Skip to Content

Antologila Puisi El… Ja… Karya Guns Gunaone

Foto Lemuria

El…Ja…
Akh, sejenaklah hentikan dahulu kehidupan
Dengan menundukan kepala atau mendongak, kemudian tariklah nafas panjang
Dengarkan!-deklamasikan
Tulis di batu-batu
Lukiskan diatas kanvas putih maupun hitam
Dengan warna merah darah!
Lantas bingkai dengan indah

Aku El…Ja…
Elang Jawa dari golongan langka
Kepakkan sayapku membelah mega
Melintasi luasnya samudra-samudra
Jelajahi keponggahan jagat raya

Aku El…Ja…
Elang Jawa dari golongan langka
Sorot mataku tajam menusuk
Menembus lebatnya belantara gunung hutan

Aku El…Ja…
Elang Jawa dari golongan langka
Paruhku memangsa angkara murka

Jambulku angkuh merajai angkasa

Aku El…Ja…
Elang Jawa dari golongan langka
Cakarku kasar kala bertengger diujung dahan
Siap mencakar alang yang melintang

Elok warna buluku luruhkan segala betina

Aku El…Ja…
Tiada patut atas segala ketakutan dunia
Aku El…Ja…
Hanya patuh kepada yang Maha Mulia
Dan apa yang telah diturunkannya pada baginda:
Manusia maha revolusioner sepanjang masa

Panggil Aku El…Ja…
Dari golongan langka

“ Beribadahlah – berkarya – lantas bertindak berjuang bersama rakyat “
-Cuma itu-
Tanah kelahiran dan perantauan

___________________________________________________________________________________________________________

Serupa Berdarah
Lagi-lagi rintik gerimis menjatuh
Membasahi lembaran-lembaran Mushaf
Rapuh, disegala kitab
Al-qur’an itu kudekap dibawah jeritan terik
Tiap ayatnya memekik tangis yang tragis
Bengis.

Lebat hujanpun membadai dari langit
Yang sakit
Enam ribu enam ratus enam puluh enam membeku basah
Kaku hampirlah kalah.

Lafaz-lafaznya tercerai berai beterbangan,
Ada yang jatuh
Mengalir di arus sungai kotor bersampah busuk
Buruk.

Kupungut satu Djuz dengan tulisannya yang sudah luntur
Kertas-kertas suci itu kuremas
Kuperas dengan perasaan resah berkarat
Tiadalah mengucurkan air
Melainkan membuncahkan darah kental.

Astagafirullah
Raga jiwaku bergetar melemah
Susah tiada berdaya
Dan hanya menyisakan satu koma keyakinan
Dengan penuh keterlibatan iman.

Kemenangan mulia akan datang
Bukan sebuah keniscayaan.

Akupun berusaha merangkak dengan tubuh lebam
Mencoba melangkah-langkah bergerak
Babak -belur sempoyongan.

Sendiri, walau merekapun
Kecil – menempuh jarak menuju tempat terpencil
Biar jauh dan pelik sungguh
Sekawanan seiman akan mengiringi sampai
Akhirat.
Bersatulah umat bukannya berselisih!
Bogor juni ‘08

_______________________________________________________________________________________________________________

Menemani Pertarungan

Tidurku terasa berlebihan, nyenyak berkerak mimpi
Menentang jarak antara batas pelampauan hati
Titik terberatnya terletak pada pergolakan batin
Yang barang kali tidak dapat diharapkan.

Aku mempertanyakan bau busuk tiap keringat malaikat
Empatiku pada kegaiban menetes sesaat
Saling berganti menyekat keadaan setempat
Untuk mencapai kerumitan angan dalam berkebatinan,
Wewangian parfum syetanlah yang dibutuhkan untuk
Menipu daya keindahan berperasangka:
Berpendapat hina pada setiap ketekunan sukma
Dalam menyikapi sewujud Tuhan kalian dan cinta.

Jakarta juli ‘08

______________________________________________________________________________________________________________

Anak Trotoar
Yang berbaju kumel robek berdebu
Yang terlalu dungu dalam berpijak pada garis waktu
Yang lupa pada etika norma sebab terlalu lama menunda moral

Dan ruang panjang terbatas di sela-sela kursi
Dalam bis-bis kota menjadi dunia sesak
Tempat mengais sekoin rejeki

Dan persaingan bertahan hidup
Dalam sumpek persimpangan lampu merah
Berdarah percuma

Di kepenatan panas
Alunan nyanyian naas bernada minor
Dari petikan senar-senar kotor
Terdendangkan lagu yang kasar:
Bahwa kemahamuliaan timbul dari menyepelekan hal kecil,
Terpinggir bahkan cenderung hina dimata telanjang kita.
Jkt juli ‘08

_____________________________________________________________________________________________________

Terkadang Berbalik
Kupaksakan mengenal Mu di payu dara
Pelacur remaja.

Tiap bersembah ibadahku
Tersebutlah Tuhan diremang do’a
Akh, sia-sia. Dia tak pernah mau ada
Ternyata Dia malah hadir
dikebimbangan dendam

Pernah untuk lebih dekat denganMu
Aku melerai amarah mencoba beramal
Akh, percuma saja. Kau kian pergi
Tak ayal seperti impresi mati
Ternyata Ia malah memelukku erat
jika kebencian ku bakar ditiap urat

Pada hari dimana pernah kebenaran ku bela
Dengan sekuat tenaga bahkan jiwa raga
Akh, tiada berguna. Dia malah mengabur
Beku tak berpihak padaku
Ternyata Ia malah mempersuntingku
Kala ku ingkari setiap janjiNya yang termaktub
Pada kitab suciNya

Sampai Aku memohon kelak
Agar menemu bentukMu seusai dipenghabisan usiaku
Akh, rangkalah lebih remuk. Hancur tak tersisa

Hanya roh yang menggelepar-mengepak sayap terbang.

Akh, ketika ku tak minta
Ternyata kali ini Kau datang
Memperkosaku dikehampaan
Menyamar pada balita-balita kelaparan
Yang hanya bisa merengek untuk meminta-minta
Yang hanya bisa merengek untuk di puja-puja

Esa dan mulialah Ia

Akh, tersibaklah olehku
Kau lebih indah diseru dilumpur
lebih nikmat diminta ketika khilaf berdosa
Akh, Kau lebih menikam
Jika ditarik dan kumakan dari bangkai
yang aroma busuknya lebih khusyu dari apapun

Yang terkadang berbalik hanyalah satu-satu
Kali ini Kau dan Aku
Jkt 1 juli ’08

_______________________________________________________________________________________________________

Ratapan Angin
Semilir hembusanku meratap cemas
Saat kujelang musim badai
Karena sepintas saja terpaanku
Kekuatannya bergegas melampaui
Segala batas
Menjadikan tiap apa hancur, remuk
Runtuh
Tumbang
Meluluh-lantahkan kebekuan nostalgia purba:

Bukankah dari segala isi semesta
Maka ‘kan kembali padaNya jua,

Manakah ketabahan kita
Pada rasa syukur yang sengaja kita kubur
Di pusara jiwa paling luhur

Aku angin
Meski kemurungan tak ‘kan terbuang dari pengucilan,
Kencang dan hembusan yang tak berperi kehidupanku
Cepatlah berlalu
Karena kerja kerasmu itu
Peluh-peluh yang mengucur dari pori
Mendambakan kesejukan

Aku angin
Pucuk-pucuk bunga yang layu
Merindukan sari putik bunga yang lain
Dan luasan hidupku yang kian gersang akan debu
Sepintas mengharap sapuan rindu
kepadaMu, kepada penghuni bulatan bumi
yang berpojok dirumah reot
tertempa tiupan angin kemiskinan.
Jakarta 8 juli ’08

_____________________________________________________________________________________________________

Melepas Ajakan
Kau yang luka tersiksa oleh kelakuan penguasa
Adakah uluran tangan-tangan golongan
Menafkahkan pembelaan tanpa pamrih?
Itu hanya rayuan, sedih yang tak lebih.
Hampirilah Aku, sebab sekelilingku sedang bersedu,
Terluka jua oleh senjata-senjata penguasa.
Bukankah segelintir manusia sakit
Yang akan menolong orang-orang yang sedang disakiti
Menjerit lantang-melawankan kesakitan bersama.

Kalian yang bahagia menindas rakyat jelata
Tiadalah kerabatmu merasa keberatan
Karena pencuri dan pembual satu kesatuan
Sebab keserakahan kalian samarata,
Bukankah pemakan hak orang
Yang ‘kan selaras dengan para penindas.

Penindas tetaplah penindas
Ketika temannya terpuruk ia akan lari
Menjilati kotoran tai-masyarakat pinggiran
Menelan pahitnya ludah rakyat
Untuk kemudian dimuntahkan.
Jkt juli ’08

____________________________________________________________________________________________________________

Detak Detik Belaka
Pada saat nafsu memaksa menyekutu
Rendahkanlah pandangan dan nafas yang menggebu
Karena jika kekasihmu mencintai dengan setulus hati
Asmara kita teristimewa dalam sebuah fenomena
Dunia busuk
Buruk!
Cianjur 2004

__________________________________________________________________________________________________________

Percakapan Pemulung Dengan Ayanhnya
Di tempat pembuangan akhir
Kemarin
Antara tumpukan sampah yang khawatir
Mereka terlentang beralas karung bekas
Kotor dan menunggu,
“Pak” panggil sang Anak
“Ada apa Nak?” sahut Ayahnya
“ Kata tetangga. Kita ini miskin tak punya apa-apa?”
Tanya anaknya pada sang Ayah dengan lugu
“Tidak Nak, yang miskin cuma harta kita. Tetapi jiwa kita tetap kaya”
Jawab Ayahnya
“’Kan Bapak sakit”
“Yang sakit raga Bapak, sedangkan jiwa senantiasa sehat”
“Kita juga hanya pemulung”
“Yang pemulung panca indra kita, tetapi jiwa tetaplah pemberi sejati”
“Apa Bapak pernah punya cita-cita?”
“Pernah, dan mimpi Bapak cukup sederhana. Bapak hanya ingin sujud diMekkah
dalam kesesakan umat mengitari Ka’bah”
“Sekarang apakah kamu punya cita-cita Nak?”
“Tidak”
“Kenapa?”
“Karena cita-cita saya hanya ingin mewujudkan impian Bapak”
Lirih Anaknya dengan suara parau

Mata Ayahnya berkaca, tak lama kemudian iapun meneteskan air mata
Anaknya hanya menatap pilu tak mengerti dan ikut menangis.

Truk sampah datang, merekapun bergegas

Keterharuan mereka berlalu begitu saja
Di atas cuaca panas ibu kota
Yang kian cemas.
Jakarta juli ’08

__________________________________________________________________________________________________________

Menyempatkan Memutar Kompas
Jika kau berbondong-bondong pesiar ke pantai
Aku ‘kan berlari menyelinap ke semak-semak
Rimba belantara

Ketika kalian bercanda-tawa difajar pagi hari
Aku ‘kan melesat ke keremangan tengah malam yang sunyi
Menggila bersama endemic gelap

Saat kau membela rakyat yang melarat
Aku ‘kan mencoba
Mengajari mereka berbicara lantang
Mengajari mereka melawan hawa nafsu dan ketidakadilan

Kalau kalian berebut meraih kesenangan fana:
Dengan segenap daya upaya kelicikkan
Aku malah berusaha meninggalkannya
Menanggalkan pakaian kepunyaan kalian

Jika kalian menyeru Robbiku ditanah suci
Aku justru ingin mencoba menyeruNya diranjang prostitusi
Reot dan berbekas noda:
Noktah cinta yang dipaksakan

Ketika kau hendak kearah barat melewati jalur kanan
Untuk bertanya-mencari jalan menuju sorga
Biarlah Aku kearah timur melalui jalur kiri
Untuk ber ibadah-keikhlasan menuju sorga

Bawa sajak ini ke liang lahat
Untuk kita bacakan
Ketika kita berpapasan diSirratulMustakim
Di bawah bara api neraka
Jkt juli ’08

__________________________________________________________________________________________________________

Ada Yang Berbeda Di Laut Kidul
Tinggal kenangan mendesir berlalu
Tentang laut kidul dipelosok selatan Cianjur
Berjalan dipinggir pantainya
Aku tanpa beralas kaki
Dan andai saja waktu itu Aku mengindahkan mitos kikisan rakyat,
Pastilah telah merasakan
Bagaimana rasanya berjalan ke tengah gelombang
Berenang bebas, semerdeka legenda bahari
Yang konon seorang pelaut
Tetapi tidak
Laut yang menjemput dengan riak deburnya
Ku acuhkan saja.

Kala itu Aku hanya bisa
Melepas pandang sejauh mata mampu
Memicing tuk memandang luasnya laut yang jauh

Pagi yang absurd
Bersama fajar yang merekah dari timur
Pandanganku berjarak dekat
Dengan deburan ombak besar
Semakin garang semakin bergulung pekat

Ooo apakah laut sedang kurang sehat?

Jejak-jejak telapak kaki yang tertinggal dipasir
Hilang seketika tersapu buih yang mengalir
Seperti harapan para nelayan.
Dan lambaian jemari nyiur laut kidul
Bertepuk mendesir dan lebih hidup
Tertampar angin pantai

Lihat juga dimuara
Bocah-bocah pantai berlari-lari
Bersiul mempermainkan air
Seperti leluhur mereka
Seorang gugusan karang yang tegar diterpa gelombang.

Tinggal kenangan mendesir berlalu
Tentang laut kidul dipelosok selatan Cianjur
Tak dinyana malamnya Aku kembali
Disana Aku menyepi
Berbisik kepada gelap-gulita:
Aku jatuh cinta

Bersela sunyi dalam pasang ombak malam
Tak urung niatku berenang kembali melampau
Diantara terang bulan sabit
Dan derai sepoi yang menyibak tabir kelabu
Aku semakin rindu pada samudra biru

Akh, takdir kita esok berserah di hariNya memetik nyawa.
Cianjur 2004

__________________________________________________________________________________________________________

Keluarga Kecil
Adik kecil : lapar Bu
Ibunya : Tahan Nak
Putri sulung : Pak, Aku sudah Sembilan tahun. Kapan Aku sekolah?
Bapak : Sabar Nak, nanti jikalau negri ini…

Kau…
Cuma kami air mata dan gelak tawa yang tak pernah meminta
Seperti ajal kami yang tak pernah menyerah berguru pada sampah
Yang tetumpuk dihalaman-halaman rumah
Kau…

Rintihan pilu kami diesok pagi akan membatu
Bisu
Tak kuasa merayu
Tak kuasa mencuri hati
Tak kuasa merampok

Meski perut kami sejak kemarin keroncongan
Kosong
Belum terisi sesuappun makanan
Tetapi kami selalu menunggu
Datangnya rejeki yang halal
Karena kemiskinan kami tidak untuk di jual

Anjing!
Babi!

Di koran hari ini tersiar kabar
Seorang koruptor di lepas tanpa syarat
Karena kuranngya bukti-bukti yang kuat
-apa itu kurang?

Di berita petang
Seorang anak penguasa di tangkap dan di penjara
Karena ayahnya telah turun tahta
-apa itu turun?

Di hadapan mataku
Kemarin anak kecil mencuri sepotong roti
Ku ikuti sampai rumahnya yang berada di pinggir kali
Disana tiga balita menunggu kedatangan sang kaka
-apa itu mencuri?

Di hatiku ada yang bergumam
Jikalau saja maut datangnya ada tegur sapa
Niscaya hidupku tiada akan berbuat dosa,
Kalau saja cinta mengingatkanku akan adanya perpisahan
Seraya penyesalan kasih sayang tak kan pernah ada.
Cianjur 2004

___________________________________________________________________________________________________________

Subuh, Sawah Dan Kampung
Padahal belumlah lama Aku meninggalkannya,
Dan selalu sempat pulang.
Kemarin kekangenan itu datang
Di sela titian waktu ‘penjelajahanku’

Menyempatkan berpulang ke tanah kelahiran
Banyak yang berubah,
Tak karuan

Masih gelap dan senyap
Gema subuh seorang lansia terdengar terbata-bata
Mengganggu telinga,
Lengkingan kokokan Ayam Pelung jantan
Bersahutan
Berkali-kali
Namun matahari masih malas memancar

Setelah berjamaah
Kulaju langkah menapaki jejak masa silam
Ketika masih anak-anak
Di pematang sawah di lapangan yang telah berubah
Menjadi rumah, menjadi bangunan-bangunan megah

Sementara itu butiran embun pada ujung daun Pandan Wangi
Berjatuh perlahan

Tatapku perih menyaksikan itu semua
Belantara Padi yang dulu hijau terhampar
Puluhan hektar
Kini kian berkurang
Tinggal beberapa petak
Tanpa harapan masa depan
Tanpa para petani tradisional
Karena peradaban menuntut seperti itu
Aku hanya tercenung mendekap bisu

Apa yang tersembunyi di balik ini semua?
Akan ku apakan.
Cianjur juli’08

_________________________________________________________________________________________________________

Maha Guru
Sekilas tentang Baginda Nabi Terakhirku

Ada zaman dimana manusia-manusia
Bodoh! Ceroboh!

Sebuah awal peradaban
Dalam porak-poranda moral
Tepat di tanggal 20 April 571 Masehi
Maha Guru terlahir yatim
Beranjak tumbuh menjadi piatu
Maha Guru yatim piatu

Menggembala dan berniaga
Beliau penjelajah kota padang pasir
Revolusioner sikap pertama yang dimiliki bumi

Setibanya janda empat puluhan datang meminang
Maha Guru terjalin dalam suatu ikatan pernikahan

Manusia
Batu hitam telah membawa Maha Guru
Menjadi Al-amin pada masa itu

Manusia
Di gelap Hiro Pada bukit cahaya
Jibril membawakan wahyu pertama
“Bacalah”

Manusia
Semangat juang tak kenal derita
Tanpa lelah
Tanpa putus asa

Maha Guru
Suri tauladanku, suri tauladan mu
Maha Guru pulang kehadiratNya
Delapan Juni 832 Masehi
Cianjur 2004

______________________________________________________________________________________________________

Puisi Lalu, Kemarin, Kini dan Esok
Puisi kemarin yang sejauh ini
Adalah pergolakan sunyi
Manusiawi!
Puisi kemarin yang sejauh ini
Adalah jeritan jiwa gelisah
Yang perih, yang geram, yang mendesah resah
Alamiah!

Puisi itu yang sejauh ini
Kebisuan mendebu mencari-cari sesuatu
Tentang pengucapan, penulisan dan atas nama pembaharuan kata atau suara
Puisi itu yang sejauh ini
Perlawanan jatuh cinta
Setiap duka cita
Pertarungan angan dan hidup
Terkadang pelampauan imajinasi yang korup
Tetapi esok, puisiku akan lebih dari itu semua
Cianjur

_______________________________________________________________________________________________________

Binjai 2002
Dahulu ketika sejarah bangsa belum merdeka
Indonesiaku perang melawan Belanda
Kini dalam keterpurukan Negeri
Polisi berperang melawan TNI

Satu peluru merobek dada
Entah Perwira ataukah Perajurit biasa
Tak usah ku hiraukan
Percuma!

Dengan keegoisan yang bangga
Telah mencoreng seragamnya yang coklat dan hijau loreng
Mengatas namakan Abdi Negara
Mereka mengencingi panji-panji

Dan pahlawan yang telah mati tersedu sedan meringis
Ibu Pertiwipun menangis
Melihat kelakuan anaknya yang bengis

Di tanah airku
Kekacauan sesungguhnya telah bergulir
Karena perang bukan lagi untuk pertahanan
Melainkan untuk bertempur sesama teman

Mereka hamburkan pula peluru
Membuang sia-sia persedian logistik Bangsaku
Apa karena seni dalam jalan hidup mereka
Adalah berperang

Catatan baru nusantara Indonesia
Binjai dua ribu dua

Bukankah tak ada orang suci dalam pertempuran
Apapun

Aku memprotes atas nama warga Negara
Mengutuk setiap ketimpangan
Dan kepincangan mereka
Dalam sejarah bobroknya ketentaraan Indonesia
Binjai 2002

Esok jika terjadi lagi
Dan itu akan terjadi
Tertawalah sepuas hati
Cianjur 2002

_____________________________________________________________________________________________________

Berita Alam
Dari Buru ke Orde Baru
Angin di pagi ini menghembuskan surat kabar
Dari perkebunan hutan
Tentang kabar Burung, kabar Anjing
Di bawa terbang merpati-merpati jalang
Mengangkasa

Seekor Babi hutan merusak kebun masyarakat
Melahap habis palawijanya,
Sekelompok Tikus got menggerogoti
Lumbung Padi,
Kancil kecil melahap rumput-rumput halaman
Ular Sanca menelan habis Ayam-Ayam

Ada manusia membunuh manusia
Demi kelanggengan suatu kuasa

Kakekku menceritakannya dari balik tralis besi
Sepulang dari pengasingannya di Pulau Buru
Setelah jera di dera, ia berseru

Disana di Pulau Buru, seekor, sebutir, ratusan manusia
Dimusnahkan nyawanya
Dengan kolera, dengan rasa lapar, dengan suku pedalaman
Dengan senjata
Dan depresi akan hak azasi manusia
Bunuh diri
Cianjur 2001
________________________________________________________________________________________________

Pejalan Kaki
Pejalan kaki
Masihkah setegar batu karang
Seacuh angin pada badai tornado
Meski menewaskan sekian ribu orang
Ia mengacuhkan diri
Dengan berhembus sepoi-sepoi
di esok hari

Kaki-kaki lima
Sebuah pengharapan beratap terpal
Ketika hujan

Berlari
Saat terik matahari
Berkejaran
Ketika kendaraan Pamong Praja melaju kencang
Menghampiri
Membentak merampas menertibkan
Karena mungkin sebelumnya tak sempat menyogok
Cianjur juli ’08

______________________________________________________________________________________________________

Gatrik
Salah satu permainan kampungku
Keponakan dan sepupu
Masih cukup kecil dan lugu
Kulayangkan sepatah pertanyaan
Kepada mereka ketika mentari siang ini
Tengah terik

“Apakah kalian menggemari Gatrik ?”
“Apa itu Gatrik ?”
“Itu permainan Mamang waktu kecil
Permainan ramah lingkungan,
Dari bambu di mainkan bersama.”
“Gatrik! Itu permainan udik-ketinggalan jaman” jawab mereka dengan polosnya

Aku hanya tersenyum simpul
Menyembunyikan keprihatinan

“Apakah kalian ketinggalan budaya ?,
Ataukah permainan globalisasi yang meninggalkan kalian.”
Itu kecemasan yang kutinggalkan di langit
Diantara permainan desa
Yang mengawang lara di udara.

“Kami mau main”
“Main apa ?” tanyaku
“Permainan modern” tegas mereka lantas pergi.
Ternyata mereka memainkan permainan
Yang menggunakan bahan artificial:
Plastic dan electronic
Era Digital; suatu inovasi tanpa konservasi

Hanya Kecapi dan Seruling
Yang ku ajak bermain

Cianjur juli ’08
______________________________________________________________________________________________________

Senjata
Bukanlah berarti harus mengenyam sekolah tinggi
Untuk melepaskan ilusi
Untuk menancapkan batu nisan
Disetiap tanah pemakaman
Yang dikenang

Belajarlah membaca
Menulis
Karena itu yang akan merubah dunia
Karena itu yang akan menghancurkan bumi
Bukankah itu petunjuk Sorga dan Neraka

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu”
“Inalillahi wainaillaihi ra’jiun”
Cianjur juli ’08
_______________________________________________________________________________________________________

Jangan Salahkan Aku
Ketika remaja
Sajak ini kuserahkan pada wanita yang pernah singgah
dihatiku, dan yang dalam angan ketika itu.

Aroma cinta segala rasa pada rindu
Roman picisanpun enggan memberiku
Sepilu syair yang sendu
Kedua tanganku juga kaku
Beku!

Bayangan wanita belasan seketika nampak
Masih belia, jilbab yang dikenakannya merah muda
Ia berpatut diri didepan kaca
Dialah serupa wanita
Gadis-gadis ingusan berparas malu
Aku mengajak mereka satu persatu
Berlainan waktu
Memporak-porandakan segala diam
Menghancurkan kesepian
Juga setiap ketidakmengertian
jantung yang berdebar

Wanita itu
Jangan salahkan Aku
Tidak pula pada cinta
Serta pilu dan sendu

Wanita itu
Jangan salahkan Aku
Mari ini waktu kita kejar
Kita pacu
Kita hajar
Karena kelak dewasa belumlah tentu

Wanitaku
Ajak sekalian kawan kalian
Pada kesunyian rebahkan penat
Dalam kegelapan
Menjerit manja tanpa rasa takut
Cianjur, semasa sekolah
_________________________________________________________________________________________________________

Rupa Perupa
Kawanku Seniman
Keluhanmu terlalu mendayu
Sederhana
Terleburkan, terjungkir balik
Tersisih waktu dikenang
Para birokrat dangkal

Sapuan kuas pada kanvas tua
Menggambar kedalaman Nusantara
Berukir bingkai langka
Terpajang sedih dan menduka

Sepahat sentuhan pematung
Terpang-pang disudut galeri

Kita serumpun nafas
Sedarah daging penghayatan

Perenungan sendiri
Yang dilagukan musik para penari
Dipertunjukan para pementas

Lalu kita mencari panggung
Masing-masing
Berbahagia dan berluka
Terlukis sejiwa

Kita takkan terasing lagi
Digelanggang dunia,
Karena kejayaan ‘kan kita tancapkan
Pada puncak Himalaya
Pun wewangiannya ‘kan dihembuskan
Hingga kedua kutub semesta.

Kawanku seniman dan nyanyian
Only God Knows Why
Kuputar berulang bersama
Tembang-tembang Sunda
Berselang Rock perlawanan-Hardcore Punk dan Metal
Alternative
Minoritas keras yang terpental
Cianjur juli’08

__________________________________________________________________________________________________________

Pemandangan
Di Hari Anak Nasional
Kemalangan telah menaklukannya
Hingga sepanjang hari
Dihabiskannya di jalanan
Di stasiun kereta
Dalam gerbong-gerbong tak terawat
Dimanakah Hak seorang Anak?

Bila tiap banjir telah berlalu di ibukotaku
Anak pinggir kali memungut barang bekas
Sambil berlalu
Sebagai penghasilan tetap
Sekedar buat sebungkus nasi
Dimanakah Hak seorang Anak?

Tersiar suatu kebenaran
Pekerja pertambangan menemani Nelayan
Mengunjungi kerabatnya seorang Petani
Kuli kasar
Adalah di bawah umur

Dimanakah kewajiban?
Dimanakah Hak-Hak seorang Anak?
Kutanyakan pada Pelacur bau kencur
Dia hanya tersipu malu
Tak mengerti

Dipaksa!
Terpaksa!
Memaksakan!
Itu sebuah pemandangan
Yang ku saksikan di Hari Anak Nasional
Sampai kapan?
Cianjur juli’08

___________________________________________________________________________________________________________

Seperti Pasar
Sayuran segar dikerubuti para pembeli
Yang busuk harus tersisih para pemilih

Busana lama dengan buah-buahan kemarin
Mengisi gudang dan keranjang dibelakang
Lalu dagangan baru tak kunjung datang

Setiap peperangan lalu bencana
Seperti pasar
Silih berganti memamerkan
Sehelai bendera kekuasaan

Seperti pasar
Cercaan oposisi menghujam partai
Seperti pasar
Kehidupan ini
Cianjur juli’08

_________________________________________________________________________________________________________

Sekutu Invasi
Dari sebongkah daging Negara adidaya
Urat nadinya menjelma
Baik itu secara diplomatik
Secara intervensi ekonomi yang pelik
Pun melalui kekuatan militer
Suatu bangsa tercecer

Bergeserlah, tergeser atau digeser
Haluan kedaulatan sebuah Negara
Pada penguasa dunia secara imajiner
Secara nyata.

Bangkitlah menginternasionalkan perdamaian
Kecil
Sebab itu perlawanan yang sesungguhnya
Besar

Cianjur juli’08

___________________________________________________________________________________________________________

Suara Kata
Berseri ketika dikunyah
Termanis sampai terpahit terasa renyah

Menjadi tai!

Sebagian terdaurulang menjadi pupuk
Seperti terkutuk
Jakarta Agust ’08
____________________________________________________________________________________________________-

Sebelah Altar
Pernah terkenang
Lonceng gereja yang berdentang
Beriringan dengan lengkingan saritilawah duka
Diruang paling dalam rongga dada
Pada pusara jiwaku
Syahdu
Merdu

Bahwa perselisihan ‘kan teredam
Hanya untuk kemanusiaan
Jakarta Agust ’08
__________________________________________________________________________________________________________

Sebuah Penciptaan Karya
Suatu yang terhasilkan
Apapun semuanya
Esensinya bagaikan manusia

Akh, bukankah terlalu jauh dan panjang
Untuk Aku ceritakan
Terlalu dalam jua untuk Aku selami
Karena sepenuhnya tertanam kuat secara alami
Pada diri kita sendiri

Sadar atau tidak
Terserahlah!
Cianjur Agust ’08

_________________________________________________________________________________________________________

Kusebut Lagi 
Esok-lusa nanti
Tolong resapi ungkapan lapar yang terlunta
Jemu
Menderita
Menunggu sesuatu yang mendebu

Karena kemampusan anaknya soal kekurangan gizi
Kesusahan meraih makmur
Kesulitan pula mendapatkan subsidi
Keyakinanpun berangsur mengabur
Luntur

Lantas apa lagi yang harus dilontarkan
Pada Tuhan dan setiap pemerintahan
Kalau derita meniti pada tiap gugusan hari
Sehingga rasa sesal menyekat ketabahan mereka
Saudaraku yang termalangkan

Kini Aku dijerakan keterpiluan sendiri
Memetik setangkai ranting kering
Dipatahkan agar kekesalan mengabur pergi
Cianjur Agust ’08

____________________________________________________________________________________________________________

Cerita Pendek Ziarah
Ziarah-ziarahku kepada setiap gerhana
Dalam senyap yang teramat pekat
Serpihan suara-suara gelap gulita kuabaikan
Hembusan anginapun tak kuasa berseri
Memilukan

Lantas arwah-arwah kubur mencuat hingar-bingar
Diantara pasir-pasir pesisir pantai
Gaung jeritannya menyakitkan bisikan-bisikan halus ombak biru
Menggema dalam goa-goa
Yang hening diantara kepakkan kelalawar dan pepohonan tumbang
Memilukan

Ziarah-ziarahku kepada setiap gerhana
“Wahai engkau pagi, datanglah terlambat”
Jikalau kalam-kalamku
Adalah pergolakkan sunyi-sunyi
Jeritan-jeritan jiwa yang galau
Kebisuan yang mendebu.
Mendebu!

Ziarah-ziarahku
Ruh-ruh yang kaku menunggu semesta kiamat
Kemana Aku telusuri hidayah dan peluhku yang telah lama raib
Kemana?

Sedang nafasku telah mencoba menerobos lobang lahat
Terjaga dalam belenggu-belenggu gaib

Tetapi duhai engkau malaikat maut
Ijinkan nyawaku bertahan
Hingga akhir, dimana tak lagi terdengar kicauan burung menyambut pagi
Yang sepi
Karena sekujur tubuhku masih gemetar
Jari-jemariku masih mampu merobek-robek angkasa
Masih piawai untuk menyayat matahari senja

Ziarah-ziarahku kepada setiap gerhana
Memohon:
Berikanlah Aku sedikit waktu
Untuk menengadah dalam malam
Sekedar untuk meludahi bulan,
Lantas esok dikala tiba pagi yang baru
Biarkanlah Aku kembali keatas bumi
Membawa mayat-mayat semangat para Pahlawan
Yang telah lama mati suri.
Cianjur,

_____________________________________________________________________________________________________________

Sepenggal Catatan
Menjelang sore baru sampai,
Takayal setangkup kerinduan merengkuh selaksa nostalgia
Seiring garis-garis rona pelangi yang perlahan-lahan samar
Semakin lama semakin mengabur warna-warninya
Lepaslah kerinduanku dan pelangipun menghilang
Terajut taburan asap kabut yang kian menebal
Di Puncak
Di persimpangan pepohonan teh
Kuayun sebuah pengharapan
Sejauh perasaanku tersakiti aura panas bumi

Aku mencengkram jelita lestari:
Bayangan perempuan serta imajiku sendiri
Merenggut sealun riangku yang sempat tertinggal
Semasa itu
Di sisni
Di Puncak
Di persimpangan pepohonan teh
Kulayangkan naskah-naskah kecemasan
Tertoreh liar namun kian menawan:
“ Awal mencintai Revolusi adalah
Ketidak berdayaan jiwa raga Aku kalian
Kita membiarkan penindasan, membiarkan ketidak adilan
Merenggut kesejahteraan kita sebagai rakyat kecil
Sampai kebiadaban itu menemui stagnasi keadilan sosial
Barulah kasih sayang kita terhadap kemanusiaan akan terlahir!
( Apakah menunggu hal itu terjadi? )
Dan gerakan untuk sebuah perubahan
Amat melelahkan…
Tentu saja harganya akan sangat mahal.”

Lakukan perlawanan ini sebelum terlambat-sebelum kiamat!
Ketika Imam Mahdi turun ke bumi

Bisikan perlawanan ini ke telinga-telinga orang bawah
Teriakan kepada pemerintah
Panjatkan kepada Tuhan
Kepada pemeluk Agama
Dan teriakan kepada
Pembenci-pembenci Tuhan dan Agama

Sejalan bergulirnya perputaran waktu
Lelah ini berkehendak; merebahkan semangat yang menggebu
Karena malam telah larut – juga lelah telah cukup
Mungkin hanyalah sejenak Aku akan beristirahat:
Untuk sementara waktu
Terlentang tidur-menentramkan segumpal penat
Di sisni
Di dalam bivac alam
Di sebuah pelataran-pada persimpangan pepohonan teh
Untuk sementara waktu Aku menelantarkan
Sepenggal catatan kemanusiaan.

Pada saat malam-malam telah bertolak pergi
Ke esokkan harinya-di pagi ini
Helaan nafas panjangku menghirup suhu rendah perkebunan

Pagi-pagi buta
Sebelum matahari bercahaya
Dari kejauhan
Dari jendela-jendela menara AT TA’AWUN yang telah terbuka-bercahaya
Kumandang pujian-pujian Tuhan
Menelusup kesela-sela kabut yang pekat

Aku menyempatkan diri berserah hidup
Ruku dan bersujud
Di atas matras basah karena lembab oleh cuaca

Seusai meritualkan kewajiban-kebutuhan
Permohonan kecil namun amat dalam
Aku panjatkan:
Do’a-do’a seperti biasanya
Juga kepada Ibunda, kepada Bapak
Serta golongan terbuang!

Pagi ini planetku masih tiada henti mengitari fajar
Disana:
Angkasa di belahan ufuk timur
Mentari mulai memancar tajam

Ya, dari dataran tinggi terlihat olehku matabumi yang berseri
Perlahan membuncahkan cahayanya.

Kalian mau tahu?

Kemilau terangnya menyentuhku-menembus butiran-butiran embun
Yang menempel-yang tergenang
Di pucuk-pucuk teh

“ Indah! cuma itu kata yang tepat “

Akupun tak menyiakan kesempatan
Berlari-lari mengelilingi-keelokkan jalan perkebunan

“ Sudah cukup “ kataku agak ngos-ngosan
“ Kita akan berkemas melanjutkan perjuanggan “ lirihku dalam hati

Suatu waktu harus kembali kesini, kalian cobalah wisata kemari
Dan jangan rusak kejelitaannya sampai senja tak lagi berseri

____________________________________________________________________________________________________________

Semua Ini

Sebuah proses penciptaan
Perjalanan panjang
Sebagai manusia

Secara alamiah
Lahiriah dan rohani
Semua ini

Tanah kelahiran, Sept ‘08

- See more at: http://blog.infosastra.com/blog/2014/01/03/antologila-puisi-el-ja-1/#sthash.76N8eq6k.dpuf

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler