Skip to Content

AIR MATA DI GEDUNG NASIONAL (4)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Siapa yang bisa bertahan untuk tidak bertemu dengan seseorang yang dicintai. Apalagi seusiaku. Jika tidak bertemu dengan orangnya dengan bekas duduk atau bekas berdirinya saja sudah cukup. Bisa mengobati rindu. Begitulah aku keesokan harinya. Aku ingin kelas cepat selesai dan sekolah segera pulang. Untung, jam terakhir adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang sangat aku sukai. Dan siapa sangka Pak Mas’ud Sacawinata siang itu membahas tentang puisi.

Setelah lebih kurang 30 menit beliau mengajak kami berdialog tentang puisi beliau menyuruh kami belajar membuat puisi. Beliau member waktu 30 untuk mencoba. Dan, katanya, 30 menit terakhir silakan dibaca di depan kelas. Sementara teman lain masih berkeluh-kesah aku sudah memulai dan tidak lama selesai.

Rupanya Pak Mas’ud memperhatikan aku. Beliau menghampiri dan bertanya. Kujawab seadanya dan beliau membaca puisiku. Ah, betapa bangganya aku ketika beliau menepuk baguku dengan lembut beberapa kali. Aku mengiyakan permintaannya ketika dia meminta kesediaanku menjadi yang pertama membacakan puisi siang itu. Setelah Pak Mas’ud kembali ke meja guru dan duduk di kursi sambil melirikku, Yadi temanku sebangku bertanya,

“Ki la sudeh muet puisi e Kim …”

“Lah dari tadi …” jawabku.

“Buet cepet e ……” ia melanjutkan.

“Men nek gancang nulis e pakai cinta, Di”, kataku menegaskan sambil bangga.

“Tadi e Pak Mas’ot lah mace e …” aku melanjutkan.

Gumaman kami berhenti karena Pak Mas’ud melihat kea rah kami sambil menempelkan telunjuk di bibirnya.

Sebenarnya aku ingin bercerita panjang tentang Pak Mas’ud ini. Beliau sangat piawai dalam mengajar. Jika di tangan guru lain pelajaran bahasa bisa menjadi tak menyenangkan, menjadi sebaliknya. Tidak seperti sekarang. Menurut abg SMU yang dengan mereka aku suka berbincang, pelajaran bahasa Indonesia membuat mengantuk. Nantilah aku akan bercerita khusus tentang beliau.

Waktu habis. Setelah bicara sebentar Pak Mas’ud mempersilakan aku untuk tampil membaca puisi di depan kelas. Untuk hal seperti ini, jangankan diminta untuk tampil. Tidak dimintapun aku akan mengacungkan tangan. Dan baru akan berhenti setelah keinginanku dipenuhi oleh Pak Guru.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler