Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 09) TAMAT

Foto SIHALOHOLISTICK

SEMBILAN

 

SEJAK kepergian Rheiner, mereka bertiga mengadakan penyelidikan pada sindikat peredaran narkoba yang sudah cukup membuat resah masyarakat. Orang-orang yang sudah merencanakan kematian Rheiner dengan sangat menyedihkan.

Aris terpaksa menunda peluncuran karya perdananya dan meminta pada pihak percetakan untuk bersabar.

Misbah dan Sheila sedikit keberatan dengan keputusan yang diambil Aris tanpa mereka ketahui, padahal waktu itu tak menghabiskan waktu satu hari.

“Gak, Mis. Aku gak bakal ngeluncurin karya aku sebelum aku berhasil ngejeblosin mereka ke dalam penjara.” balas Aris tegas ketika Misbah dan Sheila mencoba merayu Aris lagi.

Setelah berhasil meyakinkan Misbah dan Sheila juga pihak PT. Esa Pratama Asia Publishingbook, Aris kembali giat mencari dan membongkar peredaran gelap yang kian meresahkan masyarakat.

Polisi juga belum berhasil melacak keberadaan para pengedar yang cukup lihai membaca situasi. Mereka menyebar orang-orang mereka berkeliaran di jalanan dan apabila ada yang mencurigakan, orang-orang mereka segera memberi tau. Hal ini tak pernah disadari oleh polisi.

Begitu pun dengan mereka, bukan hal mudah bagi mereka mencari tau di mana markas para pengedar itu. Di tambah pula, Bambang, orang yang mereka cari, yang mereka harapkan sebagai petunjuk untuk   menghantarkan   mereka   ke markas pengedar itu seolah menghilang dari permukaan bumi, hingga memasuki bulan keempat, hasil yang mereka harapkan tak berbuah apa-apa.

“Sebenarnya, kamu ingat, gak, sih, kek gimana wajah Bambang itu?”tanya Aris mulai bosan dengan usahanya.

“Aku ingat banget, Ris. Aku gak bakal ngelupain wajah bajingan tengik itu begitu saja.”

“Apa Kakak yakin?” tanya Sheila.

“Yakin banget, Shei.”

“Trus, apa langkah kita berikutnya? Gak mungkinkan begini terus. Kapan kita bisa, kalau kek gini terus?”

“Itu yang sedang kakak pikirkan, Shei. Gimana caranya kita tau keberadaan Bambang, soalnya cuma dia yang bisa kita peralat untuk mengetahui markas pengedar itu. Makanya kakak jemput kalian dan ngajak ke sini, biar kita saling tukar pikiran.”

“Okey, Ris. Aku punya ide, nih. Cuman gak terlalu akurat, hanya pertimbangan siapa tau aja.”

“Okey-lah!”

“Gini, Ris, dalam waktu dekat, kamu luncurin aja karya perdana kamu...”

“Mis, udah aku bilangin, kalau karya itu gak bakal aku luncurin sebelum aku berhasil ngejeblosin mereka ke dalam penjara. Jadi jangan singgung soal itu dulu. Okey!”

“Dengar dulu penjelasan aku, Ris! Aku punya alasan untuk itu. Siapa tau di acara itu Bambang muncul, aku rasa hanya itu cara kita satu-satunya sekarang.”

“Kalau nggak, gimana?”

“Ya apa boleh buat. Kita pikirin cara lain lagi. Kita cuman berusaha aja.”

“Boleh jadi, Kak. Kalau dia muncul aku ama Kak Misbah yang mata-matain dia sedang Kakak terus dengan acara kakak.”

“Ya, Sheila benar. Gimana, Ris?”

“Kalau kalian ngerasa cara itu yang terbaik, apa boleh buat. Hanya masalahnya, kapan waktu yang cocok untuk ngeluncurinnya?”

“Minggu depan, aja, Ris!”

“Okey. Segera aku hubungi pihak EPA Publishingbook.” kata Aris mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Mbak Vivid, bagian Humas PT.EPA Publishingbook.

“Halo! Bisa bicara dengan Mbak Vivid?”

“Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?”

“Ini Aris Wicaksana, Mbak! Begini, saya berniat meluncurkan novel saya minggu depan, semua udah pada mendesak.”

“Oke, tapi kepastiannya Senin pagi, saya harus bicarakan dulu dengan bagian-bagian terkait. Kalau urusannya clear, minggu depan kami ke tempat Dik Aris.”

“Ma kasih banyak, Mbak!” kata Aris dan menutup telepon.

Senin pagi, Aris segera dihubungi oleh pihak EPA Publishingbook dan menyatakan kepastian bahwa minggu depan novel Aris bisa diluncurkan di Aula Bina Graha dan aula itu langsung ditangani oleh pihak percetakan dan Aris dengan bantuan semuanya, mulai mempersiapkan dirinya untuk minggu depan.

Senin siang, tepatnya pukul 14.00 WIB di Aula Bina Graha, Balai Kota sudah ramai dikunjungi oleh banyak orang yang diundang oleh pihak percetakan dan Aris sendiri.

Aris dengan style jeans hitam dipadu dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang digelung beberapa gelung saja dipadu dengan sepatu sport hitam, menghentikan laju motornya di areal parkir. Ia dan Ario turun dari motornya. Papan-papan bunga ucapan SELAMAT DAN SUKSES  telah berjejer di halaman Aula Bina Graha Balai Kota.

Aris menatapinya satu persatu. Tanpa terasa dua bulir air bening mengalir dari matanya.

“Ris, kok hari bahagia malah sedih? Senyum, dong!” suara Misbah membuyarkan lamunan Aris.

“Ada apa, Mis?”

“Hari bahagia gak boleh sedih!”

“Hari bahagia gak selamanya bikin kita tersenyum, Mis. Terkadang, hari bahagia itu adalah hari di mana semua kesedihan datang menjadi bagian kebahagiaan itu. Seperti hari ini, aku ingat almarhum ayah, ibu, Lena, Om Handoko, Nattulang, dan Nashat. Seandainya saat ini mereka ada di sini menghitung kebahagiaan yang udah aku kumpulkan dan persembahkan untuk mereka.” kata Aris sambil menerima sebuah sapu tangan dari Misbah.

Sebuah mobil berhenti di samping Aris dan Misbah yang masih berdiri di areal parkir. Sheila dan keluarganya tiba.

“Kak Aris..., Kak Misbah..., Ario....” sapa Sheila ketika membuka mobil. Mereka pun berbasa basi di areal parkir itu. Akhirnya mereka masuk ke dalam Aula Bina Graha yang telah di tata sedemikian rupa. Ruangannya sejuk, dengan udara yang ber-AC. Itu pertama kali Aris masuk ke ruangan itu dan menjadi orang yang memiliki acara siang itu.

Aris memulai pembicaraannya tentang buku yang diluncurkannya dengan bantuan laptop dengan fasilitas in focus .

“Saudara-saudari sekalian, Bapak-bapak, Ibu-ibu serta hadirin yang terhormat. Buku ini berjudul Akhirnya Aku Tersingkir sebuah novel yang mengangkat cerita kehidupan remaja yang kita tau identik dengan dunia percintaan. Penulisan ini diawali dari sebuah puisi. Ungkapan klise sepotong hati seorang anak laki-laki yang mulai remaja dengan rasa kecewa pada sebuah cinta, dari sanalah penulisan novel ini berangkat. Seorang anak laki-laki yang dengan segala kondisi yang tak memungkinkan untuk mendapatkan hati gadis pujaannya, mendapatkan sebuah tempat istimewa di hati seorang gadis yang anggun, cantik, orang terpandang dan terhormat, anak seorang pengusaha sukses sedangkan anak laki-laki itu hanya anak seorang penulis jalang yang mencoba mematut-matut rezeki seiring dengan patutan mesin tik tua untuk menghidupi ketiga anaknya dan istrinya tercinta. Minder, itu istilah sosialnya bagi para remaja dewasa ini.

Saya akhirnya mencoba mengembangkannya menjadi sebuah cerpen. Banyak orang dekat saya yang memuji, lantas pujian itu saya jadikan motivasi untuk mengolahnya menjadi sebuah novelet lantas diolah lagi menjadi sebuah novel remaja.

Pengerjaannya cukup berat dan melelahkan, bahkan membutuhkan kerja keras. Tidak jarang, di tengah cerita saya kehilangan ide, saya mencoba beberapa trik untuk memancing ide itu muncul lagi, terkadang dengan memunculkan sorot balik, terkadang memunculkan adegan yang berbau anekdot atau sejenisnya, namun tetap pada jalur utama yakni tujuan ceritanya. Bahkan terkadang saya mencoba jadi tokoh itu sendiri dan membawa cerita ke dalam kehidupan nyata, dari sini, saya ingin tau apa yang seharusnya menjadi urutan cerita setelah ide itu terhenti, hasilnya saya kembalikan pada tokoh cerita. Singkatnya, saya hanya berperan sebagai narator bukan sebagai Tuhan dalam cerita itu sebab semua kendali ada pada cerita itu sendiri. Saya tidak ingin ikut campur pada urusan pribadi atau urusan kehidupan sang tokoh pada cerita ini.”

