Orasi pada Hari Pertemuan Penyair
Karya Muhammad Rois Rinaldi
Di hotel bintang lima ini, kita bertemu lagi
dalam keadaan yang semakin lain.
Tetapi kita masih lancar berbicara
tentang kemiskinan dan harapan-harapan kita
kepada keadilan. Tidak apa-apa,
karena tabiat omongan adalah omongan,
kita tidak melulu kudu punya urusan
dengan omongan kita sendiri,
sekalipun kita mengerti bahwa menepati
omongan bukan saja untuk harga diri
tapi karena kita jelas bukan burung.
Kawan-kawan, di dunia yang makin tidak dapat
ditangkap kelebat bayangnya ini,
sudah sepatutnyalah kita ubah siasat
dan kita telah melakukannya dengan baik.
Tidak perlu khawatir, menjadi juru bicara
partai politik atau corong kekuasaan
kini bukan barang hina bagi penyair,
bahkan kadang-kadang itu terlihat
sangat memukau, berwibawa, dan berdaya.
Apatah lagi kita punya semua jurus bahasa
orang-orang ngawur mudah saja
kita kencingi sambil terbahak-bahak,
Tetapi kita jangan lupa belajar menjadi ngawur
karena kengawuran adalah iman
sebagian besar orang di masa kini.
Ini bukan dosa, karena kita tahu
sebuah siasat harus dijalankan
untuk keberdayaan hidup.
Setiap jalan memang menyimpan kemungkinan
buruk dan kemungkinan terburuk
adalah ketika kita tidak berani bermain-main
dengan kemungkinan, itu lumrah bagi kita.
Kita telah sepakat untuk lebih berdaya
agar kita mampu menolak takdir sebagai anjing
menggonggong yang mati busuk di bawah
tiang listrik dalam keterasingan yang pedih.
Oleh karena itu, kita tidak perlu bisik-bisik,
Sudah waktunya kita ambil bagian
dan merencanakan sebuah peradaban
yang gagah, lebih dari sejarah-sejarah besar
yang pernah kita baca. Kita harus
membebaskan diri kita dan semua orang
yang tertindas.
Tidak masalah jika pun kenyataannya
berpuluh tahun kita bergantian di tempat itu,
tidak ada yang menggembirakan selain
kegembiraan kecil kita lantaran mampu
membayar kontrakan dan beli motor bekas.
Setidaknya itu cukup menghibur kita
dari kesedihan karena senyata-nyatanya
puisi tak pernah menghidupi penghidupan kita
juga menghibur kita dari kealpaan
bahwa kita sering mengatakan
puisi adalah kesunyian, penyair adalah
orang-orang yang menempuh jalan sunyi
dan kealpaan lain yang agak memalukan,
di mana kita kadang-kadang bertengkar
seperti bertengkarnya kurcaci karena berebut
periuk di hadapan para raja.
Jadi, kita sudah di tempat yang benar
telah memetakan kebenaran
dengan cara yang lebih kekinian.
Mengalah atau lebih tepatnya dikalahkan
keadaan berkali-kali seperti jatuhnya puluhan
kijang di rawa-rawa buaya adalah hal biasa.
Tidak perlu diharu-biru karena kita masih percaya
darah yang mengalir di tubuh penyair
bukan darah seorang pengecut.
Itu sudah lebih dari sekadar cukup
agar dalam hidup, kita masih punya kebanggan.
Hidup tanpa kebanggaan adalah padi
kehilangan isi, adalah singa tanpa kuku,
taring, dan auman.
Kawan-kawan yang disebut Tuhan
dalam kitab suci. Hari ini kita bicara lagi
meski kita makin sangsi kepada gema
dari mulut kita sendiri, karena kita sering terjebak
di dalam omong kosong kanonisasi.
Digoda eksistensi. Dipukau popularitas.
Kita sibuk memperebutkan halaman koran
dan panggung-panggung penghargaan.
Hari-hari berat kita bukan lagi terdesak
di tepi-tepi ruko waktu malam
di antara orang-orang yang saling bunuh
karena uang seribu perak.
Hari berat kita, hari tanpa penghormatan.
Hari berat kita, hari tanpa pengakuan.
Dan kita tidak kudu limbung karenanya.
Semua sudah menjadi biasa saja.
Saya tahu ini terlalu verbal, baiknya saya sudahi.
Lihatlah lampu keristal itu, betapa memesona.
Lihatlah pernak-pernik pada dinding itu,
betapa cantik sebuah dunia yang tercipta dari cahaya buatan.
Mari menyantap burger dan pudding
karena hidup kita sebatas ruang tertutup ini.
2016
Sumber: Buku puisi Nada-Nada Minor
Komentar
Tulis komentar baru