Siang itu,
Memecahlah tangis bayi dari rahim maut
menangis, alam enggan untuk menyambut
tak dia dapati rasa apapun di dekapannya
punting kemakmuran enggan menyapanya
haus, hampa. kering, koyak, dan tertolak
Begitulah pertama dia mengenal dunia.
“Kamu anak siapa?”
sapa ular kepada bumi yang kerontang
lidahnya berkilat-kilat bercabang tiga
liurnya kental, bergetah, sekaligus berbisa
Bumi yang kerontang berjelaga jiwanya,
mendengar pertanyaan ular yang naif
ketidakberdayaan meraja di dada
Diam, santun menerimalah pilihannya
Dalam diamnya, bumi selalu tahu rahasia
Ular memanas ganas, berbisa, tetapi buta
Tak dilihatnya apa yang disemburkannya
Tak diperhatikannya apa yang digigitnya
Kakinya selalu tersaruk oleh tali celana
Dan hatinya, tak pernah ada di tempatnya.
Pengembaran ular selalu berakhir pahit
Bisa kebanggaannya terbuang sia-sia
lidah keagungannya saling melilit
tak lepas berkejaran dusta dan fitnah
Bumi kerontang selalu menemukannya
Neraka, satu-satunya tempat yang pantas
Namun, nerakapun, ternyata menolak !!
Bumi marah,batang ular masih di depannya
tak bisa beringsut, meskipun ke neraka
Amarah adalah kekuatan yang siap pecah, dan :
“Bangsat, keparat, mampuslah kau laknat
di dalam lautan kenikmatanmu sendiri”
teriaknya lantang, bumi bergetar,
semesta alam terbangun, juga bayinya.
Bayi mungil, saksi kemarahan itu
Dipeluknya bumi tempatnya merasa aman
Dikecupnya mata air sukma yang menetes
Bumi bergolak meredakan amarahnya
Kembali tenang, kembali sentosa
Dibiarkannya bangkai batang ular membusuk
Dipajangnya di beranda depan rumahnya, indah !!
“Anak siapa aku”
Sang bayi mengucapkan kata pertamanya.
Bumi tersenyum damai dan tak berbeban
Seutas mentari menyinari mereka berdua
Memperlihatkan tepukan kemenangan
Kupu-kupu menghiasi taman mereka
Merayakan tunas dan kuncup kedamaian
“Kamu adalah anakku, kamu boleh pergi
berkali-kali, namun hanya akan kembali
satu kali ke pangkuanku, pangkuan pertiwi”
Bayi tersenyum mengulum bibirnya
sambil melihat nanar ke arah beranda.
Di sana, bangkai batang ular tetap menggantung
Ekornyapun tak sampai ke pucuk pertiwi
Dia tak cukup pantas rupanya!!
Kulo Progo, 31 Desember 2013
Komentar
Tulis komentar baru