Skip to Content

puisi filsafat

Kala aku mencinta

Senja menyambut kala Mentari mulai larut

Harapan membawa daksaku menghanyut

Bersama sukmamu,  yang selalu melambai

Cintaku,  semakin menjuntai

 

Di Bawah Matahari

di bawah matahari mengurai ambisi

dalam fana, uraian menembus mimpi

membekukan api membisukan suara hati

di bawah matahari memompa segala arti

 

Transformasi

Bagian dari pohon cemara itu

Adalah yang akan dilihat cucuku setelah dia dewasa,

Berkembang di sini di akarnya:

Cabang itu mungkin istrinya,

Kehidupan manusia yang kemerahan

Kini berubah menjadi tunas hijau.

Rumput itu pasti terbuat

Dari dia yang sering berdoa,

Di abad yang lalu, untuk istirahat;

Dan gadis yang dulu jelita

Yang kucoba untuk mengenalnya

Mungkin memasuki kembang mawar ini.

Jadi, mereka tiada berada di bawah tanah,

Melainkan sebagai urat syaraf yang menyatu

Dalam pertumbuhan di udara terbuka,

Dan mereka merasakan sinar matahari dan hujan,

Dan energi sekali lagi

Yang menjadikan mereka seperti adanya dulu!

 

 

NANAR

NANAR

 


aku ingin bertanya pada pembunuh
yang Membunuh Segala Pembunuh
: di ujung mata pisau,
dalam dekap sayap ajal,
di manakah letak kematian?

Ragu Ragaku

Tuhan ,

jika ragu tak rugikan ragaku ,

 

maka sungguh ku ingin bertanya pada api dingin

yang enggan membakar Ibrahim ,

 

Nasehat Iblis

" Wahai manusia, jangan biarkan Tuhan membuka kamus kalian ! " teriak Iblis menjelma bisikan dalam telinga para sastrawan , " Dia berjanji akan mengintervensi bahasa kalian, dan menghapuskan kata 'Kesendirian' " tambahnya dengan nada lumayan putus asa .

Rembang, 13/04/13

Tanya Esok Hari


Siapa yang kan sapa sepiku ?

kala sangkakala Sang Tunggal
ditiupkan ,

: tanggalkan akhir pada hari ,

tinggalkan aku sendiri ,

EKSISTENSIALISME

berbicara nyawa, sama saja hampa.

 

melihat seolah-olah yang maya ada nyata.

 

berbayang tawa, tanpa titik titik ada.

 

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler