Skip to Content

SELENDANG BIRU PUTRI PETUNG

Foto jay

Selendang Biru Puteri

cerita pendek : akhmad zailani

 

 

 

GERIMIS mulai turun. Titik-titiknya mulai menyentuh tubuhku.

Aku segera mempercepat langkahku. Saat ini aku tak ingin bercumbu dengan gerimis. Senja beberapa saat yang lalu telah datang. Warna gelap di beberapa tempat di Tanah Grogot tampak nyata.

Lampu-lampu jalan yang menghiasi kota Tanah Grogot memang sedikit.

Aku kini setengah berlari, beradu cepat dengan gerimis dan malam. Pasar Pagi Tanah Grogot sudah sepi. Setelah sholat magrib di Masjid Agung,baru aku ingat, malam ini aku berjanji main ke rumah Ella, teman baruku. Aku bertemu dengannya di Perpustakaan Umum tanah Grogot.

‘’Fay, main ke rumah …,’’ katanya.

‘’Iya,’’ jawabku.

‘’Aku tunggu nanti malam ya’’.

Aku hanya mengiyakan lagi.

‘’Benar nah Fay. datang ya malam ini?’’ ujar Ella lagi.

‘’Malam ini malam apa? tanyaku.

‘’Malam Jumat. Memang kenapa?”

’Nggak. Nggak papa. Kalau malam besok gimana atau malam Minggu aja?’’ kataku seraya melempar tersenyum.

‘’Malam ini aku ulang tahun, Fay,’’katanya.

Ada beberapa kali Ella menyuruhku datang ke rumahnya. Dan ada beberapa kali pula aku tidak sempat mampir ke rumahnya. Tapi kali ini aku merasa tidak enak. Dia ulang tahun.

Aku bergegas. Pelabuhan sudah aku lewati. Aku perkirakan, hujan lebat tak akan turun. Hanya gerimis. Itu pun hanya sebentar. Aku melihat di pinggir jalan hanya ada beberapa orang yang berteduh dengan sabar. Ada pula beberapa orang yang membunuh dingin di Bakso Sabar, depan pelabuhan. Tanah Grogot memang sepi bagiku, yang baru beberapa bulan menginjakkan kaki di kota yang jarak tempuhnya dari Penajam dua jam lebih. Kalau seandainya tidak ada beberapa teman yang aku kenal, aku sungguh-sungguh seperti orang yang terasing; sendiri berteman sunyi di Desa Sungai Tuak, sebuah desa yang letaknya di seberang sungai Tanah Grogot. Desa yang hanya dipisahkan Sungai Kandilo. Sekalipun jaraknya dekat, namun Desa Sungai Tuak sungguh desa tertinggal.

Aku ke Sungai Tuak karena melarikan diri dari rutinitas kuliah. Semula aku hanya jalan-jalan saja. Eh, ternyata, aku malah tinggal di desa tersebut, dan sesekali  bertukar pikiran dengan petani di sawah. Aku mahasiswa Fakultas Pertanian Unmul yang mencoba mengamalkan sedikit ilmu di desa, sekalipun belum lulus kuliah.

Semula aku diajak Pak Yanto Kepala Desa Rantau Panjang tinggal di rumahnya. Namun, aku lebih memilih tinggal di Desa Sungai Tuak, yang jaraknya tak terlalu jauh dari Tanah Grogot.

Desa Rantau Panjang belum ada listriknya. Jalan tembus lewat darat baru beberapa bulan yang lalu dirintis oleh ABRI Masuk Desa bersama dengan penduduk Desa Rantau Panjang.

Sedangkan di Desa Sungai Tuak sudah ada listrik dan jalan tembus, sehingga kita tak kesulitan bila menuju ke rumah tetangga. Bayangkan, betapa sulitnya bagi kita yang tak bisa mendayung bila ingin pergi ke rumah tetangga, karena harus lewat sungai.

Aku sendiri, baru saja bisa mendayung. Pertama kali mencoba mengayuh, aku malah terputar-putar bersama perahu di tengah sungai. Kini aku sedikit mahir. Aku tidak perlu lagi minta bantuan orang lain untuk menyeberangkanku ke Tanah Grogot. Baik siang maupun malam hari.

Pernah suatu kali, aku pulang malam. Aku lihat di pinggir sungai tidak ada perahu miliknya Upe, tetanggaku di Sungai Tuak. Perahu milik Upe itu biasa aku pinjam. Tapi ada sebuah perahu, yang entah aku tidak tahu siapa pemiliknya. Tapi tidak ada dayungnya. Yah, terpaksa aku mengayuh pakai sandal jepit. Untung bisa. Padahal arus air Sungai Kandilo malam itu cukup besar dan kebetulan saat itu di Desa Sungai Tuak mati lampu, sehingga tampaklah Desa Sungai Tuak bagaikan sebuah hutan angker yang tak berpenghuni.

Gerimis sudah berhenti. Langit masih gelap. Tak ada bintang-bintang. Aku sudah tiba di tepi Sungai Kandilo, di belakang Langgar Attaqwa. Suasana benar-benar sunyi. Namun, Sungai Kandilo tidak tidur. Arus airnya cukup deras dan pasang. Arusnya berlenggang-lenggok ke hulu.

Aku tebarkan pandanganku ke seberang, ke balai desa, tempat aku tinggal ; gelap, lampunya belum dinyalakan. Sebenarnya ada rasa takut juga aku tidur sendirian di kantor Balai Desa itu. Tikusnya banyak dan besar-besar. Bila malam tiba mereka keluar dari sarang dan berlarian. Aku sempat ditawari Pak Bedu, Ketua LKMD setempat untuk tidur di rumahnya, tapi aku tak ingin merepotkan.

Pernah suatu kali, kelambuku dijatuhi tikus. Namun itu tak seberapa membuatku takut. Yang aku takuti adalah ular. Di Desa Sungai Tuak banyak berkeliaran ular-ular. Aku sempat beberapa kali bertemu ular. Baik ular yang besar maupun ular yang kecil. Baik yang berwarna gelap ataupun yang berwarna terang. Apakah kalian ingin berkenalan dengan mereka? Hih ….jangan deh.

Aku sudah pula berkenalan dengan ular yang beranak di perahu ketika aku menyeberang. Untungnya, aku tahunya setelah tiba di seberang sungai. Seandainya aku tahunya di tengah sungai, tentu aku akan lebih memilih terjun ke sungai. Takut bila dia mengigit kakiku. Wuih, ngeri!

Selama lebih lima bulan aku tinggal di Desa Sungai Tuak, ada suatu keanehan yang aku alami. Yaitu : setiap aku tidur sendiri dan aku juga tidak tahu, waktunya selalu malam Jumat, aku bertemu dengan seorang perempuan muda, usianya sekitar dua puluhan tahun. Dia berpakaian kain sutera berwarna kuning dan memakai selendang berwarna biru. Wajahnya sungguh cantik. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum lalu menghilang.

Aku tidak tahu, apakah aku hanya bermimpi? Tapi anehnya, pagi harinya ketika aku bangun di meja kantor Balai Desa itu tersedia makanan dan buah-buahan. Ah, seperti dongeng saja. Sungguh, aku benar-benar tak mengerti.

Dua kali sudah aku bertemu dengan perempuan (yang sungguh benar-benar cantik)  itu. Pada pertemuan yang kedua, dia sempat berkata ;” Aku Putri dari Pasir Belengkong. Aku ingin bersama kamu ...’’ lalu dia kembali menghilang.

Putri dari Pasir Belengkong? Siapa dia? Aku hanya tahu sedikit tentang Pasir Belengkong. Di daerah itu memang ada bekas kerajaan dan sekarang jadi museum. Aku hanya tahu itu. Aku belum pernah ke sana. Aku baru sekitar lima bulan tinggal di Tanah Grogot. Aku tidak tahu puteri-puteri dari kerajaan Pasir Belengkong. Sungguh. Atau adakah kerajaan lain di Pasir Belengkong? Atau ini juga puteri, tapi bukan dari kerajaan Pasir Belengkong?

Aku harus bergegas pulang. Bukankah malam ini aku janji akan ke rumah Ella? Dia ulang tahu. Aku hanya ingin berganti baju. Dan menyemprotkan wewangian ke tubuhku. Malam ini aku malas mandi. Pasti dingin. Ah, biar besok pagi saja.

Aku melihat perahu miliknya Upe ditambatkan di pinggir sungai. Untung ada dayungnya. Mungkin Upe atau Dani, adiknya Upe yang memakai. Aku cuma pinjam sebentar, toh nanti bila ada warga yang ingin menyeberangkan ke Sungai Tuak akan memakai perahu itu lagi dan kembali ke seberang. Tali pengikat perahu aku lepaskan. Lantas aku duduk di ujung perahu. Arus air cukup deras. Perahu mulai aku kayuh. Namun, apakah aku yang lambat mengayuh ataukah karena arus yang deras, sehingga perahu hanyut.

Aku berusaha mendayung, tapi perahu terus saja hanyut tanpa bisa aku kendalikan. Perahu hanyut ke hulu. Keringat sudah membasahi tubuhku. Kegelapan sungai tak bisa membantuku. Sunyi. Ada sesuatu kekuatan gaib yang tidak bisa aku lawan. Dan, perahu pun itu terus hanyut.

Akhirnya perahu tiba di tepi sungai. Tapi aku yakin, ini bukan di Desa Sungai Tuak, apalagi tanah Grogot. Entahlah, aku tidak tahu dimana kini aku berada.

Di tepi sungai orang-orang ramai berdiri. Tapi, tak satupun yang aku kenali.

‘’Selamat datang, Tuan,’’ ujar orang yang berdiri di depanku.

Ada beberapa orang, yang nampaknya (bila melihat pakaiannya) seperti prajurit istana, berdiri di samping orang yang berkata-kata menyambutku tadi. Ada tombak dan perisai di tangannya.

Ada keheranan di wajahku.

‘’Tuan kami persilahkan masuk keraton’’. Orang itu mempersilahkan. Sikapnya sopan dan ramah.

Aku melangkah mengikutinya. ‘’Ada apa ini?’’ tanyaku.

‘’Bukankah tuan akan menikah dengan sang puteri?

‘’Aku akan menikah dengan sang puteri?’’ aku makin kebingungan.

‘’Kapan?’’ tanyaku.

‘’Bukankah malam ini tuan?’’ jawab laki-laki tinggi besar itu lagi. ‘’Tuan kami persilahkan beristirahat dulu,’’ lanjutnya.

Aku disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangannya luas dan sungguh bagus. Ada sebuah ranjang dan barang-barang antik di sekitarnya.

Tidak berapa kama kemudian, pintu ruangan kembali terbuka. Seorang perempuan muda masuk dengan membawa makanan dan dua orang perempuan muda lagi membawa minuman dan buah-buahan.

Makanan dan buah-buahan itu diletakkan di meja. Lantas mereka pergi meninggalkan ruangan. Pintu ruangan kembali ditutup.

Aku membaringkan tubuh di ranjang. Kutatap langit-langit. Apa yang kini sudah terjadi pada diriku? Di mana kini aku berda? Aku akan menikah? Apakah aku kini berada di alam gaib. Oh, tidak! Aku berteriak sekeras-kerasnya; ‘’Tidaaaaak!”.

 

                   ***

 

SANG Surya sudah bersinar. sinarnya kembali menyiram bumi. Ayam-ayam Upe juga sudah ramai berkokok. Aku terbangun. Pandangan kutebar ke ruangan sekitar. Aku berada di Balai Desa Sungai Tuak. Oh, apakah tadi malam aku bermimpi?

Tapi, Oh! Aku kembali tersentak kaget. Dari balik kelambu, aku melihat makanan, minuman dan buah-buahan terhidang di meja. Dan aku lebih tersentak kaget lagi, ketika aku melihat di sampingku; tergeletak sebuah selendang biru.

Apakah kamu tahu selendang biru itu milik siapa?

Ah, aku kembali mengecewakan Ella. Aku menguap. Aku masih mengantuk dan ingin tidur.

Dan aku biarkan saja selendang biru itu terbaring di sampingku.

 

Samarinda, Februari 1990.

Komentar

Foto annisa

lnjutn.a mana???

lnjutn.a mana???

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler