Skip to Content

Kematianku

Foto Dieqy Hasbi Widhana

Awan gelap terburu-buru memayungi bumi. Tetesan hujan semakin keras terdengar berpacu dengan rintihan binatang malam. Sesekali kilatnya menjilat bumi. Aku duduk di atas bangku yang ketiga kakinya keropos. Rumah kosong ini terlihat gosong sepertinya api tak kuasa menghabiskanya. kupandang gumpalan darah kering yang berceceran di tembok.  aku tetap menatap darah itu. Itu darahku. Masih terekam jelas dalam memoriku tentang kronologi kematianku disini.

Tragedi menyayat hati itu terjadi tepat memasuki detik-detik pergantian tahun. Berawal dari si sony anak semata wayangku yang sering pulang malam. Sambil membawa aroma alkohol yang menyesakkan hawa sepetak rumah warisan nenek sony yang kami huni berdua. Hari-hari yang menjadi saksi tingkah laku sony seakan menjadi lembaran yang terus menumpuk dan perlahan membentuk keresahan bagiku. Memang, selama ini aku tak memperdulikan hal itu. Aku hanya tak ingin mengikat kebebasanya dengan aturanku. Alhmarhum suamiku sering mengatakan, “biarkan anak kita tumbuh dengan banyak pengalaman di luar, pengalaman yang akan mengajarinya untuk dewasa”.

Malam itu gerimis mengiringi pergantian tahun. Rasa gelisah mengepul di dadaku karena sony yang pergi tanpa pamit dan hampir dini hari dia belum pulang juga. Tetanggaku sering menemuinya sedang berkumpul dengan teman sebayanya. Duduk melingkar dengan beberapa botol ditengah mereka. Sampai detik pergantian tahun, aku masih menunggu di ruang tamu. Melamun sambil memandang dengan tatapan kosong pada jam dinding. Malam itu sepi, hanya nyanyian detak jam yang mengunyah waktuku.

Tiba-tiba sony masuk dengan diiringi suara khas pintu rumah. Sepintas mataku menatap jarum jam yang menunjukan jam tiga pagi. Ternyata aku tertidur dan melewatkan beberapa jam waktu penantian. Dengan baju basah dia menuju kamarnya sambil meninggalkan jejak ceceran air di lantai. Sontak aku memanggilnya, “sony.. kesini sebentar, ibu mau bertanya beberapa hal tentangmu yang akhir-akhir ini selalu pergi tanpa pamit”.. dengan nada yang semakin melengking seiring sony yang berjalan semakin menjauh. Entah mengapa sepertinya emosi membakar ubun-ubunku, ketika beberapa saat sony tak menjawab kata-kataku. Akupun mencoba menghampirinya dengan langkah gontai akibat rasa capek yang mengendap ditubuhku.

“Haaaahh…”, dari kejauhan suara sony menusuk telingaku. Kupercepat jalanku menuju kamarnya dengan dahi mengombak. Dalam kamar sony yang berukuran 4x4 dengan hanya bersekat triplek. Lampu kamarnya pecah dan kacanya berserakan. Di pojok sudut ruang kotak itu soni jongkok sambil melindungi kepalanya dengan lipatan tanganya. kasurnya berantakan, cermin telah menjadi mozaik dan berserakan di lantai, bekas kopi semalam membasahi tembok triplek itu. Pemandangan itu memacu aliran jantungku. “sony..apa yang kamu lakukan..?”, sikap diamnya membuatku penasaran dengan segera aku berupaya mendekatinya. Baru baru selangkah aku berjalan kaca yang berserakan itu menyobek telapak kakiku.

 “aduh, coba liat kaki ibu keluar darah karena ulahmu.. kamu kenapa sony? Pulang malam.. pergi tanpa pamit.. pulang dengan baju basah.. badanmu bau alkohol..”  tanpa menghiraukan sakit yang membuat darah di kakiku muncrat, akupun menghujamnya dengan beberapa pertanyaan.

“diam.. ibu bikin rame aja.. sana, ibu tidur aja daripada ngomel-ngomel gak jelas”

“nak.. aku ini ibumu, aku yang telah berjuang mati-matian mengeluarkanmu dari rahimku. Dari mana kamu belajar kata-kata kasar itu..”

“huuhh..”

“jawab sony, sebelum ibu melaknatmu menjadi anak yang durhaka..?”

“diiiaaaam..”

“dasar anak durhaka.. ibu menyesal telah melahirkanmu.. kamu selalu bikin malu orang tua.. pulang malam, mabuk, tawuran.. apa kamu lupa siapa yang melahirkanmu.. sadarlah nak..”

“haaaaahhh..”

Tiba-tiba dia mengeram keras dan tanganya mengambil potongan kaca. Perlahan dia berdiri seakan siap untuk berlari. Kamar yang gelap itu menutupi wajahnya. Lalu pecahan kaca itu dia ayunkan ke perutku. Darah segar mengucur deras dari sela belahan akibat pecahan kaca itu.

“bruuggh”, tubuhku membentur lantai yang dipenuhi serakan kaca.

Mulutku kaku, saat itu tak ada yang bisa aku ucapkan. Aku masih mengingat matanya merah dan berkaca-kaca. Dia terus menghujam kearah perutku. Seketika pengelihatanku menjadi gelap.

Setelah itu, dari kejauhan aku merasa melihat sosok mayat dengan isi perut berhamburan. Darahnya menggenangi lantai. Seorang anak lelaki kecil masih menusuk wanita itu berkali-kali. Aku mendekati sosok wanita yang tergeletak di lantai. Kudapati dengan jelas wanita itu adalah aku dengan anak laki-laki bertubuh sony di sebelahnya.

“Mengapa kita harus hidup dengan skenario takdir yang sudah disepakati. Seperti apa yang kualami”, sambil merintih dan menangis perlahan aku mengeluarkan kata itu dari samping jendela.

 

--dipublikasikan dalam buletin PaRTIKELIR edisi Oktober--

mohon kritiknya, akan kutukar kritik kalian dengan otokritik... ^_^

Komentar

Foto -Seita

Pertama: tata tulis. Nama

Pertama: tata tulis.
Nama seharusnya diawali huruf kapital (contoh: Sony, bukan sony).
Penulisan kata pertama pada kalimat dalam tanda kutip (") juga memakai huruf kapital (contoh: "Dasar anak durhaka...")
dan lain2.

Kedua: tentang isi cerita.
Topik yang diambil menarik dan tidak membosankan. Penggambaran tokoh Ibu ("aku") yang sangat sayang pada anaknya terasa nyata.
Sayangnya, beberapa dialog terasa kurang realistis.
Lalu bagian "Kudapati wanita itu adalah aku, dengan anak laki-laki bertubuh Sony di dekatnya" itu saya rasa kalau dihapus lebih enak bacanya... Tapi itu menurut saya sih.

Semoga bermanfaat.

-Seita

Foto Dieqy Hasbi Widhana

terima kasih

thaks banyak atas apresiasinya mas

it always comes last regret

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler