telah kubangun rumahku dengan tetesan peluh berpuluh tahun yang lampau
lalu aku merantau jauh kesebuah buana menepi dipojok bumi menua diremuk waktu
untung setahun sekali aku pulang dan merasa asing di rumahku sendiri
loteng sepi tak ada cengkrama dari keluarga kecilku
hanya tikus nakal yang membuang kotorannya diatas tumpukan buku buku tua
memori yang telah jadi sampah sketsa lukisan dan catatan puisi yang dimakan rayap
kamar kamar yang telah jadi gudang tumpukan rongsokan
dinding mengelupas kelabu seperti warna rambutku
atap tiris keatas ubin yang retak retak
tiang penyanggah menjadi rapuh seperti rapuhnya tulangku
pagar halaman bercendawan dicat setahun sekali ketika ada upacara penyambutan
bebungaan mengering layu didalam pot tak bertanah
rumah tua itu tidak mati masih ada nafas berembus
sibuk mengurai benang kusut menemukan jalan kehidupan menuju masa depannya masing masing
kalau aku sakit dirantau dan ingin pulang kerumah tuaku yang sepi
mungkin masih ada cucu kecilku senang mendengarkan aku mendongeng
ceritera yang kujalin dari negeri orang
membaca ulang lembaran hikayat yang telah usang sebelum maut datang menjemput
tapi mungkin juga tidak karena mereka pada sibuk dengan gatget pengusir sepinya masing masing
dan tak ada lagi yang mau peduli di rumah ini
seperti tubuh tua ini yang selalu setia menunggu diperbaharui kembali
oleh generasi berikutnya
Komentar
Mengharu biru ....
Mengharu biru .... terimakasih untuk cacatan ilmu hidupnya !
Terharu...
Terharu saya membaca puisi ini, membayangkan diri sendiri...sang waktu mengubah segalanya....meski semakin tua tubuh ini namun semangat harus tetap menyala. Salam hormat, salam kenal.
Beni Guntarman
Tulis komentar baru