Skip to Content

Sajak dari Jogja

Foto A.Junianto

SAJAK-SAJAK A.JUNIANTO

 

Kota


kota itu, kawan

adalah kertas yang mengabarkan dirinya sendiri

saat jemarimu yang terbiar

memungutnya setengah terbakar

lalu ia adalah tumpukan bata tua

dan hanya menangkup rerangka jendela

saat rintik di ujung lidah,

serupa mosaik yang menilas

sebuah titik di tanda dosa yang membias

 

selepas kata, kota ini adalah kaca

adalah bahasa yang mengental di nafasnya

ketika kau binasa oleh depa

oleh jejak yang memerca

 

sungguhkah kota itu adalah luka,

seperti mimpimu yang terbang bagai bayi kepodang

lalu menjelma kerikil, dan serpih dinding

usang yang menggigil

sungguhkah kota itu adalah kaca,

yang mengubahmu menjadi senja,

hanya karena ia tak lagi

menyebutnya: sorga

 

Jogjakarta, 2011

 

 

Pada Senyummu

kepada S.Y

 

lalu senyummu menghampar,

saat ampas hujan menghujam, memar

gemerasak reranting yang menghantam

kusam dinding etalase, lebam

 

sungguh, hanya pada senyummu

surgaku kutembang

 

serupa luka pada asap pekat, bus tua

bau aspal kelabu,

dan rerumah kumuh ,

kau tahu, istriku,

itulah mimpiku,

 

sungguh, hanya pada senyummu

kematianku mengambang

 

Jogjakarta, 2011

 

Stasiun Tua

 

stasiun tua sambut langkah kami,

langkah seekor keledai yang siap tuk disangsai

 

kematian kami, adalah kematian gerbong-gerbong

yang disingsal waktu, lewat sulur, lewat cerobong

 

sore yang sendiri, adalah gemintang kami,

adalah kesangsian yang menunggu di pucuk cakrawala

 

lembaran luka kami, adalah kesangsian bangku-bangku tua

melembab oleh detik, dan nyala lilin yang berpeletik

 

tapi kematian kami masih sunyi,

meski lenguh kereta, sudah meninggalkan buku cerita

 

Jogjakarta, 2011

 

Ambarukmo, Suatu Senja

 

lampu plaza yang mengerlipkan namamu,

manekin-manekin yang kulihat hembuskan nafasmu,

ialah eskalator yang bermimpi menjangkau bumi,

serupa bibirmu tenggelam,

pada sisa arak yang kau siramkan pada butiran ladam

 

lalu, segera

mayat kita diapungkan oleh lembaran pamflet-pamflet tua,

dan bandrol harga yang mengingatkanku pada mautmu,

mengantar luka kembali pulang di atas dadaku,

 

inilah pusara kita, kau tahu

pelangi yang menembus bising klakson,

adalah desahmu, yang kukecup

saat senja tak usai,

percintaan itu kita mulai

 

cintaku yang jauh,

kukuburkan rindu kita pada gumantung kemeja,

kutaburkan bunga pada hamparan cokelat dan bra merah muda

di situlah, kutemukan surgamu

kutemukan senyummu

yang segera kubungkus dengan aroma anyir

sisa percakapan yang begitu satir

 

sungguh, malam ini adalah

pencarianku atas suaramu yang terasa begitu lelah

 

Jogjakarta, 2011

 

Perpisahan Kita, Menoreh

 

memintal percik arus kali

seperti memintal rinduku,

saat kususuri jeram di sepanjang tubuhmu,

sungguh, andesit terus berdesit,

membawa mimpiku, mimpi kita

menjelma sebatang korek dan secangkir kopi pahit

 

dingin payudaramu,

beku kesangsianku,

saat berdua kita turuni lembah,

kusaksikan di rongga mulutmu, matahari pecah

lalu puncak menoreh yang terlihat angkuh, marah

oleh purnama yang urung datang,

saat perlahan kepergianmu, datang

 

Jogjakarta, 2011

 

Pertemuan I

 

bulir tasbih galau dan resah

menabur diri di sepanjang jalanan basah,

itulah impi kita, adinda

 

teriak sholawat dan lantunan seribu abjad

menggantung diri di ambang mendung yang terlambat

itulah rindu kita, adinda

 

tabuh bedug bertalu bende,

membanting siang menenun sore,

itulah cinta kita, adinda

 

Lalu, siluet perempuan berbikini

dan debur ombak yang mengalahkan lenguh birahi

adalah pertemuan kita, wahai adinda

 

Jogjakarta, 2011

 

Pertemuan II

 

pusara yang tinggal ampas

diluapi aroma sengal nafas

butiran kepala arca,

kau kirim ke alamatku kemarin senja,

kini sudah kukuburkan bersama cintaku, di musim beku

 

kusambut biji matamu yang menggerat ke arah barat

bersama matahari yang menutup syair dan lembaran buku filsafat

saat cerita berganti naskah,

saat setiap adegan menjadi pasrah,

panggung seperti tampak pecah,

lalu, kita bertemu,

saat kau usung perca kamboja, kerudung dan keranda

 

Jogjakarta, 2011

 

Pertemuan III

 

saat kutemukan,

tubuhmu secarik kertas abu-abu

terbang kerna angin timur yang meniup buritan lamur.

 

saat kuhirup,

keningmu luapan sungai berbatu

menderas menggemuruh memecah rindu.

 

saat kupeluk,

pundakmu liukan daun kamboja

menggerimis oleh lantunan rerumput kali yang magis.

 

Jogjakarta, 2011

 

Pertemuan IV

 

begitu banyak yang ingin kuceritakan padamu,

seperti embun yang selalu ingin bercinta dengan pucuk daun

 

seperti kerikil yang tak luput mengeluh pada rerumput

tentang hujan yang tak lupa mencumbu bebatang kayu penuh lumut

 

begitu banyak yang ingin kukisahkan kepadamu,

saat keranda pertama kali diusung

saat mendung pertama kali mennggantung

 

Jogjakarta, 2011

 

Komentar

Foto fanny

tolong buatin puisi tentang

tolong buatin puisi tentang jogja pliis

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler