Skip to Content

Rain

Foto Natasia Deva

Cerber : Bag 1

RAIN
(By : Deva)

Rain menghirup udara segar yang bertiup di halaman. Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah kering kerontang di bawah kakinya. Cacing-cacing juga kerap muncul ke permukaan tanah seiring volume air bertambah banyak. Tidak tahu kenapa, ia selalu seperti ini, bermain hujan-hujanan setiap hujan datang dan tidak mempedulikan tubuhnya. Dia tidak peduli sama sekali jika esok flu ataupun deman, yang sekarang terpenting baginya adalah saat momen-momen seperti ini. Hujan pertama yang membasahi bumi setelah musim kemarau berakhir. Ia yakin ini sebabnya, ibunya menamai dia Rain yang artinya hujan. Ia sangat suka hujan, apalagi saat aroma tanah basah mulai menyeruak ditiup angin. Masuk ke dalam hidungnya dan membuat perasaannya tenang dan damai. Aahh sangat nyaman.

Tanpa ragu, Rain melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah. Ia biarkan kakinya tenggelam dalam genangan-genangan becek di halaman rumahnya. Dan memainkan air kotor itu di antara kedua kaki mungilnya yang bersih. Meluapkan perasaannya sambil tertawa-tawa bahagia. Layaknya seperti bocah kecil yang baru mendapat mainan impiannya. Seakan seperti lupa akan semua yang ada di sekelilingnya. Hanya tinggal mereka berdua saja, hanya dia dan hujan. Seiring berjalannya waktu, hujan mulai reda. Menyisakan rintik-rintik gerimis kecil. Meninggalkan Rain lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Perempuan itu mulai menangis karena kehilangan temannya.
“Kenapa kamu berhenti? Jangan tinggalin Rain sendiri! Rain takut, hujan,” ucapnya diselingi isak tangis gadis kecil itu.

Setelah sekian lama matanya menangisi, kepergian temannya itu. Rain kembali menatap kosong langit kelabu dan duduk di atas tanah merah. Tangannya ia biarkan memeluk kedua kaki kecilnya sambil merenung dan melamun. Asyik dengan pikirannya sendiri. Sambil berkali-kali mengulang memory-memory lama dan meratapi kakinya yang mulai gemetar.

Kenangan itu sejenak mengusik pikirannya, mengingatkannya saat ia SMP dulu. Kenangan bersama Ody, teman semejanya. Sahabat pertama yang paling dia suka dan paling ia rindu. Saat itu adalah hari yang hampir sama seperti hari ini. Hujan turun begitu deras. Anak-anak SMP Rajawali berdiri di sepanjang lorong sekolah sambil meratapi hujan yang tidak kunjung berhenti. Sebagian lagi ada yang duduk di bangku depan kelas masing-masing sambil mengobrol untuk mengisi kebosanan karena putus asa sedari tadi menunggu hujan. Tidak terkecuali Rain dan Ody. Mereka berdua berdiri bersampingan sambil melihat ke langit. Di atas sana, awan gelap menari-nari seperti hendak ingin melahap anak-anak kecil tidak berdosa. ‘Ya ampun kapan selesainya kalau seperti ini terus!’ Gerutu Ody dalam hati.

Rain mendengus pelan. Cewek asal Jogja itu berpikir. Kalau pun pakai payung, ia yakin ujung-ujungnya juga pasti sama. Basah kuyub sesampainya di rumah, apalagi hujan sederas dan segelap ini. Rasanya ia ingin sekali punya kantung doraemon dan mengambil pintu kemana saja. Agar ia bisa sampai rumah sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, ini bukan dunia khayalan tapi kenyataan. Dan sudah satu jam dia menunggu disini. Bisa-bisa dimarahi mama kalau pulang telat. Cepat-cepat, Rain merogoh payung kecil dari dalam tasnya sambil cemberut.
“Lu lagi apa, Ra?” Tiba-tiba suara khas bass Ody masuk ke telinga Rain. Membuat telinga kecil itu pengang karenanya.
“Kenapa sih lu selalu kepo urusan orang? Kayak gak ada kerjaan aja!” semprot Rain ketus. Ia paling tidak suka kalau ditanya-tanya seperti ini, apalagi yang menyangkut tentang gerak-geriknya. Ia benci orang yang selalu kepo padanya.
“Yeh, galak amat sih. Lagi dapet lu ya? Atau baru dapet masalah? Dan bodohnya gw, kenapa juga harus ngomong sama lu, kayak gak ada orang lain aja yang bisa diajak ngomong!” balas Ody sewot. Ia sangat kesal setelah disemprot bibir bawel Rain. Ody langsung saja mengalihkan pandangan ke tempat lain. Malas berbincang dengan orang galak.

Rain diam tidak mau membalas. Percuma bertengkar dengan cowok seperti Ody apalagi tentang hal yang tidak ada gunanya. Seperti menghabiskan waktu saja. Pelan-pelan Rain mengeluarkan sebagian buku tulisnya. Mencari payung yang tidak pernah dikeluarkannya itu. Payung lawas kesayangannya. Tapi sampai sekarang dia belum menemukannya.

Walaupun masih sedikit kesal, Ody tetap memperhatikan gerak-gerik Rain yang seperti sedang mencari sesuatu. Dia akui meskipun cewek itu galak atau ketus atau menyebalkan, ia tetap tak bisa membencinya. Semakin ia benci padanya, maka semakin dia kangen ini cewek. Perasaan memang tidak bisa dibohongi.
“Nah ini dia,” teriak Rain tiba-tiba. Mengagetkannya yang sedang mencuri pandang pada cewek ini. Tangan Rain meraih sesuatu dalam tasnya. Mengeluarkan payung lipat berwarna kuning.
“Aduh Ra, kenapa gak dari tadi dikeluarinnya? Kalau tadi kan pasti gw udah di rumah sekarang,” ujar cowok gempal itu menepuk jidatnya sendiri. Rain menggerutu dalam hati. Ia tahu arah pembicaraan ini. Akhir-akhirnya nanti, pasti Ody mau nebeng payungnya. Rain sudah tahu sifat yang ini. Selalu bikin orang repot.
“Mager tadi ngeluarinnya. Gw kira gak bakal deres, eh tapi malah deres, yaudah gw keluarin,” balas Rain apa adanya. Cowok itu cuma mengangguk-angguk paham.

Rain bergegas membuka payung lipatnya. Tapi belum sempat sepenuhnya terbuka, Ody sudah bicara lagi. Cowok itu memberanikan niatnya.
“Gw nebeng ya!” katanya tanpa basa-basi. Ya ampun bener kan kataku, batin Rain kesal. Cowok itu langsung tersenyum begitu melihat tatapan Rain yang menyelidik. Aaaah… Senyum rayu yang tidak ampuh sama sekali.
“Gak ah. Kan rumah lu ke kanan. Gw ke kiri. Masa gw harus nganterin lu sampai rumah dulu?! Kaki gw bisa gempor kali,” ucap Rain asal.
“Ya elah, rumah gw kan gak nyampe satu kilo kali. Paling cuma lima ratus meter,” belanya hampir memohon.
“Mau satu kilo atau 500 meter. Dua-duanya sama aja jauhnya. Gak ah.”
“Gini deh. Lu anterin gw sampai gang aja ya! Abis itu gw lari. Gimana? Mau ya? Mau ya? Please!” Lagi-lagi ada saja alasannya. Rain manyun dalam hati. Daripada terus berdebat dengan dia, mending dikasih. Ia sedang tidak ingin keras kepala. Hari ini terlalu melelahkan untuk itu.
“Ya sudah cuma sampai gang,” jawab Rain menyerah.
“Akhirnya lu nyerah juga,” ucap Ody bangga.
“Gw lagi malas berdebat sama lu,” balas Rain melengos.

Ody senang bukan main mendapat tumpangan gratis. Sebenarnya bukan karena dapat tumpangannya, kalau kehujanan dia sama sekali tidak masalah kalau soal itu. Tapi kesempatan seperti ini yang tidak bisa dilewatkan. Dia bisa berdiri satu payung dengan Rain. Dan hanya mereka berdua saja tanpa pengganggu.

Sambil tersenyum bahagia, Ody berdiri di sebelah Rain. Mereka berbagi tempat dalam satu payung berukuran kecil, terjebak di tengah hujan yang sangat deras. Ody merasa dia sedang beruntung sekali hari ini. Rasanya Dewi Cinta sedang berpihak padanya.

Sepanjang perjalanan, karena saling tidak ingin terkena air hujan, lengan mereka berkali-kali bersenggolan seiring kaki- kaki mereka melangkah.
“Ya ampun sempit banget sih. Geser dong, ndut! Gw nanti bisa basah kuyub nih!” suruh Rain sambil menyenggol keras bahu besar Ody hingga cowok itu hampir terhuyung.
“Yeh lagian bawa payung kecil ke sekolah. Udah tahu gw gak pernah mau bawa payung. Makanya bawa yang gede,” balasnya tidak mau kalah.
“Kok nyalahin gw sih, udah bersyukur dikasih tebengan, malah ngomel. Salah lu, gara-gara punya badan segede gajah!” semprot Rain tidak mau kalah.
“Iya deh. Iya puteri jelek!” ucap Ody mengalah. Senang juga dia menggoda Rain. Masalahnya jarang sekali ia seperti ini di sekolah, kalau ketahuan menggoda Rain bisa-bisa satu kelas menyorakinya. Dan akibatnya Rain lantas marah karena gara-gara dia, Rain jadi pusat perhatian. Rain paling tidak suka diperhatikan banyak orang.
“Puteri cantik dong!” usul Rain membuyarkan lamunan Ody. Cewek itu tersenyum canda. Ody hanya tertawa mendengar respon cewek kurus itu. Akhirnya Rain dan cowok gempal itu berjalan bersampingan sembari bersenggolan.

Gang tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya tinggal 500 meter saja dari sekolah. Rain harus rela kakinya berjalan sejauh itu. Berpegal-pegal ria di tengah hujan deras bersama cowok gendut teman sebangkunya yang setiap harinya selalu saja membuat dada kesal bukan main. Tapi kasihan juga kalau tidak dibantu. Walaupun begitu Ody juga teman dekatnya.

Sesampainya di jalan menurun, kaki mereka berdua mulai kemasukan air. Bukan karena masuk genangan becek, tapi ini namanya sudah sungai tumpah ke jalan. Kalau genangan becek masih bisa dipilih-pilih mau pijak aspal yang mana. Tapi jalan ini, mau ke kiri atau kanan, sama saja jeleknya. Pasti ujung-ujungnya kena air juga, Rain dan Ody jadi putus asa. Seluruh kaki mereka sudah kena guyuran banyak air dari atas yang ikut menuruni turunan. Rasanya seperti diguyur air terjun melimpah dari atas. Rain sudah masa bodoh dengan kakinya yang basah, yang ada di pikirannya sekarang adalah yang penting sekarang dia mengantarkan Ody sampai gang dan kemudian ia akan langsung pulang naik angkot. Beda dengan Ody, tatapan cowok itu masih memperhatikan ke bawah. Entah apa yang ada di pikirannya, Rain tidak tahu pasti dan ia tidak ambil pusing soal itu.

Ody tercenung. Ia tidak henti-hentinya melihat kaki Rain. Apa ini semua gara-gara dirinya? Gara-gara dia, sepatu Rain jadi basah dan sekarang cewek itu terlihat kedinginan.
“Dingin gak?” Tiba-tiba Ody membuka pembicaraan. Mendengar ia ditanya, Rain langsung melihat arah mata Ody dan ikut melihat sepatunya yang terguyur air dari atas. Oalah ternyata dari tadi, Ody melihat kakinya.
“Ya agak sih. Oiya btw tumben banget, lu nanya itu ke gw. Gak usah khawatirin gw, gw gak papa,” ujar Rain mantab, menjawab kekhawatiran Ody.
“Nanti lu pinjem sandal jepit gw aja, biar gak masuk angin,” usul laki-laki itu masih belum puas dengan jawaban Rain. Ia tetap saja khawatir dan ia makin jadi tidak enak karena sudah merepotkan cewek manis itu. Rain hanya diam sambil melihat raut wajah Ody. Terlihat ada kekhawatiran dari matanya.
“Seriusan deh. Gw gak apa-apa, Ody,” uap Rain dengan nada yang lebih ditekankan.
“Yeh dibilangin batu banget, lagian rumah lu kan jauh, nanti pulang-pulang bisa masuk angin,” lanjut Ody meyakinkannya. Rain berpikir, mungkin ada benarnya juga dia, sekarang kaki dan tangannya juga sudah menggigil. Tangannya mulai keriput dan berwarna pucat.
“Yaudah deh, nanti gw pinjem sandal lu ya sama jas hujan. Boleh gak?” Rain menyerah, ia sudah kehabisan pikir mau jawab apa lagi. Mumpung seperti ini sebaiknya sekalian juga ia pinjam jas hujan Ody agar tidak semakin basah.
“Hahahaha dasar lu! Bilang aja cari kesempatan dalam kesempitan. Pake pinjem jas hujan segala, yeh gimana sih?! Padahal kan gw nawarin sandal jepit doang!” Ody tertawa ngakak sampai-sampai ia jongkok. Emangnya lucu ya? Tapi kalau dingat-ingat sih iya. Sambil terus memutar ulang ucapannya tadi, Rain ikut tertawa keras, lebih keras dari Ody.
“Udah. Udah dong! Gw sakit perut gila,” Ody memegangi perutnya. Ia hampir menangis karena tawa Rain yang juga kayak nenek lampir itu. Rain menyudahi tawanya yang juga mulai habis. Walaupun masih ada sedikit-sedikit geli mengingat yang tadi.

***

Tiba-tiba Rain diam. Tidak terdengar lagi lengking suara cewek itu. Diam membisu. Hanya suara tawanya dan suara hujan yang semakin deras. Merasa kikuk, karena hanya dia yang tertawa sendiri, Ody bangkit berdiri dan melihat Rain. Di sampingnya Rain mematung disana sambil melihat ke depannya. Jangan-jangan nih cewek kesambet. Kok tiba-tiba diem gini? Karena penasaran, Ody langsung ikut melihat arah yang dituju mata Rain. Didapatinya seorang cowok tinggi yang ia kenal. Tubuh Ody langsung menegang. Pikirannya mulai dipenuhi rasa tidak suka. Otaknya juga mulai merespon ingatan-ingatan dulu. Pembicaraan-pembicaraan dulu dengan Rain. Isi curhat yang selalu menyebut nama nih cowok. Namanya seakan langsung terngiang di telinganya dan membuatnya benar-benar marah.

Seorang cowok tinggi di balik payung biru menatap Rain dengan manik mata coklatnya. Tatapannya kali ini sangat berbeda dengan yang biasa ia lihat selama di kelas. Jantung Ody langsung berdegub kencang, dadanya makin bergemuruh seiring melihat manik mata Rendy ke Rain. Ia sangat benci tatapan Rendy yang sangat-sangat…. Tidak bagus itu. Rasanya ia ingin sekali melakukan sesuatu saat itu juga pada Rendy. Seperti ingin mencolok matanya saja sekarang agar ia tidak bisa menatap manik mata Rain seperti itu.

***

Berlanjut … Ditunggu ya kisah selanjutnya!
Terimakasih...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler