Skip to Content

Februari 2019

CERPEN KOMPAS 2005 “LANGIT BERTABUR NGUYEN” KARYA FAKHRUNNAS MA JABBAR

Langit merah jambu menyelubung Hanoi. Malam merangkak begitu lamban di antara deru terbang burung layang-layang. Hening mengepung diriku yang terkurung di sebuah kamar hotel berbintang. Hampir sepekan aku berada di negeri yang kini berbenah.

CERPEN KOMPAS 2005 “REQUIEM” KARYA PUTU FAJAR ARCANA

 

Sebelum mati, aku masih ingat tubuhku melenting: kakiku berkelejotan mencari tumpuan, sedangkan kepalaku menjadi tumpuan di ujung lainnya. Lalu seluruh tubuhku meregang, seolah menolak kehendak malaikat maut yang membetot nyawaku.

CERPEN KOMPAS 2005 “RADIO TRANSISTOR” KARYA AKBAR FAIZAL

Hujan sore tadi masih menyisakan genangan di jalan becek yang memotong kampung di pinggiran sungai pada kaki bukit. Selain perahu penyeberangan yang ditarik tambang antara kedua sisi sungai, tak ada penduduk yang berani menyeberang dengan perahu kecil lainnya terutama pada musim seperti saat ini.

CERPEN KOMPAS 2005 “PAO AN TUI *1” KARYA DWICIPTA

Keng Hong terkulai lemah di depan jasad anaknya. Tubuh dan pikirannya sangat letih setelah melakukan perjalanan jauh selama dua hari dua malam. Dari balik kain penutup jasad, dilihatnya darah masih merembes membasahi bawah dipan. Ada tujuh tusukan yang bersarang di tubuh anaknya. Remaja tanggung itu telah meninggal sejak semalam.

CERPEN KOMPAS 2005 “LUKISAN BERGETAR” KARYA S PRASETYO UTOMO

Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak.

CERPEN KOMPAS 2005 “TUJUH PULUH TUJUH LIDAH EMAS” KARYA GUS TF SAKAI

Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Begitulah terik, siang memanggang meringkus dirinya. Tetapi bukan itu. Di sana, di puncak monumen, ada sebuah titik, amat terang, seperti bintang.

CERPEN KOMPAS 2005 “SAYAP KABUT SULTAN NGAMID” CERPEN TRIYANTO TRIWIKROMO

Ya, kau juga tahu, hari itu, Minggu 28 Maret 1830, Ramadhan telah berlalu. Karena itu, dalam lukisanku, aku yakin kabut lembut dan matahari susut saja yang mengepung Rumah Karesidenan itu. Tak ada gerimis riwis yang menghardik tiang-tiang tua. Tak ada pula petir mendera Merapi yang samar mengonggok di bumi fana. Jadi, sangat tak keliru jika kutorehkan warna terang di sekujur kanvas.

CERPEN KOMPAS 2005 “LANGIT MALAM” KARYA IYUT FITRA

Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan.

CERPEN KOMPAS 2005 “INDRAKILA” KARYA BRE REDANA

Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian ke rumah yang dirancangnya sejak lama di antara gunung-gunung dan lembah. Didasari pertimbangan yang dibuat tak kalah lamanya, ia bersama istri ingin melewatkan hari tua usai pensiun di tempat yang tenang, mengonsumsi waktu sehari-hari dengan bebas merdeka.

CERPEN KOMPAS 2005 “IA INGIN MATI DI BULAN RAMADHAN INI” KARYA AGUS NOOR

Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan berlalu, tapi ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar akan datang. Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang…



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler