Hanya Di Kamar Mandi, Aku Tidak Mencintaimu.
Gerimis kecil, dingin dan malam berkabut kian menyelimut. Saat itu aku duduk di sudut jendela. Menghitung air hujan yang menetes pada kaca. Ada yang menganggu pikiranku selepas aku menghadap Yang Maha Penulis dan Yang Maha Pelukis. Perasaan cemas menyelimuti. seperti biasa aku seorang diri. Sudah lama aku menunggu kabar yang tak kunjung datang. Seseorang yang beberapa banyak hari belakangan ini menemaniku dan mengajariku menjatuhcintakan cinta padanya. Dia dulu datang ketika aku sedang dalam ketakutan. Bukan takut gelap atau takut apalah. Hanya takut aku akan jatuh cinta, lagi.
Kini aku benar-benar jatuh cinta padanya yang awal mulanya aku tak berharap banyak. Aku belajar darinya mengerti apa itu waktu untuk menunggu. Aku membaca darinya apa itu kata yang menyimpan makna. Karenanya aku bertanya apa arti kita pada peta tanya. Aku mencarinya, selalu mencarinya. Yang mungkin saat itu dia masih berjalan sendiri. Saat itu titik puncak aku takut kehilangannya. Aku merasa takut kehilangan itu manusiawi. Aku tak mencarinya dengan mengetuk dari pintu ke pintu. Jadi aku hanya berdiri didepan pintu.
Di pojok kamar, aku menuju komputerku yang masih menyala. Awalnya aku berniat untuk mematikan komputer. Tak sengaja ketika aku melirik layar computer. Aku melihat foto yang baru saja diposting pada salah satu media sosial. Aku melihat itu adalah fotomu. Berdua dengan seorang wanita yang merangkulmu mesra di sebelah kirimu. Ada sesuatu yang menekan dadaku. Aku tidak tahu pasti apa itu. Aku terdiam terpaku menatap potretmu. Semakin lama semakin buram mataku. Tak terasa air mengalir disudut kedua mataku. Awalnya aku menganggap itu adalah temanmu. Setelah aku fikirkan jika hanya sorang teman itu mustahil.
Gelap mendera dingin menyapa. Aku mengirim pesan singkat padamu. Aku memastikan foto tersebut. Seperti biasa kau masih tak mau membalas. Ini adalah alasan kenapa wanita tidak pernah memulai lebih dahulu, hanya karena takut diabaikan. Hanya satu pesan yang aku terima. Kau memilihnya yang dengan senang hati dia rela menjadi orang ketiga sekalipun kau sudah bertuan. Air semakin deras menetes pada kedua sudut mataku. Semakin dan semakin tak terkendali. Aku membiarkanmu pergi bukan berarti aku tak lagi mencintaimu. Aku pergi bukan berarti benci. Dari sekian juta hal, ini adalah salah satu alasan yang paling menyiutkan nyali. Skak mat pada posisi yang sama.
Malam makin larut. Aku semakin beringsut kedalam selimut. Kita saling melangkah pergi. Kita saling memunggungi. Aku terus menatap aku yang menatap kau dalam peta tanya. Masih seperti biasa aku menyendiri. Selalu terbiasa aku berdiri sendiri. tetap seperti biasa aku dengan perih dan pedih.
“aku sudah terbiasa sorang diri” kataku lirih.
Hujan adalah luka. Jika hujan hanya milik kita berdua saja. Hujan bukanlah luka pada setiap rindu yang basah, pada tetesan yang penuh makna, pada rintik yang meninggalkan irama, dan pada diam yang penuh arti. Aku melepaskanmu dalam gundah. Dia menginginkanmu lebih dari aku ingin memilikinya. Aku membutuhkanmu seorang diri. Jika kau tak sama sepertiku, akulah yang akan pergi. Kau lupa siapa aku atau kau lupa bagaimana aku ? aku yang diam-diam selalu mengagumimu dari beberapa pertemuan dalam hitungan SKS depan ruang puisi dan photografi. Ingin aku datang ke kotamu lalu membeli hujan yang terlanjur mengemaraukan kotaku. Dalam tangis setidaknya aku masih melihatmu bahagia. Meskipun aku bukan alasan bahagiamu. Ingin aku menanyakan apa kabar dengan semua apa kabar yang dulu sering kau tanyakan. Apa kabar dengan sarang yang menunggu sepasang sayap sejenak pulang. Apa kabar dengan bisikan yang tak mampu didengar. Apa kabar dengan isyarat yang tak mampu diucapkan. Dalam bayangmu yang selalu kutatap. Aku tiba disebuah tempat sepi tanpa penghuni. Perantara sunyi bergetar malam memukul garang. Lewat senja yang datang terlambat. Di depan tungku, aku selalu menunggu. Hanya di kamar mandi, aku tidak mencintaimu.
***
Komentar
Indah,aku seperti mendengar
Indah,aku seperti mendengar nyanyian musik orkestra selama membaca ceritamu.tetap berkarya
Setiap baris dalam kalimat
Setiap baris dalam kalimat prosa ini seperti memiliki warnanya sendiri-sendiri, diwarnai oleh cat air yang berpadu indah di atas kanvas berornamen mewah. Serasa memiliki nyawa. Layak untuk menghiasi setiap ruang jiwa yang membacanya.
Salam Sastra, terus berkarya..
Terima kasih kak sudah
Terima kasih kak sudah membaca karya saya. Salam sastra.
Blog Writer, Bathroom Singer, Traveller (˘ʃƪ˘)
Terima kasih kakak kakak yg
Terima kasih kakak kakak yg sudah menempatkan membaca tulisan saya. Terima kasih komentarnya.
Blog Writer, Bathroom Singer, Traveller (˘ʃƪ˘)
Tulis komentar baru