Tepuk tangan segera  bergema mendengar penjelasan Aris yang dijelaskan secara mendetail dan tidak berbelit-belit.

“Pengerjaannya cukup lama juga hampir satu setengah tahun. Dan sebagai akhir dari persentasi ini, buku ini saya persembahkan untuk almarhum kedua orang tua saya. Saya mulai menulis dengan satu tujuan, yakni mewarisi apa yang ada pada diri ayah saya dan kelak ini akan saya wariskan pula pada anak dan keturunan saya. Selanjutnya terima kasih kepada orang-orang yang telah ikut mendampingi saya menyelesaikan buku ini. Teristimewa untuk Misbah Hayati, Sheila Marito Hutabarat, Yuyun Amelia Qur’ani, Pak Imron dan keluarga, Pak Surya Hutabarat dan keluarga dan tidak lupa pada almarhum Rheiner Ganda, sahabat saya sejak kecil dan yang paling akhir kepada PT. Esa Pratama Asia Publishingbook, yang telah mewujudkan impian saya jadi kenyataan, karena saya pernah bertekad, bahwa saya tidak boleh hanya taunya membaca karya orang melulu, karya saya juga harus dibaca orang lain dan hari ini semua sudah jadi kenyataan.” kata Aris menyudahi. Ia kembali duduk di tempatnya diiringi tepuk tangan seluruh yang berhadir.

Saat tepuk tangan mereda, Aris melihat seorang laki-laki berperawakan jangkung bangkit dengan menempelkan ponsel ke telinganya.

Misbah dan Sheila ikut bangkit, dilihatnya Misbah keluar ruangan sambil mengutak-atik ponselnya dan sesaat menempelkannya ke telinganya. Hanya sesaat dan kembali menurunkannya. Misbah dan Sheila malah menuju areal parkir dan menyalakan motor Aris.

Sampai acara selesai, pukul 16.00 sore, Misbah dan Sheila belum kembali. Aris jadi khawatir pada Misbah dan Sheila. Ia menghubungi Misbah.

“Halo, Ris!” sapa Misbah dari seberang. “Acaranya udah selesai?”

“Udah! Kalian lagi di mana, sih?”

“Lagi berada kira-kira seratus meter dari markas gembong narkoba itu. Orang yang kami ikuti tadi adalah orang yang selama ini kita cari. Kebetulan kami bicara ama si Kembar, kamu ngobrol ama dia, ya, ngomongin apa, kek, kami pengen mata-matain rumah itu. Kata si Kembar penghuninya orang Jakarta, mungkin dia bos besarnya.”

“Okey, kasihin ke dia!” perintah Aris.

Misbah memberikan pada si Kembar dan selanjutnya mencoba melongok ke arah rumah mewah itu. Setelah merasa puas memperhatikan rumah itu Misbah dan Sheila permisi meninggalkan si Kembar.

Aris, Misbah, dan Sheila kembali mengadakan penyelidikan dan kali ini mereka sudah punya target. Yang perlu bagi mereka sekarang adalah mempelajari keadaan rumah itu. Kapan diadakan pertemuan dan bagaimana menyusup ke sana.

Hal itu pun bukan sesuatu yang mudah bagi mereka, cukup lama bagi mereka menyelidiki segala kemungkinan dengan rumah itu.

Dengan gigih dan bersusah-payah, akhirnya Aris berhasil menyusup ke tempat itu dengan memanjat pagar beton yang ada di belakang rumah. Dengan mengendap-endap, Aris menerobos pintu belakang tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Di ruangan tengah ia menemukan belasan orang sedang berbicara serius. Di hadapan mereka ada beberapa botol minuman keras dan tiga buah koper yang terbuka, isinya adalah narkoba jenis heroin dan shabu-shabu.

Dengan video handphone-nya, Aris merekam gambar dan suara orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu. Setelah merasa cukup untuk memberi informasi dan bukti kepada polisi bahwa malam itu akan diadakan transaksi besar-besaran di rumah tahanan lama. Tempat yang hampir tak pernah dikunjungi orang. Jangankan dikunjungi, dilalui orang saja tak pernah, karena lokasinya dikenal angker dan masyarakat mempercayai mitos yang beredar kalau tempat itu dihuni ribuan roh jahat yang mau mencelakai siapa saja yang datang ke sana.

Dengan perlahan dan cukup hati-hati, Aris meninggalkan tempatnya dan kembali memanjat pagar beton dengan bersusah-payah.

Misbah dan Sheila segera mendekati Aris yang baru saja melompat dari pagar dan segera Aris mengajak keduanya masuk ke dalam mobil Pak Imron yang dipakai oleh Aris, sebab motornya sedang di operasi.

Di dalam mobil itu, Aris memperlihatkan video rekaman yang berhasil diperbuatnya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Aris.

“So, pasti ngelapor ke polisi!”

“Caranya? Kita gak mungkin ninggalin tempat ini.”

“Hubungi Om Gus dan minta agar dia datang kemari.” Sheila memberi saran.

“Okey!” kata Aris segera menghubungi Om Gus.

“Halo!” terdengar sebuah suara dari seberang.

“Ya, Om, ini Aris.”

“Ada apa, Ris?”

“Begini, Om. Kalau Om sedang tidak sibuk, tolong datang ke tempat kami, ada yang pengen kami perlihatkan tentang peredaran narkoba itu.”

“Baik, Om segera ke sana. Sebutkan di mana posisi kalian!”

“Di depan Grapari Telkomsel.”

“Baiklah. Om segera ke sana sekarang.”

Tak berapa lama Om Gus, anggota Kehormatan Kasat Reskrim Narkoba, tiba di tempat mereka berada. Aris segera memperlihatkan rekaman video yang berhasil didapatnya tadi, meskipun dengan resiko yang sangat tinggi.

“Pantas Kepolisian selalu gagal meringkus mereka, ternyata salah seorang anggota polisi bersekongkol dengan mereka.”

“Apa? Anggota Polisi?”

“Ya, salah satu di antara mereka adalah seorang Polisi.”

“Brengsek juga dia. Penghianat bangsa.” kata Aris geram.

“Kelihatannya mereka sudah keluar, mungkin segera menuju tahanan lama itu.”

“Baiklah, sekarang Om ke kantor untuk melapor dan mempersiapkan pasukan. Video ini terpaksa Om bawa. Tolong kalian awasi mereka. Ikuti ke mana pun mereka pergi. Jika ada perubahan sasaran, segera beri tau Om.”

“Baik, Om!”

“Terima kasih atas kerja sama kalian. Om salut pada kalian.”

“Sama-sama, Om. Ini semua atas nama almarhum Rheiner. Ini adalah dendam kami, mereka yang telah membunuh Rheiner.” kata Aris mengiringi kepergian Om Gus.

Ketiganya segera memasuki mobil dan Aris menyalakan mobil. Dengan perlahan dan menjaga jarak dengan enam buah mobil itu, Aris mengikuti.

Ketika mobil-mobil para sindikat pengedar narkoba itu memasuki jalan kecil menuju rumah tahanan lama yang berjarak sekitar dua ratus meter ke dalam, Aris menghentikan laju mobil di mulut jalan. Kiri kanan jalan raya hanya berupa rawa-rawa yang ditumbuhi rumput liar.

“Kok, berhenti di sini, Ris? Masuk aja, jangan peduli mitos yang beredar di masyarakat. Ntar kita gak bisa tau kalau mereka gak jadi transaksi di sana.”

“Jalan ini buntu, Mis. Jadi kalau mereka membatalkan, terpaksa mereka lewat jalan setapak ini. Kita di sini saja nunggu polisi-polisi itu.” balas Aris.

Tak sampai setengah jam mereka menunggu, beberapa buah mobil yang bertuliskan PATROLI menuju tempat mereka.

Mereka segera keluar dari mobil dan segera di temui Om Gus.

“Bagaimana, Ris?”

“Sepertinya mereka mengadakan pesta besar di sana, Om.” kata Aris mendengar hentakan musik disko yang sayup-sayup. “Situasi sangat menguntungkan, hari gelap membuat pergerakan leluasa dan suara musik membuat lebih leluasa. Yang penting adalah menguasai operator genset.” terang Aris.

“Bagaimana, Pak Gus?” tanya salah seorang Polisi yang tidak memakai seragam.

“Siap, Dan!” balas Om Gus dengan sikap hormat dan tegap. Mereka segera tau kalau orang itu adalah Komandan Polisi.

“Berkat kerja sama dan bantuan ketiga remaja ini, malam ini kita akan menyelesaikan operasi ini dan mereka berpendapat, kita harus menguasai operator genset terlebih dahulu.”

“Baiklah! Segera pimpin pasukan dan segera bergerak.”

“Siap, Dan!” balas Om Gus dengan tegap dan segera memberi instruksi pada seluruh polisi yang ada.

“Terima kasih kepada kalian bertiga.” kata komandan polisi itu sambil mengulurkan tangannya. Aris, Misbah dan Sheila bergantian menyalami tangan komandan polisi itu. “Rekaman video dan ponsel Dik Aris terpaksa kami tahan dulu berhubung ada anggota kami yang terlibat dan kebetulan terekam di video itu.”

“Silahkan, Pak! Dengan senang hati!”

Komandan polisi itu mengeluarkan rokok dan menyulut sebatang. Polisi itu menyodorkan pada Aris. Aris menerimanya dengan ragu.

“Sebenarnya saya merokok hanya saat menulis saja, tapi saya merasa tak enak menolak tawaran Bapak.”

“Oh ya, tulisan kamu hebat juga. Lebih hebat dari sekedar penuturan kamu di Aula Bina Graha itu. Saya merasa tulisan Dik Aris itu diilhami dari kenyataan, tepatnya kisah Dik Aris sendiri.”

“Terima kasih banyak. Memang saya merasa itu kehidupan saya. Saya mengawalinya dari diri saya, tentang sebuah mimpi dan harapan terhadap cinta.”

“Lantas sekarang?”

“Ya..., berkat kesabaran, Tuhan menjawab munajat cinta saya dan mengirimkan dua gadis yang baik hati yang mencintai saya apa adanya.”

“Ho...ya...?” kata komandan polisi itu tak percaya.

“Yang saya rasa begitu, kedua gadis cantik ini sangat mencintai saya. Sheila adalah pengganti sosok Maghdalena bagi saya, adik kandung saya yang telah tiada dan Misbah adalah Dewi Fortuna dalam kehidupan saya, yang menyelamatkan kehidupan saya dari kekonyolan. Kekonyolan yang seharusnya gak ada.”

“Kekonyolan seperti apa?”

“Saya pernah menentang Tuhan dan ingin membuat perhitungan dengan-Nya. Saya menantang Tuhan one the one, satu lawan satu. Bukankah itu kekonyolan namanya?”

“Ya...ya..., saya pikir terlalu konyol.” kata komandan polisi itu mengangguk-angguk. “Tapi, ada hikmahnya juga, kan? Buktinya, kamu tidak lantas jadi Tuhan pada tokoh-tokoh cerita kamu. Jika tokoh cerita kamu berbuat kekeliruan, kamu tak langsung menghukumnya.”

Aris mengangguk sambil menarik rokok dari bibirnya dan melemparnya jauh.

Sesaat terdengar suara senjata api saling bersahutan. Komandan polisi itu menoleh pada Aris.

“Apa yang mendorong kalian membantu pihak kepolisian menangani orang-orang berbahaya itu, bahkan kesannya kalian terlalu nekat?”

“Republik ini milik kita bersama, itu yang paling utama. Kita mesti saling bahu membahu untuk menumpas pengkhianatan. Bukankah hal seperti ini pengkhianatan namanya?”

“Boleh juga prinsipnya!”

“Biasa saja. Yang paling mendasar, kami sedang balas dendam atas kematian sahabat kami Rheiner. Mereka telah membuat banyak orang bersedih, jadi air mata yang mengalir itu harus mereka bayar lunas. Kami berharap hukum bisa berbicara seadil-adilnya, seperti harapan Mas Iwan dalam lirik lagunya Manusia Setengah Dewa.”

“Hukum akan ditegakkan seadil-adilnya. Kami berharap setelah ini kalian ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.”

“Dengan senang hati, Pak Komandan!” balas Aris dengan tersenyum.

Beberapa orang telah digiring di jalan setapak dengan keadaan tangan terborgol ke belakang. Ada beberapa orang yang terpaksa dipapah karena terpaksa dijinakkan dengan timah panas sebab mencoba mengadakan perlawanan. Di antara mereka ada beberapa orang wanita yang terjaring dalam operasi tersebut dalam kondisi mabuk berat.

Sekitar dua puluh orang berhasil diamankan oleh pihak Satuan Reskrim Narkoba tanpa usaha yang terlalu berat, semua digiring dan dibawa ke kantor polisi.

Seorang perwira polisi terpaksa ikut dipapah karena kakinya terkena tembakan yang membabi-buta. Perwira polisi itu segera dilarikan ke rumah sakit.

Aris, Misbah dan Sheila segera masuk ke dalam mobil dan melaju mengikuti mobil-mobil PATROLI itu ke kantor polisi. Mereka ingin membuat perhitungan dengan Bambang, orang yang telah menabrak Rheiner.

Di kantor polisi, mereka mendekati Bambang yang terduduk lesu di lantai dengan kaki bersimbah darah diterjang timah panas.

“Hei...Bambang, ya?” tanya Misbah menyentuh kaki Bambang yang tertembak dengan kaki kirinya.

Bambang hanya meringis kesakitan.

“Ou... sakit, ya?” tambah Aris ikut menendang kaki Bambang yang tertembak. “Gue pikir ini belum seberapa untuk membayar lunas semua kesedihan  yang lo berikan kepada kami. Ini baru bayar hutang kesedihan belum lagi hutang air mata yang ditumpahkan oleh Bu De si Pram yang udah lo bunuh.”

Bambang hanya bisa menunduk, ia tak mampu menatap ketiga orang yang ada di depannya.

“Mestinya lo juga dibunuh, tapi itu terlalu mudah buat lo untuk nebus semuanya. Lebih baik lo menebusnya sedikit demi sedikit hingga dua puluh tahun ke depan.” kata Misbah senyum sinis. Dipotretnya Bambang dengan ponselnya.

Aris menegakkan kepala Bambang agar wajahnya terekam kamera. Setelah beberapa kali di jepret, Aris kembali melonggarkan cengkeramannya pada rambut Bambang.

“Sebenarnya kalian yang memaksa kami melakukan semua ini. Coba seandainya kalian gak ganggu kami, mungkin malam ini adalah malam yang terindah dalam hidup kalian yang akan kalian nikmati esok atau lusa. Tepi kalian terlalu ceroboh dan melakukan hal yang keliru. Kalian tak berpikir dengan kejadian yang bakal begini. Tapi apa kan daya nasi sudah jadi bubur. Asal kamu tau aja, mBang, kami bukan pengecut. Kami gak bakal ngelawan lo yang udah gak punya daya apa-apa. Dua puluh tahun ke depan, gue nantang lo duel hingga tetes darah penghabisan. Di antara kita harus ada yang mampus. Begitu lo keluar, lo datangi gue dan kita pergi ke suatu tempat dan kita duel. Okey! Gue yang pecundang atau lo, kita buktiin di sana.”

Selanjutnya mereka memberikan keterangan  pada pihak kepolisian dan di luar kantor polisi mereka segera diserobot oleh para wartawan surat kabar, reporter beberapa televisi dan beberapa koresponden stasiun televisi swasta yang ingin mengetahui berita tertangkapnya sindikat peredaran narkoba yang ada di kota tersebut yang sudah sempat meresahkan masyarakat, mereka sudah tidak sabar menunggu kehadiran Aris, Misbah dan Sheila keluar untuk ditanyai.

Akhirnya mereka keluar di dampingi oleh Om Gus dan Komandan Polisi tersebut dan dengan terpaksa mereka meladeni pertanyaan-pertanyaan  yang diajukan oleh para wartawan itu dengan senyum kepuasan. Di benak mereka muncul wajah Rheiner senyum bahagia atas kesetiaan yang mereka jaga dan mereka persembahkan.

Keesokan harinya, mereka bertiga mendatangi makam Rheiner. Ada seberkas rasa rindu yang menyusup ke balik sanubari mereka masing-masing.

Mereka merasakan Rheiner kembali hidup dalam dada mereka dan tak akan mati sampai kapan pun.

Tak ada seorang pun yang berbicara di antara mereka. Masing-masing melarutkan diri dalam munajat  yang mereka rangkai dalam bait-bait kerelaan melepas kepergian Rheiner ke pangkuan Rabbul Azza Wa Jalla.

Desau angin senja mengirim untaian-untaian munajat mereka hingga ke taman surga-Nya, ke tempat Rheiner berbaring dalam istirahat panjangnya. 

Mereka melangkah meninggalkan pemakaman yang sunyi dengan tiupan angin senja yang sendu di antara sedu sedan yang mereka bawa dalam hati masing-masing.

 

* * *

 

ditulis di Andam Dewi

Jum’at, 25 Januari 2008

Pukul 00.00 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler