BINTANG DI LAUT KUALO
Cerpen; RD. Kedum
Kubiarkan mimpi dan harapku mengalir bening makin ke hilir. Meriak, bergemuruh meniti waktu. Atau kan kubiarkan ia melambung tinggi temuju langit , hingga langitku bengkah, dan memuntahkan seribu berkah...
Neo Bintang
TERTULIS di pasir kering. Ombak Kualo masih bercanda di tengah samudra. Lepas tengah hari, Neo yakin, angin laut akan menggiringnya makin ke tepi. Dan seperti biasa ombak Kualo yang nakal itu kembali mengendusnya hingga terhapus layaknya bibir bergincu yang dilumat. Mesrah.
(i)
PANTAI Kualo tampak sepi. Hanya jerit camar yang hilir mudik berkejar-kejaran di udara. Debur ombak yang keruh menghempas-hempas mencium bibir pantai. Perahu nelayan yang ditambat berjejer diam tak bergeming. Hanya angin sesekali mendesing. Seekor ular berwarna hijau berdesis menyusup ke semak-semak pandan laut yang berduri. Neo memalingkan muka. Di belakangnya sungai Serut yang bermuara ke laut Kualo mengalir tenang berwarna coklat pekat, menghanyutkan ranting dan dedaun, meliuk-liuk, bagai hendak menjerat beberapa orang yang bersilah maupun berdiri di bibirnya, agar tetap bersedekap.
(ii)
LELAKI separoh baya bertelanjang dada duduk di onggokan kerikil hitam yang berkilap. Kulitnya yang berwarna kecokelatan, banyak bercerita tentang perjalanan hidup yang lebih separuh dikayuhnya. Ia lelaki tangguh, sahabat karib lembah basah dan berair. Tak perlu bertanya mengapa dia berada di sini. Hanya orang-orang yang tak bisa menangkap makna saja yang tak mengetahuinya.
Dang Zakir, demikian orang menyapanya. Salah satu pendulang batubara. Menggantungkan nasib dari sisa-sisa bongkahan hitam, yang hanyut digiring air, di sepanjang sungai Serut berasal dari tambang di hulu sungai, tambang batubara Bukit Sunur. Bersama puluhan, mungkin juga ratusan, Saban hari Dang Zakir mengayuh rakit ke tengah muara, berendam, bahkan terkadang menyelam demi mengumpulkan kerikil berwarna hitam yang bersemayam di sepanjang dasar sungai. Melimbangnya agar bersih dari lumpur. Profesi yang telah dilakoninya kurang lebih enam atau tujuh tahun yang lalu. Di ceruk muara sungai Serut yang bersisihan dengan pantai Kualo ini pula Dang Zakir bersama Neo Bintang putranya hidup berdua. Siang dan malam bersahabat dengan gemuruh ombak laut dan desau angin yang kadang semilir, terkadang simpang siur mendesing. Di bawah gubuk beratap rumbiah dan dinding kayu tipis, Dang Zakir menghantar Neo tumbuh menjadi remaja kecil. Mengayuh hidup yang hanya sepenggal dengan impian-impian putih yang kerap di gantungnya bersama di atas awan yang lantang. Demi mengubah secuil nasib, yang meluncur jauh pada garis takdir yang tertiti, dua beranak, bergumul menakhlukkan hidup bersama sisa bongkahan batubara. Bongkahan hitam yang kemelinyaran memberikan warna kehidupan, hari ini dan esok.
(iii)
PUCUK-PUCUK pinus masih bernyanyi riang. Mendesau seakan sengaja disuarakannya ke puncak langit. Bercanda bersama suitan camar yang kadang menukik, terkadang meliuk-liuk mengikuti irama angin.
“Neo...kau lihat belum mobil Mang Matdin itu?” Suara Dang Zakir terburai bersama angin.
“Belum Bak...tampaknya dia tak datang lagi hari ini” Suara Neo garing. Dang Zakir menggaruk-garuk hidungnya yang tak gatal.
“Bak...apa tak ada baiknya kita jual saja batubara ini dengan jurangan Lidin? Ambo lihat otonya sibuk mengangkut batubara-batubara Ingah Leha” Lanjut Neo lagi.
“Hmm...coba kau tanya ke sana, berapa rupiah dia hargai batubara kita sekarungni” Perintah Dang Zakir lagi. Neo menggangguk pelan. Tak lama berselang Neo sudah menyisir bibir muara dengan kaki telanjang. Cuaca makin lama makin menyengat. Lengking sepasang burung elang membuat Dang Zakir mendongak. Kepakkan sayapnya yang kokoh, terbentang anggun melawan arus angin. Mengundang pikiran Dang Zakir ikut melambung jauh. Suara adzan timbul tenggelam, menandakan sudah lewat tengah hari.
“ Bak..., Ingah Leha dengan Mang Lidin menghargai batu bara kita dua puluh ribu saja sekarung. Itupun dia hanya mau membeli tiga karung saja dari kita. Menurut Ingah Leha, Mang Lidin enggan membeli semua batu bara kita. Sebab katanya....katanya......” Tiba-tiba Neo membuyarkan lamunannya. Membuat rokok nipah yang dilintingnya hampir saja jatuh.
“Apa katanya?!” Suara Dang Zakir sedikit melengking. Matanya yang cekung menatap Neo tajam. Otot-otot dadanya yang kekar mengencang. Neo bergidik takut. Remaja kecil yang baru berumur tiga belas tahun ini sangat paham dengan watak Baknya. Dia tidak tahu persis, mengapa Baknya seakan menanam kembencian yang maha dasyat dengan Ingah Leha.
“ Pasti dia berkata...batubara Dang Zakir tak bermutu? Berbeda dengan batu bara hasil limbangan kongsian Ingah Leha yang genit itu? Lebih bernas dan bersih? Begitu!?” Suara Dang Zakir semakin menggelegar. Kalau bukan akan membuat lelaki gaek ini semakin marah, ingin rasannya Neo menutup telinganya rapat-rapat dan segerah berlalu dihadapannya.
“Bu...bub...bukan Bak...?”
“Terus apa?!” kali ini tubuh Neo diguncang-guncang dengan kasar.
”Katannya....katanya...batubara kita terlalu kecil...seperti...”
”Seperti...apa?”
”Seperti peler Bak...dan peler Neo katanya” Bagai di sambar petir wajah Dang Zakir menembaga. Sungguh tak disangkanya betina itu tak puas-puas menghinanya. Ingah Leha. Perempuan yang tiap kali berpapasan dengannya, akan menatapnya tajam seakan ingin menelanjanginya. Masalahnya sederhana. Karena Dang Zakir enggan kongsi dengannya. Dang Zakir lebih memilih mendulang batubara hanyutan dari tambang batubara Bukit Sunur itu sendiri. Dan enggan diperalat perempuan binal itu, seperti dilakukannya dengan pendulang-pendulang lain. Yang tekuk lutut, rela menjadi budaknya demi untuk mendapatkan kepuasan sesaat di balik kutangnya. Chis!!
”Ih! Terang kau tak hendak kongsi denganku Dang... Selain dah gaek, mau kau cari tenaga dari mana? Makanya jangan berendam terus! Bahaya!! Akibatnya...kau jadi impoten. Tongkatmu terlalu lama tegang terendam air. Makanya di darat dia tak mau hidup” Suatu kali Ingah Leha berkata tanpa beban. Kata-kata itu seakan tamparan yang maha dasyat mendarat di wajah Dang Zakir. Tak pernah dia mendapatkan hinaan seperti itu sebelumnya. Apalagi dari seorang perempuan. Kalau bukan mengingat dia pun terlahir karena perempuan, ingin dimatikannya saja Ingah Leha. Apa hubungannya kongsi dengan kejantananya? Mengapa perempuan ini mengidentikkan kongsi dengan kelelakiannya? Menjijikan!!
”Hai Dang!!! Benar kan kau impoten? Neo itu...kabarnya bukan anak kandungmu. Setahuku kau tak pernah kawin! Bagaimana mungkin kau punya anak? Lahir lewat betis???” Ulang Ingah Leha. Wajahnya berair puas karena mampu menampar Dang Zakir kiri-kanan dengan ucapan pedasnya. Lelaki kekar yang tak memandangnya sepicing mata. Sebelumnya berbagai cara dilakukannya untuk menarik perhatian Dang Zakir. Ingah Leha selalu bersikap manis menggoda. Namun cara itu ternyata tak berlaku untuk lelaki kekar yang dianggapnya tersombong dan sok alim di dunia itu. Akhirnya Ingah Leha bosan sendiri.
”Dengar betino binal!! Aku tak pernah mengusilimu. Aku tak peduli siapa kau. Meski aku tahu tak satupun lelaki di sekitar sini yang tidak mencicipi tubuh jelekmu. Kau jangan samakan aku dengan mereka. Karena bagiku haram menyentuhmu sedikit saja! Aku juga tak pernah berniat mempermalukanmu, meski mulut kotormu itu kerap kali berucap sinis padaku. Dari mana kau tahu aku impoten atau tidak? Aku tak pernah menggauli perempuan selain istriku. Mak Neo! Tidak sepertimu, entah berapa lanang telah kau lantak”. Gigi Dang Zakir gemelutuk. Sedikit saja emosinya tergelincir, alamat Ingah Leha disambalnya hidup-hidup. Ingah Leha hanya mesem-mesem.
”Alaa....jangan sok alim Dang....Lelaki mana si tak hendak dengan apam perempuan, kecuali punya kelainan. Ngaku-ngaku perkasa dan punya anak segala” Ujar Ingah Leha tanpa beban. Dang Zakir menggigit bibir sekuat-kuatnya demi menahan tangannya yang hendak melayang ke wajah Ingah Leha. Perempuan menjijikan dan telah kehilangan urat malunya ini benar-benar keterlaluan.
”Puih!! Kau jangan coba-coba mengungkit perihal Neo. Dia lahir lewat lobang mana, dan siapa emaknya, itu bukan urusanmu!! Kau dengar itu lonte?! Seperti aku tak peduli sepak terjang mesummu” Kali ini kata-kata Dang Zakir berdempang begitu pedas. Ingáh Leha hanya bisa terbelalak menatapnya. Baru kali ini dia mendapatkan lelaki yang tak tergiur dengan “kue apemnya”. Padahal puluhan lelaki dengan ikhlas antri mengharapkan pelukan hangatnya. Dan dengan gampang Ingáh Leha menggilir siapa saja sesukanya. Ceruk yang diapit oleh Muara sungai Serut dan laut Kualo ini cukup banyak menyimpan cerita tentang kebinalan Ingáh Leha yang berprofesi ganda. Tiada hari tanpa kencan. Dengan sopir truk pengangkut batubara, atau dengan sesama pendulang batubara.
Dang Zakir menantap tajam Ingáh Leha. Urat-urat rahangnya bersitegang. Dari kabar angin yang didapatkannya, diketahuinya jika Ingáh Leha, adalah ayam kampung dari “perkampungan esek-esek” yang tersembunyi dikesunyian Pulau Baii. Dia Kabur dari kampung remang-remang itu lantaran sadar jika dirinya sudah tak laku lagi karena sudah tua, dan kalah saing dengan rekan-rekannya yang lebih mudah dan segar. Tapi dasar lonte. Di tempat baru pun tetap saja melakukan pekerjaan mesumnya. Dan kali ini korbannya adalah para pendulang iseng yang tipis imannya. Rela menghabiskan penghasilan yang sedikit, demi perempuan tak jelas itu?
Dan kembali, perempuan binal itu mencarutinya melalui Neo. Dang Zakir tercenung sejenak. Kata-kata Ingah Leha seakan menghujam jantungnya dengan ribuan tombak. Nafasnya memburu menahan buncah yang mendidih.
“Lantas kau diam saja dengan hinaan betino cabultu, Neo? Kenapa tak kau sumpal mulutnya dengan bungkahan batu bara ini saja?” Dang Zakir bangkit sembari mengencangkan sabuk plastik yang melingkar dipinggangnya.
“Bak…mau kemana?” Suara Neo takut.
”Membunuh betino lonte itu!” Jawab Dang Zakir menyambar pedang yang tergantung di pohon pinus.
”Bak....jangan! Bak...!! Jangan..!! Neo tak ingin berayah pembunuh! Baaak...?” Suara Neo memelas menghalangi. Buliran bening mulai bergulir di pipinya yang kering. Dang Zakir tercenung sejenak. Ditatapnya lelaki kecil kurus dihadapannya. Remaja kecil yang sudah belasan tahun hidup bersamanya ini masih saja cengeng. Sekilas terbayang olehnya, jika dihadapanya ini dulunya orok merah yang sengaja diletakan orang di atas sampannya. Waktu itu senja yang kering. Ketika Dang Zakir hendak pergi melaut, urung. Karena menemukan orok merah yang menagis di tengah mentari senja. Angin laut dan tenangnya ombak samudra Hindia menjadi saksi bisu penemuannya. Dengan suka cita dibawahnya orok merah itu pulang ke rumah. Istrinya yang sakit-sakitan bagai hidup kembali ketika dirinya membawakan Neo kecil. Mereka lalui bahterah rumah tanggga mereka dengan tangis dan tawa kanak Neo. Hingga Neo berumur enam tahun, istrinya berpulang untuk selama-lamanya.
”Dang...jangan sia-siakan Neo ya Dang...Dia adalah anak yang ditakdirkan untuk kita. Jaga dia Dang...aku sangat menyayanginya... Hantarkan Neo Bintang... Bintang kita hingga dewasa Dang...” Itu Pesan terakhir dari istrinya. Sejak itu Dang Zakir hidup berdua bersama Neo. Karena tidak ada yang menjaga Neo, akhirnya Dang Zakir mengubah haluan dari nelayan menjadi pendulang batubara di muara Koalo. Dia lakukan semata-mata agar senantiasa dapat menjaga Neo. Dia jual rumah dan perahunya. Dia tinggalkan Pulai Baii dengan perasaan luka. Meski pada waktu itu, Parul ketua RT-nya tahu perihal Neo, dan menyarankan agar Dang Zakir mengembalikan Neo dengan ibu kandungnya yang berprofesi sebagai wanita penghibur, yang tinggal tak jauh dari perkampungan mereka.
“Darimana kau tahu jika Neo anak salah satu lonteh itu Rul?”
“Aku tahu ketika datang seorang perempuan beberapa tahun yang lalu mengaku pernah meletakkan orok di salah satu perahu nelayan. Dia lakukan itu karena orok itu mau di bunuh oleh germo majikannya”.
”Lantas kau beritahu jika perahu itu adalah perahuku?” Tanya Dang Zakir penasaran.
”Tidaklah Dang..., aku tak segegabah itu. Mana aku berani. Meski berulangkali dia bertanya, pernahkah mendengar ada orang menemukan bayi di atas perahu. Untung saja rumahmu terpencil. Sehingga tak seorang tetangga pun tahu jika kau punya bayi pungut dari perahu”.
”Syukurlah kalau begitu. Neo sudah menjadi bagian hidupku, Rul. Aku tak akan memberikannya pada siapapun. Dia adalah belahan hidupku. Dan aku tak terbebani dengannya meski istriku telah tiada. Untuknya aku rela tak melaut lagi. Aku akan berubah haluan untuk mendulang batubara yang banyak terendam sepanjang sungai Serut, Rul. Dengan demikian Neo selalu dapat bersamaku”
Akhirnya Dang zakir dan Neo hengkang dari Pulau Baii yang banyak menyimpan seribu kenangan itu. Mulailah dua beranak itu menggantungkan hidup dengan bongkahan-bongkahan hitam yang banyak bersemayam di dasar sungai. Setiap hari dia akan berendam, bahkan menyelam untuk mengumpulkan bongkahan hitam-bongkahan hitam itu. Menambatkan hidup bersama rakit bambunya yang bergoyang-goyang di tengah muara. Berpacu dengan banyak orang yang mengadu nasib sama. Semata-mata untuk Neo.
Dan sekarang ada perempuan yang betul-betul meremehkan kejantanan dan tanggungjawabnya. Jika betina binal itu mengatakan dia impoten, masih dapat dinetralisirnya. Meski barangnya sampai sekarang tetap hidup. Hanya karena kesetiaannya dengan istrinya saja dia jaga, dan tak ingin mencarikan ibu baru untuk Neo anaknya, anak angkatnya, atau anak temuannya?
”Betina itu harus diberi pelajaran Neo. Agar dia tidak menghina Bak dan kau seenak perutnya” Dang Zakir bergegas. Setengah berlari Neo menyusul dari belakang.
”Leha....!! Tak puaskah kau menghina aku dengan anakku, ha?! Salah apa sehingga seenak perutmu kau caruti aku dan anakku?” Dang Zakir berteriak lantang. Leha yang tengah duduk menikmati sebatang rokok, kaget dan segerah berdiri.
”Siapa yang menghina? Dan siapa yang mencarutimu lanang lapuk? Aku cuma bilang kalau Mang Lidin tak hendak membeli batubara yang cuma sebesar biji peler” Kelitnya lantang. Dada penuhnya yang sedikit tersembul turun naik.
”Apa bedanya dengan mencarutiku? Kau jangan ajarkan anakkku dengan mulut kotormu itu. Kalau saja kau bukan perempuan, sudah kulumat mulut busukmu. Kau belum tahu aku ha!!” Tiba-tiba Dang Zakir menghunus pedangnya. Ingah Leha menjerit tertahan.
”Dang.....jangan!! Sadar!!” Tiba-tiba Dang Zakir dikejutkan dengan suara lelaki yang menyembul dari bibir tebing muara.
”Parul?” Dang Zakir terkejut bukan main. Neo yang masih terpaku sedikit lega menahan nafas ngeri. Keringat dingin mengalir deras membasahi kaos tipisnya.
“Sabar Dang Zakir. Ada apa?? Kebetulan sekali, sudah lama aku mencarimu..” Parul menggenggam lengan Dang Zakir yang siap berayun. Parul menoleh pada Neo yang berdiri kaku.
”Ini Neo....??” Suara Parul bergetar.
“Iya...” Jawab Dang Zakir singkat.
“Leha.....maaf... Dang Zakir, dan kau... Neo...” Suara Parul putus-putus.
“Mengapa Parul? Ada apa?” Dang Zakir heran. Pelan-pelan dimasukkannya kembali parang yang berkilap ke sarungnya. Matanya tampak merah menatap Ingah Leha yang ketakutan.
“Anu...anu...Dang...i...ini Ingah Leha. Perempuan yang kuceritakan beberapa tahun yang lalu. Di...di...dialah yang meletakan bayi di atas perahumu. Did...dia...dialah emak Neo. Dan aku...aku bapaknya Dang...Kami adalah kedua orang tua Neo...anak yang telah kau besarkan...” Bagai disambar petir tengah hari, Neo, Dang Zakir dan Ingah Leha terperanga. Mata cekung Dang Zakir terbelalak lebar. Langit pantai Kualo seakan runtuh menimpa tubuh ringkihnya. Sungguh kejadian tengah hari ini tak pernah terlintas sedikitpun di benaknya. Ingah Leha hanya dapat menatap tak percaya. Di tatapnya Neo lekat-lekat. Air muka binalnya berubah sendu. Naluri keibuannya mencuat menjadi rindu dan sayang yang tak mampu dibendungnya. Dengan tangan terbentang disapanya Neo sembari berurai air mata.
“Neo....kau..., kau anakku..., aku emakmu Neo...!!.” suara Ingah Leha tercekat di tenggorokan. Ingin dia berlari menyongsong Neo yang terpaku. Memeluk dan menciumnya. Namun bagai dibebani berton-ton batu, Ingah Leha tak mampu menapakkan kaki setapakpun. Matanya berair demi menahan haru luar biasa. Sungguh dia tak pernah menyangka jika belahan jiwanya pada dasarnya sangat dekat dengannya selama ini.
“Tidak...!! Tidak...!! Aku...aku bukan anak Leha. Emakku telah lama mati. Bukan pula anak lelaki ini!” Neo meraih tangan Dang Zakir, dan menggenggamnya erat-erat. Berusaha berlindung demi gempa yang tiba-tiba bergemuruh mengguncang dadanya.
“Maafkan aku Dang....” Suara Parul setengah menyesal. “Bagaimanapun...Neo tetap lahir dari rahim seorang perempuan. Perempuan inilah, Ingah Leha yang bertahun mencari tahu anaknya. Dan bertahun pula aku menyimpan rahasia ini, kulakukan demi melihat kebahagiaan dan pengorbananmu yang luar biasa untuk Neo...” Parul pun tak mampu menahan harunya. Suranya berat sengau. Dia menoleh pada Neo yang bergelatung di lengan Dang Zakir.
“Neo...dia adalah ibumu...ibu yang melahirkanmu....sini Nak...dan aku adalah ayahmu..” Suara Parul bergetar.
“Tidaaaak.....!! aku bukan anak perempuan jahat itu. Mak ku telah lama mati!! Aku juga bukan anakmu..” Neo berlari kencang meninggalkan orang-orang yang masih tercengang.
“Neo...jangan pergi...!!” Dang Zakir mengejar Neo yang nampak makin kecil. Hilang timbul di antara semak pandan yang berduri. Dang Zakir mengupat usia uzurnya. Tak mampu berlari kencang seperti Neo.
“Neo....!! Neo Bintang...anakku...! Kau anak Zakir....Bak tak akan memberikanmu dengan siapa-siapa...” Dang Zakir terengah. Neo menatap Dang Zakir pedih. Lelaki yang dikenalnya sebagai ayah, tiba-tiba dilihatnya seperti monster yang siap melemparnya ke tengah laut Kualo. Bayangan wajah Ingah Leha, perempuan yang mengaku ibunya? Melahirkannya? Silih berganti datang dengan perempuan yang mati enam tahun lalu? Wanita yang penuh kasih menyayanginya? Lalu lelaki yang baru dikenalnya tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya, silih berganti dengan wajah Baknya, Dang Zakir. Tidak! Neo menggeleng tak mampu menerima keadaan yang membuat hatinya remuk redam. Satu hal yang sangat dibencinya, Jika benar dia bukan terlahir sebagai titisan Dang Zakir dan Jaleh, mengapa harus perempuan lonte itu tiba-tiba mengaku sebagai ibunya? Neo berharap perempuan lemah lembut, penuh kasih, yang kini telah berkubur bersama cinta masa kecilnya bangkit lagi. Menyongsongnya dengan tangan terbentang untuk melindunginya. Seperti dilakukanya ketika ia masih hidup.
“Bak....lebih baik aku mati menyusul Emakku...,daripada Bak biarkan perempuan lonte itu mengambilku. Aku bukan anaknya kan Bak...? Aku anak Zakir dan perempuan yang benama Jaleh yang telah mati itu kan Bak...?!” Neo berteriak serak parau demi menyuarakan dukanya di siang itu. Berkabar pada langit, awan, laut, angin dan burung yang melintas. Tentang mimpi buruk yang mencabik-cabik lembar kasih yang dikenyamnya selama ini. Dia sudah sangat bahagia menjadi anak Dang Zakir. Dan dibesarkan separoh hidupnya oleh perempuan sakit-sakitan benama Jaleh. Ingin rasanya Neo membenamkan diri ke dasar laut sedalam-dalamnya kala membayangkan dirinya terbentuk dari air nazis haram yang bersemayam di rahim Leha.
“Maaaa.....aaa..kkk!!! Jemput Neo, Mak!!! Neo ingin bersamamu saja!. Bawalah Neo, Mak!!” Neo menangis sejadi-jadinya. Suaranya yang melengking, memantul-mantul di atas ombak yang bergulung. Bumi seakan turut bergoncang menopang tubuhnya yang bergetar. Terik mentari berubah menjadi gelap. Pucuk-pucuk pinus menguncup layu. Angin seakan enggan semilir.
“Neo....” Dang Zakir tak mampu menahan harunya. Untuk kedua kalinya lelaki kekar itu menitikan air mata. Pertama, kala istri yang sangat dicintainya berpulang. Ke dua kala dia harus menghadapi kenyataan, melihat ranjau hitam yang menghujam, menyakiti belahan hatinya, Neo.
”Neo...” Kembali suaranya bergetar manakala menatap jurang hitam yang mengaga. Dia tak mampu meraih Neo yang seakan telah berseberangan dengannya.
”Bumi!! Ngangahkan perutmu. Agar aku dapat menyelusup jauh. Aku ingin menemui Emakku...!! Emakku saja. Emak Jaleh yang kau sembunyikan entah di surga mana. Izinkan aku mencarinya bumi....! Atau segerah raih dan dekap aku. Menguburku!” Neo menelungkup. Digais-gaisnya tanah dengan cakarnya. Jemari kecilnya berubah menjadi sangkur yang tajam. Tiba-tiba Neo mendongakan kepala, angin yang berhembus membisikkan suara halus yang sangat dikenalnya.
”Neo Bintang anakku...Emak selalu bersamamu, Nak! Hadapi semuanya dengan ketegaran jiwa sayang.Siapapun engkau, darimana engkau, tetaplah saja bintang Zakir dan Jaleh yang cemerlang. Jangan putus asa anakku. Yang kau hadapi hanya secuil garis hitam mencoreng lembar hidupmu yang berwarna putih.”
”Tapi aku adalah anak haram! Yang menitis dari rahim nazis perempuan lonte itu, Mak...Aku titisan hawa nafsu bejad manusia yang berwatak hewan.” Batin Neo berkecamuk.
”Tidak anakku...kau bukan anak haram!! Kau tetap selembar kertas putih yang suci. Kau adalah cahaya lembut bintang yang senantiasa akan menerangi hati Emak dan Bakmu Zakir. Bangkit, Nak. Tunjukan cahaya sucimu dengan keikhlasan...” Tiba-tiba Neo merasa berada pada dunia asing yang sangat kelam. Lalu datang ratusan bintang gemerlap berpusing dikepalanya. Neo melayang. Melesat jauh ke atas langit. Samar terdengar suara Dang Zakir, Baknya, memanggil-manggil. Makin lama makin sayup dan tak terdengar. Angin, kecipak air, deru ombak, lengkingan elang, dan desau pinus, semua membeku. Meredam mimpi buruknya yang mengendap. Makin dalam. Pupus, meresap ke bumi seperti prasasti-prasasti kabur yang kerap diukirnya di atas pasir pantai. (*)
/Silampari, 3 Januari 2010
Komentar
Tulis komentar baru