Kita yang telah begitu jauh ditinggalkan para Nabi

dan  orang suci semakin barbar dan kanibal. 

Beratus juta jasad tergeletak dikunyah amarah.

Tetapi kita sudah tidak tahu cara iba atau berduka.

Kita kadung menikmati kekacauan ini.

Kelak, yang tinggal di  bumi ini hanya sepasang

babi hutan, yang mendengus sedih di sekitar jasad 

manusia terakhir yang diberaki seekor gagak

putih.

 

Banten, 2015

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)

 

Doa Seorang Anak Nelayan

 

Pada robekan jala dan karam perahu tua,

kutemukan wajahMu. Bila senja tiba,

betapa jelas duka di langit dan ombak hening itu.

DukaMukah duka itu, Tuhan?       

Duka yang juga kulihat pada wajah ibuku.           

 

Berpuluh kilomometer jarak dibentangkan layar

membawa pergi bapak dalam malam.

Bila bapak pulang dengan senyum dibuat-buat

aku dan ibuku juga tersenyum untuk setiap apa

yang kusebut takdir.

 

Tuhan, sudah lama aku tidak melihat

ikan melimpah di daratan.

Sudah lama tidak melihat cahayaMu

pada sisik yang berkilatan juga pada binar

mata orang-orang pasar.

 

Dulu, ketika purnama mengapung di muka laut,

kita bercengkarama dengan sangat intim

hingga gema subuh tiba mengantarkan

bisik angin kepada pasir.

 

Purnama, kini, dingin, liat, dan lian.

Layar, sauh, dan jala kehilangan laut. 

 

Tidak, Tuhan! Aku tidak merasa kehilangaMu. 

Aku masih di sini dan bicara lagi kepadaMu.

Perahu-perahu mangkrak

dan tungku yang kehilangan api itu,

nyalakanlah lagi, Tuhan.

 

Cilegon, 2015

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)

 

Alif Lam Ro

Sebuah rahasia untuk adikku, Jamil Abdul Aziz

 

Alif Lam Ro.

Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia

ketika yang kasat mata tiada nilai

dan yang tampak tiada, begitu dekat dari penglihatan.

Sekian detik jarak dari hitungan makhluk fana

yang membuat segala kehilangan isi.

Itulah sebab, kekacauan tidak bisa dihentikan.

 

Bumi maha bisu ini

melahirkan manusia-manusia yang enggan diam.

Manusia terus berbicara,

tapi tidak ada yang sungguh-sungguh diperdengarkan,

Orang-orang mendengar

dalam ketulian yang sempurna.

 

Alif Lam Ro.

Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia.

Di antara suara-suara kacau kebenaran jadi bau.

Mulut-mulut yang menganga

mengantarkan berita bohong ke udara.

Pancaroba! Di mana-mana musim pancaroba!

Itulah mengapa pendengaran kita penuh angin

juga khayalan.

 

Manusia berkerumun untuk bertarung di semua rumah;

di segala tanah orang-orang terluka dan marah.

Bumi ini telah dialpakan dari intinya

dan manusia menghela napas yang terarah kepada kekosongan.

 

Alif Lam Ro.

Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia.

 

1436 H

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)

 

Penyair

 

…  adalah mata

api yang menyala waktu dingin

menguasai negeri-negeri sihir.

Nyala yang mengusir wabah

dari kemah para penakut.

Memberi panas kepada kepala  manusia

yang dibekukan keputusasaan.

 

Penyair adalah onta gila.

Ketika orang-orang terusir

kelaparan di gurun pasir,

onta mengguncang pokok qurma

membuka kanal di tepi laut mati.

Onta  memang tunggangan

tapi onta gila menolak ditunggangi.

 

Penyair adalah gagak.

yang mengganggu waktu tidur

para dewa.

Suara gagak tak dapat dihentikan.

Ia terus memekik di langit.

Orang-orang marah. Memburu. 

Ada yang tertangkap. Dibunuh.

Ada yang abadi, jadi teror!

 

Penyair adalah peluit

yang melengking di stasiun terakhir.

Mengguncang kesadaran para penumpang

yang terlena di kursi penantian.

Tetapi lengking penyair selalu dibungkam

sekumpulan setan yang bernyanyi

nina bobo.

 

Kramat, 2016

 

Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)

 


Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co. Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN.

Bukunya yang telah terbit di antaranya adalah Sepasang Angsa (Abatatsa Publishing, 2012), Terlepas (Pustaka Senja, 2015), Koperasi dari Barat (Gaksa Enterprise, 2017) Beluk (Gaksa Enterprise, 2018), dan Perawi Sabda Ibu (Gaksa Enterprise, 2018).

Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Tokoh e-Sastra Asia Tenggara (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia dalam kurun waktu 10 tahun (2006-2016). 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler