Skip to Content

KAWAN PELUKIS KERETAKU

Foto Farhad Shameel Abd

Berlangsung lama sudah ikatan hubunganku dengannya. Tetapi masih belum bisa dikatakan sahabat seperti mana biasanya. Memang status dia dihadapan semua orang adalah sahabat setiaku, sudah 5 tahun aku mengenalnya. Waktu itu aku masih ingat sekali bagaimana aku bisa bertemu dengannya di sebuah pusat Malldi Jakarta, ketika itu aku menghampirinya yang sedang duduk dengan asyik membaca buku fiksi. Tentunya aku sangat tertarik dengan seorang teman yang suka membaca buku-buku fiksi. Aku tak tahu apa yang dimiliki pemuda yang satu ini, parasnya sedang tetapi terlihat bagai orang timur tengah dengan hidungnya yang sedikit mancung. Rahangnya yang sangat kuat membentuk postur mukanya yang lonjong yang jelas membuatnya lebih menarik. Tetapi dari semua itu aku lebih tersipu akan tatapan matanya yang sangat dingin. Aku sendiri orang yang susah sekali akrab dengan orang yang baru kukenal, hanya saja dengan tatapan dinginnya itu buatku sangat mudah paham dengan cara dia meredam kekakuan suasana, jujur saja setiap saja dia menatapku, seperti ada suatu kata-kata yang membuatku merasa dekat dengan tatapan itu. Ku baru tahu belakangan bahwa dia memang lebih spesial dari kebanyakan orang.

    Seperti halnya sebuah opini yang dilayangkan oleh sepasang sahabat, dikala pembicaraan antara keduanya adalah sebuah pertunjukan yang begitu banyak dinanti oleh sekitarnya. Bagaimanamereka mulai mempertunjukan suasana persahabatan yang begitu indah hingga jemari mereka yang terkadang mengajak relung hati kita menjadi sangat terharu, tetapi menurtku itu semua tak terjadi kepadaku dengannya. Setiap kali kita bersama orang-orang akan mengira bahwa kita bukan sahabat yang barusan terbayangkan. Kami tahu sendiri bagaimana agar keakraban kami bisa tetap tak luntur di makan waktu, sebenarnya hanya dia yang tahu segalanya akan persahabatan kami, aku merasa asing ditengah-tengah suasana yang begitu syahdu yang dibuatnya. Sampai sekarang aku tak pernah tahu cara pikir pemuda satu ini, tak banyak ia mempunyai teman. Sikapnya yang dingin dan sulit untuk ramah membuat orang berpikir bahwa ia angkuh dan sombong, tetapi memang itu yang diinginkannya. “Kalau kita sombong , maka disitulah kebebasan akan kita dapatkan!” kata itu yang pernah kudengar ketika kami sedang asyik berkunjung ke museum sejarah nasional. Tetapi dari situ aku mulai suka akan sikapnya itu, bukan berarti aku setuju 100% akan sikapnya, hanya saja setiap kali dia jatuh atau disalahkan dia tidak pernah ragu mengakui kesahalannya tapi ia juga tak suka jika ada orang yang menyalahkannya, ringan dan dingin selalu saja membuatku masih tak tahu apa yang sedang ia pikirkan.

    Pernah suatu ketika aku berseru senda dengannya di bawah pohon besar saat matahari masih ragu-ragu untuk menampakkan cahayanya.

“kau tahu, sebenarnya aku ini dulu seorang periang dan ramah terhadap semua orang ! jujur saja semua itu telah lama hilang sebelum aku mengenal kau. Sebenarnya bukan hilang, hanya saja ada yang mengajakku ke situasi ini dan akupun suka akan hal ini !” jelasnya ...

“apakah kau tahu yang sedang aku pikirkan ?” tanyaku.

“tentu saja aku tahu. Aku tak pernah menderita akan hal ini, dan juga kau mungkin berfikir bahwa aku terkurung di sangkar gelap tanpa cahaya ! hanya saja itu semua terbalik dari apa yang kau pikirkan.” Terangnya yang memang selalu tahu akan diriku ini.

“maksudku apa dan siapa yang menyeret ini terhadapmu ?”

“semuanya berawal di kala aku berjumpa dangan kekasihku. Di hari yang telah ku lupa aku bertemu dengan seorang wanita yang menghampiriku, dia lebih tua satu tahun denganku. Dari situ aku mulai asing akan lelucon akan kebahagiaan dalam hidup. Dia bercerita bahwa sesuatu yang terharap dibenak akan bisa terwujud seperti apa seharusnya jika kita tahu siapa diri kita sendiri. Kau mengerti maksudku ?” jelas dia dengan serius.

“sebenarnya agak sulit ! . . . apa hubungannya akan sikap dinginmu saat ini ?” memang saat itu aku lebih memilih menjadi si pendengar yang ingin tahu banyak hal.

“ketika di masa sebelum itu, semua yang ku yakini hanya kamuflase dari luapan emosi atas apa yang tak pernah kusukai, seperti contoh seekor kucing, aku sangat tak suka terhadap kucing, tetapi selanjutnya yang terbenam dalam diriku bahwasanya kucing itu mau dihormatiku . . . . berbeda dengan sekarang yang aku tak peduli adalah apa aku peduli atau tidak !”

kalimat terakhir seakan menginginkan ku untuk memberi saran.

“sebenarnya yang kau lakukan selalu aku hormati. Kau saat ini adalah sahabat terbaik yang pernah ku kenal. Tapi di balik sikap dinginmu yang masih tanda tanya malah membuatku semakin menghormatimu. Kau tahu ... aku selalu tak tahu mengapa kau bisa bersikap begitu terhadap sekelilingmu, kau tak ramah tapi sombong yang kau miliki berbeda dengan orang lain. Aku suka akan sikapmu yang satu ini, meski masih asing akan apa sesungguhnya yang kau miliki !”...

aku mulai banyak bicara. Mungkin dia berpikir baru kali ini aku berterus terang akan perasaan asing akan kawanku ini. Semua telah jelas yang ku katakan, semoga saja setelah ini aku dapat mengenal siapa kawanku ini.

“yang kau katakan tidak sepenuhnya benar, memang aku sengaja mendidinginkan sikapku agar tak banyak orang yang mau mendekatiku. Aku lebih suka menjadi penyendiri di keramaian hiruk pikuk kehidupan yang tak pernah ku pedulikan. Tapi yang salah akan perkataanmu tadi kau merasa asing padahal aku sendiri tahu bahwa kau sangat tahu akan semua tentang diriku. Hanya saja kau belum menyadarinya saat ini . . . .”

dia mulai masuk kedalam tujuannya.

    Sebenarnya dalam hal ini aku selalu saja tak pernah mau berdebat dengan kawanku yang satu ini, aku terlalu takut kalau aku akan kehilangannya. Semua sikapku terhadapnya menunjukkan bahwa sangatlah berhati-hati aku menjaga sikap dihadapannya. Sebenarnya aku sangat menghormati dia yang begitu dewasa menjalani hidup, bagaimana dia bisa berbohong di tengah-tengah orang yang berkata jujur, atau saja bisa dibilang dia bisa menjadi seorang yang tak banyak bicara di waktu mana dia seharusnya banyak bicara. Tetapi semuanya selesai tanpa berkepanjangn, aku tak tahu bagaimana cara dia melakukannya tapi aku yakin bahwa dia pasti tahu apa yang dia lakukan.

“kau telah lama mengenalku, kita pelajari bersama-sama setiap hal yang belum di pelajari. Ku ingin lebih jauh kita menjadi air yang mengalir, ku ingin kita tak pernah akan lupa selalu ada domba di kerumunan srigala, ku ingin kita tak pernah akan lupa jika selalu ada cinta di lautan lepas. Kau kan tahu setelah waktu memakan usia kita, semuanya berjalan cukup baik hingga saat ini. Sekarang aku pun akan menghormatimu . . . . “

lanjutnya dengan sedikit tegang sehingga dapat mengajak alam sekitar mulai penasaran akan pembicaraan kami. Ku dengar, rerumputan mulai berbisik-bisik di tengah-tengah kami.

“ku pikir kau menghormatiku sudah lebih dari apa yang kuharapkan. Kau tahu bagaimana cara menyerasikan suasana hatiku dengan suara hatimu itu. Aku sedikit mempelajari bahwa kau adalah seorang kawan yang sedang melukis kereta laju untuk kutumpangi di gerbong belakangnya. Selalu saja ada rasa seru dan asyik di balik sikap dinginmu itu, belakangan ku tahu bahwasanya kau masih mencari-cari apa arti hidup itu ? jelaskanlah pada sahabatmu ini . . . . !” timpalku atas pertimbangan yang cukup matang.

    Selalu saja aku merasa berada di belakang jejaknya. Ku cium seluruh reaksinya atas diriku ini, aku merasa lebih bisa tahu jika memilikinya. Semua jelas telah ku lakukan yang terbaik semampuku. Untuk pertama kalinya aku mulai mencampuri atas pola pikirnya yang sedang membutuhkan kawan.

“seumpanya ku sebut hidup itu harus berjalan, diriku tak pernah sanggup untuk melangkah jika memang harus berjalan. Dan jika hidup itu harus bergulir, diriku tak pernah sanggup untuk menjalah apa yang ada di depanku. Ku masih berpikir sebagaimana seorang bayi kebingungan, apa yang seharusnya aku lakukan pada hidup ?” seraya memandang matahari yang tanpa ku sadari dia memang mulai seperti bayi yang kebingungan.

“akupun masih susah mengeja semua yang kau utarakan itu. Percayaku, tak ada yang tahu apakah hidup itu berjalan atau bergulir, yang jelas air mata derita buatku paham bahwa aku tak pernah tahu hidup itu apa !. . . “

perasaanku lega dapat membantu sedikit dari derita sahabtku.

    Masih berputar-putar tak berkesudahan, kami mulai lupa jika matahari mulai senang akan pembicaraan kami, ragu-ragu aku menyatakan bahwa sesungguhnya semua ini adalah kebodohan dua insan yang tersesat di berbagai tempat. Kami terus melaju di gerbong kami . . . . .

“aku belum sepenuhnya paham dengan apa yang kau katakan ! maksudmu kau tak percaya akan kehidupan . . . . ?” herannya.

“aku tak pernah berkata bahwa aku tak percaya akan kehidupan, sesuatu yang terbungkus rapat yang telah tertata rapi entah dimana dan suatu saat bungkusan itu akan kita buka dan pastinya semuanya akan mengalir seperti seharusnya. Selalu ku percaya tak ada akibat dari tiap peristiwa yang kita alami kecuali memang itulah akibat dari perisitiwa itu sendiri. . . .. !”

perasaanku mulai tak karuan setelah kata itu terucapkan. Ku sudah tak tahu harus berbuat apa, semoga yang ku katakan tak sedikitpun menyinggung perasaanya.

“apakah yang kau maksudkan . . . . ?” tanya dia setelah selang beberapa menit.

“hidup itu akan menjadi sahabat jika kita menghormati dan menghargainya. Kepuasan lahir tak pernah dapat mengantarkan kita mencapai kehidupan yang sesungguhnya. Intinya jika kau ingin merasa hidup, percayalah bahwa hidup percaya terhadap dirimu itu . . . .”

“kau memang benar. Hidup tak perlu kita artikan, kita hanya perlu percaya dan percaya. Aku akan terus jadi sahabat setiamu . . . .” akhir kata itu yang ku ingat selalu hingga saat ini.

    Setelah pembicaraan itu kami bermain dengan daya khayal kami masing-masing. Tak pernah pikiranku berani menyentuh alunan spiritual kahayalnya yang selalu mengundang tanda tanya. Saat itu aku percaya jika kawanku adalah “pelukis keretaku” . . . . . . –hingga sore mulai bersuara-

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler