Tentang Lelaki Kecil
yang Bunuh Diri di Gantungan Lemari
I
Anak-anak menangis. Pada seragam putih
biru mengambang awan hitam
tapi tidak turun hujan. Guru
berjaga di pintu-pintu kelas.
Mata mereka—mata pendidikan yang rabun—
terarah kepada taman sekolah.
Di sana, di bangku barisan paling ujung,
biasanya seorang lelaki kecil duduk
menulis cita-cita dengan telunjuknya
di tanah lembab.
Tetapi, lelaki kecil itu, kini, tidak ada.
II
Petang itu, lelaki kecil masuk kamar.
Dari tangannya satu gulung tambang
—yang ia beli dari warung sebelah—
diikat pada dua tungkai lemari.
Sejenak ia tersenyum, sejenak ia terisak.
Menatap tambang itu, seperti menatap
malaikat maut menggelengkan kepala.
Tetapi ia sudah kehabisan alasan
untuk tetap hidup seperti kambing kecil
tersesat di hutan. Dengan gemetar
ia melilitkan tambang di lehernya yang polos.
Sepasang kaki mungilnya ditekuk.
Udara meninggalkan paru-paru juga
jantungnya seperti jarum
jam patah di malam pekat.
III
Wajah Bunda yang sibuk bercinta
melintas-lintas pada batas napas.
Nyanyian Ayah bergerak begitu lambat
di dekat batinnya. Lemari dua pintu
berderak-derak dalam sunyi kematiannya.
Sekian detik. Sekian menit. Sekian jam.
Sunyi yang berpusing itu
gagak yang mengakak di pemakaman.
Orang-orang melangkah pergi dari kubur
lelaki kecil sambil terisak.
IV
Seorang perempuan tua berbaring
di kamar cucunya yang mati bunuh diri.
Dipandanginya langit-langit kamar, putih.
Ia seperti mendengar lagi
rengek lelaki kecil yang mendamba
dongengan Ayah dan hangat pelukan
Bunda menjelang tidur.
Terbayang hari pesta pernikahan Santi
—gadis hitam manis, anak semata wayangnya itu.
Tahun-tahun pertama
yang teramat romantis berubah begitu saja
pada tahun kedua seperti ribuan taman bunga
yang seketika berubah menjadi gua kelawar
yang pengap dan penuh kotoran.
Mereka saling mempertanyakan kesetiaan karena bosan.
Terbayang hari-hari perceraian
yang penuh amarah dan kesumat.
Santi kini di kota lain, ikut dengan suami barunya.
Ia tidak tahu di mana bekas suami Santi
—si Hardi, lelaki tegap dan bermata tajam itu.
Sejak hak asuh anak diberikan kepada Santi
Hardi seperti kesiup meninggalkan pintu.
Meleleh mata perempuan tua itu!
Dirabanya bayang cucu tersayang
yang lekas hilang di antara gerak kelambu.
Bibirnya yang ungu genderiya terus bergetar.
Sejenak ia tertegun. Ia berpikir,
mungkin ada baiknya cucunya mati.
Ada baiknya ia terlontar dari kehidupan
yang membuatnya menderita.
Karena keisengan di bumi hanya sekelumit kisah
yang mengecewakan dan kehidupan
semata ilusi sedih
yang gampang ditebak akhinya.
V
Di dalam kubur,
lelaki kecil tidur lebih dari lelap. Bibirnya
menyungging, seperti menyinggung
beribu pesta perkawinan yang digelar dengan gairah
cinta yang mudah gugur dan membusuk.
Berpasang-pasang manusia yang menikah
beranak pinak, lalu bosan
itu tidak peduli kepada derita anak-anak
yang dilahirkan untuk ditinggalkan
seperti meninggalkan kotoran di sebuah WC umum.
Lelaki kecil dalam kubur tidur lebih dari lelap.
Bibirnya menyungging, seperti menyinggung
berpasang-pasang kekasih yang membiarkan
anak-anak memilih bunuh diri
di gantungan lemari.
Kramat, 2015
Sumber: Buku Puisi Terlepas (Pustaka Senja, 2015)
L e l a k i G i l a
Di kota yang ditinggalkan jiwanya ini,
hanya lelaki gila itu yang tampak hidup.
Rambut lusuhnya
—yang dihinggapi sekumpulan lalat hijau—
adalah akar-akar pohon beribu tahun.
Di sana seekor katak piatu menciptakan nyanyian
dari nada rendah yang menenteramkan
1.000 bidadari di musim penghujan.
Kuku-kukunya yang panjang dan hitam
adalah gua pertapaan para sufi,
sang suci yang dikorbankan pada hari api.
Dunia gelap dan bau
adalah dunia kalis yang telah ia lampaui
ketika orang-orang waras di kota ini
terlalu asyik bermain-main dengan kotoran.
Pengembaraan-pengembaraannya yang ganjil
itu adalah tirakat sepuluh malaikat
pembaca risalah bagi tanah rasywah
yang telah lama ditinggalkan rajah dan tuah.
Ketika ia tidur, mulutnya yang menganga
adalah lorong cahaya kegelapan
yang berkelok curam tanpa ujung.
Di sana, beribu pejalan kaki tersesat
mencari surga.
2012
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
ODE
untuk Kekasih-kekasih Seorang Penyair
seorang penyair tak pernah
memberi kalian bunga
selain beberapa rangkai kata yang tak selalu
dapat kalian pahami
tapi kalian tetap saja mencintainya.
barangkali pesona suara
seorang penyair lebih dari welas asih
dan diamnya adalah sihir.
tak penting seberapa letih
kalian menanti ia datang
di sekitar pasar atau taman
ketika malam ditumbuhi
lampu temaram.
kalian telah menerima
seorang penyair sebagai filsuf
mengembaradi jagat yang terlepas
dari setiap jarak dan batas.
ia takkan mampu menetap
meski demi denyut hatinya sendiri.
sekali waktu, jelang fajar
mungkin kalian melihatnya
tepekur di beranda,
seakan ia menginginkan kalian tiba
tapi sebelum kalian sempat
mendekat, ia telah pergi.
kalian yang mendamba pelukan
tetap kedinginan.
terpujilah ketabahan kekasih-kekasih
seorang penyair!
2013
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
Kenyataannya Kini
Kita seperti surga yang digagahi kalajengking.
Setelahnya, kemalangan yang diterima
adalah taruhan antara samar kebaikan dan kejahatan.
Beribu zaman bermilyar keturunan kita jadi liar,
terlunta, dan merana sebagai alap-alap
yang tersekap teka-teki resonansi kebenaran.
Mata kita yang menatap, mata kuda buta.
Keyakinan yang kita genggam, keragu-raguan
Abad puncak kita, abad kegelapan.
Khianat menuruni lembah-lembah; suara
kepalsuan menggonggong lapar di puncak
gunung; dataran rendah penuh kotoran.
Kita terkepung bau mulut, kentut, dan mesiu!
Setiap kali kita bertemu, yang menggebu-gebu
adalah kehendak untuk saling memangsa.
Kita yang telah begitu jauh ditinggalkan para Nabi
dan orang suci semakin barbar dan kanibal.
Beratus juta jasad tergeletak dikunyah amarah.
Tetapi kita sudah tidak tahu cara iba atau berduka.
Kita kadung menikmati kekacauan ini.
Kelak, yang tinggal di bumi ini hanya sepasang
babi hutan, yang mendengus sedih di sekitar jasad
manusia terakhir yang diberaki seekor gagak
putih.
Banten, 2015
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
Doa Seorang Anak Nelayan
Pada robekan jala dan karam perahu tua,
kutemukan wajahMu. Bila senja tiba,
betapa jelas duka di langit dan ombak hening itu.
DukaMukah duka itu, Tuhan?
Duka yang juga kulihat pada wajah ibuku.
Berpuluh kilomometer jarak dibentangkan layar
membawa pergi bapak dalam malam.
Bila bapak pulang dengan senyum dibuat-buat
aku dan ibuku juga tersenyum untuk setiap apa
yang kusebut takdir.
Tuhan, sudah lama aku tidak melihat
ikan melimpah di daratan.
Sudah lama tidak melihat cahayaMu
pada sisik yang berkilatan juga pada binar
mata orang-orang pasar.
Dulu, ketika purnama mengapung di muka laut,
kita bercengkarama dengan sangat intim
hingga gema subuh tiba mengantarkan
bisik angin kepada pasir.
Purnama, kini, dingin, liat, dan lian.
Layar, sauh, dan jala kehilangan laut.
Tidak, Tuhan! Aku tidak merasa kehilangaMu.
Aku masih di sini dan bicara lagi kepadaMu.
Perahu-perahu mangkrak
dan tungku yang kehilangan api itu,
nyalakanlah lagi, Tuhan.
Cilegon, 2015
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
Alif Lam Ro
Sebuah rahasia untuk adikku, Jamil Abdul Aziz
Alif Lam Ro.
Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia
ketika yang kasat mata tiada nilai
dan yang tampak tiada, begitu dekat dari penglihatan.
Sekian detik jarak dari hitungan makhluk fana
yang membuat segala kehilangan isi.
Itulah sebab, kekacauan tidak bisa dihentikan.
Bumi maha bisu ini
melahirkan manusia-manusia yang enggan diam.
Manusia terus berbicara,
tapi tidak ada yang sungguh-sungguh diperdengarkan,
Orang-orang mendengar
dalam ketulian yang sempurna.
Alif Lam Ro.
Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia.
Di antara suara-suara kacau kebenaran jadi bau.
Mulut-mulut yang menganga
mengantarkan berita bohong ke udara.
Pancaroba! Di mana-mana musim pancaroba!
Itulah mengapa pendengaran kita penuh angin
juga khayalan.
Manusia berkerumun untuk bertarung di semua rumah;
di segala tanah orang-orang terluka dan marah.
Bumi ini telah dialpakan dari intinya
dan manusia menghela napas yang terarah kepada kekosongan.
Alif Lam Ro.
Aku membaca rahasia dan menemukan rahasia.
1436 H
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
Penyair
… adalah mata
api yang menyala waktu dingin
menguasai negeri-negeri sihir.
Nyala yang mengusir wabah
dari kemah para penakut.
Memberi panas kepada kepala manusia
yang dibekukan keputusasaan.
Penyair adalah onta gila.
Ketika orang-orang terusir
kelaparan di gurun pasir,
onta mengguncang pokok qurma
membuka kanal di tepi laut mati.
Onta memang tunggangan
tapi onta gila menolak ditunggangi.
Penyair adalah gagak.
yang mengganggu waktu tidur
para dewa.
Suara gagak tak dapat dihentikan.
Ia terus memekik di langit.
Orang-orang marah. Memburu.
Ada yang tertangkap. Dibunuh.
Ada yang abadi, jadi teror!
Penyair adalah peluit
yang melengking di stasiun terakhir.
Mengguncang kesadaran para penumpang
yang terlena di kursi penantian.
Tetapi lengking penyair selalu dibungkam
sekumpulan setan yang bernyanyi
nina bobo.
Kramat, 2016
Sumber: Buku Puisi Nada-Nada Minor (Gaksa Enterprise, 2017)
Komentar
Tulis komentar baru