Skip to Content

Terserah Arsitek Cerita

Foto Dieqy Hasbi Widhana

Di samping, terdengar suara benda berat terjatuh yang diiringi suara setengah lenguhan. Kemudian di susul dengan teriakkan panjang. “haaa…  dimana aku..?”, suara lelaki setengah baya itu menggema. Dia masih berdiri kebingungan, dalam sepetak ruangan yang hanya berjejal lampu temaram lima watt. Sepi tak ada keriuhan dari suara apapun. Kosong tak ada benda apapun selain dirinya. Jarak pandangnya hanya dua jangka kaki pendeknya.

 

Gerakannya kacau, tergesa mencari sesuatu yang masuk akal untuk membayar kegelisahannya. Sorot matanya menelanjangi keremangan tanpa batas itu. Dia berjalan perlahan kira-kira sejauh tiga meter, tapi kegelisahannya semakin menumpuk. Ketakutan tiba-tiba menggertaknya dengan keras tepat di pangkal gendang pikirannya. Akhirnya dia berlari.  Sesaat kemudian berhenti.

 

“aneh aku merasa berlari sejauh ribuan jangka, tapi rasa capek belum menyapaku. Bahkan rasanya tak kunjung beralih dari waktu yang sementara tadi. Dimana aku? Suaraku tadi menggema, seperti berada dalam kerongkongan gunung. Cahaya remang akan tetapi tidak ada matahari, lampu, bintang, bulan, atau benda apapun yang dapat mengeluarkan cahaya”.

 

Dia merasa tersesat di dalam ruang tanpa waktu. Lelaki berambut gundul itu berjalan perlahan sambil terus berpikir. Sesaat kemudian dia berhenti lalu berjongkok. Sekitarnya masih hening. Tiba-tiba dia meloncat, meringkuk seperti orang kedinginan. Sepertinya dia menyadari sesuatu.

 

“gila.. aku merasa berjalan di awang-awang. Entah apa yang kupijak ini. Tak ada permukaan, apa aku melayang?  Yang lebih tak masuk akal, sedari tadi tak ada suara selain suara dari mulutku sendiri. Aku harus mengakhiri hariku sekarang juga“

 

Dia memukul berkali-kali tubuhnya sendiri. Mencoba bunuh diri. Baginya percuma menunggu kematian jika tak ada waktu yang akan menjadikannya tua kemudian mati.

 

“bertambah aneh tepat ini. Sekuat apapun tanganku menghantam tubuhku, tak ada rasa sakit. Tubuh ini seperti mati rasa. Bagaimana ini, aku tak bisa mati cepat”.

 

Ia bergegas duduk. Kali ini nada bicaranya melunak. Ia diam agak lama. Mau tau apa yang dia lakukan? Kali ini ia memaksa raut mukanya untuk memelas. Seperti kucing kecil yang sedang memohon makanan dari tuannya.

 

“heh penulis.. kau telah menciptakan sebuah tokoh lelaki berkaki pendek. Memainkan emosiku. Membuat aku berulang kali merasakan tamparan kebingunan.  Kejam sekali kau..” dia berupaya protes kepadaku.

 

Yah, aku meemang sedang menuliskan cerpen dengan dia sebagai tokohnya.

 

“sudah diam.. cepat selesaikan cerita ini agar aku segera musnah..”, protesnya lagi.

 

iya aku sedang memprotesmu sedari tadi. Berhentilah mendeskripsikan apapun tiap kali aku berbicara. Langsung saja berdialog denganku..”, kali ini dia mengkritikku.

“hahahaha… hey, hanya penulislah yang berhak menuliskan kisahmu. Kau tak boleh protes. Entah nanti kau mati dengan merasakan kepedihan terlebih dahulu. Atau mati menyenangkan selagi penismu dikulum ribuan perawan. Penulis sepertiku punya kebebasan tanpa batas”, suara penulis menggema dan menggetarkan ruang absurd tempat tokoh itu berada. Hingga membuatnya terpental jauh ke belakang. ia seperti air dalam kaleng yang kemudian dikocok.

 

“kau bohong.. di sini aku tak merasakan apapun. Sedari tadi kau juga bohong mengenai kaki pendekku. Aku tak punya tubuh disini. Sekarang aku sedikit memahami, jika yang hanya hidup dariku ialah sebuah pikiran. Kau bahan lupa jika di awal cerita kau seperti menjatuhkanku dari atas dengan suara yang terdengar berat, sedangkan di tengah cerita kau mengatakan tak ada suara selain suara yang keluar dari mulutku.  Kau mencoba membohongi pembaca ya? Tidak hanya membuat cerita seenaknya. Lebih dari itu kau berupaya memanipuasi keadaan. Pasti kau ingin dianggap hebat oleh pembaca kan?”

Tiba-tiba meja makan hadir di depannya. Lelaki  itu terperangah sejenak, lalu gurat wajahnya menunjukkan kegembiraan yang berlebihan.

 

“wahai pembaca, penulis berupaya membohongimu lagi. Dia tak sekalipun menaggapi ucapanku. Wahai pembaca, tolonglah selamatkan aku. Bila dia menyuruhmu mengedit atau membaca tulisan ini, lekas bakarlah kertas berisi cerpen tentangku ini. Agar aku musnah dan aku tak pernah ada. Kumohon lakukan itu. Aku tak berdaya di sini”.[]



Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler