Skip to Content

Tersekat

Foto Fathur Bchrooz

aku yang sedang tak biasa

menemukanmu dalam aroma embun dan matahari senja

 

Pagi ceria. Semburat mentari menelisik melewati celah jendela rumah Ednar yang bergaya subtropis minimalis. Ednar yang masih terlelap tiba-tiba terbangun ketika beberapa binar cahaya menyilaukan matanya. Ia terkejut ketika melihat jam yang mendekati pukul tujuh.

“Astaghfirullah, kesiangan!”

Sejak kemarin Ednar tinggal sendirian di rumah. Ibu dan istrinya pergi ke Bandung. Mereka tengah berkunjung ke rumah mertua Ednar dan kemungkinan baru pulang ke rumah sore nanti.

Ednar langsung bergegas mandi dan berpakaian rapi. Memakai kemeja, celana hitam berbahan kain, sepatu pantopel, dan jaket berwarna navy. Tak lupa ia pun menyisir rambutnya bergaya acak teratur dan menyemprotkan wewangian khas lelaki pada bagian tubuhnya.

Berpakaian rapi menjadi suatu keharusan bagi Ednar. Maklum, profesinya saat ini adalah supervisor muda sebuah toserba di daerah Gambir. Karena ia tinggal di pusat kota Bogor, maka setiap hari ia harus menempuh perjalanan Bogor – Jakarta. Di Bogor ia tinggal bersama ibu dan istrinya yang baru dinikahi 6 bulan yang lalu. Ibunya sudah renta dan ingin tetap tinggal di rumah yang ia bangun bersama mendiang ayah Ednar. Atas dasar itu Ednar dan istrinya mengurungkan niat mereka untuk pindah ke Jakarta.

Karena bangun agak kesiangan, kali ini Ednar sampai di Stasiun Bogor agak terlambat. Ia pun segera melangkahkan kaki menuju gerbong ketujuh kereta komuter. Gerbong ketujuh itu memang gerbong favoritnya. Entah apa alasan yang mendasari pemikiran tersebut karena hanya ia yang tahu. Ia duduk di kursi belakang dalam gerbong itu. Dan membiarkan satu kursi di sampingnya kosong. Sepertinya ia mengharapkan seseorang, yang mungkin sebentar lagi tiba, akan mengisi tempat duduk itu. Namun sampai kereta mulai berjalan, orang itu belum kunjung tiba. Ednar mulai gelisah dan kecewa akan situasi tersebut. Seketika ia pun langsung merogoh saku celananya, berniat mengambil ponsel, namun ia tak menemukannya.

“Aduh! ponselnya ketinggalan di rumah lagi,” Ednar menyesali kelalaiannya sendiri. Kini ia tampak lebih gelisah dari sebelumnya. Sesampainya di tempat kerja pun ia masih tampak sama.

 

***

 

“Kamu lagi kenapa Nar? Ko tidak seperti biasanya.” Aldrin menepuk punggung teman kerjanya dari belakang.

“Tidak apa-apa Al. Hanya sedikit kurang enak badan saja.” Ednar berkilah.

“Oh ya sudah kalau begitu sih. Ayo kita makan siang dulu!”

“Ayo Al. Dari pagi perutnya baru diisi roti saja nih.” Keduanya menuju kantin terdekat lalu melahap santap siang yang mereka pesan.

 

***

 

Langit mulai menjingga. Matahari akan segera bersembunyi ke peraduannya. Merelakan malam untuk dikencani bulan hingga esok menjelang. Ednar pun demikian. Setelah jam pulang ia langsung menuju stasiun Gambir dan kembali menuju gerbong ketujuh. Berharap seseorang yang ia nanti berada di situ.

Sesampainya di kereta, senyum Ednar mengembang setengah lingkaran. Ia dapati seorang karyawati sebuah bank swasta di Jakarta sedang berada di dekat tempat duduk favoritnya sambil mendengarkan lagu dari pemutar musik ponsel. Perempuan itu tampak cantik dan lucu dengan jilbab navy, kemeja krem bergaris vertikal, celana hitam berbahan kain, sepatu berhak sedang, dan riasan minimalis yang berbalut sedikit lelah di wajahnya.

Ednar berdiam diri di dekat pintu gerbong kereta dan memandang dalam perempuan itu. Selain karena kecantikannya, ia juga terkagum dengan kemandirian perempuan yang sejak 2 bulan lalu dikenalnya itu. Walaupun anak bungsu, perempuan yang baru lulus kuliah setengah tahun yang lalu itu tidak manja. Tidak ingin memanfaatkan harta orangtuanya yang cukup borjuis. Berbanding terbalik dengan istrinya yang manja dan shoping holic.

“Hamba benar – benar mencintainya Tuhan. Hamba mohon, berkonspirasilah dengan hamba untuk menjadikan ia hawa hamba yang sesungguhnya.” Ednar berdoa dalam hati sambil memandangi perempuan itu.

“Eh, ada Mas Ednar! Sejak kapan Mas di situ?” Perempuan itu terkejut akan kehadiran Ednar.

“Sejak tadi Zy. Sejak Lizzy masih mendengarkan lagu lewat handfree,” Ednar tersenyum melihat keterkejutan perempuan itu.

“Kenapa Mas nggak langsung nyamperin aku?”

“Mas tidak mau mengganggu Lizzy yang sedang asyik mendengarkan lagu.”

“Hmm, bohong!”

“Hehehe....Mas sedang asyik memandang wajah cantik dan lucu gadis berumur 21 tahun. Gadis mandiri yang bersenyum manis kristal tebu. Karyawati sebuah bank swasta yang Mas temukan dalam aroma embun dan matahari senja.”

“Siapa tuh Mas?” Tanya Lizzy sambil tersenyum mendengar hal tersebut. Karena ia tahu, gadis yang dimaksud itu adalah dirinya.

“Hmm, kasih tahu tidak ya? Hehehe....” Ednar mendekati Lizzy dan hendak duduk di sampingnya. Sebelum ia duduk, Lizzy terlebih dahulu mencium tangan kanan Ednar.

“Kasih tahu sih Mas!” Lizzy meminta dengan raut wajah yang memanja.

“Tidak mau ah hehehe....”

“Eh iya, tadi pagi Mas berangkat kerja jam berapa? Aku tunggu - tunggu ko nggak dateng juga. Aku telepon Mas tapi nggak diangkat.”

Ednar terdiam sejenak, memikirkan kejadian tadi pagi. Ia baru ingat kalau ia berangkat kerja agak terlambat, 15 menit lebih lambat dari jadwal biasanya. Di dalam hati ia memaki kelalaiannya sendiri. Kegelisahan yang ia rasakan tadi pagi merupakan kesalahannya sendiri.

“Mas berangkat kerja agak terlambat Zy. Mas bangunnya kesiangan.” Ednar tersenyum menjawab pertanyaan Lizzy.

Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Gambir. Dalam perjalanan pulang ke rumah itu mereka bersenda gurau, membicarakan banyak hal, saling mendekap, dan memandangi senja yang terlihat dari jendela kereta yang mengendap perlahan - lahan di garis bawah penglihatan mereka. Kadang Ednar terdiam memikirkan hubungan mereka yang tanpa status. Memikirkan istrinya yang sebenarnya tidak ia cintai. Memikirkan ibunya yang sudah renta dan mengidap penyakit jantung. Serta memikirkan banyak hal yang menyekat mereka. Tentang cinta dan luka yang tidak dapat mereka hindari.

“Lizzy tahu, kenapa Mas selalu sedih ketika memandangi senja?”

Lizzy merenggangkan pelukannya. Ia tak menjawab, toh sebentar lagi pasti Ednar menjawab pertanyaannya sendiri.

“Karena senja akan memisahkan kita dalam beberapa saat.”

Lizzy hanya tersenyum mendengar ucapan tersebut dan mereka kembali dalam suatu kemesraan raga. Kemesraan yang masih terlarang.

 

***

Komentar

Foto Yudi Tahjudi Sunas

Good

Good

Yudi Tahjudi Sunas

Foto Fathur Bchrooz

Thanks you

Thanks you

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler