Skip to Content

NOVEL: UNANG ISOLSOLI (3/8)

Foto SIHALOHOLISTICK

TOLU[1])

 

RANI menghentikan laju mobilnya tepat di depan dua orang preman jalanan yang lagi nongkrong di atas trotoar di bawah pohon pelindung. Tempat itu lagi sepi, mungkin lagi mengintai mangsa untuk dirampok. Kaca jendela diturunkan dan melihat pada kedua preman itu. Satu di antara preman itu berbadan besar dan berotot, rambutnya setengah gondrong. Sedang yang satunya berbadan kecil tapi tetap berotot.

“Bang...!” panggil Rani.

Kedua preman itu menoleh padanya, meski dari tadi keduanya menatap pada mobil mercedes itu.. mata mereka terkesiap melihat Rani yang ada dalam mobil itu, terlebih dengan kecantikan Rani. Mereka jadi heran, baru kali ini ada cewek cantik menemui mereka.

“Bang, sepertinya cewek cantik itu memanggil kita.” kata preman yang bertubuh kecil.

“Sepertinya memang begitu. Cantik juga dia.”

“Bukan cuman cantik, Bang, tapi seksi dan menarik. Sepertinya OKB, nih, Bang. Mobilnya aja buatan luar negeri.”

“Sini, Bang!” panggil Rani lagi. Kedua preman itu mendekat.

“Ada apa cantik?” tanya preman yang bertubuh kecil. Sebenarnya tidak begitu kecil, hanya saja temannya lebih besar darinya, hingga ia kelihatan lebih kecil dari tubuhnya yang sebenarnya.

“Aku punya pekerjaan buat abang berdua!” tawar Rani sambil menunjukkan uang. “Lumayan dua juta buat hepy-hepy, Bang dan kencan dengan wanita penghibur kelas atas.”

“Bang, sepertinya ada rezeki, nih. Gimana, Bang, kita terima aja?”

Preman yang bertubuh lebih besar hanya diam. Ia terus saja menatapi Rani dengan mata yang tak berkedip.

“Hallo.... Gak pernah liat cewek cantik, ya?” kata Rani dengan perasaan dongkol, karena gak dipedulikan.

“Gimana kalau kamu aja yang kencan ama kami?” tanya preman yang bertubuh lebih besar sambil menatap Rani dengan tidak berkedip.

“Wah, Abang naksir juga ama cewek ini? ternyata selera Abang tinggi juga.” celoteh temannya.

“Berani bayar berapa?” tanya Rani emosi, karena dianggap ciplek.

“Sepuluh juta, bagaimana?”

“Hanya sepuluh juta? Emang gue cewek apaan?” balas Rani.

“Mau kamu berapa?”

“Satu koma lima em. Dijamin perawan.” jawab Rani pongah. “Sepuluh juta mah kecil sama gue. Dalam hitungan detik pun sudah aku dapatkan. Percuma melayani kalian dengan bayaran segitu, buang-buang waktu. Itu pun satu koma lima em dollar Amrik, baru aku mau.” lanjut Rani.

“Edan...!” kata preman bertubuh kecil itu membayangkan jumlah uang yang disebutkan Rani dalam hitungan rupiah.

Rani segera menjalankan mobilnya dengan segera. Ia mulai tak suka dengan tampang kedua preman itu yang  menanggapnya sebagai ciplek.

Di sekitar Sambu, mobil Rani kembali berhenti dan ia segera keluar menemui dua orang preman yang sedang ngobrol sambil memain-mainkan asap rokok yang keluar dari hidung dan mulutnya. Sambil memukul-mukulkan amplop ke tangannya, Rani berdiri di hadapan keduanya dengan pongah.

“Apa kalian mau bekerja dengan gue? Lumayan, dua juta untuk sekedar memukuli seseorang yang berani melecehkan gue.” tawar Rani.

Keduanya tidak langsung menjawab, mereka masih tertegun menatap kehadiran cewek cantik seperti Rani.

“Kerjaan apa?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Hanya memberi pelajaran pada seorang laki-laki yang sok tampan di kampus. Gue pengen kalian menghajarnya sampai mukanya gak berupa, sekedar babak belur, jangan sampai mati. Gue masih pengen dia hidup dan menertawainya. Bagaimana?” tanya Rani sambil melempar uang yang ada di dalam amplop. Salah seorang preman itu menangkap amplop dan menghitung uang yang ada di dalamnya.

“Itu baru uang muka. Jika dalam waktu singkat kalian berhasil dan hasilnya memuaskan, gue berani menambahnya.” tawar Rani lagi, menjanjikan.

“Seperti apa orangnya?” tanya salah seorang.

“Mari ikut gue!” kata Rani sambil melangkah diikuti kedua preman itu. Keduanya juga naik ke atas mobil Rani dan segera meluncur. Di sekitar kampus, Rani menghentikan mobilnya beberapa meter di depan pintu gerbang. Di saat bersamaan, Delito dan Arby keluar dari kompleks kampus menuju fotocopy yang ada di depan kampus. Rani segera menunjuk orang yang harus dipukuli oleh preman sewaannya.

“Kapan kalian menghajarnya?” tanya Rani.

“Mungkin dalam Minggu ini akan kami bereskan.” jawab salah seorang di antara mereka.

“Apa tidak bisa dipercepat?”

“Maaf. Kami harus tau dulu ke mana saja ia pergi. Kalau kamu tau tempat tinggalnya, mungkin bisa kami percepat.

“Kebetulan!” kata Rani sambil menjalankan mobilnya. Tak berapa lama. “Ini tempat tinggalnya!” kata Rani sambil berhenti di depan sebuah rumah sederhana.

“Baiklah. Kalau begitu, segera kami bereskan. Kamu tidak perlu kawatir. Kami di sini saja sambil mengintainya, kelihatannya ada warung.” Keduanya segera turun dari mobil Rani.

“Kalau begitu gue cabut dulu!” kata Rani sambil menjalankan mobilnya meninggalkan keduanya.

Sudah tiga hari berlalu, namun Rani masih saja melihat Delito keluar masuk kampus tanpa lecet sedikit pun. Rani tidak sabar jadinya, hingga ia memutuskan menemui tempat kedua preman itu.

“Bagaimana? Kenapa kalian tidak jadi menghajarnya?” tanya Rani ketika menemui kedua preman itu. “Saya sudah tidak sabar melihatnya babak belur.”

“Maaf. Kami tidak bisa melakukannya dan ini uang anda kami kembalikan.” balas salah satu dari mereka.

“Hitung dulu! Siapa tau kurang.” sambung yang satunya.

“Kenapa? Kalian takut atau uangnya kurang? Baik, akan gue tambah. Bagaimana kalau uang mukanya lima juta dan menyusul lima juta lagi, jadi semua sepuluh juta.”

“Apa? Kamu bilang takut? Kamu rupanya belum kenal siapa kami. Kami kepercayaan bos preman di tempat ini. dengan uang lima ratus ribu saja, rasanya sudah cukup untuk sekedar melakukan pekerjaan ringan seperti itu. Tapi bukan hanya itu urusannya.”

“Lantas apa?”

“Ternyata dia orang Batak.”

“Kalau orang Batak, kenapa rupanya?”

“Pertanyaan bodoh! Ya, karena kami juga orang Batak. Kami memang tak mengenalnya, tapi darah kami sama. Sama-sama darah Batak. Kalau kami memukulinya, sama artinya kami memukuli saudara kami sendiri. Kalau kami mengalirkan darahnya, sama artinya kami mengalirkan darah saudara kami dengan keji. Apalagi keliatannya dia orang baik. Kami tidak percaya kalau ia melecehkan kamu, kalau pun ia tidak mungkin tanpa sebab. Sekarang kamu pergi saja. Berapa pun kamu menawar, kami tidak akan mau. Solidaritas dan persaudaraan lebih berharga bagi kami dari uang puluhan juta.”

Rani akhirnya meninggalkan tempat itu dan masuk ke mobilnya. “Dasar...! Dikasih kerjaan malah nolak, giliran gak kerja malah nyopet. Dasar aneh. Belagu lagi.” gerutu Rani. Selang beberapa saat, mobil melaju di badan jalan.

Akhirnya Rani menemukan orang yang bersedia memukuli Delito dengan bayaran yang disepakati. Hari kedua setelah hari itu, delito tidak masuk dan tanpa susah payah Rani segera memperoleh informasi tentang keadaan Delito yang terbaring di atas ranjang dengan luka yang lumayan di wajahnya. Informasi itu diperolehnya saat mendengar percakapan Arby dan Eza.

“Itulah akibatnya kalau lancang menghina dan melecehkan Maharani Vitria Wiraningsih, putri tinggal Hadi Prawiro, pengusaha terkenal dan tersukses.” kata Rani pada dirinya sendiri ketika sedang berada di dalam mobil menuju sebuah tempat yang dijanjikan untuk membayar sisa bayaran orang yang disuruhnya memukuli Delito.

“Bagus...! Kerja kalian cukup bagus. Gue senang mendengarnya kalau luka di wajahnya cukup lumayan.” kata Rani memuji orang bayarannya. “Okey! Ini tambahan bayaran kalian. Silakan hitung dulu!” kata Rani pada mereka.

“Tidak perlu! Kami percaya. Tapi, kalau masih ada pekerjaan seperti ini, datangi kami saja. Dengan senang hati kami akan melakukannya. Anda untung, kami untung. Gimana?”

“Istilahnya Simbiosis Mutualisme.”[2]) sambung teman yang satunya yang berpenampilan rapi dengan jaket loock Army-nya.

Rani hanya tersenyum mendengar perkataan laki-laki yang memakai jaket. Ia tak menyangka kalau laki-laki itu mengerti juga dengan istilah simbiosis. Matanya tetap saja menatap laki-laki itu, sepertinya memang terpelajar.

“Ya, ini namanya simbiosis mutualisme.” kata Rani sambil berdiri. “Okey! Gue pergi dulu.” katanya lagi meninggalkan orang itu.

“Cantik juga, menarik lagi.” celoteh orang yang menerima uang itu pada kedua temannya. “Kalian cari tau siapa dia sebenarnya, begitu kalian tau kasih tau saya. Keliatannya, ia royal menghambur-hamburkan uang. Kalau dia memang orang kaya, dia tambang emas buat kita. Kita akan kuras kekayaan orang tuanya atau dia bisa jadi sapi perahan kita,  dapat uang dapat tubuhnya.”  katanya sambil menyipitkan matanya karena kepulan asap rokok.

“Baik, Bos!” balas kedua temannya.

“Kalau dilihat dari penampilan dan mobil yang dikendarainya sudah jelas anak orang kaya, Bos.” jawab laki-laki yang memakai jaket.

“Sepertinya memang begitu, tapi kita perlu tau sebesar apa kekayaan orang tuanya.”

“Berat banget. Mobilnya aja buatan Eropa.”

“Sudahlah! Sekarang kita senang-senang dulu, mumpung lagi ada duit sebanyak ini.” kata laki-laki yang dipanggil bos itu. Ketiganya pun meninggalkan tempat itu.

Sementara Delito hanya bisa berbaring, seluruh persendiannya terasa lemas, tulang-tulangnya terasa longgar dan ngilu-ngilu. Sudah tiga hari ia terbaring di tempat tidurnya. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba ia diserang dan dipukuli tiga orang yang tidak dikenalnya.

Arby berkali-kali mencoba menanyakan siapa pelakunya. Tapi, Delito hanya bisa menjelaskan ketika tiba-tiba ia dihajar oleh tiga orang laki-laki yang tidak dikenalnya.

Hari ketujuh, Delito baru sanggup ke kampus. Bekas pukulan masih keliatan di wajahnya. Eza merasa kasihan melihat wajah Delito. Meskipun ia sudah tau kejadian ini, namun ia tidak menyangka separah itu.

“Siapa, sih, yang gelakuinnya?” tanya Eza gak bisa menahan rasa penasarannya.

“Aku gak tau, Za. Aku aja gak ngerti kenapa aku dihajar tiga berandalan itu.”

“Anak berandalan, gimana? Berarti ada seseorang di balik semua ini, kalau kamu emang gak kenal.”

“Gak tau, deh. Aku gak mikir ampe ke situ, soalnya aku gak punya musuh.”

“Kamu yakin, benar-benar gak kenal mereka?”

“Ini, kok, dibilangi gak ngerti-ngerti juga. Gimana, sih, ngejelasinnya?”

“Itu artinya Eza ngawatirin kamu. Eza ini sayang ama kamu.”

“Emang kamu gak cemburu?”

“Iya, kok, To. Aku emang sayang ama kamu, To. Gak boleh, ya?”

“Ya, bukan gitu, Za!”

“Trus?”

“Senyum untuk semua orang tapi cintailah hanya satu orang.” jawab Delito menatap pada Eza.

“Yang itu kejam, To. Ketinggalan jaman.” jawab Eza. “Sekarang beda, To. My smile for every body and my love so for every body.” balas Eza.

“Maksudnya?”

“Senyum itu untuk semua orang. Itu pasti. Apalagi dalam agama Islam dijelaskan senyum itu sedekah. Seterusnya, cinta juga untuk semua orang. Bukan cuman Arby yang gue cintai, tapi semua ada persentasenya. Untuk Arby lain, untuk keluarga beda, dan untuk teman-teman lain lagi.”

“Boleh juga prinsip kamu. Tapi, yang punya andil banyak so pasti Arby, dong.”

“Gak juga. Semua bakal dijalani sesuai dengan kebutuhannya. Waktu ama Arby, ama keluarga, ama teman, semua dijalani sesuai kebutuhannya yang kadang gak terduga.”

“Hebat juga. Aku setuju dengan itu.” kata Delito.

Tiba-tiba Rani datang menghampiri Eza dan mengajaknya pergi. Ketika itu mata Rani beradu pandang dengan Delito. Tapi tidak cukup lama, Rani membuang pandang pada Eza, tapi tetap melirik Delito dengan ekor matanya. Delito merasa aneh dengan tingkah Rani, seperti menyembunyikan sesuatu dan takut ketahuan. Tapi, Delito tak begitu memikirkannya.

* * *

“JANGAN berteriak! Cepat jalan!” sebuah suara terdengar di belakang Rani, dengan menodongkan sebilah belati ke lehernya ketika Rani baru saja menghempaskan pantatnya di jok mobil. Malam itu ia baru keluar dari Thamrin Plaza habis belanja. Suara itu membuat Rani kaget.

“Siapa kalian dan mau apa?” tanya Rani memberanikan diri.

“Jangan banyak tanya atau belati ini akan menembus kulit leher! Ayo cepat jalan!” perintah orang itu dengan menekankan belati ke leher Rani agak kuat.

“Baik...baik.... Tapi tolong singkirkan dulu belati itu dari leherku. Aku tidak dapat mengemudi di bawah tekanan. Tolong...!” pinta Rani dengan harap bercampur rasa ketakutan yang mendalam.

Orang yang menodongkan belati itu melonggarkan belati dari leher Rani dan memindahkan ke bagian punggung Rani. “Ikuti perintah kami, atau kulitmu akan ditembus belati ini.” ancamnya.

“Ba...ba...baik.” kata Rani dengan gemetar. Mobil dinyalakan dan dijalankan setelah mendapat  perintah dari orang yang menyanderanya.

Rani berhenti di perempatan jalan ketika si penodong memerintahkan belok kanan. Ia tau kalau tempat itu sepi, tidak ada pemukiman. Di sana hanya ada area perkebunan. Sedang orang yang menodongkan belati itu tidak dikenalnya, karena wajah keduanya ditutupi oleh topeng kain berwarna hitam. Hanya mata, hidung dan mulut mereka yang terbuka. Sementara laki-laki satu lagi asyik merokok.

“He, kamu mau mati, ya?” tanya orang yang menodongkan belati padanya. “Kamu pikir kami tidak berani membunuhmu, membuang mayatmu sejauh-jauhnya lantas mobil mahal ini akan jadi milik kami.”

“Apa sebenarnya yang kalian mau? Mau uang? Sebutkan saja, akan segera aku kabulkan.” tawar Rani.

“Uang? Ha...ha..., boleh juga. Berapa banyak yang bisa kau berikan kepada kami?” tanya laki-laki yang sedang asyik merokok itu dengan tertawa, diikuti oleh temannya yang menodongkan belati pada Rani.

“Berapa pun yang kalian minta akan aku kabulkan. Sebentar....” kata Rani mengambil tasnya. “...saya akan sediakan cek kosong untuk kalian, tinggal isi berapa yang kalian mau.” Rani menyodorkan cek kosong itu.

Laki-laki itu menerima cek kosong sambil menghembuskan asap rokok dan menjatuhkan rokok ke lantai mobil dan menginjaknya.

“Seperimya kamu mau menjebak kami dengan cek kosong ini. Kami minta uang cash saja.”

“Tapi gue tidak punya uang cash. Percayalah ke gue, gue gak bakal menjebak kalian.” kata Rani meyakinkan mereka.

“Okey! Kami percaya. Tapi kalau seandainya kamu membohongi kami, tau sendiri apa akibatnya.” ancam laki-laki itu.

“Percayalah padaku!” kata Rani meyakinkan.

“Okey! Tapi...”

“Apa lagi?”

“Kami tidak hanya butuh uang, Manis!” kata laki-laki itu sambil memasukkan cek ke dalam saku jaketnya dan membuka topengnya. Ternyata orang itu adalah orang yang disuruhnya memukuli Delito. Tapi sekarang mengancam nyawanya.

“Apalagi?” sergah Rani memberanikan diri.

“Ha...ha..., apalagi kalau bukan tubuhnya yang seksi dan menantang itu. Tubuhmu bagus sekali. Sudah berapa hari ini aku mengimpikannya, akhirnya kesampaian juga.”

“Bajingan kalian! Tidak tau balas budi. Sudah dikasih uang masih saja ingin yang lain. Kalian kan bisa menyewa berpuluh-puluh pelacur untuk memuaskan nafsu kalian.”

“Ha...ha..., itu lain, Manis. Kami hanya nafsu dengan tubuhmu yang molek itu. Di dunia ini tak ada balas budi.”

Si Budi udah meninggal, Manis, kasihan dia. Ha...ha....” sambung laki-laki yang menodongkan belati itu. “Ayo, Bos, tunggu apalagi, keliatannya tempat ini sepi.”

“Ya, kamu benar.” balas Bos-nya sambil membuka pintu mobil dan keluar. Didekatinya pintu yang di sebelah kanan Rani dan membukanya.

“Heh, jangan kurang ajar! Laki-laki brengsek, pergi kamu! Toloooong...!” teriak Rani.

“Ha...ha...ha....” keduanya tertawa. “Percuma kamu berteriak. Tidak akan ada yang mau menolong, tempat ini sepi.”

“Aku duluan, nanti giliranmu!” laki-laki yang dipanggil Bos itu berusaha memperkosa Rani. Rani yang berada dalam tekanan belati itu mencoba meronta-ronta sambil menangis. Sekali-sekali ia berteriak, meski teriakannya percuma, hanya membuat laki-laki yang berusaha memperkosanya semakin geram. Ia berdiri dan menampar Rani. Segera ia melepas jaket dan bajunya lalu membuangnya begitu saja. Rani hanya menutup wajahnya dari sentuhan bibir laki-laki biadab itu.

“Jangan..., tolong hentikan. Aku akan menambah uang yang kalian minta.” kata Rani mencoba menghentikan laki-laki itu dengan iming-iming uang.

“Jangan, uangnya sudah cukup. Kami hanya butuh kehangatan tubuhmu, Manis.” kata laki-laki yang menodongkan pisau belati pada Rani. “Enak juga kalau begini, ya, Bos.”

Laki-laki yang berusaha memperkosa Rani bangkit seketika ketika ia merasa punggungnya ditepuk. Ia merasa heran, siapa gerangan yang menepuk punggungnya. Setan atau hantu. Ia segera menoleh ke belakang.

Sebuah tinju segera melayang ke wajahnya dengan telak. “Yang itu juga lebih enak, tentunya.” kata orang yang tiba-tiba melayangkan tinjunya.

Pandangan laki-laki itu berkunang-kunang, tubuhnya limbung mendapat pukulan telak yang tak pernah diduganya. Di saat seperti itu, sebuah pukulan telak kembali mengenai wajahnya dan tak berapa lama ia terkapar ke atas tubuh Rani. Orang yang memukul laki-laki itu mengibas-ngibaskan tangannya menahan sakit.

Rani segera menyingkirkan tubuh laki-laki yang sudah tidak berbaju itu dari atas tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri akibat dua pukulan telak yang mengenai wajahnya secara tiba-tiba.

Sementara orang yang menodongkan belati itu mencoba menyembunyikan tubuhnya di balik sandaran jok, tangannya masih saja menodongkan belati. Tanpa pikir panjang, Rani segera merebut belati itu dan menjatuhkannya ke bawah jok. Laki-laki itu segera menarik tangannya dan dengan perlahan membuka pintu, ia berlari meninggalkan tempat itu menembus semak-semak.

Rani segera bangkit dengan segenap rasa penasarannya. Siapa gerangan orang yang telah menolongnya? Matanya membeliak ketika melihat Delito dan Arby yang ada di belakangnya. Delito pun kaget melihat Rani yang berpenampilan tidak karuan.

“Heh, kamu rupanya?” sergah Delito. Ia kemudian memungut jaket yang ada di dekat ban depan mobil itu dan melemparnya ke pangkuan Rani.

“Siapa, To?” tanya Arby

“Siapa lagi kalau bukan wanita sombong itu.”

“Maksud kamu? Rani?”

“Iya. Heran aku, Ar!”

“Kenapa?”

“Biasanya kalau di kampus, cewek ini selalu nyari-nyari kesempatan. Di sini, kok, malah teriak.”

“Maksud kamu?”

“Nanti saja ceritanya. Ayo kita pergi!”

“Tunggu...!” teriak Rani turun dari mobilnya setelah memakai jaket. Tapi Delito dan Arby tidak peduli.

“Delito..., tunggu...!” teriak Rani sekali lagi. Kali ini sambil berlari mengejar. Keduanya tetap tak peduli. Tapi setelah Rani menghadang, Delito berhenti. Arby juga ikut berhenti.

“Ada apa? Mau ngucapin terima kasih? Gak perlu! Anggap saja sebagai permintaan maafku yang udah bikin kamu diledek orang. Sebenarnya aku gak tega, tapi saat itu aku lagi ada masalah.”

Rani tercenung mendengar suara Delito yang lembut dan kedengarannya tulus.

“Tapi, aku tetap pengen ngucapin terima kasih atas pertolongan kalian.”

“Jangan ge-er dulu, deh. Emang kami gak punya kerjaan lain, apa, malam-malam gini datang ke tempat ini, cuman mau nolong kamu.” sambar Arby.

“Trus yang tadi apaan?”

“Balas dendam!” balas Arby ketus. “Untung hanya dia yang keliatan, coba kalau ketiganya, pasti akan kami hajar.”

“Mereka hanya dua orang dan yang satunya udah lari. Mungkin masih berada di sekitar sini.”

“Apa?” tanya Delito kaget. Dari matanya tersembul kecemasan dan Rani sempat melihatnya.

“Biar aja, To. Lain kali aja. Biarkan mereka nikmati dulu tubuh gadis sombong ini. agar dia tau dan sadar siapa dirinya.”

“Gak, Ar!” balas Delito masih dengan nada cemas. “Kita gak perlu sejahat itu. Kalau gak nolong, setidaknya kita muasin tangan dulu menggebuki orang-orang brengsek itu.” kata Delito dengan setengah berlari menuju mobil Rani. Arby terpaksa mengikuti.

Sampai di dekat mobil itu, keduanya tidak menemukan siapa-siapa lagi. Laki-laki tadi juga tidak ada di tempatnya lagi.

“Hei..., mana orangnya?” teriak Arby pada Rani yang masih berdiri di tempatnya. Di dadanya tumbuh sebuah penyesalan yang begitu besar. Dengan jelas ia melihat kekhawatiran di mata Delito.

“Benarkah laki-laki itu mengkhawatirkanku, atau hanya ingin membalas dendam semata. Terserah dia, mau balas dendam atau tidak, setidaknya kehadirannya telah menyelamatkanku.” kata Rani cukup pelan, hingga hanya berupa desisan.

“Hei...!” teriak Arby lagi. Sementara Delito mencari di sekitar pinggir jalan itu, ke arah rimbunan semak-semak.

Mendengar teriakan itu, Rani tersentak dari lamunannya. Ia segera beranjak mendekatinya, ia melongok ke dalam mobil, tapi tak ada siapa-siapa.

“Keliatannya mereka sudah pergi.” kata Delito mendekati Rani. “Lain kali berhati-hatilah. Jangan biasakan keluar dengan pakaian minim seperti ini. hal ini mengundang kejahatan dan segeralah meninggalkan tempat ini.” sambung Delito pelan.

Eta [3]), To!” ajak Arby.

Delito mengikuti ajakan Arby sambil menatap Rani dengan tatapan yang sama seperti tatapan yang diberikannya saat pertama pada Rani. Tatapan kelembutan dan keteduhan yang penuh kehangatan. Rani mencoba senyum sambil mengangguk membalas tatapan Delito.

Setelah keduanya pergi, segera Rani masuk kembali ke dalam mobil dan segera melaju menuju rumah. Ia tidak mengerti, apa arti tatapan Delito tadi. Lembut, hangat dan teduh. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar.

Sampai di rumah, ia segera menuju kamarnya setelah beberapa saat diinterogasi mamanya. Di atas ranjangnya, ia larut dalam lamunannya yang tidak tentu arah tujuan.

Di kampus, ia meliat Delito ada di perpus sedang membaca-baca buku. Ia tidak melihat Arby di sana, begitu juga dengan Eza. Sejak tadi ia sudah mencari-cari Eza, ia ingin curhat pada Eza, tapi hanya meliat Delito di sana.

Ingin rasanya ia menanyakan pada Delito, di mana Eza. Tapi, ia masih enggan pada laki-laki itu, hingga ia hanya bisa menatap dari kejauhan.

Delito sudah tau kehadiran Rani di perpus sejak awal, bahkan saat ini ia tau Rani sedang memperhatikannya. Tapi ia pepura asyik dengan buku yang ada di tangannya. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan gadis itu. Ia takut suka dengan gadis itu, sedang tekadnya sudah bulat kalau Nelita adalah satu-satunya gadis yang akan singgah di hatinya. Nelitalah satu-satunya gadis yang ada dalam hidupnya, gadis pertama dan gadis terakhir, meski untuk sementara. Tapi, saat ini ia belum ingin mengganti Nelita dengan siapa pun.

Rani sudah berkali-kali ingin mendekati Delito, tapi masih saja ragu-ragu untuk melangkah. Padahal ia ingin sekali mengucapkan terima kasih sekali lagi atas pertolongan Delito tadi malam. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Betapa tidak. Delitolah yang menyelamatkannya dari orang-orang yang disuruhnya memukuli Delito, yang semalam berusaha memperkosanya.

***

 

[1]        Tolu: Tiga

[2]        Simbiosis Mutualisme: Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan

[3]        Eta: Ayo

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler