Skip to Content

Kisah Para Abdi

Foto chambali

KISAH PARA ABDI

 

Derajat tinggi para abdi

Terlahir dalam perjanjian suci

Entah sebagai Abdullah atau Khalifatullah

Yang terlego dalam pengabdian dan penantian

Dalam mencapai pembenaran tuk mencapai keabadian

Fitrah…fitrah…. Sambut aku dalam lembutMu

…………………………………………………………………

Guyur hujan telah basahi bumi dan hantarkan perjalanan panjang. Atap-atap langit tak lagi ramah. Payung-payung kebesaran ayomi tubuh kecil yang tak lagi beratap. Langkahnya hantarkan gemercik air kerinduan, akan jauh jarak yang kan ditempuh.  Malam-malam hantarkan aku pada pijar insani. Masihkah kau terima aku meski jauh, lama tinggalkan kau dalam sombong dunia... Sunyi makam mataram.

…………………………………

Awal dari jawab yang tertutup dalam hanyut, segala rindu akan indah dan damai, yang menjelma dalam kasidah kidung para kekasih terpancar. Setelah sekian lama memendam kerinduan yang tak mungkin tertulis, apalagi tersaji dalam porsi makanan, itu tak akan pernah mungkin.

Kejenuhan berubah jadi gairah yang terus meronta hingga aku jauh dan terhanyut bermain dalam gumul bersama para syetan yang menari penuh hasrat. Meremang dan menjauhlah dari segala getar yang mendesak ku, untuk jatuh dalam lumpur hina kelana. Bayangan itu memudar membalik pada kata setia pada awal penciptaan. Ada resah terpancar disana. Mengapa! terus saja berbisik dalam getar hati, jiwa dan pelik pikir kami yang dangkal.

**************

Ada suara!

**************

Kami hanya abdi

Untuk Siapa?!

………………

Sesaat aku palingkan perhatian ku pada putaran roda bus antar kota yang puas menaikkan atau turunkan penumpang di halte-halte penunggu, kemudian dengan pelan meninggalkan para penumpang yang seharian mengantuk, terbatuk atau bahkan mabuk karena masuk angin. Tebar bau minyak kayu putih menyibak, buat mual para penumpang, mungkin tak terbiasa!

DiKedai kopi aku perhatikan bus itu berlalu membawa khayal, awal dari perjalanan suci. Dikedai kopi itu aku habiskan waktu semalaman untuk menguras segala galau yang mengalir. Sesekali tawa kami berkelakar, semua beban yang bergelanyut, menggumpal bebal seakan terhempas ringan, tak ada lagi galau, yang ada hanya warna-warni pelangi. Keinginan itu tak kunjung datang. rasa galau dan resah terus saja semakin menjejal.

Siapa? Kapan? Dimana? Dan entah dengan Siapa?! Pertanyaan itu memperdayai ku bertahun-tahun, tapi tak juga ada jawab. Teriak para abdi disaat sepi datang menjelma “Betapa merdekanya burung-burung yang bergerombol terbang bebas dari negeri satu ke negeri yang lain, hingga terlahir berjuta anak pinang dari tempat persinggahan, ada bekas sangkar indah mu, wahai! sekawanan burung yang kemarin bertengger di atap rumah ku” melihat damai, dari sekawanan burung yang menduai kasih setia.

Kapan saat itu datang, atau kiamat akan lebih dulu melumat habis segala mimpi. Semalam pertanyaan itu terjawab dengan satu jawaban "inilah saatnya para abdi berangkat baktikan diri pada keras dunia”. Meski hidup atau binasa. Kekasih akan menjawab lirih atas segala perjalanan yang aku tempuh. Malam! besok surya pagi akan menghantarkan para abdi menempuh perjalanan. Terus saja aku baringkan tubuh di atas kasur empuk penanda perpisahan. Atas awal kisah para abdi.

Restu dinginnya hantarkan aku dalam perjalanan panjang, pagi benar! kami langkahkan kaki, mantapkan hati, bulatkan tekad mengejar suara-suara berbisik. Sekarang saatnya! kita kepakkan sayap-sayap kecil kita. Terbang tinggi keangkasa luas. Meski hujan mengguyur tak membuat gentar langkah-langkah kami. Suara-suara telah hantarkan gerak menuju pada sarang para pemuja, guna mencari pembenaran abadi.

Kuda binal melenggok g­­esit, telah menambatkan diri pada riuh keras terminal umbol harjo. Menyambut deras hujan mengguyur, para abdi dengan tergopoh meloncat dari punggung kuda binal. Mengoyangkan dan mengerakkan tubuh dari kekakuan, mengiring pergi gerak kuda binal.

Berhambur para abdi berebut air wudhu, membasuh segala dosa yang membekas sepanjang jalan pertaubatan. Mengaso, para abdi selujurkan kaki-kaki yang kaku. Berbentur sosok menyapa, tak kenal tapi dekat, ya! Maklumlah kami sesama abdi yang sedang berlomba mengejar suara gemuruh. 

Mungkin kisah perjalanan panjang mulai terjadi, sapa kota jogja kurang begitu ramah siang tadi, kedatangan kami disambut dengan deras hujan mengguyur. Terbesit kebingungan hendak kemana kami tenggerkan tubuh dengan kepak sayap-sayap kami yang lelah.

Kebingungan sedikit terobati meski setetes, tapi ada bahagia dihati kami, datang bibik emban yang mencoba suguhkan ramah, tabiat tersaji dari sosok molek berbaju putih, sedikit memberi harap atas perjalanan panjang para abdi yang mencoba cari jawab tentang kekasih.

Rasa gelisah pada persinggahan kami lupakan, semua sorot mata tertuju pada senyum montok dari raut bibik emban yang menyimpan sejuta simpang. Ada tatap penuh tanya dalam kedalaman hati, tentang sosok yang mencoba menari meberikan keindahan atas galau mengalir.

Hanya ada gurat senyum tergambar pada sang abdi, atas segala yang tersembunyi dibalik kelabu sinyal-sinyal teknologi modern, yang memperdaya dua insan berlabuh untuk saling menyapa. Good moorning atau good afternoon. Mereka menjawab dengan serempak “good bye friend ?!….”hilang sudah teriakan i miss you?! Atau I love you?! yang sebetulnya telah tersusun rapi dalam gumam perjalanan.

…………………………

Datang ……… memberi senyum

Sejukkan kepengapan

Lalu……… Pergi

Tanpa ……………

Yang tertulis hanya satu “ Teman ”

 

Kami tak pernah tahu tentang segala rahasia yang tersembunyi dalam balik pilar-pilar keagungan. sesuatu yang tersembunyi dalam bilik-bilik tabir, segalanya bukan simponi.

Mengingat kelahiran ku dulu, sebatas wujud menjijikan yang jelma jadi jasad mulia, hingga kami mencoba untuk menggapai resonansi suci.

Beriring sepi dan tafakur mereka, hantarkan ranum kelemahan jiwa sang pendusta yang mencoba mengejar pembenaran yang terjanjikan semasa penciptaan.

 

Raja…!

Kami budak serapah

Menatap hitam dzat ayu Mu

Berlagak kuasa berbaris kesombongan

Atas wangi bunga sedap malam

Melumat garis degradasi

Pembatas alam kasat mata

antara yang berwujud apa maya

Menduai belai kasidah kesucian

Hantarkan aku pada satu batas ritualisasi

untuk capai kewidian

Hingga para abdi jadi insan piningit

Bermahkota tahta kamulyan

 

Abdi telah bermimpi dapatkan permata, yang terus menggema dan getarkan dalam tiap tatap ketinggian. Sesaat lalu kami tengah ada pada kerumunan pemuja, yang terus panjatkan puja-puji.

Jauh dari benang kesucian yang tersentuhkan dengan Kemaha Agungan. Pohon-pohon besar jadi keramat, jadi pamujen bagi setiap bangkai yang terkutuk demi emas permata.

Mensyirikan pasembahan atas segala kebenaran. Mereka telah terjauhkan atas naungan teduh illahi. Keserakahan sekejap membuat mereka buta mata, hati dan jiwa. Pikiran mereka telah terselubung pada satu kesatuan busuk yang teramu dalam budak-budak syetan.

 

Dalam perjalanan terasa ada suara yang terus berbisik, menghampiri arus bergelombang, menari-nari diantara relung kalbu yang terejawantahkan dalam pengabdian sunyi.

Sehari kami terbang hingga sayap-sayap ini lemas untuk mengepak. Dari satu dahan ke dahan yang lainnya lagi, tetap tak aku temu satu biji mutiara yang indah, kau datang menghampiri dengan senyum, mempertanyakan sejauh apa pertapaan ku. Kau coba tanyakan pada segala yang meremang karena lelah sudah terasa.

Berada pada hiruk pikuk pangkal-pangkal dahan patah. Aku hanya abdi tak usah kau pertanyakan siapa ? dan mengapa ?, abdi selalu setia pada tuan satria atau para putri pariang.

 

Senyum manis para abdi menjebak kejelian mata, menoreh gurat-gurat kasejaten, abdi-abdi akan tetap setia pada tuan majikan.

Melangkah keluas masjid gedhe mencari teduh hati, lelana panjang telah semayamkan gemuruh berkelakar, setelah kau benturkan badai gelombang kearah pulung hati. Hingga kami gentar menatap bringas sorot matamu penuh tanya, siapa kami?!, mengapa seorang abdi datang penuh setia atas panggilan hati untuk dapatkan damai atas segala pambela bakti kepada para raja.

 

Kesungguhan

……………….

Keteguhan

……………….

Kasejaten

…………..

kasekten

…………….

Abdi -abdi

……………….

Lelana panjang……….

Wujud kasetiaan pada raja

Ku labuh sujud pengabdian dalam hening malam

………………………………..

 

Sedalam lautan para abdi meminta jutaan harap pada perjalanan panjang telah kami coba tempuh, untuk mengejar kesucian cinta terhadap para kekasih, abdi yang merindu akan besar dan indah anggun Mu, bersama hati dan jiwa, mengalir janji setia para abdi mengejawantah dalam perjanjian suci, semuanya terus saja berjalan, menggapai akar-akar rimang, mencapai kekokohan akar tunggal, menegak dan mengembang dedaunan, mekar bunga warna-warni menghias dunia. Entah busuk bunga bangkai atau wangi bunga melati. Para abdi terus berjalan pada lintas tak berujung, pada pangkal kematian nanti.

Gema itu datang

Secepat itu kau berlalu

Tak  terasa hanya sesaat

Tak pernah abadi

Kemarin kita bersenandung

Semalam ku bacakan tahlil

Atas jasad mu yang terkubur

Atas ruh mu yang kembali

Mati…….mati…….

Para abdi akan kembali

Pada sang khalik

Tapi…Kapan? Kapan?…..

Semua masih rahasia, tersembuyi dalam tabir

 

Kemarin kau singgahkan langkah, kau sandarkan tubuh pada kursi yang menghias teduh dalam sangkar besi ku. Mengeras erat satu kesatuan jiwa, yang terpisahkan oleh gelombang waktu yang tak mungkin terulang. Perjalanan akan terus berlalu meski sejengkal akan ada kisah  sahdu atau bahagia. Jelas kami tak mampu menjawab dengan kata.

Terbang melayang para abdi haturkan do’a- do’a pada tuan yang agung, entah khusuk atau hanya sebatas kecap dibibir, tapi tetap saja kami lantunkan kalimah-kalimah pemohonan.

Ku harap, esok para buyut berkelakar, bertafkur bersama, pajatkan puja-puji atas gelisah sang cucu yang menangis atas selubung gelap yang menghadang.

 

Salah siapa!

………………

Yang ku tahu………

aku hanya abdi.

………………

 Tak lebih dan tak kurang.

…………………………

Kulihat pengab di mata para abdi yang tengah tertunduk diam di atas keheningan para wali-wali yang tengah terbujur kaku dalam gelap.

 

*********************************

Ada damai… Tapi, Kapan…?!

*********************************

Ia terus saja mengalir bagai gemercik aliran sungai menyejukkan, berhembus angin sepoi hantarkan kantuk menambah kaku jemari dan getar bibir semakin kuat atas dinginnya malam yang berkabut.

Datang serombongan burung dari sebrang, buyarkan heningnya malam, sekejap jadi riuh terdengar berdesak, barisan serempak, kaki-kaki bergerak menggumpal hingga sesak. Kembali tenang yang terdengar alunan yang sama. Hebusan nafas tergetar kearah satu yang abadi. Kegalauan yang terjadi beranjak jadi pudar, mulai terpancar cahaya sejuk mengalir dalam aliran darah, setiap tetes embun mengalir dari lubang-lubang kecil yang terbentang dalam lebar kulit-kulit berkerut jadi segar.

Kami tinggalkan lintas kota gedhe, terus telusuri panjang jalan kota dengan gemerlap lampu warna-warni. Sepanjang trotoar kami hinggapi dengan gemercik air terus mengguyur kota, dinginnya membuat aku tersudut meringkuk di emperan toko, bersama para gelandangan, gembel atau bahkan anak-anak jalanan.

……. Duhai Sang khalik disinilah kami bersandar pada tiang AgungMu. Kemegahan dunia yang kami rasakan, semalam! habis terlumat dalam kuasa dan keadilan Mu. Merasakan atas rasa para gelandangan meringkuk, bersandar bahkan ada yang berbaring beralaskan koran atau tanpa alas sekalipun, ada rasa memuja keagungan atas fenomena alam nyata Mu.

 

Burung tetaplah burung?! Bukan para abdi, hingga kami tak kuasa, untuk terbang bebas memadu kasih, mencari jawab atas galau. Ada yang tak dapat dirubah “abdi punya ikatan yang harus ditata dalam diri, ia tak akan bisa bebas terbang seperti burung”.

Kesadaran akan bakti terlego dalam penantian kasih dari sang kekasih. Yang kelak akan menghantarkan para abdi pada pertapaan panjang, yang akan menjelma jadi satria piningit.

Abdi-abdi mulai lelah langkahkan kaki, terdengar suara-suara lirih terucap dari sela bibir yang mulai mengering. Kami hanya bisa menggerakkan batu-batu kecil yang melingkar ditangan kami sambil berucap menyebut keesaan Mu.

Beradu sepi kami membatu takut kau akan datang menjemput, matikah atau kami akan menjadi pilar penegak atas wujud pencarian hingga kami jadi abdi yang terkisahkan.

Perempatan panjang atas batas terminal umbul harjo jadi saksi kisah panjang kami atas deret peristiwa, menghantarkan para abdi untuk terus berjalan mencari arti lingkar-melingkar atas dahan-dahan patah, seruni gamelan melantun mengiring langkah para abdi kedaton dengan senyum semringah, mengayuh sepeda dengan busana kebesaran abdi dalem.

Kami bukan mereka yang dengan setianya abdikan diri, tapi kami hanya para abdi yang terus melakukan pengembaran panjang hingga temukan berjuta kelok jalur-jalur pengabdian, entah dengan kesungguhan atau hanya sebatas percaya.

Tetap saja kami tergiur atas indah dunia, bahkan getar itu menjebak, hingga kami pantas terprosok masuk dalam lubang-lubang kelam. Duhai dunia jangan kau permainkan kami, mungkin kami sudah lelah, biarlah kami kembali diam, hingga khusuk menyebut namaMu, ditiap perempatan jalan dan sombong alun-alun kota, terbang bagai mimpi tak teringat dalam kalbu. Dalam perjalanan panjang berliku aku pulang menyebut diri, “aku abdi atau pendusta”.

Jelas…….aku masih bertanya, pada gerak tabir-tabir yang tertutup, kapan para abdi menghabiskan kisahnya. Untuk menjadi abdi-abdi yang tak akan tersesat lagi. Meremang jadi gelap para abdi mulai masuk dalam peraduan, mengharap saat itu datang menjemput.

 

 

 

Dalam galau gelisahnya mencari …….

Kesucian akan datang

Biarlah sangkar emas itu menghimpit

Agar  ada untuk saling mengasihi

 

Komentar

Foto chambali

kisah para abdi

mari kita diskusikan lebih lanut

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler