Skip to Content

Nyanyian Tanpa Nyanyian

Foto Y.S. Agus Suseno

NYANYIAN TANPA NYANYIAN

Kumpulan Cerita Pendek

Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan

 

Anna Fajarona

Dewi Alfianti

Dewi Yuliani

Hudan Nur

Nailiya Nikmah JKF

Nonon Djazouly

Rismiyana

Ratih Ayuningrum

Syafiqatul Machmudah

 

Hak Cipta @penulis

Tahura Media, 03.08

Cetakan Pertama, Desember 2008

 

Penulis:

Anna Fajar Rona

Dewi Alfianti

Dewi Yuliani

Hudan Nur

Nailiya Nikmah JFK

Nonon Djazouly

Rismiyana

Ratih Ayuningrum

Syafiqatul Machmudah

 

Editor:

Y.S. Agus Suseno

Desain dan lukisan sampul:

Hajriansyah

Lay out:

Herry S.


Penerbit Tahura Media

Jalan Sultan Adam Nomor 46 C RT 16 Banjarmasin

Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511) 3302472

E-mail: hajrian@yahoo.co.id

 

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT)

136 hlm.; 13 x 19 cm

Banjarmasin: Tahura Media, 2008

ISBN: 978-602-68414-03-6

 

SENARAI ISI

Prolog

Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan

Editor

Senarai Isi

Anna Fajar Rona

Subuh Pertama di Masjidil Haram

Dewi Alfianti

Nyanyian Tanpa Nyanyian

Dewi Yuliani

Pasar

Hudan Nur

Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti

Nailiya Nikmah JKF

Episode Durian

Nonon Djazouly

Piano

Rismiyana

Pasar Itu Milik Ibuku

Ratih Ayuningrum

Dongeng Kesetiaan

Syafiqatul Machmudah

Sebuah Mata, Sejuta Sesal 

Epilog

Tersebab Aku Seorang Pembaca

Burhanuddin Soebely

Tentang Penulis

Riwayat Publikasi

 

 Prolog

PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN

            Sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan, menilai Kalimantan Selatan sebagai “...gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal Jawa Tengah”[1]. Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan, sebagaimana yang berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an. Yang tidak diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan bermunculan pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang menulis di media cetak Banjarmasin dan Jakarta.

            Akan tetapi, yang mesti digarisbawahi, berbeda dengan beberapa pengarang perempuan yang hanya “menumpang lahir” di Kalimantan Selatan (terutama di Banjarmasin) dan menjadi pengarang ternama setelah bermukim di luar kampung halamannya, pengarang yang dimaksud di sini (hingga buku ini diterbitkan, masih tetap) bermukim di Kalimantan Selatan.

            Pengarang perempuan yang tak lagi bermukim di Kalimantan Selatan itu, antara lain, Farah Hidayati (Jakarta) dan Lan Fang (Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah pengarang perempuan lain yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi publikasi karyanya.

            Sejak 1980-an hingga 1990-an, seiring dengan adanya rubrik sastra di Media Masyarakat (dikelola mendiang Ajamuddin Tifani) dan Dinamika Berita (kini menjadi Kalimantan Post, dikelola Kony Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan sejumlah cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen, tapi, terutama, puisi.

            Ketika masih bermukim di Banjarbaru (kemudian pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina Panji malang-melintang di Anita Cemerlang, Gadis dan Aneka. Nanny S. adalah cerpenis lain yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin, cerpennya kerap dipublikasikan Anita Cemerlang.

            Dengan adanya rubrik sastra di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah, para cerpenis mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti dapat dilacak, Banjarmasin Post (1990-an), Radar Banjarmasin (2000-an hingga kini) dan Serambi Ummah (2000-an hingga kini) pernah memuat cerpen S. Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan lain-lain.

            Berbeda dengan koran lain, Radar Banjarmasin menyediakan rubrik Cakrawala Sastra dan Budaya (berisi cerpen, puisi, esai, resensi buku, agenda budaya) dua halaman penuh setiap hari Minggu. Rubrik itu telah menjadi semacam lahan persemaian bibit cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan, sekurangnya dalam sewindu ini.

            Cerpenis perempuan yang mempublikasikan karyanya di Radar Banjarmasin, antara lain, Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah JFK, Rismiyana, Ratih Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.

            Selain mereka, masih ada beberapa pengarang perempuan lain yang menulis di koran lain. Tetapi, setelah sekali dua kali cerpen mereka terbit, kemudian tak tampak lagi jejaknya.  

            Sembilan cerpen karya sembilan cerpenis perempuan ini diseleksi dari Radar Banjarmasin dan Dinamika Berita dengan pertimbangan subyektif atas tema maupun kualitasnya, sebab lebih didasari niat mengumpulkan cerpen tersebut dalam antologi bersama.

            Selama ini belum ada satu pun antologi cerpen yang secara khusus menghimpun karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan. Buku kumpulan cerpen dari seorang (atau beberapa orang) pengarang laki-laki sudah ada, tapi antologi cerpen pengarang perempuan, dengan mutu yang relatif teruji (melalui lomba penulisan maupun pemuatan di koran), belum pernah diterbitkan.

            Korrie Layun Rampan telah menyunting Dunia Perempuan, Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia (1999). Akibat minimnya publikasi karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan di rubrik sastra dan budaya media cetak Jakarta, juga akibat tiadanya jejaring, buku itu tidak memuat satu pun karya cerpenis perempuan banua.

            Dalam percaturan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pun posisi cerpenis perempuan seakan terpinggirkan. Keberadaannya antara ada dan tiada, atau sekadar pelengkap belaka. Lembaga, institusi dan organisasi berkompeten tidak pernah mengakomodasi keberadaannya, baik dalam sebuah forum sastra atau memfasilitasi penerbitan antologi (tunggal atau bersama) mereka.

            Hegemoni budaya patriarki tampaknya masih menguasai masyarakat sastra Kalimantan Selatan, hingga bahkan institusi, lembaga, organisasi sastra dan budaya, mengabaikan kehadiran mereka. Puluhan antologi sastra (puisi, cerpen) diterbitkan, tapi sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan (masih) didominasi (sastrawan) pria; dan (sastrawan) pria lebih mengutamakan ego dan kebesaran dirinya sendiri saja, tanpa komitmen membesarkan kaum hawa, tulang rusuknya.

            Dua orang pengurus pusat dari dua organisasi sastrawan Indonesia bermukim di Banjarmasin: Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kedua organisasi itu diketuai oleh redaktur sastra Republika, Ahmadun Yosi Herfanda. Alangkah elok seandainya dua orang pengurus pusat itu mengumpulkan, menyeleksi dan merekomendasikan puisi dan cerpen karya cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan ke koran bos mereka di Jakarta itu.

            Memang, keputusan akhir tetap ada pada Ahmadun (tentang laik-tidaknya dimuat). Namun, kalau langkah sederhana seperti itu saja tidak dilakukan, apa manfaat kedudukan mereka (bagi sastra Indonesia di Kalimantan Selatan) dalam kepengurusan organisasi sastrawan nasional?

            Lihatlah Horison. Sekali lagi, meskipun keputusan akhir tetap ada pada redaksi, tapi frekuensi publikasi karya sastrawan Madura, Banten dan Jawa Barat di Horison tidak terlepas dari posisi Jamal D. Rahman dan Moh. Wan Anwar sebagai redaktur.

            Seperti halnya seni lukis, sastra memang karya individual. Ia berbeda dengan seni kolektif seperti tari, musik, teater dan seni multimedia seperti film, yang mensyaratkan kerja sama tim dalam penggarapan dan pertunjukannya. Dalam mencipta, sastrawan menciptakan karyanya sendirian. Meskipun berkarya secara individual, alangkah elok seandainya sastrawan tidak individualis. Meminjam bahasa agama: beribadah (berkarya) adalah kewajiban yang hablum minnallah, bermasyarakat (bekerja sama dengan orang lain, mengayomi, nang tuha dituhaakan, nang anum disayangi) adalah hablum minannas. Idealnya, dalam diri siapa pun (bukan cuma sastrawan) keduanya seimbang: hablum minnallah wa hablum minnanas.

            Buku ini mustahil terbit tanpa bantuan dan dukungan banyak pihak (hablum minnanas). Oleh karena itu, ucapan terima kasih saja tentu tidak cukup, terutama kepada para pengarang yang cerpennya dimuat dalam antologi ini. Terima kasih pula kepada Radar Banjarmasin dan Dinamika Berita (dalam hal ini Kalimantan Post) dan, terutama, kepada Maman S. Tawie; yang telah memberikan keleluasaan bagi saya maudak, maudar dan manggulagai koleksi kliping dan dokumentasi sastranya. Segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam buku ini, termasuk subyektifitas dalam pemilihan cerpen, menjadi tanggung jawab pribadi saya sepenuhnya. (Editor)

 

SUBUH PERTAMA DI MASJIDIL HARAM

Anna Fajar Rona

             Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi. Beberapa langkah lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu bisa melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk melakukan tawaf pertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain. Namun sebelum kakinya mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang diiringi rasa sakit yang amat sangat pada perutnya.

            Dargi tak kuasa lagi melangkah. Tubuhnya terasa digayuti beban yang amat berat. Rasa nyeri pada perutnya tak kuasa ia tahan. Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram. Tubuhnya yang berukuran sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh tinggi besar, ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang dan jenggot.

            Wajah Dargi pucat, sepertinya tak berdarah lagi. Tak kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras Masjidil Haram yang untuk pertama kalinya ia injak itu.

            Rasa sakit pada perutnya tambah menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat membanjir. Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh tubuh. Dargi meringis menahan sakit sambil memegangi perut. Ia mencoba berdiri, tersungkur kembali. Mencoba lagi, tetap tersungkur lagi. Ia tak mampu menggerakkan kedua kakinya untuk menyangga tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu terasa menjadi beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya harapan hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakkan. Cukup lama ia tersungkur. Menangis di bawah langkah-langkah kaki para jamaah yang tak peduli dengan keberadaannya saat itu.

            Hampir setengah jam ia membiarkan dirinya di bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada sedikit tenaga untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya menyebar, mencari-cari kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram. Setelah ia yakin di arah kiri depan masjid ada kamar kecil, ke sanalah ia merangkak dengan sisa-sisa tenaga yang ada.

            Hampir 20 menit ia baru bisa mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan merangkak sambil menahan sakit yang luar biasa di perut, Dargi turut antri dengan jamaah lainnya di depan pintu kamar kecil. Ia sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya berangkat bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang dideritanya itu.

            Selama menunggu giliran masuk kamar kecil, keringat terus mengucur. Kain ihram yang ia kenakan sejak turun di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat. Keringat yang mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap ususnya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa sakit itu, air mata Dargi kembali meleleh.

            Begitu Dargi mendapat giliran masuk kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari lubang anusnya. Air berwarna hitam dan berbau menyengat itu keluar deras seperti air kran yang mengucur dalam keadaan normal. Hampir satu jam ia berada di dalam wc dan selama itu pula air kotor berbau menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke lubang kloset.

            Untung saja kain ihramnya tak terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia sempat mengangkat ihram tersebut ke atas kepala. Begitu banyak air kotor ia keluarkan. Dargi sendiri memperkirakan sudah berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.

            “Ya Allah, ampuni hamba. Atas kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat suci ini. Untuk itu lindungilah hamba, mudahkanlah hamba dalam menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah hamba, ya Rabbi,” ucap Dargi.

            Begitu mengucapkan kalimat itu, air kotor berbau busuk yang keluar dari perutnya tiba-tiba saja terhenti. Rasa sakit dalam sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.

            Ia kemudian membersihkan dirinya. Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri tegak dan melangkah keluar dari kamar kecil berukuran satu setengah kali dua meter itu. Sekeluar dari ruang wc, ia menuju ruang wudhu. Bersuci diri di situ. Selanjutnya dengan ringan ia melangkah menuju pintu Masjidil Haram. Saat itu persis pukul dua dinihari waktu Makkah.

            Sebelum melakukan tawaf  pertama, ia ingat pesan seorang ulama saat mengikuti manasik haji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang penting luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila menghadapi masalah di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa di Arafah dan tempat-tempat lain. Ingat pesan itu, bergegas Dargi melaksanakan salat taubat tepat di sebelah timur depan Kabah.

 ***

             Bagaimana Dargi yang hanya calo angkutan umum di terminal kota bisa berhaji. Sementara dirinya dikenal tak lebih sebagai lajang yang suka menenggak minuman keras sampai mabuk. Bahkan dalam darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan kesehatan sebagai syarat berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi merupakan darah alkoholis yang selalu ketagihan minuman mengandung alkohol.

            Yang namanya kuasa Allah, apa pun bisa terwujud. Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa Tuhan ia bisa berangkat haji.

            Awalnya, di terminal tempat Dargi menjalani hidup sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala berukuran 7 x 7 meter. Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan kekuatan uangnya. Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para penumpang angkutan maupun warga yang tiap hari beraktivitas di terminal untuk melaksanakan salat. Juga kerap dijadikan tempat memperingati Hari-Hari Besar Islam yang dilaksanakan warga terminal secara sederhana, misalnya memperingati Isra Mikraj, Maulid Nabi dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras suara mushala yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan waktu berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah mushala terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan manfaat bagi warga.

            Kini mushala terminal hendak dikuasai pengusaha bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan bisnis.

            “Kalau mushala ini digusur, kemana kita mendirikan salat?” tanya Ibnu dengan nada protes. Ibnu adalah salah satu warga yang kerap menjadikan mushala terminal sebagai tempat salat berjamaah, terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok dan warung kopi di terminal antarkota dalam provinsi itu.

            “Masjid cukup jauh dari sini,” Kurdi pedagang asongan menimpali.

            “Tak ada cara lain, kita mesti mencegah penggusuran mushala,” kata Hadri.

            “Caranya?” sambut yang lain.

            “Kita datangi DPRD dan pemerintah daerah sini. Minta agar pengusaha jangan seenaknya merampas mushala kita,” ujar Murad berpendapat.

            Kasak-kusuk soal mushala itu juga didengar oleh Dargi, pemuda setengah preman yang yang dikenal selain suka mabuk juga bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut memiliki mushala, meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain untuk tidur-tiduran, pemuda itu tampil sebagai pembela mushala.

            Preman-preman yang menjadi kaki tangan pengusaha yang memiliki modal untuk menggusur mushala untuk memperluas toko serba ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria bernyali besar itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan semuanya jadi keder bila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu fisik dengan preman peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang meski ia juga mengalami cidera ringan.

            Atas campur tangan Dargi, warga terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala. Bahkan dengan gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan pendapat di hadapan anggota DPRD mengenai pentingnya mushala di terminal supaya tidak dipindahtangankan kepada pengusaha yang di otaknya hanya mementingkan bisnis.

            “Letak mushala itu strategis. Persis di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap orang yang memerlukannya,” ujar Dargi kepada anggota DPRD.

            Saking gigihnya Dargi mempertahankan mushala, membuat seluruh anggota dewan bersimpati. Bahkan akhirnya berkat perjuangan Dargi, pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan niatnya untuk memodali lahan mushala tersebut.

            Dargi bagai pahlawan mendapat pujian, bukan saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD. Tak terkecuali ketua DPRD.

            Dari rasa simpati terhadap Dargi itulah, namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga sekitar 3 bulan dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi jadi buah bibir di lingkungan DPRD.

            Begitu tiba persiapan pemberangkatan haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD secara bergiliran mendapat jatah berangkat haji. Tiap tahun 3 anggota dewan mendapat biaya haji yang disisihkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada pemberangkatan haji tahun itu, salah satu anggota dewan yang mendapat giliran berangkat mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia sudah berhaji jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur dan memberikan jatahnya kepada masyarakat. Masyarakat yang dipilihnya adalah Dargi yang ia ketahui dengan gigih mempertahankan mushala terminal untuk umat.

            Dari jatah berangkat haji ketua DPRD itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah pun. Sejak ia dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak itu pula pola hidup Dargi berubah. Setidaknya dalam hari-hari menunggu keberangkatan haji, Dargi tak lagi menyentuh minuman keras.

            Ia pernah menggigil dan meradang menahan ketagihan mereguk minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya, ditahannya keinginan untuk mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa sakit-sakit.

            Bahkan ia sempat sakit demam di minggu pertama ia melewati tanpa minuman keras. Dalam demam, hampir 3 hari Dargi serba merasa tak enak, bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.

            Pada minggu kedua tenggorokannya terasa dililit-lilit ingin dilewati minuman keras. Keinginan itu begitu keras dan menggodanya. Apalagi di terminal, rekan-rekan minumnya dulu masih melakukan aktivitas minum tiap malam usai aktivitas terminal. Dargi terus berjuang menahan keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang dengan bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.

            Meski tubuhnya terasa sakit-sakit lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia terus berjuang membunuh rasa ketergantungannya pada minuman.

            Agar betul-betul bisa menghindari minuman keras, Dargi lebih rajin berada di mushala terminal melaksanakan salat 5 waktu. Pelajaran mengaji yang ia khatamkan waktu masih di sekolah dasar di lingkungan terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu membaca Quran meski sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.

            Tadinya, Dargi tak pernah lepas dari minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia akrab dengan yang namanya kencing iblis alias minuman beralkohol dengan kadar tinggi itu. Dalam semalam, tak jarang berbotol-botol minuman memabukkan ia tenggak memenuhi rongga perut dan dadanya.

            Hampir sepanjang hidup Dargi tinggal di terminal. Ada alasan yang memaksanya hidup di terminal itu, pertama ia dilahirkan di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan SLTA. Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di terminal itu dilanjutkan oleh ibunya yang menjanda dengan Dargi sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula sang ibu bisa menyambung hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan Dargi sangat akrab dengan lingkungan terminal.

            Kehidupan terminal itu pula yang menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan dengan kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya melalui usaha kios pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga sang bunda mampu menyekolahkan sang anak sampai menamatkan SLTA dengan harapan si anak kelak bisa menjalani hidup yang lebih baik. Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh Dargi hanya bisa menjadikannya calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir cadangan alias pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum, maka Organda setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi sopir tetap.

            Meski pola hidup Dargi tak terpisahkan dari minuman keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban terminal. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan perempuan penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal. Dua perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup Dargi, tetapi minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi untuk selalu direguk sampai mabuk sepanjang malam di terminal. Uang untuk membeli minuman, selain didapat dari patungan teman-temannya, juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.

            Saat usia Dargi genap 21 tahun, Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan sang putra, berpulang memenuhi panggilan Illahi. Sebelumnya wanita perkasa di mata Dargi itu terjangkit demam berdarah. Ini akibat kebersihan selokan terminal tak terpelihara. Namun setelah Imah menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk menjaga kebersihan lingkungannya.

            Sepeninggal bunda, Dargi kian tak memiliki pegangan hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti diburu rasa ketakutan menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi dengan caranya sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan kepahitan hidup.

            Pernah juga kerabatnya memberi nasihat, namun tak pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat Dargi merasa didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.

 ***

            Kini si pemabuk Dargi berada di dekat Kabah. Jantungnya berdebar memandang simbol kemurnian Islam itu. Memandang rumah Tuhan. Lantas ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah lainnya yang juga duduk memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yang tawaf. Tanpa Dargi sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh, wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu usianya baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah menyempatkan pergi membawanya salat Jumat ke masjid. Juga ingat ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari nafkah, tak kenal bosan mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman Pendidikan AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk merayakan khatam Quran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu. Semua kenangan indah itu melintas silih berganti.

            Ketika ingatan-ingatan itu memenuhi benaknya, secara tiba-tiba perutnya kembali terasa melilit, padahal tawaf pertama belum lagi ia kerjakan. Ia baru saja usai mendidikan salat taubat untuk minta ampunan Allah atas segala kekhilafannya.

            Hanya dalam waktu beberapa detik rasa sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari Masjidil Haram. Kain ihram di badannya disingsingkannya ketika memasuki kamar kecil di sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalam wc itu berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang anus. Air berbau menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit pun Dargi tidak mengejan. Air itu seperti dikuras dari dalam perutnya.

            Ia sadar betul, kalau saat itu dirinya mendapat teguran Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor berbau busuk yang keluar dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis yang ia kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun. Kini kencing iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini pula, pengurasan kencing iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di Tanah Suci Makkah, di saat ia menunaikan haji.

            “Ya Allah, bila ini cara-Mu untuk membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku melaksanakan tawaf memenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku sebagai hamba-Mu yang lemah hanya dapat berpasrah sepenuhnya kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada kuasa-Mu,” ucap Dargi.

            Seketika rasa sakit itu lenyap kembali.

 ***

            Setelah membersihkan diri dan berwudhu, Dargi kembali salat taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga dinihari menghadap Kabah. Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah lagi mengotori darah dalam dirinya dengan minuman keras.

            “Di hadapan-Mu, ya Allah, dan di rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang sebenarnya sumpah untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman keras. Untuk itu, bimbinglah hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas panggilan-Mu ini,” ucap Dargi usai melaksanakan salat taubat yang ketiga.

            Sosok pemuda bertaubat itu dengan kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan menuntaskan gerakan haji. Tawaf pertama dan sya’i ia selesaikan dengan tanpa ada lagi penghalang. Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan Subuh berkumandang di Masjidil Haram.

            Subuh pertama di Masjidil Haram Dargi tuntaskan dengan segenap doa.

 Maret, 2006

 

 NYANYIAN TANPA NYANYIAN

 Dewi Alfianti

            Ayah, dalam siluet di antara senja, saat itu dia nampak seperti pohon bambu. Sosoknya yang tinggi semampai menghalangi cahaya mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma silau cahaya senja saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon bambu, tinggi namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti nyanyian tanpa nyanyian.

            Senja ini, seperti senja-senja biasanya, ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan bermacam tetumbuhan. Almarhumah ibu yang membuat pekarangan rumah serimbun itu. Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum menikah dengan ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu membuahkan sebuah hutan kecil di pekarangan kami. Seingatku, waktu kecil, kakak, aku dan adik perempuanku sering main petak umpet di situ. Bagi tiga orang anak kecil, pekarangan itu menjelma menjadi hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik menangis kencang karena tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana keluar dari hutan kecil buatan ibu.

            Ayah, dengan langkah perlahan dalam irama yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil menggumamkan al-Matsurat, zikir yang dilantunkannya tiap sore dan pagi juga. Menjelang azan magrib, ayah akan masuk rumah lantas menuju ruangan tempat biasa kami sholat untuk melanjutkan zikirnya dengan wirid al-Quran. Ketika azan berkumandang, ayah akan memastikan kami sudah siap bersama-samanya untuk sholat.

            Ayah, demikianlah. Dialah wujud kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah menjelma mata air dalam keluarga kami. Tidak pernah mendominasi, namun dominasinya begitu terasa. Tak ada yang sempurna tanpa sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima belas tahun lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin membahasakan sesuatu. Seperti percakapan yang tak putus-putusnya.

            Adik perempuanku begitu memujanya. Aku dan kakak lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku ingat saat aku kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku SMP. Saat itu kami bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak Fahri yang kutahu akan dipakainya sebagai contekan waktu ujian. Tentu saja aku tak bisa terima, kami terbiasa memandang bahwa satu sama lain adalah anak yang cerdas dan tidak akan mau bergantung pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat itu kami bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah larut malam. Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan Nada, adik perempuanku saat itu sedang menginap di rumah sakit menunggui saudara ibu yang sakit. Malam itu di rumah cuma ada ayah.

            Saat pertengkaran mulut itu kian meruncing, tiba-tiba listrik padam. Kamar kami yang jadi arena pertengkaran mendadak gulita. Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah sudah ada di antara kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami duduk dengan bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.

            Dia menyuruh kami tidak berbicara. Lama sekali kami diam sampai aku merasa kegelapan ini terasa begitu mengganggu. Kegelapan ini menyekat pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang tidak menyukai kegelapan napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut ditindih kegelapan. Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami pada pertengkaran tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan kebaikan-kebaikan ketika terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma gelap yang bisa kami rasakan.

            Tak berapa lama lampu mulai menyala. Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar, semenjak itu pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek. Mendalam makna peristiwa itu buat kami dan ayah semakin menakjubkan bagi kami. Belakangan, aku dan Kak Fahri tahu bahwa listrik itu sengaja dipadamkan ayah.

            Nawa, anak sulungku, sejak selesai sholat magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma adiknya yang begitu bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak menutupi keengganannya untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali dengan istriku. Jika kuajak menginap di rumah ayah mereka menjadi canggung. Seperti tidak terbiasa dengan suasana pinggiran kota yang tak segempita tempat tinggal kami. Nawa dan istriku adalah sosok yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka alir dalam nuansa kota yang gemerlap, hedonis, dan modern.

            Nawa, gadis 13 tahun itu kesal padaku karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama teman-temannya jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan istriku berkeras. Akhirnya dia turut serta. Sebagai bentuk ketidaksukaannya dengan keputusanku, sejak tadi siang sampai malam ini dia tidak mau berbicara padaku. Ekspresi yang begitu berbeda dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar berat ayah. Dia begitu menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini dia selalu minta dikirim ke rumah ayah tiap kali libur.

            Dan ayah, dia mencintai keluargaku. Pandangan sayangnya pada dua cucu perempuannya begitu kentara. Namun, Nawa seperti telah diajarkan ibunya untuk bersikap canggung dan formal. Mereka berdua paling jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu tidak menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.

            “Nawa sakit, Diq?” suara ayah merentang di antara kami di meja makan.

            “Oh, dia sedang merajuklah, yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia pentas seni waktu saya suruh ikut ke sini.”

            “Mbak emang suka ngambek, kek. Najma dong gak suka ngambek,” celoteh Najwa menyela percakapan kami.

            “Ya, Najma nggak suka ngambek, tapi suka ribut,” sahut ayah sambil tersenyum pada Najma yang berubah cemberut. Pembicaraan itu kembali ditujukan padaku, “Shiddiq, Shiddiq, kalau Nawa sibuk ya tidak usah dipaksa ikut ke sini, biasanya juga kamu tidak pernah memaksanya, kan? Lagipula kamu juga aneh, ini kan bukan libur sekolah. Kenapa anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke rumah ayah. Kenapa?”

            Ayah memandangiku dengan wajah sebijak biasanya, namun matanya begitu tajam. Istriku mencuri pandang ke arahku demikian pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat tak bicara, kecuali celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon rambutan di belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.

            Di rumah ini ada empat kamar, awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku dan Kak Fahri serta kamar Nada adik perempuanku. Namun setelah aku SMP, ayah memutuskan membuat satu kamar lagi untukku berpisah dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua di antaranya kosong, karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini sejak kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua malah tidak ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan penelitian sosial di sebuah desa pesisir pantai. Suaminya adalah sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM antikorupsi. Kali ini aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang beralih fungsi jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar Kak Fahri.

            “Aku merasa ayah seperti ingin menelanjangi kita, Mas. Matanya, matanya, matanya seperti menuduh,” Shila bicara yang lebih seperti teriakan yang ditahannya.

            “Cukup, Shil, ayah tidak tau apa-apa, oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang selalu merasa ayah tidak menyukaimu, kan, jadi wajar saja kalau pandangannya bagimu tak pernah akan terasa bersahabat,” sahutku mencoba menenangkan, tapi suara yang keluar malah tercekat karena aku merasa disudutkan.

            “Ayahmu memang seperti itu, kan, Mas, pandai sekali membuat orang merasa tidak enak, canggung dan risih,” nada suara Shila meninggi.

            “Sttt… Cukup, kubilang. Kita selalu bertengkar kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul kita perlu untuk ada di sini. Bersikap baiklah,” aku mencoba bersikap sabar namun sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.

            “Nanti kalau ayah tahu apa yang akan ia katakan, Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu memegang prinsip. Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas yang menjemukan, Mas. Kalau ayahmu tahu ia bisa saja…”

            “Diam! Dia akan tahu kalau kau berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa pedulimu. Jika semua sudah membaik kita pergi supaya kau tidak terus histeris seperti ini. Kau membuatku gila!”

            Malam itu, seperti beberapa malam sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa kepalaku diisi dengan batu-batu besar.

            Selepas subuh, aku tak menemukan ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah adalah saudagar sayuran. Di masanya sekarang, beliau cuma mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai pasar di kota ini. Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau membawa serta Najma.

            Isteriku dan Nawa pagi-pagi sekali sudah memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak Nawa jalan-jalan agar Nawa berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa bernapas lega jika sudah berada di tempat-tempat yang mereka sebut pusat peradaban, mall. Shila, isteriku yang cantik, kudapatkan dengan susah payah. Dia adik angkatanku waktu kuliah. Ayahnya seorang pebisnis yang belakangan mulai surut. Kami berpacaran tiga tahun. Setelah karirku menanjak ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi anaknya.

            Keluargaku cukup merasa kaget ketika dia kuperkenalkan. Kak Fahri yang sudah lebih dulu menikah dengan gadis yang dikenalnya lewat ustad mengajinya yang satu profesi dengannya, dokter, tak banyak bicara waktu itu. Almarhumah ibu dan Nada yang mengisi udara kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas terlihat risih melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan angkuh.

            Matanya berbicara dengan baik padaku, betapa harapannya aku menikahi gadis seperti Mbak Vina, istri Kak Fahri yang sederhana, buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi beliau juga tahu betul apa arti cinta, sesuatu yang mengendap dalam hati yang tak bisa dibuang begitu saja. Sesuatu yang akhirnya membuatnya tetap tak menikah sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu sebabnya dia diam. Dia tidak setuju, tapi dia juga tidak menolak.

            Ketiadaan ayah membuatku leluasa di rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper yang kubawa dari Jakarta, tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu membuatku benar-benar tidak merasa tenang. Kubuka koper-koper itu, kuperiksa ulang isinya. Utuh dan memang harus utuh.

            Aku sudah akan menutup koper-koper itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Suaranya kali ini begitu tegas, seperti kemarahan yang menjelma menjadi kata. Bicara ayah datar, namun menikamku, “Kau tahu kenapa aku menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu banyak harapan tersimpan dalam nama itu?”

            Tubuhku beku, tak bisa bergerak. Perlahan ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku. Aku menunduk tak berani menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa sekelilingku membatu.

            “Benar dan jujur, kata-kata itu yang menghinggapi aku dan ibumu saat menamaimu Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami menyelipkan harapan dalam nama itu. Seperti juga pada Fahri dan Nada. Selalu ada harapan. Kau tahu benar kalau...”

            “Aku bukan Fahri atau Nada, yah. Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan meski telah mengalami berbagai hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti apa yang ayah harapkan, saleh, jujur, idealis. Tapi aku... Aku tidak bisa, ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau harapkan seperti Abu Bakar itu, itu cuma dalam cerita!” Tubuhku bergetar.

            “Ayah sebenarnya sudah tahu. Nada sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu. Itu sebabnya kau bawa uang tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak mudah terlacak, tidak seperti jika kau minta uang itu ditransfer ke rekeningmu. Berapa uang dalam koper-koper itu? 1 milyar? 2 milyar? 3 milyar?” suara ayah bergetar.

            Duniaku serasa runtuh. Betapa sulit bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti kekelaman yang ingin kuhindari sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak ayah yang baik karena buatku ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti beringin, lentur seperti pohon bambu. Dalam tiap pandangan matanya, senantiasa akan kutemukan sebuah tempat yang nyaman untuk menetap. Matanya adalah hujan saat terik, matahari saat kelabu. Ayah adalah ayah, aku selalu ingin membuatnya menyediakan tempat yang nyaman untukku dalam matanya.

            Tapi keputusanku untuk kuliah jauh darinya membawaku pada dunia tanpa ayah yang begitu buas. Mengenalkanku pada hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu. Awalnya adalah Shila, lalu keinginan untuk menyediakan hidup yang sempurna untuknya sampai keinginan untuk menikmati dunia sepuasnya mulai merasukiku. Lalu uang menjadi penting. Teramat penting dan bayangan ayah semakin kabur...

            Ayah, sekarang dia mulai mendekatiku, lalu berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku menangis. Aku merasa hatiku sangat sakit.

            “Ayah mencintaimu, sulit sekali ayah sampaikan karena selama ini ayah ingin kau bisa membaca rasa cinta itu lewat perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan. Shiddiq...” Suara ayah pelan, seperti kehilangan kekuatan, “Bukan siapa dirimu yang akan menunjukkan kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah memilih. Dan kau tahu betul seperti apa risikonya. Shiddiq... Shiddiq... anak ayah.”

            Perlahan diciumnya keningku, direngkuhnya aku. Tangisku tak bisa lagi kubendung, meluncur deras bersama airmata yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti Shiddiq puluhan tahun lalu. Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku sesenggukan, tapi aku merasa begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik. Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia yang membuatku kerontang. Hidup dalam ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu. Sekarang ayah tahu dengan cara yang begitu sederhana, memergoki milyaran uang dalam koper-koper itu. Uang yang diserahkan rekananku sebagai suap.

            Sungguh aku merasa begitu lega dalam pelukan ayah. Sudah puluhan tahun ia tak memelukku begini.

            Menjelang sore Shila dan Nawa pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja bertanya pada kakeknya, kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari rumah Sauqi. Semua takkan lagi sama setelah hari ini. Tapi aku telah mendapatkan lagi apa yang dulu terasa begitu jauh... Aku lihat mata ayahku bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.    

 

PASAR

 Dewi Yuliani

             Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku tahu sekali hari ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini mendadak orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat dermawan.

            Bayangkan saja, dengan uang seribu lima ratus, orang dapat menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan menambah jumlah konglomerat di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau tidak? Untuk sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.

            Aku memperhatikan orang-orang yang berseliweran di depanku. Aku sudah hafal sekali wajah-wajah siapa saja yang mampir di sini, sekadar tanya tentang kode buntut.

            Sebenarnya aku tertawa sendiri. Amat Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam nanti. Kalau Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan Amat Tukak sendiri yang membeli secara diam-diam agar ia tidak usah lagi berpanas-panas jualan buntut di trotoar pasar ini.

            Pernah suatu kali aku menanyakan keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah bosan membeli kupon sugih, tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif untuk jualan kode. Kalau kebetulan angkanya cocok, syukur. Kalau tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidak nongkrong di pasar ini lagi.

            Waktu itu kami sama-sama tertawa, menertawakan nasib sendiri. Aku memilih diam dan memperhatikannya berteriak menyebutkan angka-angka sementara orang-orang yang mengerumuninya memandangi Amat Tukak dengan terkagum-kagum.

            Selain Amat Tukak, aku juga tahu manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya sehingga orang sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang merogoh saku belakangnya. Tapi aku tak acuh. Biar, mereka juga cari makan seperti aku, dan aku tidak mau berhadapan dengan gembong copetnya. Bisa-bisa habis aku dikeroyoknya. Dan itu juga untuk menjaga stabil dan amannya caraku mencari makan.

            Aku hampir terkantuk-kantuk ketika hari semakin panas terik, anginnya sepoi-sepoi basah. Tetapi, cacing yang ada di ususku tak mau diajak berdamai. Ia selalu saja menggerogoti perutku. Rupanya ia marah melihat kantong perutku hanya berisi air putih, selebihnya hanya angin busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak punya kekuatan untuk menekan perutku.

            “Kasihan orang itu ya, Bu. Lihat, kaki kanannya buntung. Hiii... banyak kudisnya, Bu!”

            Aku tersentak kaget lalu menoleh ke samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju merah darah. Aku melirik lehernya yang berlipat, tapi dihiasi gandulan kalung emas. Aku tidak habis pikir, berani sekali ibu gendut itu membawa anaknya yang juga diliputi emas di lehernya yang tidak kalah gendut dan berdagu  dua. Rupanya kedua anak-beranak itu kelebihan gizi.

            Tiba-tiba nyonya gendut tadi melemparkan ratusan yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang sudah kusiapkan. Bah! Aku ngedumel dalam hati. Benggol buat mengerik punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah lama terjepit di sudut dompetnya.

            “Copet! Copet! Kurang ajar!” sumpah serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar. Pantatnya yang sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku melihatnya seperti badut Ancol yang tengah menari.

            Rupanya pencopet itu masih perlu latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat ditangkap. Ampun. Ia dipukuli, persis memukuli ikan gabus yang sering kulihat di pasar ikan. Dahi pencopet itu mengeluarkan darah, dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi pada nyonya gendut yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan permennya.

            Aku menyumpah-nyumpah dari jauh. Seharusnya sebelum anak itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi untuk latihan lari. Rupanya ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak canggung.

            Udara semakin panas saja. Aku melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya di kain sarung yang telah dikaitkannya pada seutas tali rafia, lalu digantungkannya di atas kayu atap tempatnya berdagang. Suaranya bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut. Seandainya ada pencipta lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik mendengar suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan penyanyi dangdut terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti namanya menjadi Voni atau Ivon, untuk lebih komersil.

            Aku hampir tertidur mendengar suara Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam. Apalagi ketika suara lagu dangdut menggema mengawani tukang jual obat mempromosikan produknya, obat kudis dan penyakit kulit lainnya.

            Sebenarnya obat itu murah, cuma lima ratus per botol. Aku pernah beli setengah botol, tapi kudis di leherku masih saja nakal.

            Aku hampir menggoyangkan pinggulku ketika mendengar lirik lagu Basofi Sudirman. Tidak semua laki-laki bersalah padamu... Aku tahu kalau Basofi sekarang menjadi gubernur Jawa Timur. Jelek-jelek aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di dalam pasar ini, aku juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang melarat.

            Aku tahu semuanya bukan melalui koran, tapi aku langsung berkecimpung dalam kemelaratan itu, bergumul di dalamnya.

            Dari koran bekas sebagai alas dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan produk-produk politiknya. Aku pernah membaca buku filsafat hidup bahwa diam itu adalah emas. Aku artikan saja sendiri, menurut status pendidikanku yang rendah, kalau diam itu membuat diriku lebih aman.

            “Hari ini... aku bersumpah... akan kubuka pintu dompetmuuu...

            Tiba-tiba aku mendengar lirik lagu Basofi berubah reff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang menggelitik itu. Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih benjol, mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulanan buntat-buntat di sana.

            Gurdis tertawa senang melihat tampangku. Giginya yang agak kuning tapi tersusun rapi tersembul kelihatan di antara bibirnya yang hitam.

            Aku melirik lengan Gurdis yang bertato burung rajawali, di dada kanannya bergambar naga. Terus terang, aku takut sekali melihat kehadiran Gurdis kali ini.

            “Sudah makan, Jon?” tanya Gurdis sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas. Taksi-taksi kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.

            Aku mengalihkan pandanganku pada televisi umum yang tengah menyiarkan berita tentang perang etnis di Bosnia-Herzegovina.

            “Sudah makan, Jon?!” hardik Gurdis.

            “Belum. Kau?” tanyaku pelan.

            “Sudah.”

            Pantas saja, perutnya agak gembul dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing dari perut Gurdis.

            “Lapar?” tanya Gurdis agak bodoh.

            “Sampian ini bagaimana? Dari pagi aku belum makan, ya laparlah...”

            “Tunggu sebentar, ya...”

            Tubuh Gurdis yang gendut tapi tinggi itu berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi dengan sebungkus nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis raja copet di pasar ini.

            “Kau curi di mana?”

            “Aku beli,” jawabnya singkat.

            “Ah, dusta. Mana ada Gurdis Jagau tiba-tiba jadi makhluk yang manis...” Aku tertawa hambar, tapi membuka juga nasi bungkus yang dibawakannya.

            “Sumpah, kali ini uang halal,” Gurdis membuka dompet lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran ribuan.

            “Uang siapa yang kau copet, heh?” tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning sehingga berhamburan.

            “Aku jadi penjaga rumah Ta Ching,” katanya pelan.

            “Wah, wah... Jadi buldognya, ya?”

            “Biar. Aku sudah bosan keluar-masuk penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi tukang ojek.”

            “Ooo...,” itu saja seterusnya yang keluar dari mulutku.

            Gurdis bertobat, lalu siapa lagi temanku bercakap kalau ia meninggalkan tempat ini.

            Percakapan kami terhenti ketika Tibum datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang yang berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha menyembunyikan becaknya. Acil Ijah jatuh tertelungkup karena kainnya yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba lari.

            Gurdis memandangiku dengan sorot mata sedih, lalu menyelinap di antara lorong pasar yang gelap.

            “Itu orangnya!” tiba-tiba Tibum yang bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat kutarik kakiku yang penuh perban yang terbenam di dalam tanah berlubang yang sudah kusiapkan, lalu mengambil jurus seribu.

            “Penipu! Buntungnya dusta! Otak busuk!”

            Entah teriakan apalagi, tak sempat kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya mereka sudah tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau pengemis buntung.

            Aku tahu tempat yang aman sebagai persembunyian. Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera datang kesini. Tentu dengan sosok lain.

            Aku tak peduli teriakan cacing yang geram karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena cacing-cacing ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi dan pontang-panting lari ketakutan.

 

SOFIA,

PERPISAHAN ITU MENGANDUNG DUA ARTI

 Hudan Nur

             Dulu sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga sering membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu waktu malam yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air mancur. Atau kamu menonton aktingku di Taman Van Der Vijl. Kamu juga sering memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak beralasan ke hadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu. Karena satu dan lain hal.

            Di hari Minggunya, kita latihan teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu minta penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu perempuan, Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung. Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan?

            Kadang, sorenya aku mengantarkanmu berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku sering ngerem mendadak. Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang kamu nggak suka. Tapi aku suka, kapan lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.

            Senin, Selasa, Rabu hingga Sabtu kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.

            Waktu tiga tahun di bangku SMA terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan dari guru. Aku lebih suka merangkai kata demi kata, lalu kukirimkan kepadamu.

            Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh guru, aku kena skors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat dibayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhui aku. Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikit pun merasakan malu. Justru aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.

            Kamu tidak tahu betapa gelisahnya aku jika mataku mulai disirep kantuk. Aku takut jika harus memejamkan mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi ketimbang belajar atau mengerjakan pe-er.

 ***

            24 Juli 2005

            Kukirimkan sebuah catatan harianku yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu. Bunyinya seperti ini:

            Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.

            Aku tahu, tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang kelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakarsa serta pengrobohnya, aku.

            Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naif. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.

            Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke arah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari jiwa yang tak berkesudahan.

            Yang menyetiamu,

***

            Sudah ribuan puisi aku pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan, hitunganku. Semuanya aku tulis atas dasar ketidakpahaman jiwaku. Meski aku katakan tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus berujung pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.

            Aku tahu kita berbeda, Sofia. Aku orang kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu beli. Diriku pun, kalau kau mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu. Aku tulus, Sofia.

 ***

             15 Agustus 2005

            Aku di sini sedang mengalami musim liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh... ya! Aku ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi itu di sana.

***

            17 Agustus 2005

            Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan suratnya:

            Benarkah, Sofia? Aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah kembali, Sofia...

            Yang menyetiaimu,

            Aku pura-pura turut berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya menangis. Tapi aku bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela melakukan apa saja. Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu menginginkan nyawaku, maka aku akan menyerahkannya.

 ***

            Lima hari aku menunggu kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku berikan setibanya kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang pas untuk seorang kamu, Sofia.

            Dalam waktu itu, aku terdiam. Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer. Kamu begitu indah.

            Sebagai peteater, aku juga memiliki paras yang bisa dikatakan... boleh juga. Namun aku tidak terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek, kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu. Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan tawaran. Sebuah senyuman.

 ***

             “Apa kabar kamu?” sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.

            “Seperti yang kamu lihat,” jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai sudah semakin minim, apalagi rok mini dan stelan tanktop yang membaluti tubuhmu membuatku pangling.

            “Oh... Ini Dirga, yang mau kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo hari,” sambungmu sambil merengkuh tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.

            Aku sesenggukan saja menyalami lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu. Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan, tetapi sifatmu. Kamu tidak semanis dulu.

            “Sofia, ini untukmu....” Kuserahkan puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum kepulanganmu.

            “Terima kasih. Sudah dulu, ya. Aku mau menemani Dirga jalan-jalan...” Lalu, kamu menggandeng lelaki itu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?

            Aku hanya bisa menelan air liur. Pahit.

 ***

             Seminggu kemudian engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.

            “Ada apa, Sofia?” tanyaku karena kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.

            “Aku pamit. Hari ini seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa...” Setelah itu kamu menyalami tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap. Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya. Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.

 ***

             24 Juli 2006

            Seperti kemarin aku tetap membuat puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata di selembar kertas berwarna kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab, aku bisa apa.

            Sofia terukir di prasastiku

            setiap penghujung malamku

            yang juga sempat menghantui

            jati diriku kemarin

            sore

            pun aku mengeluh padamu;

            temani aku mengukur jalan-jalan

            yang akan kulalui

            esok hari

            tapi kau tak pernah menjawab,

            membuat aku

            semakin khawatir akan

            kebungkaman yang kau miliki

 

            Sofia terukir di prasastiku

            pada hatiku yang mulai merekah

            sementara, jam berdetak cepat

            dibelenggu

            jiwaku yang lain

            lalu di setiap detiknya, aku hanya

            mencoba berbagi

            rasa untuk mentasbihi namamu;

            Sofia!

            karena itulah kerjaku adanya

 

            Sofia terukir di prasastiku

            membukakan beberapa ayatku

            yang ditulis

            matahariku

            karena aku hidup bukan untuk

            aku, tetapi

            demi dini-petangmu

            di kancah mendatang

 

            Sofia terukir di prasastiku

            pernah menghadang sudut

            kegelisahanku

            yang kemudian menuaikan aroma

            kharismatik buluh airmata

            bunga di persinggahan waktu

            Duh, Sofiaku yang kian hari

            kian dekat,

            sedekat pemisah antara jasad

            dan ruhnya

            peletak degup jembatan kenanganku

            di perkosaan zaman

 

            Sofia terukir di prasastiku

            dengan pena asmara ini

            aku tuliskan dalam

            kalimat-kalimat penabuh dendang

            irama dewa

            bahwa syair penyejuk kembaraku

            telah menembus

            tulang-darah serta segala apa

            yang kumiliki

            untuk memahamimu yang kini

            terukir di prasastiku; Sofiaku!

 

            Tapi baik puisi atau pun surat yang kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.

            Aku tidak tahu lagi bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.

            Tanpa sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.

            “Dicari kemana-mana ternyata piannya di sini? Itu nah Sofia menangis, ulun mau ke pasar dulu menjual sayur!”

            “Iya...,” jawabku memelas sambil menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku yang sedang terlelap.

            Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih besar tercurah padanya. Kucium dahinya. “Sofia, sayang, jangan tinggalkan Bapak ya, Nak?” Lalu kucium lagi dahinya...

inspired by someone

Sofiandi Sedar

Guntung Payung, 30 Agustus 2005

05:40 PM

 

 PIANO

Nonon Djazouly

            Kudentingkan jari jemariku di atas tuts tuts piano melagukan Symphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel tak karuan. Suaranya terdengar timbul tenggelam dari balik kamar, seriring bunyi denting pianoku yang kadang nyaring dan kadang pelan. Selesai melagukan Symphony 40 kulagukan lagi For Alice-nya Bethoven. Kali ini tak terdengar lagi omelan Zelda, mungkin ia sudah tertidur lelap dan bermimpi.

            Setelah puas main piano, aku duduk sambil meluruskan pinggang di sofa.

            Zelda... Selalu saja ia ribut kalau aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia sepertinya benci sekali dengan yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi piano itu bising, padahal menurutku suara piano itu sangatlah romantis. Pernah juga dikatakannya bunyi piano itu mengerikan, namun kubilang alunan suara piano itu malah memberi kesejukan dan rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau kalah, ia selalu mengomel dan mengomel terus kalau aku main piano.

            Piano ini kubeli lima bulan lalu, dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi piano lama warisan kakeknya. Aku membelinya karena selain modelnya yang sudah kuno hingga terkesan antik, juga karena harganya jauh lebih murah daripada membeli yang baru. Tapi waktu aku membawanya ke rumah, Zelda membelalakkan matanya. ”Bang, kenapa kau tak kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan kering begini?” katanya.

            “Kau tidak menghargai barang antik, Zelda. Piano ini sudah puluhan tahun umurnya, harusnya Wiby menghargainya mahal, tapi karena dia sahabatku...”

            “Aku tak suka piano!” jawabnya ketus sambil berlari masuk kamar.

            Esok harinya sepulang kerja, piano yang tadinya kutaruh di sudut ruangan sudah berpindah tempat ke samping kamar pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak menghargai suamimu. Tapi biarlah dulu, aku berusaha sabar.

            Kubuka koleksi lagu-lagu lama yang kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor tadi cukup membuatku lelah. Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan beberapa lagu kesukaanku dulu. Apalagi Zelda sedang pergi arisan, berarti aku bisa bebas bermain piano sepuasnya.

            Dua lagu kumainkan, aku pun tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku yang manis, Deborah. Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang mengajarku main piano sejak aku SD hingga tamat SMA. Usianya terpaut lebih tua lima tahun dariku. Deborah yang manis tak segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan penggaris jika aku dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu.

            Namun pernah beberapa kali aku mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku dianggapnya sempurna. Sayang setelah menikah Deborah diboyong suaminya ke Belanda. Sejak itu aku hampir tak pernah lagi menyentuh tuts tuts piano, dan setelah aku menikah piano kesayanganku diminta oleh Nina adikku yang juga menyenangi musik.

            Malam hari, saat kami akan tidur Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit cemberut. “Bang, apa kau tak pernah berpikir untuk menjual saja piano tua yang jelek itu?”

            “Zelda, yang namanya jiwa seni itu tak pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku menyukai seni musik, dan piano adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.”

            “Aku mengerti itu, tapi kau juga harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu sungguh tak kusukai,” katanya sambil menutup wajahnya dengan bantal.

            Aku ingin bertanya sesungguhnya apa yang menyebabkan ia tak suka mendengar suara piano, tapi kuurungkan karena ia pasti tak pernah mau menyebutkan alasannya juga seperti yang sudah-sudah. Duh,  Zeldaku, ada apa gerangan dengan dirimu?

            Sesungguhnya yang tambah membuatku bingung adalah bahwa istriku ini seorang perempuan yang juga berjiwa seni. Ia suka membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di dinding rumah kami penuh dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh dengan berbagai jenis bunga tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda juga penggemar musik. Namun lucunya, istriku yang penampilannya selalu anggun ini menyukai jenis musik rock. Koleksi kasetnya sangat banyak tersimpan dalam lemari khusus yang berkunci. Tapi kini ia sudah jarang mendengarkan kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia mengeluarkan beberapa kaset itu dan memutarnya dalam mobil. Lagu-lagu Queen, Deep Purple, Beatles. Katanya biar aku yang nyetir tidak mengantuk!

            Pernah kutanya, bukankah dalam lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara piano walau tidak dalam setiap lagu. Jawabnya, bunyi piano dalam sebuah grup band itu tenggelam oleh suara alat musik yang lain, jadi artinya dia hanya tak menyukai suara piano tunggal. Aku membahas lagi, bukanlah kalau banyak alat musik dimainkan itu lebih berisik daripada alat musik tunggal? Jawabnya berulang lagi, “Aku tidak suka bunyi piano!” Wah, wah, wah...

            Namun uniknya, semakin Zelda protes maka semakin pula hatiku selalu ingin bermain piano. Bias-bias rindu untuk menekan tuts tuts piano malah semakin menggebu setiap saat. Semakin Zelda mengomel, makin keras pula aku menekan tuts tuts piano. Pernah suatu ketika, saat aku melangkah menuju piano di samping kamar pembantu, Zelda masuk kamar lalu kulihat ia menutup kedua lubang telinganya dengan kapas. Saat aku mulai membuka tutup piano, ia bergegas pergi ke taman menyiram bunga-bunganya dengan kapas basah menempel di telinga.

            Dan sore itu saat pulang kantor kulihat pemandangan yang sungguh membuat hatiku mulai gusar. Piano kesayanganku telah ditutup dengan lakband di sekelilingnya!

            Malamnya aku bertandang ke rumah Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku Zelda. “Mungkin kau sering memainkan satu lagu berulang-ulang hingga membuat ia curiga,” katanya.

            “Maksudmu?”

            “Mungkin ia curiga kalau lagu itu merupakan lagu memorymu bersama mantan kekasihmu dulu,” jawabnya.

            “Tidak, Wiby. Aku selalu memainkan bermacam lagu, dan tampaknya masalahnya memang bukan itu.”

            “Atau kau mungkin terlalu kemaruk main piano sehingga ia merasa kurang diperhatikan, dengan kata lain kebersamaan kalian jadi berkurang?”

            “Aku tak pernah lupa waktu. Paling banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah puas. Jadi kurasa itu juga bukan alasan.”

            “Lalu menurutmu sendiri apa sebenarnya masalahnya?”

            “Justru itulah yang membuatku pusing, dia hanya sering berkata bunyi piano itu berisik, mengganggu dan sebagainya. Padahal kan alunan denting piano itu justru menghasilkan nada-nada yang syahdu,” kataku.

            Wiby menghela napas dalam-dalam tanpa bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa Zelda dulu menyukai lagu rock, Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa terbahak-bahak. “Berarti memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah istrimu itu,” katanya. “Kau harus menyelidikinya sendiri, kawan. Baru kita cari solusinya,” sambungnya lagi.

            Sepanjang jalan ke rumah, aku berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia terhadap piano. Kalau mungkin, lalu apa sebabnya?

            Suatu ketika aku bertandang ke rumah Amri temanku di SMA dulu yang sekarang berprofesi sebagai psikiater. Aku lalu menceritakan tentang Zelda kepadanya. “Kau kan tahu Zelda itu orangnya anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika mendengar bunyi piano ia langsung berubah panik, gelisah dan cerewet. Aku benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa mungkin ia mengalami phobia?”

            “Mungkin saja. Jangan dikira orang yang perilakunya tenang seperti istrimu tak akan pernah mengalami phobia. Karena phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun banyak orang yang mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang terdekat sekalipun...”

            “Apa mungkin karena takut dianggap abnormal?”

            “Bisa jadi, bukankah irasional jika seseorang takut melihat benda semacam piano saja? Takut mendengar suara piano? Ogi... Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa takut. Takut berada dalam kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut terhadap ular karena ular itu berbisa, takut melihat truck batubara yang ngebut di jalan raya. Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap orang dalam hidup ini agar kita selalu berhati-hati. Berhati-hati di jalan raya, berhati-hati terhadap binatang berbisa. Tapi kalau rasa takut itu berlebihan dan di luar kewajaran sehingga mengganggu kejiwaannya, apalagi terhadap obyek yang tidak berbahaya sama sekali, maka berarti ia memang mengalami phobia.”

            “Lalu apa yang harus kuperbuat? Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri,” tanyaku.

            “Kau harus bisa memberi pengertian, pengertian yang sangat mendalam karena phobia bukanlah rasa takut biasa. Lama kelamaan mungkin akan timbul keinginan melawan dan membunuh rasa takut itu sendiri dari dalam jiwanya...”

            Aku mengernyitkan alit, sekilas teringat waktu akan berangkat tadi, Zelda sempat berkata bahwa ia akan menyuruh pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku itu ke ruang atas.

            Amri meneruskan, “Penyebab phobia itu ada yang hanya sekali tetapi ekstrim, tapi ada pula yang hanya karena masalah kecil tapi kontinyu mengganggu perasaannya. Satu contoh ada seseorang yang phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia pernah menyaksikan seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai bawah dan tewas seketika di depan matanya.”

            Lama sekali aku berbincang dengan Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami phobia di dunia ini, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan penyanyi sekaliber David Bowie pun mengaku mengalami phobia terbang, dan selalu mengkonsumsi obat penenang jika akan naik pesawat.

            Di pagi Minggu saat aku baru pulang mengantar Zelda ke salon, Dino abang Zelda menyambangiku ke rumah dan kami duduk-duduk di teras. Di tengah obrolan, Dino menanyakan piano tua yang kubeli dari Wiby. “Kenapa tak kelihatan piano itu, Ogi?”

            Mendengar pertanyaannya, aku merasa ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu sebab musabab phobia Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang lebar seperti yang pernah kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang Zelda. “Bahkan beberapa kali ia menyuruhku menjual saja piano yang dikatakannya seperti lemari ikan kering itu,” kataku menutup cerita.

            Dino tersenyum. “Sudah kuduga, Ogi. Waktu kalian pacaran dulu Zelda pernah bilang padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau suka main piano. Aku berpikir suatu saat bukan tak mungkin hal ini akan menjadi problema bagi kalian, walau mungkin tak akan begitu serius, tapi cukup mengganggu.”

            “Mungkin ada kenangan buruk yang berkaitan dengan piano itu terhadap diri Zelda?” tanyaku.

            “Ya,” Dino menghela napas sejenak. “Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah Batu Jawa Timur, tak begitu jauh dari rumah kami ada sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sangat angker. Kalau kebetulan kami lewat di sana Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya selalu memeluk erat tubuhku dan mulutnya komat-kamit membaca surah surah kecil sambil matanya dipejamkan. Padahal ketika kami lewat tak pernah sekali pun ada sesuatu yang aneh atau menakutkan keluar dari rumah itu. Satu kali, pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati rumah tua itu. Dengan langkah terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam rumah itu dari balik kaca jendela yang agak tinggi. Dari luar kami melihat ruangan yang tertata rapi. Ada kursi malas, sebuah sofa yang sangat bagus tapi sudah lusuh, dan sebuah piano tua di sudut ruangan. Melihat ruangan yang bersih dan rapi itu, aku yakin sebenarnya dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin saja ada orang yang ditugaskan oleh pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam sepulang mengaji, aku kembali memaksa Zelda melewati rumah itu. Sebenarnya bisa saja lewat jalan lain, tapi aku memang suka penasaran, aku ingin tahu siapa sih penghuninya. Baru saja berada di depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar alunan bunyi piano yang semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya tak ada rasa takut sedikit pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan bahwa di rumah itu ada penghuninya. Tapi Zelda... ia pucat pasi, terlihat dari pantulan sinar bulan yang menimpa wajahnya. Tangannya yang memegang tanganku terasa dingin seperti es. Semakin nyaring suara piano itu, semakin ia tak mampu bersuara apa-apa, dan beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku memboyongnya pulang ke rumah. Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia sering mengigau dan katanya sering bermimpi ada orang Belanda di rumah tua itu sedang bermain piano sambil tersenyum kepadanya.”

            “Mungkin sejak itu ia jadi takut dan ngeri mendengar suara piano?” tanyaku.

            “Ya, terlebih pada piano tua yang antik bentuknya, seperti yang kau beli dari Wiby itu. Padahal dulu sudah berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi rasa takut itu, karena sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya sendiri.”

            Aku termangu, berarti Zelda tak mau mengakui ketakutannya itu padaku karena ia memang menyadari bahwa ketakutannya itu tak beralasan, namun ia tak mampu menguasai rasa takut yang diciptakannya sendiri itu.

            “Mas, bagaimana kalau istriku kusuruh meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga. Mungkin itu akan membantu?”

            “Kalau kau hanya menyuruh dia, kurasa dia takkan mau. Kalau bersama-sama denganmu mungkin dia mau. Semoga berhasil.”  Dino pamit pulang.

            Seminggu sudah aku dan Zelda ikut yoga di rumah seorang keturunan India. Setelah itu ia kusuruh ikut latihan sendiri. Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di rumah aku bisa main piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti sendiri, malas katanya.

            Habis makan malam aku naik ke lantai atas lalu kulagukan Love of My Life-nya Freddie Mercury dengan piano tuaku. Namun di pertengahan lagu, ”Bang, berisiiik...,” teriak Zelda tiba-tiba sambil mengeraskan suara TV. Wah, rupanya meditasi sebulan untuknya belum membawa hasil juga!

            Aku pun pasrah, ikut yoga, memberi pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia mampu menggunakan pikiran sehatnya dalam membebaskan dirinya dari belenggu rasa takut terhadap sebuah benda yang bernama piano ini juga tak berhasil. Bahkan kadang sambil marah ia berkata bahwa tak sedikit pun ia pernah merasa takut pada piano. Lalu cara terakhir yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu kesukaannya dulu, tampaknya juga tak memberi arti.

            Kini hampir sebulan sudah aku tak menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV berdua.

            “Bang, kenapa sekarang aku merasakan kelengangan di dalam rumah kita ini,” berkata Zelda yang membuat konsentrasiku menonton siaran berita jadi buyar.

            “Lengang? Berarti kau merasa sepi?” tanyaku.

            “Ya...,” sahutnya datar.

            “Kalau begitu, gimana kalau kau putar saja kaset lamamu itu?”

            Zelda cemberut, lalu melirik ke arahku.

            “Ya, sepi karena sudah tak ada lagi suara piano di rumah ini,” aku meneruskan tanpa memandang wajahnya. Tiba-tiba ia mencengkeram tanganku membuatku kaget. “Ada apa, Zelda?”

            “Nggak, aku cuma mengantuk,” katanya sambil menyipitkan matanya, lalu beranjak ke kamar. Beberapa waktu ini ia kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun kulihat ia sering bangun tengah malam dan salat tahajud.

            Pagi sekali saat aku baru membuka mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur. Tiba-tiba ia masuk kamar dan mengguncang bahuku. “Bang, apa benar kata Sumi kau telah menjual piano tuamu itu?”

            “Memang kenapa?”

            “Kenapa kau tak kompromi denganku dulu sebelum menjualnya?”

            “Lho, kan aku membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali kau minta aku menjual saja lemari ikan kering itu?”

            “Iya sih, tapi...”

            “Tapi apa?” Sekilas kulihat ia seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi lalu melangkah pelan ke luar kamar.

            Habis mandi kuhampiri Zelda yang duduk sendiri, termenung di ruang tamu.

            “Bang, aku sungguh tak mengerti,” ia berkata pelan.

            “Kenapa?”

            “Aku, aku kini merasakan suasana yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.”

            “O ya.”

            “Ya, Bang, kurasa ternyata rumah ini sekarang demikian sepi dan terasa hampa tanpa...”

            “Tanpa apa, Zelda?”

            Ia diam sejenak, lalu menggigit ujung kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan. “Mungkinkah itu karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah ini?” bisiknya dengan tatapan syahdu.

            Aku terdiam, seakan tak percaya pada pendengaranku sendiri. “Sungguh, Zelda?”

            “Ya... Aku tak mengerti kenapa sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.”

            Kupandang wajah istriku, berusaha menemukan apakah ada isyarat canda, namun yang kulihat hanyalah dua bola mata sendu yang memancarkan ketulusan.

            “Maafkan aku selama ini...”

            “Tak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah piano di sudut ruang tamu kita, gimana?”

            Zelda mengangguk sambil tersenyum. Aku tak tahu, apakah upaya terakhirku ataukah perpaduan dari ketiga cara yang pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan traumanya, atau ia sendiri yang telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh phobianya tanpa sepengetahuanku, entah dengan cara apa...

 Mtp, 071009 

                            

  EPISODE DURIAN

Nailiya Nikmah JKF

             Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.

            Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,

            aku yang lemah tanpamu

            aku yang rentan karena 

            cinta yang tlah hilang darimu

            yang mampu menyanjungku...[i]) 

            Durian... aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.

            Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan menjabat tangannya. “Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar,” ucapnya bersahabat.

            Nama yang singkat tetapi indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah. Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah, kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.

            Aku pun dengan lantang menyebut namaku. “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi teman-teman memanggilku Aman...,” candaku. Kulihat ia tersenyum dan subhanallah ada lekuk kecil di kedua pipinya.

            Kata Indah itu namanya lesung pipi. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.

            darimu kutemukan hidupku...[ii])

             Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut menanggapi permintaanku.

            “Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin,” komentar Abah.

            “Iya, Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas[iii]) itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran[iv]) yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas harga pasaran, Man,” sahut Mama.

            “Harga pasaran apa sih, Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.

            “Eh, si Kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar[v]), pokoknya sip,” sahut Indah. “Dia anak orang kaya, cantik, sholehah, pintar lagi,” sambungnya.

            “Oya? Tambah semangat nih,” tukasku.

            Semua kepala menggeleng.

            “Man, jangan menyupanakan[vi]) keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita?” usik Mama.

            “Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya ngaak memalukan deh...,” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.

            “Ada satu yang belum kamu miliki, Man...,” lirih Mama.

            “O,ya? Apa itu?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar melamar Iwar.

            “Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan sholehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh...,” jawab Mama.

            “Aman juga bisa ngaji kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaannya sebagus Iwar,” harapku.

            “Man... Abah dan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu... kita belum siap,” Abah menengahi.

            Aku tidak puas dengan jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengundangkan ayat-ayat suci.

            Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main. Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.

            Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya.

            Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.

            Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!

            Bila yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi panjang... demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku. Tapi, eit... tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang bermimpi?

            Indah seakan bisa membaca isi hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama. Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya kuat-kuat.

            Tapi tidak, aku tidak jadi melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.

            Maka Abah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini-itu. Yang ada hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.

            Bagiku...Kaulah cinta sejati[vii])

            Sampai tragedi itu terjadi... Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.

            Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali.

            Lagipula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.

            “Assalamu’alaikum, War... Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu...,” teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.

            “Alaikumsalam... Kak, bawa apa?” Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. “Kak Aman bawa... du... rian...?” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.

            “Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke dokter?” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.

            Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab, “Ah, tidak,  Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali.”

            “Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya?” sahutku lega.

            “Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan,” pamitnya buru-buru.

            “War! Tolong duriannya dibukakan, ya! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tidak tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.

            “War! Iwar!” agak kesal aku mencarinya.

            Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran[viii]) kami. “Kamu ngapain ke sini?” selidikku.

            “Maaf, Kak. Tadi Iwar agak pusing. Mau nyari angin segar.”

            Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar menjawab, “Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”

            “Durian, kenapa belum dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan.

            “Maaf, Kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya....” Agak takut ia menjawab.

            “Nanti kuajari. Ayo, ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!”

            “Tapi... Iwar tidak suka durian...” Kalimat itu seperti bantahan bagiku.

            “Kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya,” godaku.

            “Tapi Iwar benar-benar tidak suka,” ucapnya lagi.

            “Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur,” aku nyaris kehilangan makna sabar.

            “Iwar tidak bisa... Maaf...,” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.

            “Mau kamu apa sih?! Sudah berani membantah? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang dibelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya, kan! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa membelikanmu durian,  bukan permata. Maaf,” teriakku lantang.

            “Iwar tidak bermaksud seperti itu, Kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah. “Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian... Iwar...”

            “Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.

            “Iwar tidak tahan mencium baunya...,” ucapnya sesegukan.

            “O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan.

            Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar.

            Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.

            Hidup, durian!

            Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru men-delete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.

            Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.

            Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.

            Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah!

            Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.

            Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk kesekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.

            “Mau ke mana, War?” tanyaku lebih mirip memelas.

            Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya. “Selamat makan durian, Kak. Maaf, Iwar pergi dulu.”

            Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar masih bidadari yang manis. Supra Fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.

            Setelah Isya aku mendapat telepon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar. “Kak, Iwar nginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita aja. Makan malam sudah ada di meja. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.”

            Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik napas lega.

            Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.

            “Durian, Mas?” tanya pedagang durian.

            “Ya,” aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.

            “Mau?” Aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.

            “Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak,” ucapnya.

            “Ah, kamu bisa aja. Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.

            “Kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak,” ralatnya. Istri... bahagia...? Aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.

            “Mau ke mana, Pak?” tahannya.

            “Pulang! Sisanya kamu habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.

***

            Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,

            Kak, maafkan semua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci Supra Fit Iwar titip di tetangga depan.

             Ah, Iwar, tak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.

            Mengingat senyum Iwar membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.

            Besok Mama mengadakan acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak bernyawa di Rumah Sakit Islam.

            Maafkan aku, durian... Sejak kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai Supra Fit atau sepeda motor apa pun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan Supra Fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku.

            Aku semakin mempercepat laju sepeda. Kepalaku pusing, aku tidak tahan lagi, aku ingin muntah...

            Bila yang tertulis untukku adalah

            yang terbaik untukmu

            Kan kujadikan kau kenangan yang

            terindah dalam hidupku

            Namun takkan mudah bagiku

            meninggalkan jejak hidupmu

            Yang tlah terukir abadi sebagai

            kenangan yang terindah...[ix])

 

 

[1]) Korrie Layun Rampan, Kalimantan Dalam Sastra Indonesia, makalah, disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 14-16 Desember 2007

 

[i] ) lirik lagu Kenangan Terindah/Samsons.

[ii] ) ibid

[iii] ) cantik

[iv] ) mahar

[v] ) tidak ada keburukan/cacat

[vi] ) mempermalukan

[vii] ) ibid

[viii] ) teras

[ix] ) ibid

 

PASAR ITU MILIK IBUKU

Rismiyana

             Aku senang bermain menyusun bawang merah yang tercecer dengan Anto di pasar, saat kurasakan sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua tanganku. Hari masih sangat pagi. Aku baru bangun, dan mataku terasa sangat malas karena sisa kantuk yang masih menggantung. Dengan malas kubuka kelopak mataku yang terasa berat.

            “Wan, mandi. Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia berusaha membantuku berdiri.

            “Hari ini Jumat, Bu, masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa agak siangan...” Tapi ibu seperti tidak mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.

            Setelah menyiram badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat jam 07.15 pagi.

            Aku benar-benar tidak menyukai keadaan ini. Seharusnya sepeda motor bapak tidak dijual.

            Mengapa sepeda motor bapak dijual? Padahal selain dapat digunakan untuk mengantar dan menjemputku sekolah, sepeda motor itu digunakan oleh bapak untuk mengojek. Bapak kan tukang ojek. Kalau sepeda motornya dijual terus bagaimana bapak bisa mengojek?

            Ya... seharusnya bapak tidak menjual sepeda motornya. Kalau sepeda motor itu ada aku tidak harus berangkat begitu pagi seperti ini. Aku juga tidak harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke sekolahku karena bapaklah yang akan mengantar dan menjemputku.

 ***

             Siang ini panas sekali. Walau sudah memasuki bulan September, hujan belum juga turun. Terik matahari siang ini sama seperti kemarin. Tenggorokanku terasa kering. Lututku ngilu. Aku masih belum terbiasa berjalan jauh seperti ini.

            Di depan pintu rumah kulihat dua pasang sepatu bagus berjejer rapi. Siapa yang bertamu ke rumah? Pasti teman sekolah Kak Irni.

            “Jadinya bagaimana, Ir? Kamu datang atau tidak di acara perpisahan kelulusan SMU kita?”

            “Belum tahu, aku masih belum punya uang untuk menyewa baju adat buat perpisahan.”

            “Itu bisa kita siasati. Kita bisa ngumpulin duit buat kamu.”

            “Ya, Ir, kita bisa mengumpulkannya untuk kamu.”

            Dugaanku tepat, dua orang anak perempuan itu adalah teman sekolah Kak Irni. Aku mengucap salam lalu bergegas melewati mereka, langsung ke loteng.

            Rumah kami terdiri dari tiga bagian. Ruangan bawah hanya cukup untuk dua sofa tua yang berlobang di sana-sini yang sekarang menjadi tempat Kak Irni menerima tamunya, selebihnya didereti meja dan rak tua lapuk tempat peralatan memasak. Dan terakhir loteng, tempat kami bersama-sama nonton TV, tempat rak-rak pakaian, dan tempat bagi kami untuk beristirahat tidur.

            Setelah teman-temannya pulang, Kak Irni naik ke loteng.

            “Kak, kenapa sepeda motor Bapak dijual. Wawan capek jalan kaki ke sekolah.” keluhku padanya.

            “Wan, sepeda motor Bapak dijual digunakan untuk beli beras dan modal Ibu jualan.”

            “Jualan? Jadi, Kak, ibu akan jualan lagi?”

            “Ya.”

            Perkataan Kak Irni bahwa ibu akan jualan lagi membuatku merasa senang. Ibu akan jualan lagi! Hore...! Itu artinya, aku bisa ketemu Anto lagi. Kami bisa bermain-main bersama lagi. Aku juga bisa bertemu Budi anak penjual beras yang warungnya ada di pojok kanan pasar, bertemu Ima anak penjual sayur yang warungnya dekatan dengan warung mamanya Anto, dan aku juga bisa bertemu dan bermain dengan yang lainnya!

            Ibu memang sudah lama tidak jualan. Sudah tiga bulan. Kata ibu, warung tempat Ibu jualan akan diperbaiki. Bahkan bukan hanya warung milik ibu, tapi seluruh pasar.

            Nanti, kalau sudah diperbaiki, pasar tempat ibu jualan akan menjadi pasar yang bagus dan megah. Menurut ibu, sebutannya bukan lagi Pasar Banjarmasin, tapi Sentra Banjarmasin. Tempat itu katanya kelak akan menjadi tempat orang-orang berjualan terbesar di Kalimantan!

            Membayangkan semua itu aku tidak dapat menahan senyumku. Sebenarnya dengan keadaan pasar yang dulu bagiku tidak masalah. Karena, asal bisa melihat ibu berjualan dengan tenang dan bisa bermain bersama-sama Anto, Budi dan Ima, itu semua sudah membuatku senang. Tapi, bila tempat ibu berjualan menjadi lebih bagus dan tempat kami bermain menjadi lebih luas, tentu itu akan jauh lebih menyenangkan bukan.

            Tapi, tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku. “Kak, berarti pasar tempat ibu jualan sudah selesai diperbaiki, ya?” kataku pada Kak Irni yang sedang melipat pakaian.

            “Belum,” sahut Kak Irni.

            Jawaban itu membuatku bingung.

            “Terus, ibu jualan di mana?”

            “Di pinggir jalan pakai gerobak.”

            Mendengar jawaban Kak Irni kegembiraanku tiba-tiba hilang. Aku menjadi ketakutan.

            “Kak, kalau ada razia, gimana? Kan jualan di pinggir jalan dilarang. Aku pernah melihat petugas-petugas berseragam mengambili gerobak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan raya. Nanti gerobak jualan ibu bisa diambil oleh mereka.”

            “Ibu jualannya jam 4 sampai malam. Jadi tidak akan kena razia.”

            Perasaanku sekarang tidak tenang. Aku ingin sekali perbaikan pasar tempat ibu jualan dulu segera selesai. Aku ingin melihat ibu jualan di pasar pagi dan siang hari, bukan di gerobak pinggir jalan malam-malam. Aku juga ingin bertemu dan bermain dengan Anto dan yang lain...

 ***

             Sudah dua bulan ibu berjualan di pinggir jalan. Sekarang, musim hujan telah tiba. Aku tidak menyangka, berubahnya keadaan membuatku tidak lagi menyukai hujan. Aku benci hujan!

            Dulu aku menyukai hujan. Setiap hujan tiba, dan baru berbentuk gerimis, aku, Anto, Budi dan Ima akan berloncatan ke tepi pasar. Di sana kami melihat ke langit, berharap hujan dengan tetes-tetes air besar jatuh. Biasanya bila hujan lebat itu turun kami akan bergegas ke tanah lapang di dekat masjid untuk bermain bola. Atau kami juga bisa membuat sungai-sungai di atas tanah berpasir di belakang pasar.

            Tapi sekarang... hujan selalu membuatku sedih.

            Dua minggu lalu aku melihat wajah ibu sangat khawatir. Saat itu mendung, dan ibu akan berjualan di pinggir jalan dengan gerobaknya. Wajah ibu berubah muram dan sedih saat hujan benar-benar turun deras. Ibu menunda berjualan, menunggu hujan reda. Kata ibu, kalau hujan seperti itu, pembeli hampir tidak ada. Selain itu dagangan ibu akan basah. Aku telah tidur saat ibu berangkat, dan baru terjaga saat ibu dan bapak pulang, waktu itu malam sudah larut sekali.

            Sejak itu, aku tahu hujan sore hari atau menjelang malam akan membuat ibu susah.

            Selain itu, hujan yang turun pagi-pagi membuatku khawatir. Bapak tidak bisa mengantarku lagi. Aku tetap harus berjalan kaki ke sekolah walaupun hujan. Sepatuku dan seragamku selalu lembab dan kotor terkena percikan hujan. Padahal aku sudah memakai payung.

            Dan kalau hujan turun siang-siang seperti sekarang ini, aku juga sedih. Aku kangen teman-teman. Sekarang, bila hujan seperti sekarang ini, aku hanya memandanginya saja. Tidak ada Anto, Budi dan Ima yang mengajakku bermain. Mereka sekarang di mana, ya? Apakah ibu dan bapak mereka juga jualan di gerobak seperti Ibuku?

            Aku tahu, manusia tidak boleh membenci hujan. Hujan adalah ciptaan Allah. Dengan hujan, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi minum hewan, mengairi sungai-sungai. Manusia juga perlu air untuk keperluan hidupnya. Lagipula, membenci hujan sama saja membenci ketentuan Allah.

            Ya, Allah, semoga hujan turun pada saat ibuku tidak jualan, tidak saat aku sedang berangkat ke sekolah, dan tidak siang-siang saat ingatan pada teman-teman membuatku menangis. Hujankan saja saat aku dan orang-orang sedang terlelap beristirahat...

 **

             Hujan masih berbentuk gerimis saat angkot yang kami tumpangi sampai di GOR. Hari ini, kami anak kelas V belajar berenang. Karena di sekolah tidak ada kolam renang, aku dan teman-teman diajak Pak Guru ke GOR.

            Tapi, tunggu dulu! Rasanya aku mengenal jalan yang kami lewati tadi. Yah! Sekarang aku dapat mengingat dengan jelas. Letak GOR itu tidak jauh dari pasar, tempat ibu jualan dulu. Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku ingin memastikan apakah tempat itu sudah hampir selesai? Aku ingin sekali ibu kembali jualan di situ.

            Diam-diam, saat Pak Guru dan teman-teman sibuk berenang, aku pergi menjauh ke luar GOR. Aku tahu,  pasar tempat ibu jualan dulu hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Dengan setengah berlari, bergegas aku ke sana.

            Lama kelamaan jalan yang kulalui mulai macet. Aku membayangkan, mungkin itu akibat proses perbaikan pasar. Untuk memperbaiki pasar, pasti digunakan banyak pasir dan semen. Pastilah bahan bangunan itu yang membuat jalanan macet.

            Tapi dua ratus meter di depanku terbentang pemandangan yang membuatku kaget. Mungkinkah aku salah jalan? Jelas-jelas yang kulihat di depanku sekarang bukanlah pasar yang sedang diperbaiki.

            Di hadapanku sekarang adalah halaman parkir yang luas dan bangunan besar dan megah. Ada banyak toko dan orang-orang hilir-mudik di sana.

            Cepat-cepat aku memutar langkahku. Aku harus kembali ke GOR! Aku ingin cepat pulang dan memberitahu ibu. Ibu pasti senang kalau tahu tempatnya jualan dulu kini telah selesai diperbaiki.

 ***

             Di rumah aku tidak menemukan ibu. Kata Kak Irni, ibu sudah pergi jualan. Memang sudah seminggu ini ibu jualan agak siang. Keluarga kami perlu uang untuk bayar uang biaya rumah sakit bapak. Dua minggu lalu bapak masuk rumah sakit. Kata dokter, bapak kena TBC. Uang sekolahku juga sudah 4 bulan belum dibayar. Semoga ibu tidak kena razia, aku berdoa sambil memejamkan mataku.

            “Kak, tadi aku diajak Pak Guru berenang di GOR. Terus aku ke pasar tempat ibu jualan dulu. Ternyata, sekarang pasar itu sudah selesai diperbaiki.” Aku bercerita pada Kak Irni dengan bersemangat. Kak Irni pasti senang mendengar ceritaku.

            “Kalau itu kakak sudah tahu,” jawab Kak Irni. Dan aku kaget sekali mendengarnya.

            “Terus kenapa kakak tidak memberitahu ibu?”

            “Ibu juga sudah tahu.”

            “Kalau ibu tahu, kenapa ibu belum kembali berjualan di sana?”

            “Wan, ibu tidak bisa lagi berjualan di sana. Kalau ibu mau kembali berjualan di sana, ibu harus membayar puluhan juta ke pihak pengelola pasar. Ibu tidak memiliki uang sebanyak itu.”

            “Tapi kan warung di pasar itu dulu milik ibu. Mereka hanya memperbaikinya saja?”

            “Wan, peraturan pemerintah sudah menetapkan seperti itu.”

            Perkataan Kak Irni membuatku sedih. Kini aku tahu ibu tidak akan jualan di pasar lagi. Dan entah sampai kapan ibu akan jualan di pinggir jalan dengan gerobak. Aku juga tidak akan bertemu dan bermain dengan Anto, Budi dan Ima lagi.

            Ini semua sungguh tidak adil! Seingatku, dari dulu ibuku sudah berjualan di situ. Warung itu milik ibu. Tetapi, mengapa setelah pasar itu diperbaiki ibu tidak boleh berjulan lagi di situ.

            Aku harus ke kamar mandi. Di sana tidak ada yang akan melihat dan menggangguku. Aku bisa menangis di sana diam-diam dan lama.

 

 DONGENG KESETIAAN

Ratih Ayuningrum

            Ternyata memelihara kesetiaan adalah luka. Luka itu kini menganga. Sakit. Luka itu menggurat perjalanan malam yang selalu mengantar kita dengan dongeng indahnya. Sementara, kita tahu bahwa semuanya absurd. Kita selalu menimang bermil-mil jarak yang dipisahkan oleh lautan tanpa tepi. Namun, kita pun selalu membangun impian tentang kastil dan taman hijau yang luas. Setelah itu, kita pun terlelap dengan lagu nina bobo yang selalu kita bisikkan masing-masing di heningnya malam. Mata kita mengancing terkatup setelah seharian lelah mengumbar rayu dan puja yang abstrak.

            Kesetiaan itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun, walau teramat agung kita letakkan. Ia terlalu manis meski selalu mencipta ribuan anak sungai di tengah sepi yang menjerat ruang kita masing-masing.

 ***

             “Aku ingin melamarmu...”

            Suara bas di seberang sana mengalir manis lewat ponsel mungil yang berada di genggamanku. Bulan separuh. Ini adalah musim pertama perjalanan tentang janji kesetiaan.

            Aku tergelak sembari berusaha menyembunyikan bahagia yang perlahan mengalir menyusupi sanubari.

            “Oya? Ini mimpi, ya? Sebentar..., sebentar..., aku cubit tanganku dulu. Auw! Sakit. Wah, ternyata aku tidak berkhayal.”

            “Sedang apa kamu, Non?” Selalu saja dia memanggilku dengan sebutan Nona. Sebutan yang menerbangkan keakuanku sebagai seorang perempuan.

            “Sedang tes kesadaran,” ucapku setengah manja. “Ternyata aku tidak bermimpi.”

            Sekarang gantian dia yang tergelak mendengar ucapanku. Aku mengulum senyum mendengar tawa khas miliknya yang berderai di telingaku. Terasa sosoknya saat ini tengah tergelak di sampingku meski sekarang kami dipisahkan oleh ribuan jarak dan samudera yang luas.

            “Kamu lucu, Non. Benar-benar lucu. Membuatku geregetan. Aku jadi ingin benar-benar melamarmu.”

            “Kapan? Dengan apa?”

            “Dengan sebuah senja.”

            “Gombal!”

            Dia pun kembali tergelak.

            “Non, adat di sana seperti apa, sih? Apa pihak laki-laki perlu memberi sesuatu kepada pihak perempuan sebelum pernikahan dilangsungkan?”

            “Kalau di sana adatnya seperti apa?”

            “Si Nona kok balik bertanya, sih?”

            “Hehehe, di sini sebelum pernikahan biasanya diadakan acara meantar jujuran.”

            “Meantar... apa?”

            “Jujuran. Pihak laki-laki biasanya memberikan sejumlah nominal uang kepada pihak perempuan sebelum pernikahan. Uang itu yang nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan.”

            “Biasanya besar uang itu berapa, Non?”

            “Tergantung, Mas. Tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya pihak laki-laki mengajukan angka sepuluh juta rupiah dan pihak perempuan menyetujuinya, maka dicapailah kesepakatan jumlah yang akan diberikan.”

            “Hah! Sepuluh juta, Non?! Mahal sekali. Aduh, bilang sama orangtua kamu jangan mahal-mahal ‘menaruh harga’ kamu.”

            “Ya, itu kan cuma contoh, Mas. Lagipula kalau menggunakan adat Banjar, jumlah sebesar itu masih sedikit karena murni hanya uang jujuran itu yang digunakan untuk biaya pernikahan. Pihak laki-laki tidak perlu menambah biaya untuk penyelenggaraan pernikahan karena uang jujuran itulah yang dipakai. Jadi, seandainya ada kekurangan biaya, pihak perempuan yang akan menambah kekurangan itu.”

            Terdengar nada “oooo” panjang dari ponsel di seberang.

            “Kalau begitu pakai adat aku saja. Kalau adat Jawa kan semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak laki-laki. Kamu tinggal terima beresnya saja.”

            “Ya terserahlah, Mas. Memang kita nikahnya mau besok, ya? Kok jadi ngomongin masalah pernikahan.”

            Dia terkekeh.

            “Ya setidaknya kita kan punya niat untuk membicarakan hal itu. Aku kan perlu tahu dulu kebiasaan masyarakat sana seperti apa. Eh, ternyata begitu tho’ kalau mau menikahi gadis Banjar. Harus memberi uang dulu. Tapi, Non, kesannya seperti orangtua kamu mau ‘jual’ anak gadisnya sama aku dengan menaruh harga yang terlalu tinggi.”

            “Hust, memangnya aku apaan?”

            “Ya, sudah. Tuh penjaga malam sudah memukul loncengnya duabelas kali, di sini sih baru sebelas. Tidur sana. Nanti besok tidak bisa bangun buat kerja.”

            Klik. Telepon pun dimatikan setelah janji kesetiaan dirangkai. Serta dongeng dibingkis dan dikemas dengan teknik penceritaan narator ulung. Setelah itu kembali sepi beradu dengan suara jangkrik yang membelah malam.

 ***

             “Emailmu sudah kubaca tadi siang...”

            Malam hening. Terdengar suara setengah berbisik mencoba memecah kebekuan malam. Mengalir lewat benda mungil bernama ponsel. Langit cerah. Jutaan bintang berpendar di sana, seperti pendar yang berbinar pada lukisan jiwa.

            “Oya? Lalu?”

            “Suka bunga lily? Gambar yang dikirim bagus, tapi kenapa harus lily?”

            “Karena aku menyukai orang yang kupanggil Lily.”

            Aku tersenyum. Sewaktu-waktu dia memang suka memanggilku dengan berbagai macam sebutan. Hari ini Nona, besok Gadis, besok Dinda, dan terkadang juga Lily. Sebuah nama yang diambil dari nama bunga bakung kecil yang indah, lily. Semuanya mencipta sebuah romansa yang terlalu sulit untuk dijabarkan. 

            “Mas, di sana sedang musim apa? Kalau di sini tiap hari hujan, jadi susah kalau keluar rumah. Tapi, aku suka memandangi hujan-hujan itu. Bagiku hujan yang luruh dari langit adalah sebuah nuansa yang sangat indah dan romantis.”

            “Di sini sedang musim apel.”

            “Yah... di sana kan memang gudangnya apel. Mas ini bagaimana sih?”

            Wajahku berkerut mendengar jawaban asal yang meluncur dari mulutnya. Cemberut. Sebuah ekspresi yang tak mungkin tercatat dalam benaknya karena kini kami hanya bisa saling beradu suara. Mengalir melalui udara yang berembus. Selebihnya, kesunyian terlalu cepat menyergap. Selebihnya lagi imajinasi lebih berperan menciptakan adegan-adegan khayal yang penuh rekayasa.

            “Aku senang ngusilin kamu. Kamu pasti akan lebih cerewet kalau digoda seperti itu. Aku senang mendengar ucapan yang keluar dari mulut kamu. Seperti boneka yang baterainya masih baru. Oya, kapan mau online lagi? Besok, ya. Sudah lama nggak chatting sama kamu.”

            Aku mengangguk, namun kesadaran cepat menyergap. Tak ada gerak fisik yang bisa saling kami pahami. Percintaan ini bukanlah percintaan rupa. Segera kujawab iya.

            “Bunyi apa itu, Ly?”

            Sebuah bunyi panjang menyelinap pada udara yang menghantarkan  suara kami. Itu bunyi tanda kapal baru saja berangkat.

            “Bunyi kapal mau berangkat.”

            “Kapal? Rumah kamu dekat pelabuhan? Kok ada bunyi kapal?”

            Aku tersenyum. Sebuah isyarat yang hanya bisa ditangkap oleh ekor mataku pada bayangan yang terpantul di cermin tepat di depan tempat tidurku.

            “Bukan. Rumah aku dekat laut. Jadi, seandainya ada kapal yang lewat dan mengeluarkan bunyi, maka angin membawa bunyi itu serta hingga ke tempatku. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi bunyi itu diterbangkan angin.”

            “Wah, asyik ya, Ly,” ujarnya seperti anak kecil. Aku membayangkan binar sorot matanya saat berkata seperti itu. Sebuah momen yang sudah lama sekali ingin kunikmati.

            “Iya. Rumahku dekat dengan hutan bakau. Kalau pagi hari di sini banyak burung yang berkicau. Suasananya selalu membuat hati rindu untuk kembali lagi.”

            “Sepertinya tempat kamu itu indah sekali. Di mana sih tepatnya tempat tinggal kamu, Non?”

            “Di Kotabaru. Salah satu kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan. Kotabaru sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan juga pegunungan. Indah sekali daerahnya. Kamu pasti betah kalau tinggal di sini.”

            “Wah, kamu promosi, ya? Supaya aku cepat-cepat datang dan menjemput kamu.”

            “Tidak juga. Tapi, kalau kamu berniat seperti itu, ya tentu aku akan senang sekali.”

            “Ly, malam semakin merambat naik. Kamu pasti capek. Sekarang istirahat, ya.”

            Aku menuruti kata-katanya. Malam ini kembali dongeng dilafalkan. Kesetiaan yang diagungkan. Absurd.

 ***

             Semuanya berawal dari suatu kebetulan yang tak pernah tertulis pada skenario manapun.

            Hari itu, aku berniat mengirimkan tulisan kepada seorang teman lewat email. Sembari menunggu proses loading, ku-klik menu enter pada chat room. Hanya iseng.

            Tiba-tiba muncul di layar sebuah id yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sedikit basa-basi mengisi kekosongan waktu, kujawab saja setiap pertanyaan yang terlontar dari “orang asing” tadi.

            “Asl pls.”

            “Bjm f 21, u?”

            “Mlg m 21.”

            Bla...bla...bla..., perbincangan pun berlanjut dengan saling menukar nomor ponsel dan bertukar foto. Sebuah hal yang lazim kulakukan dengan teman alam mayaku yang lain. Dan setelah itu aku hanya menganggap semuanya angin lalu semata.

***

            “Bulan kita sama, Nona. Memiliki harapan dengan terangnya. Menyiram pekatnya malam agar memiliki keindahan. Bulan di kotamu sesempurna wujud bulan di kotaku dan kini kupandang bulan itu di bayang wajahmu...”

            Aku tersenyum. Sebuah email darinya hari ini. Selalu, setiap hari ada saja email darinya yang masuk inbox-ku.

            “Samudera kita terlalu luas untuk ditapaki dengan jejak langkah kita. Namun, tak ada yang tak nyata pada jarak kita karena semuanya telah lebur menjadi satu. Aku, kamu, sebuah kesatuan yang agung dalam janji dan kepercayaan yang dalam...

            Ku-klik item send. Balasan email untuknya. “Kapan kita bisa bertemu?” Hal itulah yang selalu mengusik relungku. Sebuah pertanyaan yang selalu saja dijawab dengan berjuta alasan abstrak. “Aku capek dengan hubungan seperti ini. Aku ingin mewujudkan mimpi yang selalu saja menjadi bunga tidurku....”

            Semusim telah berlalu. Janji kesetiaan itu tetap utuh tanpa cela. Walau absurd. Janji untuk saling percaya meski hanya dunia maya yang menjadi jembatan bagi kami. Namun, entah kekuatan bernama apa yang sanggup membuat aku bertahan dengan hubungan penuh keserbatidakjelasan seperti ini. Percintaan ini mungkin bukan percintaan rupa, namun jiwa yang lebih memanggil untuk mengikatnya pada janji kesetiaan.

            “Entahlah...,” terdengar nafas dihela, berat. “Sabar ya, Non. Aku belum bisa menjemputmu sekarang. Maafkan aku atas ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Waktu mungkin bisa menghancurkan semuanya. Namun aku berharap perasaan kita tidak akan pernah hancur hanya karena waktu.”

            Sekarang gantian aku yang menghela nafas berat. Selalu seperti ini ketika aku menagih janjinya untuk menjemputku. Janji itu selalu dimentahkan oleh alasan-alasan klise yang terkadang di luar nalarku dan tak dapat kucerna. Namun, entah kenapa aku selalu saja berhasil dibuat percaya. Mungkin saja aku telah mabuk oleh biusan kata-kata manis yang dia bisikkan melalui ponsel mungilku. Entahlah.

 ***

             Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan hingga purnama keenam tidak pernah ada lagi email yang masuk ke inbox-ku. Semenjak pertanyaanku silam, nada dering hp-ku pun seolah enggan berbunyi. Tak ada telepon, tak ada sms. Semua nomor yang dia miliki selalu dijawab oleh suara dari operator. “Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan...,  atau “...telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif... Upf! Aku kesal. Menghilang kemana dia? Kubanting ponsel-ku ke sudut kamar. Untunglah benda mungil itu cukup kuat menerima perlakuanku sehingga masih tetap utuh dengan jasadnya.

            Tak ada hal yang bisa kulakukan. Menangis mungkin bukan pilihan tepat. Namun, hati wanita terlampau tipis hingga mudah mengeluarkan airmata. Ada rindu yang memuncak dan ingin kulabuhkan segera. Rindu ini tak mampu berdamai dengan jiwaku yang merintih perih. Apakah rindu selalu sembilu seperti ini?

            Kuputuskan untuk mengarungi perjalanan ini. Perjalanan panjang menemukan jejak rindu dan kesetiaan yang terlampau diagungkan. Pagi masih basah oleh embun, bermodalkan keberanian kutinggalkan jejak kotaku untuk menemukan jejaknya di Kota Apel yang dingin. Perjalanan ini benar-benar kurasakan sangat lama. Delapan jam waktu kuhabiskan dari kotaku menuju Bandara Syamsuddin Noor di Landasan Ulin Banjarbaru.

Kemudian, pesawat yang membawaku terbang ke Surabaya kurasakan bergerak sangat lambat. Waktu empat puluh lima menit bagiku berputar terlalu lambat. Tiba di Surabaya, Kota Pahlawan tersebut, aku pun menumpang bis menuju tempat labuhan rinduku di Kota Apel. Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya rindu yang teramat dalam ingin bertemu dengan separuh jiwanya yang lain.

            Perjalanan dua jam dari Surabaya kulalui dengan hati yang berdebar. Tak sabar rasanya aku ingin segera menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya bisa kami angankan menjadi rumah bagi kami kelak.

            Sesampainya di Terminal Arjosari, Malang, aku dijemput oleh Sha, teman SMA-ku dulu yang sekarang kuliah di Kota Apel tersebut. Kuhirup bau kota ini dalam. Akh, sekarang aku telah berada di kota ini dan akan segera menelusuri perjalanan rinduku akan janji kesetiaan.

            “Daerah mana, Na?”

            “Mergosono,  Kedung Kandang...,” jawabku singkat.

            “Nanti aku temani kamu ke sana, tapi sekarang kita ke kostku dulu. Kamu harus istirahat dulu. Perjalanan yang kamu tempuh sangat jauh. Pasti kamu kelelahan.”

            “Sha, aku sudah tidak sabar lagi. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku?”

            “Aku mengerti, Na. Kamu ikuti saranku saja. Kamu punya alamatnya, kan? Nanti aku akan bantu kamu mencarinya.”

            “Ada. Alamatnya masih kusimpan ketika dia dulu memberikannya saat aku mengirimkan paket ulang tahun padanya.”

 ***

             Petang di Kota Apel. Udara menggigit ruas kulit. Kurapatkan jaketku. Aku tidak terbiasa dengan udara sedingin ini. Di kotaku matahari kadang bersinar terlalu garang.

            Kutelusuri lekuk kota ini dengan asa yang menggunung. Harapan untuk menautkan asa yang selama ini telah berani menyusup di jiwa.

            Perjalanan ini memang melelahkan. Namun, aku tidak ingin membiarkan jiwaku lelah lebih dulu menggantungkan rindu itu di kotaku.

            Hatiku semakin berdegup kencang ketika langkah kaki kami menemukan rumah yang dimaksud. Pasti aku tidak salah. Nomor rumah mungil di depanku ini persis dengan alamat yang diberikannya. Kuberanikan untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegup bagai irama drumband yang biasa aku lihat pas perayaan hari kemerdekaan.

            Terdengar suara langkah mendekat. Seraut wajah muncul di balik daun pintu. Mulutku terbuka ingin menyapa dan memberinya kejutan. Tapi, aku tercekat. Keadaan berbalik seolah menampar kesadaranku ke sebuah ruang hitam. Sosok di depanku, seorang sosok laki-laki yang kukenal, tapi, ah, tidak! Dia tidak pantas kusebut laki-laki, tapi tidak pantas juga kusebut sebagai seorang perempuan.

            “Non...,” desisnya dengan suara tertahan. Suara itu, suara yang selama ini kurindukan. Ternyata dia? Pantas saja dia selalu menghindar setiap kali aku meminta dia memenuhi janji kesetiaannya. Jadi, ini alasannya kenapa dia selalu mengelak dengan menciptakan bermacam alasan. Ternyata dia memiliki sisi feminin yang sama denganku. Apakah ini lelucon?

            Aku berbalik. Ingin berlari meninggalkannya. Namun, tangannya terlalu kokoh menahanku. Tak ada guna aku meronta karena bagaimanapun juga tenaganya jauh lebih kuat dariku.

            “Dengarkan penjelasanku dulu!”

            Aku tak mampu mengeluarkan suara. Tenggorokanku rasanya tercekik. Lidahku kaku. Aku tidak percaya kenyataan yang tengah kuhadapi.

            “Non, maafkan aku. Aku berbohong padamu. Tapi, inilah aku. Jiwaku sakit. Semuanya menolakku. Lingkungan menolakku. Aku merasa terbuang dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salah, aku sudah berusaha untuk berubah. Aku tidak betah dengan jiwaku yang sakit. Terperangkap dalam tubuh yang kau pun tidak ingin hal ini terjadi padamu.”

            “Kenapa tidak kau jelaskan dari awal?”

            “Memilikimu adalah suatu keindahan. Mengenalmu aku merasakan sebuah penerimaan yang tulus. Aku terlalu takut kehilanganmu walau aku tahu suatu hari hal itu pasti terjadi. Maafkan aku, Non. Mungkin aku telah menipumu. Kamu berhak pergi dariku. Belajar mencintaimu adalah hal paling indah yang pernah terjadi di hidupku meski aku tahu itu sulit....”

            Senja itu airmata luruh di tengah sobekan-sobekan janji kesetiaan yang tak berwujud lagi.

 ***

            Pesawat terakhir yang membawaku baru saja berangkat. Kutinggalkan luka dan janji kesetiaan. Di Kota Apel yang dingin kutinggalkan jejakku. Kubawa senyumku serta. Sebait doa kukutip agar jiwanya yang sakit dapat menemukan sebuah rumah teduh yang di sana semuanya menerimanya. Bila saat itu tiba, tentu dia telah menemukan jiwa dan dirinya yang sesungguhnya.

            Kupejamkan mata sembari menahan airmata yang berebut ingin luruh. Janji kesetiaan itu absurd. Kesetiaan itu adalah luka. Luka itu menganga. Sakit.

            Semuanya kuleburkan bersama deru roda pesawat yang perlahan naik membumbung ke angkasa. Abunya kutabur di batas jarak samudera yang kembali memisahkan ruang kami, kini perpisahan yang nyata. Dongeng tentang janji kesetiaan berakhir sudah.

Banjarmasin, Juni 2006

 

SEBUAH MATA, SEJUTA SESAL 

Syafiqatul Machmudah

                Mata itu menerorku terus menerus. Entahlah, aku tak tahu di mana kesalahanku hingga mata itu selalu menganggapku musuh bebuyutannya. Aku sudah terlalu lelah untuk lari dan berlari, sepertinya kekuatanku untuk melangkah sudah berada pada titik nol.

            Yah, terlalu lama rasanya jika aku terus-terusan menghindar dengan cara seperti ini. Aku takut ketika mata itu terus saja memelototiku, mata merah yang selalu merah seperti haus dengan darahku. Saat ini pun mata itu terus saja membuntutiku seperti bayangan. Tidak siang, tidak malam, terus saja tanpa lelah seperti menggerogoti setiap persendianku, menjadikan aku lemah tanpa tenaga dan hanya bisa berlari sejauh-jauhnya untuk menghindarinya.

            Mata itu mengejarku, menjadikanku seperti buronan, mengejar-ngejarku dengan nyala marahnya. Sungguh aku tak tahu apa yang telah aku lakukan sampai mata itu terus saja memburuku. Saat ini aku telah merasa berlari sampai jarak yang telah jauh dengan mata itu. Napasku tak karuan, denyut nadiku tak teratur, seperti dentuman musik rock, mencekikku dan menahan pernapasanku, tapi langkahku tak jua kuhentikan.

            Langkah ini terus saja berlari, berlari dan berlari, walau dalam keadaan yang sangat lemah sekalipun. Rasa haus dan lapar yang mendera begitu hebat tak jua kuhiraukan, aku seperti tubuh kosong yang hanya punya rasa takut. Aku tak tahu rasa takut yang seperti apa itu, perasaan yang selalu ingin menjauh dari mata itu, perasaan yang ingin menghindar.

            Rasa takut yang menekanku begitu dahsyat, yang apabila aku pikirkan bisa membuat jiwaku perih, teriris-iris tak karuan, luka yang pedih. Entahlah, takut yang seperti apa itu? Perasaan yang selalu menghipnotisku untuk selalu merasa bersalah, tak membiarkanku tersenyum sedikit pun. Perasaan yang selalu ingin menendangku, ingin mengeluarkan darahku, ingin memotong-motong setiap bagian tubuhku... Ya, takut yang seperti apa itu?

            Mata itu, entahlah, sudah sejak kapan begitu kuat menatapku. Hidupku yang semula berjalan teratur, hancur dibuatnya. Cinta, kesedihan dan amarahku berantakan tak karuan. Kosong, jiwaku yang kini telah kosong, hanya mengelana, berjalan dan berlari untuk menghindarinya. Aku telah teramat takut.

            Mata itu telah begitu lama rasanya tak jua mau berhenti dan berteman denganku, teman. Kapan aku mulai bisa memikirkan untuk berdamai saja dengan mata itu! Atau aku sudah gila dan tidak waras lagi sehingga menganggap mata itu mau berdamai dan mengakhiri semua ini. Tak mungkin...Ya, tak akan pernah mungkin. Memikirkannya saja telah membuat bulu tengkukku bergidik. Tapi di mana kesalahanku?

            Langkahku terus saja berlari, meninggalkan jejak-jejak malam yang tak kukehendaki. Seluruh tubuhku telah basah dibanjiri oleh keringat, keringat dingin yang tak meninggalkan apa pun, hanya bau yang kurang enak dan basah yang tak karuan. Kakiku terus saja melangkah, melalui gelap, tanah, kubangan, lumpur, rumput liar, batu, ya...

            Semua terlewat begitu saja, tak ada yang berharga sedikit pun, yang tersisa hanya bekas luka, goresan yang perih dan kalut yang entah keberapa jumlahnya. Langit masih saja keruh, bulan tak jua nampak, bintang hanya tersisa begitu kecilnya. Tapi aku sama sekali tak berharap apa pun pada semua itu, karena kuyakin tak ada yang bisa menolongku, untuk terlepas dari mata itu. Bahkan semua orang yang kulalui, semua jenis wajah yang terlalui, semuanya, tak ada yang bisa menolongku, tak ada yang bisa membantuku.

            Aku hanya bisa berlari, menjauh dan berusaha bersembunyi dari mata itu, tapi sampai sekarang tak jua aku temukan persembunyian yang aman. Semua sudut telah aku lewati, tapi tak satu pun yang bisa luput dari mata itu.

            Saat ini, tanpa aku sadari mata itu telah tepat berada di depanku. Kaget yang luar biasa, aku panik, tak tahu harus kemana lagi. Angin yang berhembus perlahan berubah garang, bak angin topan yang tak sopan, seperti mencabik tubuhku. Aku mencoba menghindar, berlari ke arah hutan di seberang tempatku berdiri.

            Kulihat mata nanar merah menatap setiap sudut, menjelajahi bagian per bagian hutan tempatku bersembunyi, mencari sosokku. “Apa yang kau harapkan dari aku...?!” Aku berteriak tak karuan, tapi sia-sia, suaraku tenggelam oleh gemuruh angin.

            Mata itu semakin ganas, warna merahnya berubah menjadi sangat merah, merah darah. Yah... Setetes demi setetes darah itu mengalir. Mata itu seperti bergolak, biji matanya bergerak, berputar seperti angin puyuh. Mata itu sepertinya sudah mencium di mana keberadaanku. Sebentar saja ia telah menatap lurus ke arahku. Aku terkesiap, tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Tubuhku terasa kaku, seperti kehilangan tenaga untuk bergerak. Aku biarkan saja mata itu mendekatiku perlahan.

            Mata itu mulai berjalan ke arahku menyebarkan aroma darah yang amis. Kututup hidungku, tapi penciumanku seperti pernah mencium bau yang khas itu, entahlah, tapi di mana. Mata itu terus saja mendekatiku. Tubuhku terasa lunglai. Ingin rasanya aku pingsan dan tertelungkup agar mata itu mengira aku telah mati, setidaknya saat ini aku telah mulai berharap. Tapi tetaplah hal itu hanya harapan, karena tubuh ini seperti bukan milikku lagi, tak kuasa lagi untuk kuperintah. Semakin dekat, mata itu telah semakin dekat. Aku semakin terpojok. Seluruh inderaku seperti lumpuh.

            Akhirnya mata itu telah persis berada sejengkal dari tempatku berdiri. Ia memandangku, memandangku begitu kuat, tak bergerak, sepertinya tak mau melewatkanku sedetik pun.

            Darah itu pun semakin lama mengalir semakin banyak, jatuh membasahi bumi. Rasa takutku mulai memuncak. Tapi sungguh, tubuhku telah lumpuh total. Aku tak bisa berbicara, mendengar gemuruhnya, mencium baunya, tangan dan kakiku seperti dibelenggu. Jantungku seperti berhenti berdetak, tapi aku belum mati. Tubuh ini terasa ringan, melayang, dan sakit yang teramat. Mata itu menatapku. Tak ada belas kasihan, tak ada sedih tak ada bahagia, hanya terlihat pedih dan perih yang teramat. Mata itu mulai memandang setiap bagian tubuhku, meneliti satu per satu seperti mencari sesuatu, tapi aku tak tahu apa.

            Kemudian mata itu mengeluarkan cahaya yang entah berwarna apa, warna yang tak karuan, tapi cahaya itu begitu menyilaukan pandanganku. Hanya dengan hitungan detik cahaya itu telah memenuhi seluruh bagian hutan. Pepohonan yang hijau dalam gelap berubah bercahaya. Cahaya itu pun semakin menyilaukan dan menyebarkan aroma kamboja, wangi yang mengerikan. Bulu kudukku berdiri dengan teratur seperti merapat menutup setiap pori-pori tubuhku. Kunikmati saja cahaya itu, yah, mungkin ini kali terakhir aku bisa menikmati cahaya terang seperti itu.

            Cahaya itu semakin lama semakin terang, membentuk sebuah bayang menyerupai tubuh-tubuh manusia, semakin nampak, semakin terbentuk. Cahaya itu kini seperti layar. Entahlah, mata itu seperti ingin menunjukkan sesuatu. Manusia yang berlari kesana-kemari, barang-barang berserakan tak karuan, tubuh-tubuh yang hancur berkeping-keping, di mana? Kapan? Tubuhku yang sedari tadi terasa ringan kini berubah menjadi berat seperti menahan berton-ton batu. Kepalaku sakit yang teramat. Aku seperti pernah melihat semua itu, tapi di mana. Tolong! Tolong!

 ***

            23 Mei 1997

            Tepat hari Jumat. Jumat, yah, Jumat...

            “Die, kamu nda ngikut jalan, nih? Buruan gih, kita cabut. Asyik kan, rame-rame bareng!”

            Terdengar suara Roni begitu jelas di telingaku, mengejutkan tidurku yang indah. “Gila, jangan teriak-teriak, dong! Iya, iya, tungguin aku mandi dulu, yah!” sahutku sambil melemparkan bantal ke wajahnya. Hari itu kami memang sudah janjian untuk ikut kampanye, itung-itung tidak ada kerjaan di rumah.

            Aku segera masuk kamar mandi. Tak kuhiraukan lagi ocehan Roni yang tak karuan. Kubayangkan hari ini kami akan berada di jalan seharian. Yah, seharian teriak-teriak menghabiskan suara dengan tujuan yang tak jelas. Yah, cuma ikut nampang doanglah. Lagian, yang penting kan acara rame-ramenya itu.

            Setelah semua beres, aku, Roni dan beberapa orang pemuda yang tidak kukenal segera berangkat. Bendera-bendera partai dan segala aksesoris kampanye telah komplit kami siapkan, tapi, yah, tanpa tujuan. Hari ini kami sepakat memakai kaos warna kuning, seragam dengan segala warna aksesoris partai yang kami dukung untuk hari ini. Sekadar informasi, kami, aku dan Roni, memang setiap hari selalu berganti-ganti warna kaos di setiap kampanye. Maksudnya, sebenarnya tidak ada partai yang kami dukung dengan setia.

            Hari ini keadaan jalan terlihat sangat ramai. Banyak sekali orang yang antusias mengikuti kampanye, dari anak-anak sampai para manula turun ke jalan. Aku dan Roni begitu percaya dirinya bergaya di depan kap mobil yang telah kami hiasi. Sangat berbahaya, memang, tapi itulah; saat-saat seperti ini urusan keselamatan diri masuk nomor sepuluh, yang penting kami bisa rame-rame dan menikmati suasana hari ini.

            Saat ini kami berada di seputar Jalan Kayu Tangi (H. Hassan Basry). Kami berputar-putar mengelilingi daerah itu dengan berbagai gaya berani, yang akan membuat orang terperangah. Dari gaya berdiri di atas kap mobil dengan kedua tangan tidak berpegang pada apa pun, sampai berjoget mengiringi musik yang kami stel keras-keras. Saat itu jam menunjukkan pukul 12 siang. Matahari telah berada di atas kepala kami, tapi tak kami hiraukan sedikit pun. Aku pun telah melupakan kegiatan rutinitas jumatan (sholat Jumat) yang sering aku lakukan.

            “Kamu nggak sholat Jumat, Die?”

            “Males. Lagian, lagi rame gini, Ron. Apalagi, katanya subsidi buat kita besar, nih, he-he...”

            “Aku sih terserah kamu aja.”

            Kami meneruskan perjalanan ke jalan besar, arah tujuan kami tepatnya akan berhenti di depan salah satu plaza yang terbesar di kota kami (Mitra Plaza). Saat ini jumlah anggota kampanye yang bersama kami sekitar 200-an orang. Semua anggota kampanye dari kelompok lain akan berkumpul tepat di depan plaza tersebut.

            Kami melewati setiap masjid dengan perasaan yang tidak bersalah sedikit pun. Kami pun tak segan berteriak-teriak di depan masjid di saat orang sedang mengikuti khotbah Jumat. Kulihat orang-orang menggeleng ketika kami lewat. Aku tahu bagaimana perasaan mereka, tapi itu memang mauku, yah. Aku menganggap diriku hebat karena berani untuk berontak dari kebiasaan seperti itu, berontak dari dogma-dogma ajaran ayahku yang sangat menyebalkan. Aku merasa bangga dengan hal ini.

            Saat ini kami telah berkumpul dengan anggota lengkap, yang lainnya mungkin akan menyusul beberapa jam lagi. Semua berkumpul seperti satu saudara. Saling bercengkerama satu sama lain dan memamerkan aksesoris yang didapatkan dan yang dimiliki saat ini.

            Di depan plaza kulihat orang sangat ramai, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka sepertinya dari daerah lain yang berkunjung ke Banjarmasin dan memanfaatkan momen ini. Anak-anak bermain dengan senangnya di salah satu ruang bermain yang memang dipersiapkan untuk mereka, sedangkan ibu mereka sibuk memilih barang-barang yang akan mereka beli dengan teliti.

            Aku dan Roni berjalan-jalan mengisi waktu untuk melihat-lihat baju di lantai dua plaza tersebut. Kami memang orang yang terhitung sangat jarang untuk berjalan-jalan ke tempat yang seperti itu, karena sebagian besar waktu kami hanya diisi untuk kuliah dan bermain musik. Kami punya kelompok band dan sudah sering manggung di kota-kota lain. Walaupun kami bukan band tenar, tapi siapa sih yang tak kenal kami.

            Aku dan Roni tidak terlalu tertarik untuk membeli barang-barang itu. Timbul niatku untuk membuat sedikit kekacauan di tempat itu. Malam tadi aku memang membaca buku tentang kehidupan seorang sniper, seorang yang awalnya tidak memiliki keberanian sedikit pun hingga terkenal sebagai orang yang sangat penakut; sampai akhirnya menjadi orang yang memiliki keberanian yang sangat dahsyat hingga menjadi sniper yang selalu dipakai orang untuk membunuh orang-orang penting di negaranya.

            Tapi sniper itu memiliki kepribadian ganda. Pada pagi hari ia menjadi orang biasa yang sangat baik, penakut dan agak bloon; sedangkan ketika malam ia menjadi seorang sniper. Malam merupakan alam lain bagi sniper itu, matanya akan berubah seperti seekor kucing yang menyala-nyala. Aku sangat tertarik dengan cerita itu, sampai berharap bisa menjadi seperti sniper itu. Hebat, menurutku.

            Aku hampir membayangkan aku menjadi salah satu bagian dari sniper itu. Keberanian timbul dalam hatiku, memenuhi otakku dengan pikiran-pikiran jahil untuk mengikuti sosok khayalanku. Mataku jelalatan melihat potensi yang bisa aku lakukan.

            Kulihat Roni sedang terlibat pembicaraan dengan seorang anggota kampanye seperti kami. Penampilan orang itu terbilang cukup mengesankan. Orang itu juga membawa koper yang entah berisi barang apa, tapi sepertinya sangat penting. Roni terlihat serius sekali berbicara dengan orang itu, sedangkan teman-teman kami yang lain telah banyak yang meninggalkan plaza ini dan kembali beratraksi; rencananya mereka akan berkumpul lagi di sebuah lapangan bola di kota kami untuk menghadiri dan mendengarkan orasi dari anggota partai yang segera akan naik kursi menjadi wakil mereka.

            Aku menunggu Roni dengan agak kesal, karena hampir setengah jam ia berbicara dengan orang yang sama sekali belum kukenal itu. Akhirnya, orang itu meninggalkan Roni sambil menyerahkan koper tersebut kepadanya. Roni tersenyum dengan puas dan segera beranjak menemuiku.

            “Die, kamu mau uang banyak, nggak?”

            “Emangnya aku nda normal? Yah, maulah.”

            “Nih, ada job!”

            Roni membuka sedikit isi koper, terlihat tumpukan uang yang jumlahnya perkiraanku sebesar 200 jutaan.

            “Gila, Ron! Kamu dapat dari mana?”

            “Ini bukan punyaku. Kita cuma dapat 10 % dari ini. Tugas kita hanya mengantarkan uang ini kepada orang yang disuruh Bapak tadi, dan selesai.”

            “Gitu aja?”

            “Iya. Cepat, kita nggak punya waktu, Die.”

            “Eh... Tau nggak, Ron. Aku punya rencana bakar ini plaza.”

            “Ehm, he-he...”

            Aneh, wajah Roni tak mencerminkan ketakutan sama sekali ketika aku mengemukakan pendapatku. Ia hanya tersenyum, seperti menyembunyikan sesuatu.

            “Die, senang kamu punya kesamaan dengan aku, he-he...”

            “Hah? Kamu nggak bercanda?”

            “Nggak. Itu dah lama. Yah, agak sadis, memang, tapi kita kan punya hak untuk menjadi manusia yang agak gila. Aku bosan, Die, jadi orang waras, ha-ha...”

            “Hah... Ron, kayanya kita memang gila.”

            “Agak psikopat, gitu, he-he...”

            Kami berjalan menuju lorong plaza yang sepi karena toko-toko yang berada di sekitar tempat tersebut sedang tutup. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang berpakaian gelap dan berpenutup wajah. Agak aneh, memang, tapi jujur aku merasa bergetar, jantungku berdegup cepat. Yah, aku menikmati suasana seperti itu.

            Roni berbicara dengan orang-orang itu. Jumlah mereka sekitar 10 orang, pakaian mereka sama, perawakan mereka pun hampir sama, tinggi besar.

            Roni segera menyerahkan koper itu. Seorang pria menyambut koper tersebut dan membukanya. Sepertinya ia menghitung jumlah uang tersebut, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Roni. Mereka segera pergi dari tempat itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku dan Roni pun segera beranjak dari tempat itu.

            “Lumayan, Die. Dapat dua juta.”

            “Hah? Cuma gitu kita dapat uang sebesar itu? Emangnya mereka siapa, sih?”

            “Oya, aku belum cerita. Mereka itu yang akan mewujudkan keinginan kita.”

            “Hah? Jadi, serius?”

            “Ya, Die. Lah, kok kamu jadi pucat gitu?”

            “Aku... aku gila, tapi sekarang kan banyak anak-anak dan wanita?”

            “Kenapa? Kita kan memang nggak waras? Ha-ha!”

            Sumpah, walaupun punya niat seperti itu, aku bukan orang yang nekat dan segila ini. Aku hanya ingin melakukan kejahatan kecil saja.

            “Kenapa kamu, Die? Ayo, cepat. Plaza ini akan hancur, tinggal seperempat jam lagi.”

            “Terus, kita mau apa, Ron? Lari?”

            “Wah, kita masih harus...”

            Suara Roni tertahan.

            Kami melihat segerombolan orang berlari cepat ke arah kasir dan counter-counter, sambil begitu beringas mengambil barang-barang yang ada di plaza tersebut. Ada yang mengambil setumpuk pakaian, alat-alat rumah tangga, TV, radio dan sebagainya. Kulihat ibu-ibu, anak-anak dan pegawai yang mayoritas perempuan berteriak histeris.

            Di lantai satu kudengar letup tembakan. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Roni menarik tanganku dengan cepat, mengajakku segera berlari menuruni eskalator. Kulihat beberapa orang satpam terbujur kaku, terluka parah. Anak-anak menangis tak karuan.

            Parah. Aku terlalu kagum dengan keadaan itu dan tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa kulakukan hanya berlari, ya berlari.

            Suara ledakan besar mengejutkan kami. Pintu-pintu di sekitar kami tertutup dengan otomatis. Semua tegang. Sepertinya tingkat yang paling atas akan segera runtuh. Kacau, semua kacau. Tempat itu seperti kena gempa. Ruangan tersebut sudah gelap gulita, membuat semua orang menjadi panik dan histeris.

            Tanganku terlepas dari Roni. Suara ledakan itu terdengar lagi. Kami terkurung. Tak ada yang bisa keluar. Satu-satunya yang kupikirkan hanya menyelamatkan diri, karena aku masih ingin hidup.

            Terlihat olehku ada seberkas cahaya, sepertinya cahaya lampu kecil. Kudekati cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari mainan senter seorang anak perempuan kecil. Aku lihat ia menangis meratapi mayat seorang perempuan yang terbujur kaku.

            Kurampas seketika senter kecil dari tangan anak itu. Kami saling berebut dan yakinlah bahwa tenaganya teramat kecil untuk mempertahankan barang miliknya tersebut. Kutendang kakinya. Tanpa kusadari, aku menendangnya teramat keras hingga ia terjungkal. Seketika tubuh anak itu dijatuhi sebuah benda aneh yang aku yakin begitu berat. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Ia berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat hati.

            Tapi aku tahu, aku tak akan memikirkan untuk menyelamatkannya. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Napasku tersengal-sengal, tubuhku kaku tak karuan, akhirnya aku pingsan.

 ***

             Satu bulan kemudian...

            Aku terbangun dari sadarku. Kata saudaraku, aku koma. Padahal luka-lukaku tidak serius. Tapi semua dokter bingung, aku tetap tak sadarkan diri. Entahlah, aku bersyukur mata itu hanya mimpi. Mata itu, mata anak itu, yang memanggilku. Aku tak bisa berpikir lagi. Sesal menggerogoti jiwaku. Airmataku pun tak terbendung lagi.

            Maafkan aku. Walaupun aku tak tahu siapa namamu, tapi aku pernah berbuat kesalahan padamu. Roni, temanku, ditemukan meninggal dengan kondisi sangat mengenaskan. Maafkan aku, dik...

Catatan:

terinspirasi kejadian 23 Mei 1997, Jumat Kelabu, Banjarmasin 

 

Epilog

TERSEBAB AKU SEORANG PEMBACA

Burhanuddin Soebely

Sembilan  perempuan pengarang Kalimantan Selatan, demi sebuah gagasan, berusaha menangkapi dan menghayati berbagai momen kehidupan, menyusupi masa lalu-masa kini-masa depan dengan penuh totalitas, pun menjelajahi tempat hibuk berpikuk dan sunyi menceruk. Sembilan perempuan pengarang Kalimantan Selatan itu agaknya sudah mahakuni untuk menempuh konvensi dan konsekuensi jalan seorang penulis, jalan tempat menjembai letik gagasan yang diperanakkan letup momentum.

Tersajilah kemudian kepada kita beragam tempatan, bermacam perwatakan, berbagai persoalan, beraneka keakhiran. Mulai tempat setan bertelur hingga kawasan setan kabur oleh lemparan batu-batu. Mulai dari pendekar mabuk hingga orang kemaruk. Mulai dari bunyi piano hingga buah durian. Mulai balutan bahagia hingga tinggalan luka.     

Meski masih bersetia dengan realisme, varian yang tersaji itu setidaknya membuktikan bahwa mereka punya keberanian untuk ke luar dari diri dan lingkungan sehari-hari. Pengambilan penokohan atau penggunaan sudut pandang lelaki juga bisa dijadikan bukti lain keberanian tersebut.          

Bertolak dari semua itu, catatan macam apakah yang harus diterakan di epilog ini? Tersebab aku seorang pembaca maka aku akan menuliskan kesan seorang pembaca saja. Pilihan ini sesungguhnya juga merupakan upaya mengelak dari hal-hal yang bersifat akademis, karena kesan seorang pembaca tidaklah senantiasa bersinggungan dengan teori-teori sastra—yang menurut Sainul Hermawan bejibun mulai dari Marxis sampai rasis itu.

 ***

Anna Fajar Rona lewat Subuh Pertama di Masjidil Haram menyuguhkan pertobatan Dargi, sang pendekar mabuk. Melalui kalimat-kalimat yang menyentuh, Anna menggambarkan bagaimana isi perut Dargi dikuras sebelum diperkenankan bertamu ke rumah Allah. Sayang cerpen ini diganduli berbagai unsur kebetulan. Kebetulan-kebetulan itu muncul karena lemah atau bahkan tiadanya motif bagi munculnya peristiwa. Tiadanya ikatan emosional maupun spiritual antara Dargi dengan mushala di terminal itu, misalnya, membuat motif sang pendekar mabuk untuk terlibat, bahkan mempertaruhkan nyawa, terasa agak dipaksakan. Padahal Anna telah bertutur tentang masa lalu Dargi, ayahnya yang sopir, ibunya yang berjualan di terminal, belajar baca Al-Qur’an sewaktu SD, yang pastilah bisa dikaitkan dengan keberadaan mushala sehingga tercipta motif untuk menentang penggusuran.

Dewi Yuliani mengajak kita memasuki sebuah pasar untuk menyaksikan beragam polah dan peristiwa. Hal-hal yang berlangsung di pasar barangkali dinilai sebagai peristiwa yang hidup sehingga pencerita terkesan sekadar memotret peristiwa itu dan mewartakannya kepada kita. Jadilah cerpen ini sketsais kehidupan kaum marjinal yang mengais hidup di sebuah pasar. Kendati posisi pencerita lebih sebagai pewarta, pembaca tetaplah diajak terlibat.

Lewat dialog dan komentar ringan pencerita—yang terkesan disampaikan sambil lalu—terselip pesan, sindiran, kritikan. Kesemuanya disampaikan dengan nada bercanda dan jenaka. Ketika si pencopet tertangkap, umpamanya, si aku berkomentar bahwa seharusnya pencopet itu rajin bangun pagi dan latihan lari. Atau tentang Ijum yang jika sudah jadi penyanyi terkenal bisa mengganti namanya dengan Ivon atau Voni agar lebih komersial. Kita pun dibuat tersenyum pahit: menyenyumi ironi kehidupan dan penghidupan. Dalam kubangan penderitaan ternyata orang masih bisa melucu dan tertawa. Juga masih punya cinta sebagaimana ditunjukkan Ijum saat meninabobokan anaknya.

Cinta? Ah, ihwal cinta memang merupakan tema yang tak lekang dilimbur waktu, tema yang senantiasa intim dan menggetarkan jiwa. Hudan Nur dalam Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti telah habis-habisan mengeksplorasi dan mengeksploitasi perasaan cinta—baik itu melalui surat, catatan harian, maupun puisi—sehingga mewujudkan pemujaan tak berkesudahan.

Menyelesaikan cerpen ini setidaknya kita juga punya dua kesan. Pertama, Hudan tengah menelanjangi kebusukan lelaki yang mengaku demikian cinta namun dalam hitungan sembilan bulan setelah perpisahan—katakanlah terhitung mulai September 2005 hingga Juli 2006—ternyata telah beristri dan punya anak berusia 2 minggu. Dan kedua, Hudan terlalu terobsesi sehingga tidak cermat dalam soal waktu sehingga pembacaan misi cerpen ini jadi melenceng jauh.

Cinta tak kesampaian juga dihidangkan oleh Ratih Ayuningrum lewat Dongeng Kesetiaan. Ini kisah cinta era teknologi komunikasi. Kisah cinta yang terjalin lewat ponsel dan e-mail. Kisah cinta tanpa tatap muka secara langsung. Tema ini terbilang tidak istimewa. Tapi keindahan sebuah cerpen tidaklah selalu terletak pada apa yang disampaikannya tetapi juga pada bagaimana cara menyampaikannya. Dan Ratih terbilang pencerita yang baik. Struktur yang terjaga, pemilihan bahasa berikut metafor-metafor yang digunakan membuat cerpen ini terkesan liris—sebuah warna yang agak berbeda dengan cerpen lain di kumpulan ini. Ratih agaknya hendak menumpukan kekuatan cerpennya pada deskripsi suasana, termasuk suasana hati orang kasmaran.

Episode Durian merupakan kisah cinta berujung luka dengan versi yang sedikit berbeda. Sekejap bahagia lalu derita menjemba. Di cerpen ini Nailiya Nikmah JFK memperlihatkan kepiawaian dalam mengelola ide melalui beragam teknik penceritaan dan alur yang jernih. Sebuah kejadian bermula dari kejadian lain lalu menimbulkan kejadian lainnya lagi didedahkan dalam deskripsi dan dialog yang hidup dan tak kehilangan motif. Lewat paradoks dan ironi yang dikembangkan, Nailiya mengamanatkan bahwa batu penarung ikatan perjodohan atau perkawinan tidaklah selalu berwujud soal-soal besar—dalam cerpen ini jujuran—tetapi justru hal-hal kecil yang nyaris sepele—di sini berupa perbedaan selera terhadap buah musiman, durian; bahwa sifat-sifat yang tak terlihat sebelum perkawinan dalam waktu singkat dapat muncul ke permukaan setelah berpredikat suami istri, limbah kawin hanyar kalihatan balang sabujurnya...

            Pada sisi yang lain, Nailiya terkesan “menghindar” untuk mengeksplorasi tema besar semacam keberadaan jujuran dalam budaya Banjar atau pemberontakan terhadap budaya patriarki. Dalam tempo tak berbilang hari leraian dikembalikan kepada “pakem” patriarki: kendati berbuat salah lelaki tak merasa perlu meminta maaf, sebaliknya perempuanlah yang harus meminta maaf; dan hanya lewat permaafan itulah komitmen baru dapat dibicarakan. Untuk sampai pada komitmen itu, perubahan itu, perempuan harus rela berkorban. Dan Nailiya Nikmah pun tega mengorbankan si perempuan dengan menghadirkan supir angkot yang mabuk (kenapa tidak truk atau pikap yang sarat bermuatan durian?) Mati ranai, pinda wani-wani wan laki!

            Perbedaan selera yang menimbulkan konflik juga terjadi pada Piano. Di cerpen ini sumber masalahnya adalah piano, alat musik kesukaan si suami. Jika Nailiya meraut konflik hingga runcing dan melukai maka Nonon Djazouly mengisahkan konflik itu dengan datar dan dingin. Nyaris tak kita temui penggemparan bahasa padahal besaran konflik kian meningkat. Daripada bakakarasan lalu manyanyarik, si suami memilih melakukan investigasi dan mencari cara pengobatan terhadap phobia istrinya.

            Di cerpen ini kita barangkali menangkap siratan pesan kesetaraan gender. Cuma bahasa yang datar dan dingin itu terasa kurang mendukung “karakter” tema yang diangkat, sebuah persoalan yang bagi banyak lelaki terbilang hual ganal.

            Nyanyian Tanpa Nyanyian juga menyajikan perbedaan selera, malah dalam skala yang lebih besar, yakni sistem nilai berikut ajarannya. Penceritaan Dewi Alfianti yang banyak dimuati metafor-metafor segar berhasil mendedahkan peristiwa dan karakteristik dengan hidup. Sayang,  masalah sistem nilai itu diselesaikan dengan enteng. Ibarat sebuah pertarungan, baru sejurus lelaki yang berpuluh tahun diam-diam mengibarkan panji pemberontakan itu langsung keok.

            Dewi agaknya harus lebih jeli dan sabar dalam mengelola konflik. Jeli dalam memilih dan memilah mana ihwal yang harus dihadirkan atau disingkirkan, mana pula hal yang perlu mendapat porsi besar atau kecil. Sabar dalam merajut tahapan cerita hingga mendapatkan daya ledak dalam klimaks. Tokoh-tokoh sampingan, peristiwa-peristiwa sampingan, insiden-insiden kecil yang sekilas seakan tak berarti, hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai penguat alur dan motif.

Benar, cerpen memang bukan argumentasi perkara, bukan beberan fakta, bukan pula berita.; tapi jika kemudian muncul pembacaan intertekstual antara fakta dan fiksi maka itu hal yang wajar saja. Persintuhan penulis dengan kehidupan sehari-hari, dengan fakta yang berseliweran di berbagai media massa, akan menimbulkan tanggapan tersendiri. Mereka mungkin mempersoalkannya, mendukungnya, mengejeknya, menentangnya.

Pembacaan intertekstual antara fakta dan fiksi tersebut terlihat pada cerpen Sebuah Mata, Sejuta Sesal karya Syafiqatul Machmudah dan Pasar Itu Milik Ibuku karya Rismiyana. Sebuah Mata, Sejuta Sesal berkelindan dengan peristiwa 23 Mei 1997 yang oleh masyarakat Banjarmasin dijuluki Peristiwa Jumat Kelabu. Amuk massa saat itu tidak hanya menghancurkan pusat perbelanjaan Mitra Plaza tetapi juga memakan banyak korban. Pasar Itu Milik Ibuku berkait dengan pembangunan pusat perbelanjaan Sentra Antasari yang menuai banyak masalah.

Peristiwa Jumat Kelabu memang kontroversial. Ada banyak versi, mulai dari kecelakaan sejarah hingga rekayasa tangan-tangan cerdas. Sebuah Mata, Sejuta Sesal merupakan bagian dari versi rekayasa tangan-tangan cerdas itu. Syafiqatul Machmudah menempatkan pencerita aku-an di Tempat Kejadian Perkara (TKP), bahkan berperan sebagai kurir penyerahan uang kepada para pelaku.

Pada awalnya cerpen ini menjanjikan sesuatu yang berbeda. Gambaran surealis yang disuguhkan seakan menjanjikan eksplorasi sisi-sisi psikologis, namun ternyata surealisme itu terhenti di tengah jalan dan penceritaan kembali ke jalur realis

            Berbeda dengan Syafiqatul Machmudah, Rismiyana menciptakan jarak antara fakta dalam berita dengan kisah dalam cerpen. Melalui sudut pandang anak SD kelas V peristiwa dan persoalan seputar pembangunan Sentra Antasari Banjarmasin diungkap dengan penggambaran yang lugu dan bersahaja. Penceritaan dengan sudut pandang anak SD ini menimbulkan defamiliarisasi bagi tema yang disuguhkan. Dengan demikian Rismiyana bisa berkelit dari jebakan fakta-fakta umum maupun cara pandang umum yang telah diketahui bersama.

            Cerita pun lancar melaju. Ibarat sebuah balapan, Rismiyana dengan mulus melalui tikungan demi tikungan, namun di tikungan terakhir dia melakukan sebuah hal yang tidak perlu sehingga nyaris tersungkur. Rismiyana tak dapat menahan hati untuk menambah beban penderitaan tokohnya. Ini merupakan hal klise, apalagi beban penambah itu juga amat klise: anggota keluarga jatuh sakit plus uang sekolah sekian bulan tak terbayar.

 ***

Begitulah, sebuah cerpen, apalagi yang sejak semula hendak dipublikasikan di koran, memang tak memberi banyak ruang untuk berpanjang-panjang. Keterbatasan itu bukanlah berarti orang bisa dengan begitu saja mengabaikan kejelasan motif dan alasan bagi tindakan yang kemudian memunculkan peristiwa. Pengabaian terhadap hal itu akan memunculkan ihwal yang serba kebetulan. Dan ihwal yang serba kebetulan justru mengurangi kenikmatan pembaca, bahkan berpotensi kehilangan perhatian pembaca.

Bicara soal kenikmatan, maka selepas kenikmatan menyelesaikan tulisan (sebuah cerpen) sebenarnya terdapat satu tahapan kenikmatan yang lain, yakni kenikmatan mengedit hasil tulisan. Kata orang, nikmat sekali bertangkap-lepas di situ: menimbang, menambah, membuang, menimbang, menambah, membuang... berada pada situasi diigut layat dibuang sayang.

Di luar hal-hal yang bersifat teknis itu, kesan paling mendalam dari seorang pembaca ini adalah kesan kehadiran. Sembilan perempuan pengarang Kalimantan Selatan ini perlahan mulai menelusurkan panjinya masing-masing di tegak tiang. Kendati telusuran panji masih memerlukan waktu dan upaya untuk sampai ke puncak tiang, namun di petanahan yang sering disebut-sebut gersang bagi penulisan cerpen (prosa) ini sudah tampak kibaran yang meletikkan kembang harapan. Sungguh, aku sudah amat lama menunggu kibar panji itu, yakni ... satu generasi!

 

  Tentang Penulis

Anna Fajar Rona dilahirkan di Banjarmasin, 15 Juli 1987. Puisi dan cerpennya dipublikasikan Radar Banjarmasin, harian Merdeka, Republika, Koran Tempo, majalah Muslimah dan Annida. Menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin. Puisinya, Seperti Apa Aku Dapat Menyeberangi Arusmu?, terpilih sebagai salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru dan, bersama karya pemenang lain, dibukukan dalam antologi sastra Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Diundang sebagai peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).

Dewi Alfianti dilahirkan di Banjarmasin, 25 November 1983. Semasa kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Unlam aktif di organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai Sekretaris Jenderal BEM FKIP Unlam (2006-2007), Ketua II BEM Unlam (2005-2006) dan Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia (IMAKIPSI), 2005-2007. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan artikel pendidikan di Radar Banjarmasin. Puisinya, Pengembaraan Jukung, salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru, dibukukan dalam antologi sastra Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Dua puisinya dimuat dalam Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai, yang diterbitkan dalam rangkaian Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru (2006). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam Antologi Sastra Bunga Penyejuk Hati (2007). Peserta aktif Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).

Dewi Yuliani dilahirkan di Banjarmasin, 16 Juli 1972. Pendidikan SMA Corpatarin, Jakarta (1990) dan sempat menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Menulis puisi, cerpen dan esai sastra sejak 1990-an, dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin (yang dikelola mendiang Hijaz Yamani), Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radio Suara Jerman (Deutsche Welle), majalah Remaja (Jakarta) dan majalah Bahana, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Bulan di Atas Rawa (1990) dan Surat Merah Jambu Bagi Desmon George (1990) adalah antologi puisinya yang telah diterbitkan. Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama: Festival Poesi Kalimantan (1992), Tamu Malam (1992) dan Jendela Tanah Air (1995). Sempat bekerja sebagai penyiar di Radio Swasta Nada Mustika Banjarmasin. Juara I Lomba Penulisan Puisi Bahasa Banjar yang diadakan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan untuk memperingati Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (1994). 

Hudan Nur dilahirkan di Banjarbaru, 23 November 1985, menempuh pendidikan di FKIP Unlam. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Radar Banjarmasin. Ia sering mengikuti lomba baca (dan cipta) puisi, cerpen, lomba musikalisasi puisi, lomba bakisah bahasa Banjar, selain aktivis teater. Puisinya termasuk salah satu dari 30 Puisi Nominasi Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru (2006). Puisi dan cerpennya diterbitkan dalam antologi bersama di Banjarbaru, Banjarmasin, Kotabaru dan Medan: Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005) Jejak Tsunami (2005), Melayat Langit (2006), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Antologi Sastra Bunga Penyejuk Hati (2007). Peserta aktif Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007) dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008).    

Nailiya Nikmah JFK dilahirkan di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Putri pertama pasangan Drs.H. Junaidi, M.AP dengan Hj. Mulyani Hilmi, Ama.Pd. Sejak kanak-kanak menyukai sastra, gemar membaca dan menulis. Semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam menikah dengan Jumiadi Khairi Fitri, S.Pd dan dikaruniai buah hati Nadiya Nisrina dan M. Ihda Ulyadi. Setelah merampungkan Program Magister PBSID FKIP Unlam, dosen Politeknik Negeri Banjarmasin ini lebih serius menulis cerpen. Sejumlah cerpennya dipublikasikan Radar Banjarmasin. Sekretaris Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan ini sering diminta sebagai pembicara dalam diskusi, seminar, pelatihan dan workshop seputar sastra dan keterampilan berbahasa. Peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).

Nonon Djazouly adalah nama pena Ir.Hj. Noor Camelia Djazouly, anak ketiga dari enam bersaudara, putri H.M. Djazouly Fadil Camal S., ulama terkemuka Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan panggilan Abah Anang. Menempuh pendidikan di SDN Putri Martapura, SMPN 1 Martapura, SMAN Martapura dan Fakultas Pertanian Unlam di Banjarbaru. Sejak remaja, Nonon (nama panggilannya) gemar menulis, melukis, travelling dan aktif di organisasi karya pemuda (OKP) dan organisasi sosial politik (orsospol). Pernah menjadi Ketua Karang Taruna Remaja Kompas Martapura (1988-1994), Ketua Biro Urusan Peranan Wanita DPD KNPI Kabupaten Banjar (1990-1994), Pjs Ketua Generasi Muda Kosgoro Tingkat II Kabupaten Banjar (1990-1994), Wakil Ketua Generasi Muda Kosgoro Kalimantan Selatan (1998-2002) dan seterusnya. Karena aktivitasnya di OKP dan orsospol itu, Nonon (yang sebelumnya bercita-cita menjadi dokter ini) sempat menjadi anggota legislatif termuda DPRD Kabupaten Banjar dan, kemudian, DPRD Kalimantan Selatan. Cerpennya dipublikasikan Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin.    

Rismiyana dilahirkan di Tebing Abang, 11 September 1982. Dalam tulisan, terkadang menggunakan nama Ana, Padang Langit dan Rain Fajar. Pendidikan di Program Studi PBSID FKIP Unlam. Bersama Ratih Ayuningrum dan Fitri As’ad menerbitkan buletin Friend’s (berisi esai), yang sempat terbit sampai Edisi VI. Ia juga sempat menjadi redaksi buletin Insani dan kontributor tabloid Ahsan LDK Unlam. Cerpen dan esai sastranya dipublikasikan Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah. Cerpennya, Memandang Ayah dari Bawah Pohon Mangga, Pemenang Harapan II Lomba Menulis Cerita Pendek Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru dan, bersama karya pemenang lain, dibukukan dalam antologi sastra Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Bersama dua penulis perempuan lain menerbitkan antologi Ulatih (2008). Di samping mengajar di MTs Al Furqon, MTs Al Ghazalia dan SMKN 5 Banjarmasin, bersama teman-temannya ia mendirikan lembaga bimbingan belajar SmartPlus (+). Pengurus Aliansi Penulis ProSyariah (Alpenrosa) dan aktivis Hizbut Tahrir. Aktif hadir dan menjadi pembicara dalam diskusi, seminar dan dialog sastra. Mengikuti Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).

Ratih Ayuningrum dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, 17 Juli 1984. Menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak 2004, dipublikasikan di Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Serambi Ummah. Cerpennya, Kebablasan, Juara II Lomba Seni dan Kreativitas Islami KSI Al-Mizan Fakultas Hukum Unlam (2004). Di tahun yang sama, Juara III Lomba Penulisan Reportase Komtek Kalimantan Selatan. Cerpennya, Lelaki di Titik Sepi, Juara II Kompetisi Menulis Cerpen Pelajar dan Mahasiswa (KCPM) Kalimantan Selatan (2005). Puisinya, Kau tidak Akan Pernah Tahu, salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru. Pada event yang sama, cerpennya, Epilog Seorang Wakil Rakyat yang Terhormat, Pemenang Harapan III Lomba Menulis Cerita Pendek Kalimantan Selatan dan, bersama karya pemenang lain, puisi dan cerpen tersebut dibukukan dalam Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Masih 2006, ia sekaligus meraih dua kejuaraan: Juara I Lomba Artikel Kreasi dan Juara I Lomba Artikel Ilmiah pada Pesantren Jurnalistik Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) bekerja sama dengan Radar Banjarmasin. Mengikuti Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007). Pernah dua tahun bekerja sebagai wartawan Bisnis Tablomagazine. Setelah menyelesaikan S1 di Program Studi PBSID FKIP Unlam, kini tengah menyelesaikan program pascasarjana di fakultas yang sama, selain mengajar di lembaga pendidikan swasta.

Syafiqatul Machmudah dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah, 13 Oktober 1984. Sejak 2004 menulis puisi dan cerpen, dipublikasikan di Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah. Semasa menempuh pendidikan di Program Studi PBSID FKIP Unlam aktif dalam pers kampus dengan menjadi jurnalis Corong, buletin terbitan BEM FKIP, dan aktivis teater dalam Komunitas Ilalang. Pernah dua tahun bekerja sebagai wartawan Bisnis Tablomagazine. Menjadi peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007). Di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, tempatnya bermukim sekarang, ia bergabung dengan Sanggar Matahari; di samping menjadi pembina Teater Pangeran Antasari di sekolah tempatnya mengajar.

 

 Riwayat Publikasi

 1. Anna Fajar Rona, “Subuh Pertama di Masjidil Haram”, Radar Banjarmasin, Minggu, 9 April 2007

 2. Dewi Alfianti, “Nyanyian Tanpa Nyanyian”, Radar Banjarmasin, Minggu, 2 September 2007

 3. Dewi Yuliani, “Pasar”, Dinamika Berita, Minggu, 7 November 1993

 4. Hudan Nur, “Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti”, Radar Banjarmasin, Minggu, 30 Oktober 2005

 5. Nailiya Nikmah JFK, “Episode Durian”, Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Februari 2007

 6. Nonon Djazouly, “Piano”, Radar Banjarmasin, Minggu, 23 September 2007

 7. Rismiyana, “Pasar Itu Milik Ibuku”, Radar Banjarmasin, Minggu, 30 September 2007

 8. Ratih Ayuningrum, “Dongeng Kesetiaan”, Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Juni 2006

 9. Syafiqatul Machmudah, “Sebuah Mata, Sejuta Sesal”, Radar Banjarmasin, Minggu, 29 Mei 2005

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler