Skip to Content

Catatan Februari

Foto Veronica Um Kusrini

Siang itu,

Memecahlah tangis bayi dari rahim maut

menangis, alam enggan untuk menyambut

tak dia dapati rasa apapun di dekapannya

punting kemakmuran enggan menyapanya

haus, hampa. kering, koyak, dan tertolak

Begitulah pertama dia mengenal dunia.

 

“Kamu anak siapa?”

sapa ular kepada bumi yang kerontang

lidahnya berkilat-kilat bercabang tiga

liurnya kental, bergetah, sekaligus berbisa

Bumi yang kerontang berjelaga jiwanya,

mendengar pertanyaan ular yang naif

ketidakberdayaan meraja di dada

Diam, santun menerimalah pilihannya

 

Dalam diamnya, bumi selalu tahu  rahasia

Ular memanas ganas, berbisa, tetapi buta

Tak dilihatnya apa yang disemburkannya

Tak diperhatikannya apa yang digigitnya

Kakinya selalu tersaruk oleh tali celana

Dan hatinya, tak pernah ada di tempatnya.

 

Pengembaran ular selalu berakhir pahit

Bisa kebanggaannya terbuang sia-sia

lidah keagungannya saling melilit

tak lepas berkejaran dusta  dan fitnah

Bumi kerontang selalu menemukannya

Neraka, satu-satunya tempat yang pantas

Namun, nerakapun, ternyata menolak !!

 

Bumi marah,batang  ular masih di depannya

tak bisa beringsut, meskipun ke neraka

Amarah adalah kekuatan yang siap pecah, dan :

“Bangsat, keparat, mampuslah kau laknat

di dalam lautan kenikmatanmu sendiri”

teriaknya  lantang, bumi bergetar,

semesta alam terbangun, juga bayinya.

 

Bayi mungil, saksi kemarahan itu

Dipeluknya bumi tempatnya merasa aman

Dikecupnya mata air sukma yang menetes

Bumi bergolak meredakan amarahnya

Kembali tenang, kembali sentosa

 

Dibiarkannya bangkai batang ular membusuk

Dipajangnya di beranda depan rumahnya, indah !!

 

“Anak siapa aku”

Sang bayi mengucapkan kata pertamanya.

Bumi tersenyum damai dan tak berbeban

Seutas mentari menyinari mereka berdua

Memperlihatkan tepukan  kemenangan

Kupu-kupu menghiasi taman mereka

Merayakan tunas dan kuncup kedamaian

 

“Kamu adalah anakku, kamu boleh pergi

berkali-kali, namun hanya akan kembali

satu kali ke pangkuanku, pangkuan pertiwi”

 

Bayi tersenyum mengulum bibirnya

sambil melihat nanar ke arah beranda.

 

Di sana, bangkai batang ular tetap menggantung

Ekornyapun tak sampai ke pucuk pertiwi

 

Dia tak cukup pantas rupanya!!

 

Kulo Progo, 31 Desember 2013

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler