Skip to Content

HUJAN SENJA DI JALAN MELINTANG*

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Rindu yang datang bersama hujan senja membawa kisah ketika kita berdua saat kehujanan berbasah-basah di sudut kota. Kita berteduh bersender pada dinding gedung tua. Itulah kali pertama hatimu bicara tentang cintamu yang kau ucapkan lewat genggaman. Aku merasa genggaman erat tanganmu

Itulah kali pertama aku merasa ingin selalu dekat. Aku tak ingin berpisah denganmu. Lalu kita memaksakan diri untuk berhujan-hujanan karena hujan tak kunjung reda sedangkan hari hampir malam.

Kita sama membisu. Mungkin kau risau jika terlambat pulang. Aku juga risau. Bukan tentang bapak dan ibumu yang mungkin akan memarahi aku. Aku risau tentang abangmu.

Di kota Pangkalpinang yang sampai dengan awal tahun 1960an masih merupakan kota kecil, siapa yang tak kenal dengan abangmu. Brandal-brandal tanggung di Banteng, Surya, Garuda, dan Maras hampir semua sudah merasa kerasnya kepalan tangan abangmu.

Dan sekarang aku bersama adiknya - yang cantik, yang berponi, yang berekor kuda, yang bibirnya selalu merah- yang sekarang basah kuyup.

Kita berlari-lari kecil berpegangan tangan. Air hujan yang tergenang di jalan aspal memercik terinjak langkah. Bersama desau angin semuanya menjadi musik semesta cinta remaja yang sedang kasmaran.

Ada warung kecil yang bisa dijadikan tempat berteduh. Beberapa warung lainnya tutup. Di warung kecil itu aku menarikmu untuk berteduh dan kau tidak menolak. Dari warung itu jarak ke rumahmu hanya tinggal hitungan puluh langkah. Kita akan berpisah betatapun aku enggan untuk itu. Aku ingin membawamu pulang. Meski sebentar lagi engkau akan lenyap di balik daun pintu aku ingin membawamu. Dalam kenangan.

Hujan senja itu memang luar biasa. Hampir tidak ada orang lalu lalang. Sesekali orang lewat bersepeda dengan kencang tidak peduli ada siapa. Dengan tangan basah aku mengeringkan wajahmu. Kau diam. Tentu saja wajahmu tetap basah. Basah. Dan aku menangkap pandang baju putihmu yang basah. Telingaku berdenging. Aku melihat sangat dekat keningmu yang basah. Aku melihat sangat dekat pipimu yang basah. Aku melihat sangat dekat rambutmu yang basah.

Aku melihat sangat dekat anak rambut menempel di pelipismu yang basah. Aku melihat sangat dekat hidungmu yang basah. Aku melihat sangat dekat bibirmu yang basah. Aku melihat sangat dekat matamu yang terpejam dan basah.

Apakah angin masih mendesir, aku tak tahu. Apakah hujan masih turun, aku tak tahu. Apakah hari sudah malam, aku tak tahu. Apakah ada orang lalu lalang, aku tak tahu. Bukan aku saja yang tidak tahu, kita berdua tidak tahu.

Aku tak peduli kakakmu yang galak. Kalau dia tahu dan marah-marah, membentak, akan kuanggap anjing sedang menyalak. Dan tiba-tiba “plak”. Ketika terasa asin dibibirku dan melihat kau di belakang kakakmu barulah aku sadar. Aku kena tempeleng. Sekali yang cukup keras sehingga bibirku sobek dan meneteskan kecap. Sungguh aneh perjalanan ini. Hanya dalam hitungan menit bibirku punya pengalaman dua macam.

Aku terpana melihat engkau diseret oleh kakakmu namun kau masih sempat menoleh ke belakang, melihatku.

Hujan telah reda namun mendung masih tebal. Selamat jalan impian liar masa remaja.

 

201609021719 _Kotabaru_Karawang

*Melintang adalah nama sebuah jalan di Kota Pangkalpinang – Bangka.

(Jika engkau masih hidup dan suka berfacebook seperti aku mudah-mudahan kisah ini terbaca)

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler