Skip to Content

PERJALANAN KALI INI

Foto Iwan M. Ridwan

ADEGAN I

DI SEBUAH BIS YANG PENUH DENGAN PENUMPANG, NAMPAK SEORANG PEREMPUAN KEGERAHAN. SEORANG LAKI-LAKI DATANG MENGHAMPIRI LANTAS DUDUK DI SAMPINGNYA. BEBERAPA SAAT SALING MEMBISU. PEREMPUAN MENGIPASI DADANYA DENGAN SEHELAI TISYU. LAKI-LAKI MELIRIK. BIS MELAJU CEPAT. KACA JENDELA TERPELANTING POHON KERING.

Perempuan : Wawh…

Laki-laki : (TANGANNYA MENCARI PATAHAN-PATAHAN RANTING YANG MASUK KE DALAM MATANYA)

Perempuan : Sesuatu tidak membuatmu terluka?

Laki-laki : (MENGGERAK-GERAKAN MATANYA)

BIS MELAJU PELAN LANTAS BERHENTI DI PERSIMPANGAN. PEREMPUAN KEMBALI MENGIPASI DIRINYA DENGAN TISYU. LAKI-LAKI MELIRIK KEMBALI, KEMUDIAN MENGELUARKAN BUKU CATATAN DARI DALAM TASNYA YANG AGAK KUMAL

Laki-laki : Aku tak merasa keberatan jika anda memakai buku ini!

Perempuan : Terima kasih. (MENERIMA BUKU TERSEBUT)

HENING. PEREMPUAN MENGIPASI DIRINYA DENGAN BUKU TULIS. LAKI-LAKI MELIRIK.

ADEGAN II

PEDAGANG ASONGAN DATANG MENARUH SESUATU DI PANGKUAN PEREMPAUN.

Pedagang : Maaf, Neng, ikut menawarkan oleh-olehnya. (BERDIRI BEBERAPA SAAT LALU MENGELUARKAN BARANG DAGANGANNYA) Neng, mumpung lagi promosi, lagian Si Neng ada yang mau bayarin.

Perempuan : (TERSENYUM)

Pedagang : Si Neng, malah senyum. (PERGI KE BELAKANG)



PEREMPUAN MEMPERHATIKAN BUKU YANG DIPEGANGNYA. KEMUDIAN MENGAMATI GAMBAR YANG TERTERA PADA SAMPULNYA.

Perempuan : Ini gambar apa?

Laki-laki : (MELIRIK) Jalan.

Perempuan : Isinya?

Laki-laki : Kata-kata.

HENING SEJENAK. PEREMPUAN TERUS MENGAMATI BUKU YANG DIPEGANGNYA. PEDAGANG ASONGAN MENGAMBIL KEMBALI DAGANGANNYA.

Pedagang : Ayo atuh, Neng. Buat oleh-oleh!

Perempuan : Enggak, Mang, terima kasih. (PEDAGANG PERGI) Ehm, boleh aku membacanya?

Laki-laki : Tiada yang melarangmu. Cuma, jika kau kenal dengan pendahuluan, mohon dimaafkan?

Perempuan : (MEMBUKA HALAMAN PERTAMA) Em… Bagus. (MEMBUKA-BUKA HALAMAN BERIKUT. HENING SESAAT) Kau masih sekolah, emh, kuliah maksud saya.

Laki-laki : (TERSENYUM)

Perempuan : kau mendapat tugas membuat buku puisi dalam perkuliahanmu?

Laki-laki : Cuma iseng.

Perempuan : Loh. Ini kan bagus sekali.

Laki-laki : Sebagai laki-laki yang tak punya pekerjaan, lebih baik bikin puisi dari pada termenung sendiri. (DIAM) tak peduli apa kata orang tentang puisi. Penuh rayuan, bualan, gombal. Kau setuju dengan pendapat itu?

Perempuan : (MENGANGKAT BAHU) Barang kali. Kau merasa seperti itu?

Laki-laki : Puisi dilahirkan dari suara hati seorang penyair ketika dirinya menjadi manusia.

Perempaun : cieileh… puitis sekali.

Laki-laki : puisi-puisiku diangkat dari pengalaman pribadi. Jika puisi itu hayalan belaka, berarti gombal. Aku tak bisa berpuisi jika hanya mengandalkan reka-reka kata.

Perempuan : Bagaimana jika kau memesan sebuah puisi saja?

Laki-laki : Dariku?

Perempuan : Sungguh.

Laki-laki : Harus dengan cara apa aku menyusun kata-kata untuk merangkai menjadi sebuah pesanan puisi.

Perempuan : Maksudmu kau tak dapat membuatkannya untukku?

Laki-laki : Demikian. Aku belum mampu menciptakan lirik-lirik yang tak sedikitpun kurasakan apa lagi tak kuketahui. Kau menyukai puisi?

Perempuan : (MENGANGGUK CEPAT) Sering aku membuatnya. Hanya luapan perasaan. Tidak seperti milikmu. (MENUTUP BUKU PUISI LAKI-LAKI) Hanya ini puisimu, tidak ada yang lain?

Laki-laki : Kau mengerti bahasa Sunda?

Perempuan : Bisa. Memangnya?

Laki-laki : (MENGELUARKAN BEBERAPA BUAH PUISI YANG TELAH DIPRINT OUT PADA KERTAS HVS, LALU MEMBERIKANNYA PADA PEREMPUAN)

Perempuan : (MELIHAT DAN MEMBACANYA) Aku tak begitu mengerti dengan bahasa yang kau pakai. “Bangbaluh” apa artinya?

Laki-laki : Kau bukan orang sunda?

Perempuan : (TERSENYUM) “Wirahma”, “dalingding”, “jomantara” ah aku tak mengenal kata-kata yang kau pakai. Tak kumengerti.

Laki-laki : Seperti ikan tak bisa berenang. Demikian pepatah mengatakan. Demikian halnya dengan bangsa kita, sering kali tak begitu mengenal bahasa daerahnya sendiri.

Perempuan : Maaf saja. Tapi serius aku tak mengerti. Yang lain saja yang berbahasa Indonesia.

Laki-laki : (MENGELUARKAN BUKU CATATAN LAIN) Sebenarnya buku ini tak layak kau baca. Puisi di dalamnya berdedikasi buat banyak perempuan.

Peremuan : Tak masalah.

Laki-laki : Malu!

Perempuan : Apa yang membuatmu malu?

Laki-laki : Tidak ada.

Perempuan : Kau orang mana?

Laki-laki : Aku lebih malu lagi harus menjawab pertanyaan itu.

Perempuan : Apa salahnya memberi tahu alamat, toh kita tinggal di kota yang sama. Tak perlu berkecil hati. Tak sedikit bukan orang-orang sukses berasal dari kota-kota kecil bahkan desa sekalipun.?

Laki-laki : Sebagian begitu. Lantas kemana pengangguran-pengangguran yang banyak diberitakan di media masa yang berasal dari kampung dan membuat keonaran?

Perempuan : Sampai di sana pemikiranmu?

Laki-laki : Kau orang mana?

Perempuan : Cianjur juga. Rumahku di Jl. Laksana No. 18.

Laki-laki : Cianjur, kota tauco yang mandirikan gerakan masyarakat berahlak karomah.

Perempuan : Hey, kau tak setuju?

Laki-laki : Keuntungan apa yang kita dapatkan jika kita setuju. Dan rugi jika kita no comen?

Perempuan : (ANGKAT BAHU) Sudahlah. Kau tinggal dimana?

Laki-laki :.Bis yang melewati terminal selalu memasuki jalan yang kecil dan berkelok masuk ke sebuah desa yang natur. Rumahku terpencil disana.

Perempuan : Waah. Damai. Sejuk. Suasana alam masih melekat di padanya. Emh…romantis. (MEMBAYANGKAN) Ah. Lihat puisimu!

Laki-laki : Tak kuijinkan kau menamaiku seorang play boy atau sebangsanya.

Perempuan : Demi puisimu kuhargai. (MEMBUKA-BUKA LAGI) Bagus sekali. Mengapa tak kau kirimkan saja ke majalah atau koran?

Laki-laki : Bukan tak ada maksud.

Perempuan : Tapi?

Laki-laki : Tidak ada tapi. Hanya saja aku belum siap melihat anak-anakku tergeletak dimana saja. Tak ada yang merangkulnya.

Perempuan : Anak-anakmu?

Laki-laki : Setiap yang kita lahirkan adalah anak kita.

Perempuan : Oh…!

Laki-laki : Semua orang yang menulis puisi menunggu antrean untuk bisa menempatkannya pada sebuah halaman sastra dan budaya. Mereka lebih intens dari pada aku. Sebulan sekali paling minim. Baiknya seminggu atau tiap hari. Bersyukurlah bagi mereka yang karya-karyanya terbit seminggu setelah pengiriman.

Perempuan : Maksudnya?

Laki-laki : Setelah kita mengirimkan naskah, kita dituntut kesabaran untuk menanti giliran terbit.

Perempuan : Memangnya berapa hari kita harus menunggu?

Laki-laki : Seusia jagung masih dikatakan sebentar. Setengah tahun aku pernah menanti.

Perempuan : Aku tak mengetahui itu. Kukira seperti membeli saja. Asal kita punya uang langsung jadi. Menurutku puisi-puisimu bagus. Tak sepatutnya harus dilama-lama. Tuh kalimat ini ; “ …lalu rasa malu dating saat wajahmu bercermin di matamu….” Berkualitas banget bukan? Biasanya orang bercermin pada kaca atau cermin sendiri. Di sini kau katakana bercermin pada mata. Harusnya puisi-puisimu mahal dong.

Laki-laki : Tak ada keindahan puisi mempengaruhi harga. Dan puisi-puisiku tak kunilai dengan itu. Kekayaan batin yang kudapatkan lebih menjadi penyejuk dalam perjalananku menyusuri jejak-jejak puisi.

Perempuan : Setiap puisi yang kuciptakan, memakai kata-kata yang biasa, paling curhatan kegelisahan, marah atau kesal. Dan tak jarang ketika hati ini berbunga-bunga kata-kata romantis sering muncul menjadi puisi.

Laki-laki : Puisi adalah kejujuran.

Perempuan : Iya, sih. (HENING. PEREMPUAN MENGAMATI KEMBALI PUISI DALAM BUKU TERSEBUT) Sepertinya kau tak begitu mnyenangi keramaian. Kau tak senang dengan musik-musik keras?

Laki-laki : Ada sesuatu yang menandakan itu?

Perempuan : Hening dan alam begitu lekat dalam puisimu.

Laki-laki : Sebuah karya sangat terpengaruh oleh latar belakang pengarang. Hal-hal empiris sering diluapkan dalam ide-ide dan gagasan mereka.

Perempuan : Artinya?

Laki-laki : Aku lahir dari keluarga petani. Pepadi menghijau dinyanyian burung-burung pipit. Hamparan sawah membentang sekalipun tak sepetak pun kumiliki. Dibelakang rumah berdiri pepohon kokoh dengan dedaun rindang yang menghijau seperti rerumpun bambu menyanyikan damainya kepada senja yang tiba bersama angin malam. Berdendang lagu sendu.

Peremuan : Wuawh. (MEMANDANG KE DEPAN MEMBAYANGKAN)

Laki-laki : Jika matahari mulai ditelan jelaga, suara-suara malam membangunkan segenap sunyi. Kelapak kelelawar menari-nari pada gemesir angin yang menyapa dedaun tempat mereka berpegang saat meraih buah yang mereka makan. Mereka membawanya ketempat-tempat nyaman. Sebagian buah-buah itu terjatuh ke tanah lalu ditertawaklan jangkrik kecil.

Perempuan : (MEMEJAMKAN MATA)

Laki-laki : Di langit bulan dan bintang bermain petak umpet. Bergantian sembunyi pada hujan yang masih bernama mendung. Begitulah perjalanan tiap malam-malamnya hingga menghilang terkagetkan matahari yang disambut baik oleh kicauan burung dan sahutan ayam.

Perempuan : Sedalam apakah arti keheningan bagimu?

Laki-laki : Seperti dalamnya pelukan samudera pada dasar lautan. Sedalam rasa cintaku pada alam.

Perempuan : (TERSENYUM) Bukan pada perampuan?

Laki-laki : Itu bagian dari kehidupan lain.

Perempaun : Loh. Hampir seluruh puisimu berdedikasi untuk perempuan.

Laki-laki : Wajar. Tak salah jika setiap yang memiliki keindahan menjadi inspirasi.

Perempuan : Jadi siapa saja yang kau rasakan atau kau lihat indah dapat menjadi puisi?

Laki-laki : (MENGANGGUK)

Perempuan : Bagaimana kalau kekasihmu tahu?

Laki-laki : Jauh untuk aku memperlihatkan mereka kepadanya.

Perempuan : Tentang puisi-puisi untuk perempuan ini?

Laki-laki : Yah!

Perempuan : Ini artinya kau tak sayang kepadanya. Kau hanya mementingkan diri sendiri.

Laki-laki : Apakah rasa sayang erat memeluk sebuah keterbuakaan?

Perempuan : Kejujuran. Tidak ada keterbukaan adalah kebohongan. Kau selalu menyembunyikan sesuatu darinya?

Laki-laki : Sebuah hak. Layak dihargai.

Perempuan : Aku kira tidak begitu. Kekasihmu lebih berhak tahu segalanya mengenai dirimu. Perempuan lebih mengahrapkan kejujuran. Jika ada sesuatu yang dirasanya tersembunyi, batinnya memendam seribu tanda tanya, apakah kekasihnya telah bosan dengannya? Selingkuh? Jemu atau kecewa? Benci, marah, sesal? Lalu perasaannya tak tahu harus diapakan? Karena kau hinakan. Kau tahu perempuan itu lahir bukan dari ujung kaki Adam yang artinya boleh diinjak-injak…

Laki-laki : …dan ia juga tidak terlahir dari bagian kepala Adam yang harius diagungkan…

Perempuan : Nah kau pun tahu perempuan lahir dari tulang rusuk kiri Adam yang berarti harus dilindungi dan disayangi.

Laki-laki : (KETUS) Tidak setiap perempuan layak disayangi.

Perempuan : Apa?

Laki-laki : Banyak perempuan yang mematahkan hati para penyair, sehingga untuk mencegah gantung diri mereka meluapkannya menjadi puisi.

Perempuan : Hey!

Laki-laki : Banyak perempuan yang membawa hati laki-laki kabur ke sebuah planet yang tak terdeteksi dari Bima sakti.

Perempuan : Tak kau menyadari bahwa kebanyakan laki-laki tak tahu diri.

Laki-laki : (KESAL)

Perempuan : Harga diri perempuan seenaknya diinjak-injak, kesuciannya direnggut lalu pergi tanpa merasa berdosa. Dimana letak tanggung jawabnya.

Laki-laki : Tidak!

Peremnpuan : Dalam pernikahan, seenaknya saja perempaun dimadu, tak jarang laki-laki yang melacur di luaran sementara istri dituntut untuk tetap suci. Menemui teman sendiripun dianggap melanggar, perempun selalu yang menjadi korban. Sedang laki-laki tertawa diatas air mata perempuannya. Mahluk apa laki-laki itu. Medusa! (MELEDAK)

ADEGAN III

SESEORANG DATANG MENGAHMPIRI PEREMPUAN.

Seseorang : Neng, jangan berteriak marah-marah! Ini Bis. Saya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan ini.,

Perempuan : Apa? Kau laki-laki?

Laki-laki : (KAGET MUKANYA MEMERAH, TAKUT KARENA MERASA SALAH, MALU )

Seseorang : Saya tidak mengharapkan kegaduhan disini!

Orang-orang : (TERIAK) Iya. Malu dong. Pacaran marahnya ditempat umum.

Perempuan : (KEPADA SESEORANG DAN LAKI-LAKI) Euh… Maaf




SESEORANG PERGI

Perempuan : Maaf aku terlalu kesal.

Laki-laki : Yah. Biasanya aku memilih diam. Kali ini aku terperangkap amarah. Kau begitu marah padaku?

Perempuan : Tidak. Kau barangkal?i.
Laki-laki : Memang seharusnya kita tak mempermasalahkan ini.

HENING

Laki-laki : Kau turun di mana?

Perempuan : Terminal. Kau?

Laki-laki : Persimpangan terakhir sebelum terminal. Kau hendak ke mana?

Perempuan : Ke kontrakan.

Laki-laki : Kau sudah bekerja?

Perempuan (MENGANGGUK)

Laki-laki : (SETELAH DIAM SESAAT) Sebenarnya aku kulaih hanya pelarian saja. Setahun aku mencari pekerjaan. Kesana-kemari aku menawarkan jasa. Namun semua menawarkan sesuatu yang malas untuk kukerjakan.

Perempuan : Namanya bekerja, harus dipaksakan.

Laki-laki : Bagi laki-laki lapangan pekerjaan sangat sulit, apalagi hanya mengandalkan ijazah SMA tanpa memiliki skill apapun. Tidak seperti perempuan. Asal cantik, berbodi seksi, tamatan SD pun sudah bisa jadi pelayan restoran.

Perempuan : Memangnya apa pekerjaan yang pernah kau terima.

Laki-laki : Namanya saja yang terlihat menarik. Supervisor. Eh salesmen. Sama saja dengan tukang kredit peralatan dapur. Tak perlu sekolah pun bisa asal pintar menghitung uang. Apa lagi jaman sekarang anak seusia TK pun telah mengenal jumlah itu.

Perempuan : (TERSENYUM)

Laki-laki : Laki-laki seperti aku ini hanya diperuntukan jadi tukang panggul. Atau penjaja rokok di terminal.

Perempuan : Lah. Lebih baik cari pengalaman dulu. Laki-laki mesti panjang perjalanan. Dari pada punya pekerjaan lantas dapat pengahsilan, kata yang terbesit dalam pikirannya adalah kata “kawin.”

Laki-laki : Ih, sebegitunya.

Perempuan : Realita.

Laki-laki : Pengalaman, yah?

Perempuan : Bukan. Pacar saja aku belum punya.

Laki-laki : Loh. Pasti sedang bercanda. Tapi aku tidak melihat kebohongan di matamu. Kenapa belum nikah?

Perempuan : Cepat tua. Belum terbayangkan akan seperti apa rumah tanggaku.

Laki-laki : Usiamu belum cukup untuk menikah?

Perempuan : Enam bulan yang lalu aku baru keluar SMA.

Laki-laki : Yah, masih muda.

Perempuan : Memang aku terlihat agak tuaan darimu. Aku terlalu intropert barang kali. Banyak pikiran.

Laki-laki : Berpikir tentang apa?

Perempuan : Kau bisa menjadikannya sebuah puisi, bukan?

Laki-laki : Tergantung pada ceritanya.

Perempuan : Boleh aku curhat padamu?

Laki-laki : Tak ada yang melarang.

Perempuan : Serius!

Laki-laki : Aku akan mendengarnya.

Perempuan : (HENING) Aku ingin gemuk!

Laki-laki : (TERCENGANG KAGET. HENING) Kau cantik. Itu alasan mengapa aku ingin duduk bersamamu.

Perempuan : (MELAMUN)

Laki-laki : Segala yang kita miliki sudah menjadi ukuran Tuhan. Kau telah sempurna sebagai seorang perempuan. Untuk apa gemuk jika cuma kemelut yang menjadi dagingmu.

Perempuan : Maksudmu tubuhku tidak terlalu kurus? (MENGANGKAT KEDUA LENGANNYA)

Laki-laki : Ya. Kau lebih cantik dari semua perempuan yang mencintaiku. Aku mau jadi pacarmu.
Perempuan : Ih, bedegong. Dasar penggombal.

SELESAI.


Naskah drama ini menjadi Juara III dalam lomba Penulisan Lakon di STSI Bandung 2010.

Komentar

Foto Hery Tan

Hebat, semoga membawakan

Hebat, semoga membawakan motivasi kepada penulis muda!

Foto Ari Awaludin Azhari

sip lah

sip lah

Foto sketide

kemasan

hidup itu tergantung ...loe punya metoda ga...
makin cerdas mengemas realita....
makin kuat melangkah
karya ini ....mengemas sesambat menjadi sesuatu yang hebat

Foto liany rosa indah lubis

Sungguh krennn sya sngat suka

Sungguh krennn sya sngat suka terimakasihh :):)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler